"Thalia? Kamu mengagetkanku saja." Aku melihat Thalia sudah tersenyum di belakangku. Kami berjalan beriringan menuju gedung kantor.
"Selamat ya, Nania! Akhirnya kamu diterima juga. Ngomong-ngomong, aku tidak lupa dengan janjimu mentraktirku," ujar Thalia sambil mengulurkan tangannya dan tersenyum menggodaku.
"Aku mau bakso, sate ayam, gado-gado, mie pangsit …. " Thalia melanjutkan perkataannya sebelum aku menjawabnya.
"Sebutkan saja semua, sudah kuduga kamu pasti paling bersemangat kalau soal makanan." Aku memotong perkataan Thalia sebelum dia berhasil menyebutkan semua nama makanan yang ada di kota ini.
"Ya, kalau gak boleh semua, kamu boleh pilih salah satu. Lagi pula mana mungkin perutku cukup untuk memakan semua itu," ujarnya sambil cengar-cengir memperl
Melihat Sinta duduk di teras rumah, aku bergegas berputar, berjalan ke arah lain. Bermaksud untuk masuk ke dalam rumah lewat pintu belakang. Semoga saja Sinta tidak melihatku. Rasanya tulang-tulangku sudah remuk dan otakku hampir mengeluarkan asap panas akibat bekerja seharian. Aku ingin segera beristirahat. Rasanya sudah tidak sanggup menemui Sinta dalam kondisi lelah seperti ini. Bekerja sebagai customer service ternyata tidak mudah. Seharian harus bersikap ramah dan mengembangkan senyum kepada para pelanggan meskipun suasana hati sedang tidak mendukung untuk itu. Ditambah lagi beberapa pelanggan yang marah-marah tidak jelas membuatku semakin kesal. Aku jadi teringat dengan salah satu pelanggan perempuan yang sedang memiliki masalah percintaan. Dia menelepon sambil menangis, lalu berkata, "Saya mau mengembalika
Rupanya ini tujuan Sinta yang sebenarnya? Memintaku berhenti bekerja karena dia tidak mau suaminya satu kantor dengan mantan. "Memangnya siapa kamu menyuruhku berhenti bekerja? Kamu bukan pemilik perusahaan kan?" sergahku tidak ingin menuruti permintaannya. "Aku tidak main-main, Naina! Aku belum menarik ucapanku, kamu harus mengundurkan diri dari pekerjaanmu," ucap Sinta dengan suara sopran yang melengking membuat sakit di telinga. "Aku juga tidak main-main, kamu pikir aku takut kepadamu? Kamu bukan siapa-siapa. Dimataku kamu tidaklah lebih dari seorang wanita yang menikahi bekas suami orang," sergahku diselimuti amarah. "Jaga mulutmu, Naina! Aku tidak akan tinggal diam kalau sampai aku melihatmu menggoda Mas Bayu," tukas Sinta kepadaku.
"Ibu seharusnya tidak membiarkan Sinta menunggu, lain kali jangan izinkan dia bertemu denganku, Bu. Dia hanya mau membuat masalah saja," ujarku sambil bersungut-sungut kesal."Ada baiknya Sinta menemuimu, jadi Pak Hadrian datang menyelamatkanmu," ujar ibu sambil tersenyum girang. Ekspresinya seperti seorang ibu yang baru saja mendengar kabar anaknya akan dilamar seseorang. Persis seperti dulu, saat Mas Bayu akan melamarku."Apa yang Ibu katakan? Memangnya apa yang Pak Hadrian lakukan? Tanpa Pak Hadrian datang, aku juga akan mengusir Sinta," sanggahku pada ibu."Kelihatannya Pak Hadrian menyukaimu. Kalau tidak, mengapa dia repot-repot datang ke sini," cetus ibu sembari memicingkan mata dan tersenyum menggoda."Itu tidak mungkin, Bu. Lagi pula, Pak Hadrian bilang dia ke si
Aku sudah mencari Thalia di seluruh ruangan kantor, tetapi nihil, tidak kutemukan dia di mana-mana. Mungkin, Thalia sudah pulang. Kuputuskan untuk kembali ke ruang kerjaku. Besok saja aku akan menemui Thalia.Di ruang kerja, netraku tertuju pada buket mawar merah yang sudah layu. Di sampingnya sudah ada buket bunga mawar merah baru dengan kartu dan inisial yang sama. Apakah ini artinya, bunga ini memang benar-benar untukku? Bukan salah kirim seperti dugaanku sebelumnya?"Bunga lagi? Wah-wah, setelah Pak Hadrian siapa lagi yang kamu incar? Lebih baik kamu tidak usah bekerja jika tujuanmu hanya untuk menggoda laki-laki," ucap seorang rekan kerja wanita dengan tatapan sinis. Suaranya nyaring membuat seisi ruangan mendengarnya dan menoleh ke arahku.Seorang wanita yang duduk berdekatan denganku tidak tinggal diam. Kulih
Entah mengapa, aku tidak ingin Hyuga melihatku bersama Pak Hadrian. Aku dan Pak Hadrian akhirnya ke luar dari pintu belakang dan kembali ke kantor. Aku mendengkus kesal sambil memegangi perut mengingat kejadian tadi. Padahal air liurku sudah menetes saat mencium aroma gurih ayam kampung yang sedang berenang-renang di penggorengan. Sudah kubayangkan satu potong ayam yang akan berhadapan denganku di atas sepiring nasi putih dan sambal korek. Seseorang datang tepat saat perutku berbunyi. Rupanya Pak Hadrian sempat memesan makanan untuk dikirim ke kantor. Tidak hanya untukku, tetapi untuk semua pegawai yang sedang lembur. Senyumku merekah ketika menerima kotak nasi itu. Tidak perlu menunggu, langsung saja aku menyantapnya dengan lahap. "Lihatlah, dia masih bisa makan set
"Sudahlah Thalia, berhentilah berharap. Pak Hadrian tidak pernah menyukaimu, jadi mengapa kamu terus mengharapkannya? Lebih baik kamu membuka hatimu untukku," ucap lelaki itu dengan suara bariton. Meski samar-samar, aku masih bisa mendengarkan suaranya dengan jelas.Jadi ini sebabnya Thalia marah? Apakah Thalia menyukai Pak Hadrian? Tapi bukankah Thalia pernah bilang bahwa dia sudah bertunangan?Atau jangan-jangan tunangan Thalia adalah Pak Hadrian, itu sebabnya Pak Hadrian seperti takut ketahuan Thalia saat sedang berada di rumah makan denganku?Ribuan pertanyaan menari-nari di kepalaku. Aku harus mencari tahu jawaban dari semua pertanyaan itu. Pelan-pelan aku menarik handle pintu supaya sedikit terbuka, agar aku bisa mendengar dengan lebih jelas.Tidak sengaja aku meli
Aku sangat terkejut menyadari laki-laki itu adalah Mas Bayu. Dia menarik lenganku sambil berkata, "Bukankah aku sudah memperingatkanmu kemarin, mengapa kamu masih saja mendekati laki-laki lain?""Kita sudah bercerai. Mengapa kamu masih begitu peduli dengan urusanku? Bagaimana perasaan Sinta jika ia tahu kelakuan suaminya seperti ini?" tanyaku sembari melepaskan cengkeraman tanganannya di lenganku."Jangan bawa-bawa Sinta dalam masalah ini. Awas saja jika kamu masih saja mendekati Pak Hadrian, lihat apa yang akan aku lakukan," ancam Mas Bayu kepadaku."Kamu kira dengan kamu mengancamku, aku akan takut?" sergahku sembari tersenyum kecut."Aku akan memberitahukan pada Pak Hadrian siapa kamu sebenarnya. Kalau dia tahu wajah aslimu, mungkin dia tidak akan sudi melihatmu lagi,
"Kamu salah, aku sudah tahu siapa Naina dan aku tidak pernah menyesal," sanggah Pak Hadrian."Tapi Pak Hadrian tidak tahu wajah asli Naina kan?" tanya Mas Bayu."Aku bukan sepertimu yang semudah itu menceraikan seseorang. Aku ingin menikahi Naina bukan karena kecantikannya. Kau tau siapa aku, jika tujuanku menikahi seseorang hanya karena kecantikannya, aku tinggal memilih satu di antara para model peraga busana, mereka semua cantik," papar Pak Hadrian panjang lebar."Pak Hadrian akan menyesal …." Mas Bayu tidak menyerah untuk meyakinkan Pak Hadrian. Belum selesai dia berkata, lagi-lagi Pak Hadrian memotong perkataannya."Sudah selesai bicaranya? Pergilah atau aku akan memecatmu!" seru Pak Hadrian tidak sabar."Oh, jadi