Keesokan harinya, pagi-pagi sekali aku sudah berpakaian rapi dan siap untuk meninggalkan rumah. Hari ini aku berencana untuk menggagalkan pernikahan Mas Bayu. Aku tidak ingin melihat Mas Bayu bahagia setelah apa yang sudah dia lakukan terhadapku. Calon istri Mas Bayu pasti akan berterimakasih padaku. Aku yakin, wanita mana pun akan menyesal telah menikah dengan laki-laki seperti Mas Bayu.
Aku menghentikan motor di depan rumah orang tua Mas Bayu. Aku yakin, mereka akan melangsungkan akad nikah di rumah sebelum berangkat ke gedung pernikahan. Namun, mengapa rumah pengantin ini begitu sepi?
“Untuk apa kamu ke sini, Naina? Kemarin kamu bilang tidak akan datang,” Bu Lisa menepuk punggungku. Heran juga aku dibuatnya, kenapa orang ini bisa tiba-tiba muncul.
“Aku berubah pikiran, Bu. Aku ingin memberikan selamat pada Mas Bayu. Ngomong-ngomong, acaranya jam berapa? Mengapa masih sepi?” tanyaku pada Bu Lisa.
“Kamu terlambat, Naina. Mereka semua baru saja berangkat ke rumah mempelai wanita,” jawab Bu Lisa.
“Apa? Jadi akad nikah dilakukan di rumah mempelai wanita? Di mana rumahnya, Bu?” tanyaku lagi.
“Aku juga tidak tahu, sebaiknya kamu menyusul ke gedung saja.”
Aku mendengkus sebal karena niatku menggagalkan pernikahan Mas Bayu, malah aku yang gagal.
Kulajukan motorku setelah berpamitan dengan Bu Lisa.
Gedung resepsi sudah dipenuhi oleh para tamu undangan. Netraku tertuju pada sosok lelaki yang mengenakan jas berwarna abu tua. Lelaki itu sebelumnya terlihat begitu tampan di mataku, entah mengapa sekarang menjadi biasa-biasa saja.
Di samping Mas Bayu duduk seorang wanita cantik yang sudah tidak asing di mataku. Bukankah itu Sinta, anak Bu Erni?
Mengapa tiba-tiba Mas Bayu menikahi Sinta? Apakah mereka memang sudah memiliki hubungan sebelum ini?
Aku maju beberapa langkah dan berhenti tepat di hadapan sepasang pengantin yang sedang tersenyum bahagia. Perutku tiba-tiba mual melihatnya. Beraninya mereka meraih kebahagiaan di atas penderitaan seorang wanita.
Lihat saja apa yang akan aku lakukan. Aku mengambil napas panjang, lalu berteriak, "Apa-apaan ini, Mas! Aku mencari-carimu ke mana-mana, ternyata kamu menikah lagi? Kenapa kamu setega ini kepadaku? Lima hari yang lalu kamu baru saja menikahiku, dan sekarang kamu menikahi wanita lain?"
Semua orang yang ada di gedung itu terkejut kecuali sang mempelai wanita. Tentunya dia sudah tahu bahwa lelaki yang menikahinya adalah seorang duda yang baru saja mencampakkan istrinya. Apa dia tidak takut dicampakkan begitu saja seperti Mas Bayu mencampakkan aku?
"Apa yang kau bicarakan? Aku sudah menceraikanmu." Mas Bayu akhirnya bersuara juga. Aku yakin sekarang dia pasti merasa malu.
"Apa buktinya, Mas? Lihatlah, buku nikah kita masih utuh." Aku memperlihatkan dua buah buku berwarna merah dan hijau. Mas Bayu meninggalkannya di rumahku sebelum dia pergi. Tanpa buku ini, sulit baginya untuk menggugatku di pengadilan.
Mataku mengedar, melihat para tamu undangan. Mereka yang semula mengobrol sembari menikmati makanannya seketika hening. Sepertinya mereka menikmati pertunjukan yang sedang kuciptakan.
"Kau sedang apa, Naina?" Seorang wanita muda tiba-tiba menarik lenganku.
"Apa yang kau lakukan? Apa kamu tidak malu sama tamu undangan?" tanya wanita yang ternyata sahabat baikku itu. Dia membawaku ke salah satu sudut ruangan.
"Ngapain malu, Tha. Aku tidak mengenal mereka," jawabku pada wanita bernama Thalia. Dia adalah sahabatku sejak kami di bangku sekolah.
"Kata siapa? Lihatlah ke sana!" seru Thalia sambil menunjuk ke arah seorang lelaki tampan yang sedang duduk agak jauh dari tempat kami.
"Se-sejak kapan dia di sini?" tanyaku gugup.
"Itu tidak penting. Sekarang jelaskan padaku. Aku kira mempelai wanitanya kamu. Kenapa tiba-tiba berubah?" tanya Thalia sembari mengerutkan keningnya.
Aku menghembuskan napas panjang. Dengan berat hati, aku berkata, "Aku dan Mas Bayu sudah bercerai, Tha."
"Apa? Apa aku tidak salah dengar? Secepat itu?" tanya Thalia dengan rasa ingin tahu. Dia memicingkan mata seakan heran dengan pernikahanku yang hanya seumur kecambah.
"Panjang ceritanya, Tha. Ayo ikut aku!" Aku menarik lengan Thalia untuk meninggalkan gedung ini. Tidak ada gunanya lagi berlama-lama di sini.
Sebelum meninggalkan gedung ini, aku mendekati mempelai wanita. Sambil menyalaminya, aku berbisik, "Selamat ya atas pernikahan kalian. Kau sangat cantik dengan riasan itu. Jangan sampai kamu menghapus riasan di wajahmu itu."
Kulirik Mas Bayu yang sedang membeku. Aku pun menyalaminya sambil berkata, "Semoga kamu tidak menyesali pernikahanmu kali ini ya, Mas."
Sinta memandangku dengan kesal.
Setelah puas memberikan selamat pada kedua mempelai, aku dan Thalia bergegas meninggalkan gedung. Thalia mengajakku untuk mengobrol di sebuah cafe.
Thalia marah karena aku tidak segera memberitahunya saat aku berpisah dangan Mas Bayu. Aku akhirnya menceritakan semuanya.
"Tapi apa yang kamu lakukan tadi? Apa kamu sudah gila, Na? Menurutmu, berteriak-teriak di acara pernikahan mantan bisa menyelesaikan masalah? Bisa membuat Bayu tidak jadi menikahi Sinta dan kembali padamu?"
"Siapa yang ingin dia kembali padaku? Aku juga tidak sudi kembali pada Mas Bayu," jawabku bersungut-sungut.
"Bagus! Aku sudah bilang sebelumnya kalau dia bukan laki-laki yang baik, tapi kamu tidak pernah mendengarkan aku. Sekarang tidak usah dipikirkan lagi laki-laki macam itu."
Aku mendengkus sebal karena semua rencanaku gagal. Aku tidak berhasil menggagalkan pernikahan Mas Bayu. Bahkan, rencanaku mempermalukan dia di acara resepsi pernikahan pun sepertinya juga gagal.
Tunggu Mas Bayu, aku akan menyusun rencana lain.
Acara pernikahanku dan Hyuga akan segera dilaksanakan. Pasti saat ini orang-orang sedsng sibuk mendekorasi gedung pernikahan, sementara aku masih berada di rumah bersama beberapa perias. Seorang perias sedang serius merias wajahku, dan beberapa perias lainnya mempersiapkan pakaian untukku. Setelah selesai berhias, aku berdiri di depan kaca rias. Memandang wajah cantik yang terpantul di kaca rias. Aku yakin, wajah ini pasti membuat semua orang pangling. Aku sendiri tidak mengenali wajah ini saat pertama melihatnya di kaca. Sebuah mobil putih berhias pita dan bunga mengantarku ke gedung pernikahan. Aku berangkat bersama ibu, sementara Hyugo sudah menunggu di gedung. Rencananya, akad nikah akan dilaksanakan di gedung pernikahan yang berada di aula masjid besar kota kami. Betapa terkejutnya aku ketika melihat Sinta juga berdandan cantik dengan mengenakan baju pengantin. Dia turun dari mobil yang berhenti tepat di depan gedung pernikahan. "Ibu duluan saja. Aku akan menyusul nanti," uca
Aku mengendap-endap mendekati mobil Sinta. Kubuka pintu mobil yang ternyata tidak terkunci. Dengan cepat aku masuk ke dalam mobil dan bersembunyi di jok kursi belakang. Malam ini, aku harus sampai rumah, karena esok hari adalah acara pernikahanku. Aku tidak ingin pernikahanku dengan Hyuga gagal karena calon pengantin wanita yang menghilang.Aku mengambil ponsel dari tas. Kunyalakan ponsel untuk menghubungi Hyuga. Sialnya, ponselku mati dan aku tidak membawa charger.Kulihat Sinta ke luar dari bangunan. Gegas aku berjongkok di bawah kursi dan merundukkan kepala agar tidak ketahuan oleh Sinta. Jika tertangkap olehnya, aku takut dia tidak akan melepaskanku kali ini."Pernah itu sudah berhasil menyekap Naina, Ma. Rencana kita berhasil. Aku tidak perlu meneror wanita itu lagi. Sekarang kita siapkan rencana selanjutnya." Sinta berbicara ditelepon dengan seseorang.Untung saja, Sinta tidak mengetahui jika aku sudah meninggalkan bangunan kosong itu. Mungkin lelak
"Makanlah, Nona. Aku akan menyuapimu." Lelaki gempal itu kembali masuk ke ruangan dengan sebungkus makanan. Dia membuka bungkusan berisi nasi dengan lauk seadanya dan menyuapkannya kepadaku."Tidak! Lepaskan tanganku. Aku akan makan sendiri," elakku sembari memalingkan muka darinya. Mengacuhkan suapan nasi di depanku."Ayolah cepat makan. Aku tidak ingin kamu mati kelaparan di sini," bujuknya."Siapa yang menyuruhmu melakukan semua ini? Siapa yang memerintahkanmu untuk menculikku?" tanyaku penasaran. Aku menatap tajam pria itu. Menunggu jawaban keluar dari mulutnya."Apa aku perlu menjawab pertanyaanmu? Cepatlah makan agar tugasku cepat selesai," paksanya."Kenapa memberiku makan? Kenapa kamu tidak membiarkan aku mati saja di sini?" protesku."Kalau aku mau, aku bisa saja membunuhmu sejak tadi." Lelaki gempal itu mendekatkan wajah dan melotot menakutiku."Bunuh saja. Aku tidak takut." Aku mendongakkan kepala menantangnya.
"Hallo!" Meski agak kesal, kuberanikan diri menjawab telepon dari nomer yang belakangan ini menerorku. Aku sangat penasaran siapa dia sebenarnya. Namun, lagi-lagi telepon dimatikan."Coba aku lihat nomernya, Na. Mungkin saja aku mengetahui itu nomer siapa," cetus Thalia.Aku memberikan ponselku pada Thalia. Dia bergegas mencari nomer peneror itu di ponselnya. Kosong. Thalia tidak menemukan nomer yang dimaksud di kontak ponselnya."Enggak mungkin juga dia memakai nomer asli, Thalia. Mungkin dia sengaja menyembunyikan identitasnya biar aku tidak mengetahuinya." Aku mengambil ponselku dari Thalia dan memasukkannya ke dalam tas.Saat hari mulai sore, aku berpamitan pada Thalia untuk pulang. Mobil warna hitam berhenti tepat di depan rumah Thalia dan aku segera berlari masuk ke dalam mobil itu.Mobil hitam itu melaju kencang membelah jalanan kota. Aku sengaja memesan mobil itu lewat applikasi online. Namun, entah mengapa aku merasakan gelagat aneh dari d
Aku dalam perjalanan untuk menemui Thalia. Setelah sekian lama, akhirnya dia memberitahuku tempat tinggalnya yang baru. Semalam aku sudah berjanji untuk mengunjunginya sepulang bekerja."Pergi! Jangan pernah datang lagi. Selama ini hubungan kita hanya pura-pura. Jadi jangan pernah kamu bermimpi untuk mendapatkan hatiku!" Aku mendengar suara Thalia berteriak saat aku baru saja turun dari mobil. Hyuga meminjamiku mobil sekaligus sopir pribadinya saat aku berpamitan hendak menemui Thalia. Dia sendiri tidak bisa menemaniku karena masih ada yang harus dikerjakannya di kantor.Aku berjalan cepat memasuki sebuah teras rumah. Kudapati si jabrik ke luar dari rumah disusul dengan suara pintu yang ditutup dengan keras.Aku mengerutkan kening memandang si jabrik. Dia tidak menghiraukan kehadiranku dan langsung berjalan menjauh."Thalia! Apa kamu di dalam?" Segera kuketuk pintu setelah kupastikan si jabrik telah pergi dengan mengendarai motor sport warna merah.
Hari ini aku ada janji untuk pergi bersama Hyuga. Kami akan memilih gaun pengantin. Kami tidak sendiri karena ibuku dan ibu Mas Hyuga juga ikut."Apa kebaya ini tidak terlalu mahal?" tanya ibu setelah seorang penjaga butik menyebutkan harga dari kebaya pengantin yang dipilih oleh Bu Hanin."Apa kita pindah ke butik lain saja? Atau kita bisa membeli kainnya saja biar aku menjahitnya sendiri," kata ibu lagi, ragu-ragu.Bu Hanin tersenyum, membentangkan kebaya brukat lengan panjang yang dia pilih di depanku, lalu berkata, "Kebaya ini sangat cocok dipakai Naina. Soal harga tidak jadi masalah bagi keluarga Al-Barra. Pesta pernikahan Hyuga nanti akan mengundang orang-orang penting. Aku ingin mempelai wanita terlihat paling cantik di sana."Bu Hanin mempersilakan agar aku mencoba kebaya yang dia pilih. Aku mengangguk sambil menerima kebaya itu dan membawanya ke ruang ganti.Kebaya warna merah dengan bawahan yang terjuntai hingga lantai. Seorang wani