Gara-gara menghapus riasan, aku dicerai setelah malam pertama. Aku merasa masa depanku hancur bersama kepergiannya. Namun, ibu tidak berhenti untuk menyemangatiku. Apakah benar bahwa perceraian adalah akhir segalanya? Atau perceraian adalah cara Tuhan untuk memisahkan aku dengan cinta yang salah, sekaligus mempertemukan aku dengan cinta yang sebenarnya?
View More"Aku ceraikan kamu hari ini juga! Aku tidak sudi menjadikan wanita jelek sepertimu sebagai istri!" Mas Bayu berseru lantang sembari memasukkan pakaiannya ke dalam koper. Pakaian-pakaian itu baru saja semalam aku susun rapi di lemari saat Mas Bayu sudah tidur terlelap.
"Tapi, bukankah kamu mencintaiku, Mas? Bukankah tadi malam kamu begitu bersemangat? Kamu bilang bahwa tadi malam, malam pertama kita, adalah malam yang paling indah untukmu, apa kamu lupa?" tanyaku tidak kalah lantang. Bagaimanapun juga aku tidak akan pernah menerima ini. Jika dia ingin mengakhiri hubungan ini, kenapa tidak dari dulu saat kami masih berpacaran? Mengapa dia harus meninggalkan aku setelah aku telah memberikan semua untuknya?
"Aku memang mencintaimu, tapi itu dulu sebelum aku mengetahui wajah aslimu. Kau yang sudah menipuku dengan wajah palsumu itu. Jadi, jangan pernah menyalahkan aku. Ini semua adalah kesalahmu!"
"Aku tidak bermaksud menipumu, Mas. Kita sudah hampir satu tahun berpacaran, aku kira kamu mencintaiku apa adanya. Aku tidak tahu bahwa kecantikan begitu penting untukmu. Aku tidak keberatan jika harus berdandan setiap hari untukmu. Dengan begitu, aku akan selalu terlihat cantik di hadapanmu. Kumohon jangan ceraikan aku." Aku bersimpuh memohon di hadapannya. Aku tidak ingin pernikahanku hancur hanya dalam waktu satu hari.
Aku merutuki diri sendiri. "Apa benar yang dikatakan Mas Bayu bahwa ini semua adalah kesalahanku?"
Hampir satu tahun aku dan Mas Bayu berpacaran. Aku tidak menyadari bahwa selama itu Mas Bayu tidak pernah melihatku tanpa riasan. Pekerjaanku sebagai seorang kasir di sebuah swalayan mengharuskan aku selalu tampil cantik. Aku pikir Mas Bayu tidak akan mempermasalahkan ini, tapi rupanya masalah timbul sehari setelah janji suci diucapkan.
Pagi tadi aku sangat lelah. Semalam Mas Bayu memintaku melayaninya. Setelah hampir satu tahun dia menahan diri untuk tidak menyentuhku, dia tidak ingin menundanya lagi. Aku terpaksa mengikuti kemauannya, meskipun sebenarnya aku sudah sangat lelah setelah seharian acara resepsi pernikahan kami. Aku tidak ingin mengecewakannya di malam pertama. Lagi pula, bukankah sudah kewajibanku sebagai istri untuk segera melayani suami jika suami meminta?
Begitu aku dan Mas Bayu berada di kamar, kami melakukan perbuatan itu. Perbuatan yang sebelumnya haram, tetapi menjadi halal setelah akad terucap. Mas Bayu begitu terburu-buru hingga aku belum sempat menghapus riasanku.
Sepertinya bukan aku saja yang lelah. Kulihat Mas Bayu segera terlelap. Pasti dia juga sangat lelah. Namun, aku tahu dia juga sangat bahagia. Aku tidak akan pernah melupakan malam itu.
Di saat suamiku terlelap, aku baru sempat menghapus riasanku. Aku terbiasa tidur tanpa riasan karena di saat terlelap, aku ingin pori-pori di wajahku bisa bernapas dengan lega sehingga kesehatan wajahku tetap terjaga.
Aku juga menyempatkan untuk mandi, meskipun malam sudah larut. Aku ingin badanku bersih dan segar saat tidur, apalagi malam ini aku tidur bersama suami.
Aku merebahkan tubuhku di samping Mas Bayu yang sedang terlelap. Kami saling berhadap-hadapan. Aku terus memandangi wajahnya sambil tersenyum sampai akhirnya aku ikut tertidur.
Pagi harinya aku terbangun oleh suara teriakan Mas Bayu.
"Siapa kamu?" tanyanya sembari berjingkat menjauhi tempat tidur.
"Aku Naina, Mas. Aku istrimu," jawabku sembari mengangkat tubuhku dan berjalan mendekatinya.
Aku pikir Mas Bayu bertingkah seperti itu karena dia terbiasa tidur sendirian. Mungkin dia terkejut karena tiba-tiba ada seorang wanita yang tidur di sampingnya.
"Bukan, kamu bukan Naina. Naina istriku itu cantik. Pasti kamu pencuri, aku akan menangkapmu!" teriaknya sambil mengikat kedua tanganku.
"Perhatikan aku baik-baik, Mas. Aku Naina," ucapku sambil menatap mata Mas Bayu.
Mas Bayu yang mulai tersadar segera melepaskan tanganku. Dia terduduk di atas ranjang sambil terus memandangku.
Saat itu, hariku bagai tersambar petir. Aku tidak menyangka Mas Bayu berniat menceraikanku setelah dia melihat wajahku yang tanpa riasan. Apakah aku sejelek itu?
"Keputusanku sudah bulat, aku akan pergi hari ini juga. Jangan pernah mencariku lagi!" ujarnya sambil berlari keluar dari kamar pengantin kami.
"Tunggu, Mas!" Aku mengikutinya dari belakang.
"Ada apa, Naina? Kenapa ribut pagi-pagi?" Ibu yang sedang menghangatkan sayur di dapur bergegas menghampiri kami.
Kakiku terasa lemas. Aku tidak tahu bagaimana aku harus menjelaskan kepada ibu. Aku tidak ingin membuat wanita yang telah melahirkanku itu menjadi sedih.
"Ada apa ini, Nak Bayu?" Melihatku diam saja, ibu akhirnya bertanya pada Mas Bayu.
Mas Bayu menghentikan langkahnya, memandang wajah ibu yang penuh tanya, kemudian berkata, "Tanyakan pada Naina, Bu. Selama ini, dia sudah menipuku. Hari ini juga, aku kembalikan Naina kepada ibu. Aku tidak ingin memiliki istri seorang penipu."
Mas Bayu terus berjalan sambil membawa koper berisi pakaiannya. Rupanya sudah ada taksi yang menjemputnya di luar rumah.
Aku dan ibu masih mengejarnya sampai taksi itu melaju kencang, membawa Mas Bayu entah ke mana. Tidak mungkin lagi kami mengejarnya.
"Jelaskan padaku, Naina! Apa arti semua ini?"
Aku tidak bisa menjawab pertanyaan ibu. Aku terus menangis sampai bersimpuh di jalanan yang masih terasa dingin.
Janur kuning dan tenda pernikahan masih terpasang kokoh di halaman rumah. Namun, bahtera rumah tangga yang baru saja terbangun sudah runtuh berkeping-keping, bahkan tanpa aba-aba.
Ibu menuntunku, membawaku masuk ke dalam rumah.
"Ceritakan pada Ibu, Nak. Ibu tidak akan memarahimu."
"Ibu, apakah aku ini jelek? Apakah orang jelek tidak pantas menikah?"
"Kata siapa? Kamu cantik, Nak. Kalau tidak cantik, tidak akan ada laki-laki yang mau menikahimu."
Tangisku semakin keras mendengar jawaban ibu. Mas Bayu memang menikahiku, tapi juga menceraikanku begitu dia melihatku tanpa riasan.
"Tapi Mas Bayu menceraikanku karena aku jelek, Bu. Mas Bayu bilang aku menipunya dengan riasan wajah. Aku tidak bermaksud menipunya, Bu. Aku bukan penipu."
Ibu sangat marah mendengar ceritaku. Segera ia berlari mengambil ponsel untuk menelepon Mas Bayu. Begitu telepon diangkat, ibu langsung saja mengomel tanpa memberi kesempatan Mas Bayu untuk bicara.
"Kau pikir kau siapa? Memperlakukan anak gadisku seenakmu sendiri. Kau pikir kau tampan, hah?"
Acara pernikahanku dan Hyuga akan segera dilaksanakan. Pasti saat ini orang-orang sedsng sibuk mendekorasi gedung pernikahan, sementara aku masih berada di rumah bersama beberapa perias. Seorang perias sedang serius merias wajahku, dan beberapa perias lainnya mempersiapkan pakaian untukku. Setelah selesai berhias, aku berdiri di depan kaca rias. Memandang wajah cantik yang terpantul di kaca rias. Aku yakin, wajah ini pasti membuat semua orang pangling. Aku sendiri tidak mengenali wajah ini saat pertama melihatnya di kaca. Sebuah mobil putih berhias pita dan bunga mengantarku ke gedung pernikahan. Aku berangkat bersama ibu, sementara Hyugo sudah menunggu di gedung. Rencananya, akad nikah akan dilaksanakan di gedung pernikahan yang berada di aula masjid besar kota kami. Betapa terkejutnya aku ketika melihat Sinta juga berdandan cantik dengan mengenakan baju pengantin. Dia turun dari mobil yang berhenti tepat di depan gedung pernikahan. "Ibu duluan saja. Aku akan menyusul nanti," uca
Aku mengendap-endap mendekati mobil Sinta. Kubuka pintu mobil yang ternyata tidak terkunci. Dengan cepat aku masuk ke dalam mobil dan bersembunyi di jok kursi belakang. Malam ini, aku harus sampai rumah, karena esok hari adalah acara pernikahanku. Aku tidak ingin pernikahanku dengan Hyuga gagal karena calon pengantin wanita yang menghilang.Aku mengambil ponsel dari tas. Kunyalakan ponsel untuk menghubungi Hyuga. Sialnya, ponselku mati dan aku tidak membawa charger.Kulihat Sinta ke luar dari bangunan. Gegas aku berjongkok di bawah kursi dan merundukkan kepala agar tidak ketahuan oleh Sinta. Jika tertangkap olehnya, aku takut dia tidak akan melepaskanku kali ini."Pernah itu sudah berhasil menyekap Naina, Ma. Rencana kita berhasil. Aku tidak perlu meneror wanita itu lagi. Sekarang kita siapkan rencana selanjutnya." Sinta berbicara ditelepon dengan seseorang.Untung saja, Sinta tidak mengetahui jika aku sudah meninggalkan bangunan kosong itu. Mungkin lelak
"Makanlah, Nona. Aku akan menyuapimu." Lelaki gempal itu kembali masuk ke ruangan dengan sebungkus makanan. Dia membuka bungkusan berisi nasi dengan lauk seadanya dan menyuapkannya kepadaku."Tidak! Lepaskan tanganku. Aku akan makan sendiri," elakku sembari memalingkan muka darinya. Mengacuhkan suapan nasi di depanku."Ayolah cepat makan. Aku tidak ingin kamu mati kelaparan di sini," bujuknya."Siapa yang menyuruhmu melakukan semua ini? Siapa yang memerintahkanmu untuk menculikku?" tanyaku penasaran. Aku menatap tajam pria itu. Menunggu jawaban keluar dari mulutnya."Apa aku perlu menjawab pertanyaanmu? Cepatlah makan agar tugasku cepat selesai," paksanya."Kenapa memberiku makan? Kenapa kamu tidak membiarkan aku mati saja di sini?" protesku."Kalau aku mau, aku bisa saja membunuhmu sejak tadi." Lelaki gempal itu mendekatkan wajah dan melotot menakutiku."Bunuh saja. Aku tidak takut." Aku mendongakkan kepala menantangnya.
"Hallo!" Meski agak kesal, kuberanikan diri menjawab telepon dari nomer yang belakangan ini menerorku. Aku sangat penasaran siapa dia sebenarnya. Namun, lagi-lagi telepon dimatikan."Coba aku lihat nomernya, Na. Mungkin saja aku mengetahui itu nomer siapa," cetus Thalia.Aku memberikan ponselku pada Thalia. Dia bergegas mencari nomer peneror itu di ponselnya. Kosong. Thalia tidak menemukan nomer yang dimaksud di kontak ponselnya."Enggak mungkin juga dia memakai nomer asli, Thalia. Mungkin dia sengaja menyembunyikan identitasnya biar aku tidak mengetahuinya." Aku mengambil ponselku dari Thalia dan memasukkannya ke dalam tas.Saat hari mulai sore, aku berpamitan pada Thalia untuk pulang. Mobil warna hitam berhenti tepat di depan rumah Thalia dan aku segera berlari masuk ke dalam mobil itu.Mobil hitam itu melaju kencang membelah jalanan kota. Aku sengaja memesan mobil itu lewat applikasi online. Namun, entah mengapa aku merasakan gelagat aneh dari d
Aku dalam perjalanan untuk menemui Thalia. Setelah sekian lama, akhirnya dia memberitahuku tempat tinggalnya yang baru. Semalam aku sudah berjanji untuk mengunjunginya sepulang bekerja."Pergi! Jangan pernah datang lagi. Selama ini hubungan kita hanya pura-pura. Jadi jangan pernah kamu bermimpi untuk mendapatkan hatiku!" Aku mendengar suara Thalia berteriak saat aku baru saja turun dari mobil. Hyuga meminjamiku mobil sekaligus sopir pribadinya saat aku berpamitan hendak menemui Thalia. Dia sendiri tidak bisa menemaniku karena masih ada yang harus dikerjakannya di kantor.Aku berjalan cepat memasuki sebuah teras rumah. Kudapati si jabrik ke luar dari rumah disusul dengan suara pintu yang ditutup dengan keras.Aku mengerutkan kening memandang si jabrik. Dia tidak menghiraukan kehadiranku dan langsung berjalan menjauh."Thalia! Apa kamu di dalam?" Segera kuketuk pintu setelah kupastikan si jabrik telah pergi dengan mengendarai motor sport warna merah.
Hari ini aku ada janji untuk pergi bersama Hyuga. Kami akan memilih gaun pengantin. Kami tidak sendiri karena ibuku dan ibu Mas Hyuga juga ikut."Apa kebaya ini tidak terlalu mahal?" tanya ibu setelah seorang penjaga butik menyebutkan harga dari kebaya pengantin yang dipilih oleh Bu Hanin."Apa kita pindah ke butik lain saja? Atau kita bisa membeli kainnya saja biar aku menjahitnya sendiri," kata ibu lagi, ragu-ragu.Bu Hanin tersenyum, membentangkan kebaya brukat lengan panjang yang dia pilih di depanku, lalu berkata, "Kebaya ini sangat cocok dipakai Naina. Soal harga tidak jadi masalah bagi keluarga Al-Barra. Pesta pernikahan Hyuga nanti akan mengundang orang-orang penting. Aku ingin mempelai wanita terlihat paling cantik di sana."Bu Hanin mempersilakan agar aku mencoba kebaya yang dia pilih. Aku mengangguk sambil menerima kebaya itu dan membawanya ke ruang ganti.Kebaya warna merah dengan bawahan yang terjuntai hingga lantai. Seorang wani
Hari ini aku pulang bekerja dengan perasaan yang tidak tenang. Meski aku tidak takut dengan pesan teror dan ancaman itu, tetap saja hatiku was-was karena ada orang yang tidak menyukai hubunganku dengan Hyuga.Di teras rumah, kulihat Mas Bayu duduk bersama Bu Sara dan juga ibu. Aku segera berlari kecil menghampiri mereka untuk mengetahui maksud kedatangan mereka."Kau sudah pulang, Duduklah!" titah ibu sambil menepuk kursi kosong di sebelahnya."Ada apa ini?" tanyaku tanpa basa-basi setelah aku duduk. Aku melirik ke arah Mas Bayu dan Bu Sara."Kedatangan kami ke sini karena ada hal yang ingin kami bicarakan kepadamu," ujar Bu Sara sambil menyentuh tangan yang kuletakkan do atas meja."Naina, sekali lagi aku mohon kepadamu. Kembalilah kepadaku. Aku minta maaf dengan apa yang terjadi pada kita dahulu. Sekarang aku sadar, kecantikan bukanlah segalanya. Aku mencintaimu apa adanya, Naina," kata Mas Bayu panjang lebar."Sudah terlambat,
"Ayo cepat buka saja amplop itu, Na. Siapa tahu surat cinta dari Pak Bos," ucap Hanifah sambil terkikik.Aku kembali menutup mulut Hanifah dengan telapak tanganku dan menyuruhnya diam. Hanifah menangkis telapak tanganku. Dia tersenyum jail lalu kembali ke kursinya.Aku kembali menatap amplop coklat itu, pelan-pelan kusobek ujungnya. Terlihat beberapa kertas di dalamnya. Sepertinya memang sebuah surat.Aku keluarkan isi amplop itu. Sebuah surat dan beberapa foto membuat netraku terbuka lebar. Kuletakkan beberapa foto itu di atas meja dan aku mulai membaca sebuah surat."Batalkan pertunanganmu dengan Hyuga, atau aku akan mengirimkan foto-foto ini kepadanya!" Sebuah kertas berisi kalimat singkat membuat mataku tidak berkedip saat membacanya."Apa ini? Dia mengancamku? Siapa yang mengirimkan surat ancaman ini kepadaku?" Aku bertanya dalam hati. Kemudian kulihat satu per satu foto yang berserakan di atas meja.Mataku kembali terbelalak meli
"Pipimu merah sekali," ujar Hanifah sambil terkekeh. Matanya menyipit memandangku. Dia tidak berhenti tersenyum jail."Apa lihat-lihat," jawabku sambil memanyunkan bibir. Berpura-pura merajuk."Ups, maaf boss!" serunya sambil memasang sikap hormat."Ciye, yang sebentar lagi menjadi istri bos," lanjutnya sambil mengedipkan mata.Aku mengedarkan pandangan kemudian memberikan kode pada Hanifah agar diam. Berharap semoga tidak ada yang mendengarkan ucapan Hanifah barusan.Para rekan kerjaku di kantor belum mengetahui tentang pertunanganku dengan Hyuga. Bahkan mereka juga belum mengetahui bahwa boss baru mereka adalah Hyuga.Aku dan Mas Hyuga sengaja merahasiakan ini. Hanya keluarga dan teman dekat yang menghadiri acara pertunangan kemarin. Biarlah mereka semua nanti akan mengetahui saat acara pernikahan kami."Apa? Siapa yang akan menjadi istri bos? Jangan mimpi!" seru Laelia sambil berjalan dan melirikku sinis.Aku berusaha menaha
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments