"Apa? Mas Bayu akan menikah? Maksud Bu Lisa, Mas Bayu akan menikah dengan wanita lain?" tanyaku terkejut.
"Iya, Na. Apa kamu tidak akan hadir? Kalau aku jadi kamu, aku akan datang dan merusak acaranya," ucap Bu Lisa sambil menyeka keringat yang mengalir di dahinya.
"Kenapa begitu, Bu? Aku tidak akan melakukan itu," ujarku sembari bersiap melajukan motor.
"Hei! Tunggu! Kamu harus tahu apa yang dilakukan keluarga Bayu. Mereka bilang Bayu meninggalkanmu karena kamu sudah tidak perawan. Berita itu sudah tersebar di kampung ini. Apa kamu tetap akan diam saja?" tanya Bu Lisa sambil memicingkan mata.
Hatiku terasa seperti diremas oleh tangan yang keras. Rasanya sakit sekali. Apakah benar keluarga Mas Bayu melakukan itu?
"Apa kamu tahu? Mereka bahkan akan mengadakan resepsi di gedung dan tidak mengundang warga desa ini. Sombong sekali mereka. Aku tahu, pasti pernikahan itu terpaksa dilakukan demi menyelamatkan nama baik mereka di hadapan rekan kerja mereka."
Tiba-tiba suara Bu Lisa menghilang. Aku tidak bisa mendengarnya lagi. Dunia terasa begitu sepi hingga aku hanya bisa mendengar suara hatiku sendiri.
Aku tahu pasti maksud Bu Lisa. Keluarga Mas Bayu memang sudah menyewa sebuah gedung untuk resepsi pernikahan kami setelah acara ngunduh mantu.
Aku kira resepsi di gedung itu akan dibatalkan. Jadi mereka tetap melangsungkan acara resepsi itu dengan mengganti mempelai wanita? Siapa wanita itu?
Ini sangat keterlakuan sekali. Semudah itu Mas Bayu meninggalkan aku dan semudah itu pula dia akan menikahi wanita lain? Bukannya meminta maaf, mereka malah memfitnahku dengan mengatakan bahwa aku sudah tidak suci lagi sebelum menikah dengan Mas Bayu?
Ini tidak bisa dibiarkan. Aku harus mencari tahu kebenaran semua ini. Jika apa yang dikatakan Bu Lisa benar, aku harus melakukan sesuatu.
Lihat saja apa yang besok akan kulakukan pada keluarga itu.
Berani-beraninya Mas Bayu berencana menikahi wanita lain setelah baru beberapa hari menceraikan aku. Bahkan sampai hari ini, lukaku belum kering. Apakah karena dia laki-laki, maka dia bisa berbuat sesuka hati tanpa memikirkan perasaanku? Hati yang sudah susah payah aku tata, kini kembali terasa sesak.
Aku lajukan motor menuju gedung tempat resepsi pernikahan Mas Bayu akan dilangsungkan. Beberapa karyawan wedding organizer sedang melakukan persiapan. Terngiang ucapan Bu Lisa di dalam benakku. Apakah benar yang dikatakan Bu Lisa tadi? Ini kesempatanku, aku akan mengorek informasi dari beberapa karyawan.
Saat aku mulai memasuki gedung, ponselku berdering. Seseorang di seberang berkata, ”Kamu di mana, Naina? Cepat ke sini, ibu sudah selesai”
Aku baru ingat telah meninggalkan ibu di pasar pagi tadi sebelum pergi ke pusara bapak. Sekarang, aku harus menjemput ibu. Namun, bagaimana dengan rencanaku di gedung ini?
Terpaksa aku berbalik badan, meninggalkan gedung dan kembali ke tempat parkir. Aku harus menjemput ibu dulu.
"Kenapa kamu melamun, Naina? Apa kamu masih memikirkan Bayu?" tanya ibu memecah keheningan saat kami sedang perjalanan pulang.
"Tidak, Bu," jawabku berbohong. Aku tidak ingin membuat ibu semakin khawatir. Untung saja ibu tidak bertanya kepadaku lebih lanjut.
“Naina, kamu yang sabar ya, Nak. Ini semua ujian untukmu. Allah tidak akan memberi ujian dan cobaan kepada seseorang melainkan sesuai dengan kadar kemampuannya,” bujuk ibu seperti mengetahui hatiku sedang tidak baik-baik saja.
Ibu benar, akau harus kuat menghadapi semua ini.
Sore hari, aku berencana kembali ke gedung pernikahan, tapi ibu mengajakku ke rumah Bu Erni untuk membantu persiapan pernikahan anaknya yang akan dilaksanakan esok hari.
"Maaf, Bu Rani tidak usah datang ke sini. Saya tidak ingin ketularan sial," ujar Bu Erni saat kami sudah sampai di rumahnya.
Ada apa ini? Seharusnya Bu Erni menyambut niat baik kami, bukannya malah memperlakukan kami seperti ini.
"Kamu boleh menghinaku, Bu! Hina saja aku, tapi jangan pernah hina ibuku. Apa salah ibuku? Bagaimana ceritanya ibuku bisa menularkan sial?" Aku yang mendengar ucapan Bu Erni tentu saja marah.
"Diam kamu, Naina. Sebagai anak perempuan seharusnya kamu lebih bisa menjaga diri biar tidak malu-maluin keluarga. Sekarang ibumu 'kan yang malu?"
"Saya tidak malu, Bu. Naina tidak pernah melakukan kesalahan yang membuatku malu.”
"Tidak pernah melakukan kesalahan bagaimana? Bukankah Naina ditinggalkan suaminya karena sudah tidak perawan?"
"Jaga ucapanmu, Bu. Putriku tidak seperti itu. Jika Bu Erni bicara sekali lagi seperti tadi, saya bisa menuntut Bu Erni atas pencemaran nama baik,"
"Tuntut saja, Bu. Aku tidak takut. Semua penduduk desa ini juga sudah tahu kok. Keluarga mantan besan Bu Rani sendiri yang cerita. Apa Bu Rani mau menuntut seluruh penduduk desa ini?"
"Sudah, Bu! Tidak usah dengarkan kata-kata Bu Erni. Ayo kita pulang saja." Aku menarik lengan ibu dan menuntunnya berjalan pulang. Kakiku terasa berat, tapi demi ibu, aku harus kuat.
Saat datang tadi, aku melihat tarup dari janur kuning dan pohon pisang yang berhias bunga warna-warni, begitu indah. Tiba-tiba saat ini semua menjadi berwarna gelap, begitu suram.
Jadi benar yang dikatakan Bu Lisa? Keluarga Mas Bayu telah memfitnahku dan kabar miring tentangku kini sudah tersebar di desa tempat aku tinggal. Rasanya aku ingin membelah bumi dan masuk ke dalamnya untuk bersembunyi.
Karena aku tidak bisa bersembunyi di perut bumi, maka aku putuskan untuk mengembalikan nama baikku. Aku tidak ingin melihat ibu dihina lagi.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali aku sudah berpakaian rapi dan siap untuk meninggalkan rumah. Hari ini aku berencana untuk menggagalkan pernikahan Mas Bayu. Aku tidak ingin melihat Mas Bayu bahagia setelah apa yang sudah dia lakukan terhadapku. Calon istri Mas Bayu pasti akan berterimakasih padaku. Aku yakin, wanita mana pun akan menyesal telah menikah dengan laki-laki seperti Mas Bayu.Aku menghentikan motor di depan rumah orang tua Mas Bayu. Aku yakin, mereka akan melangsungkan akad nikah di rumah sebelum berangkat ke gedung pernikahan. Namun, mengapa rumah pengantin ini begitu sepi?“Untuk apa kamu ke sini, Naina? Kemarin kamu bilang tidak akan datang,” Bu Lisa menepuk punggungku. Heran juga aku dibuatnya, kenapa orang ini bisa tiba-tiba muncul.“Aku berubah pikiran, Bu. Aku ingin member
"Kamu benar, seharusnya aku tidak berteriak-teriak seperti tadi. Itu malah mempermalukan diriku sendiri," ucapku sembari mengacak-acak rambutku."Bukankah tadi kamu bilang tidak malu?" Thalia bertanya dengan heran.Aku tidak ingin menjawab pertanyaan Thalia kali ini. Aku sendiri heran, mengapa tadi aku seberani itu? Apakah amarah bisa membuat seseorang melupakan rasa malu?Rasa malu itu merambat dan menjalar ke seluruh tubuhku begitu Thalia menunjukkan seseorang kepadaku.Aku bertopang dagu sambil menundukkan kepala. Ingatanku melayang pada sosok lelaki tampan yang duduk sebagai tamu undangan. Jika Thalia tidak memberi tahuku, aku tidak akan menyadari kehadirannya.Hyuga Al Barra, Lelaki yang mengenakan pakaian rapi dan terli
“Syarat pertama, sampaikan pada Mas Bayu untuk segera mengurus surat perceraian di pengadilan,” ucapku sambil mengambil buku nikah di dalam tas kemudian menyerahkannya kepada mantan mertua.“Apa? Syarat pertama? Memangnya ada berapa syarat lagi?” tanya Bu Sara dengan mata terbelalak.“Kenapa, Bu? Bukankah ini syarat yang sangat mudah? Dan memang sudah seharusnya Mas Bayu mengurusnya.”“Baiklah, nanti akan saya sampaikan kepada Bayu untuk segera mengurusnya. Lalu apa syarat kedua?” tanya Bu Sara tidak sabar.“Sabar, Ibu! Kenapa harus buru-buru? Syarat kedua menyusul. Aku akan mengatakannya setelah syarat pertama terpenuhi,” lanjutku.Akhirnya aku bisa merebahkan diri
"Maksudmu, kamu meminta kembali mahar yang sudah kamu berikan padaku?" tanyaku pada Mas Bayu. "Tentu saja kau harus mengembalikan mahar itu," jawabnya tanpa ragu. Mas Bayu berhenti bicara sejenak untuk mengambil napas. Tidak ada rasa bersalah sedikitpun di antara perkataanya. Semua diucapkan dengan yakin. Seharusnya dia malu mengatakan semua itu. Meminta kembali mahar yang sudah dia berikan, setelah apa yang sudah dia lakukan kepadaku. Seperti mencabik harga dirinya sendiri. "Anggap saja pernikahan kita tidak pernah ada," lanjutnya. Jantungku terasa diremas mendengar ucapan Mas Bayu. Bagaimana dia bisa mengatakan itu? Apakah aku begitu buruk sehingga dia tidak ingin mengakui pernah menikah denganku?
"Aku menjauhimu karena kamu bertunangan dengan Bayu." Thalia menghentikan perkataannya sejenak untuk mengambil napas."Aku kecewa, Na. Aku sudah berkali-kali bilang bahwa Bayu tidak baik untukmu, tapi kamu tidak pernah mendengarkan aku. Bahkan, tiba-tiba saja kamu bertunangan dengan Bayu tanpa memberitahuku. Jadi waktu itu, aku pikir untuk apa lagi kita berteman?" lanjutnya kemudian."Maafkan aku, Tha," pintaku pada Thalia. Aku merasa bersalah karena sudah keliru menilai dirinya. Aku juga merasa bersalah karena tidak pernah mendengarkannya waktu itu."Aku yang bersalah, Na. Aku baru tahu kalau kamu bertunangan dengan Bayu atas keinginan bapakmu. Seharusnya aku tetap berteman denganmu apa pun yang terjadi. Ke depannya, tidak peduli kamu akan menikah dengan siapa, aku akan tetap berteman denganmu," ujar Thalia sembari
"Thalia? Kamu mengagetkanku saja." Aku melihat Thalia sudah tersenyum di belakangku. Kami berjalan beriringan menuju gedung kantor."Selamat ya, Nania! Akhirnya kamu diterima juga. Ngomong-ngomong, aku tidak lupa dengan janjimu mentraktirku," ujar Thalia sambil mengulurkan tangannya dan tersenyum menggodaku."Aku mau bakso, sate ayam, gado-gado, mie pangsit …. " Thalia melanjutkan perkataannya sebelum aku menjawabnya."Sebutkan saja semua, sudah kuduga kamu pasti paling bersemangat kalau soal makanan." Aku memotong perkataan Thalia sebelum dia berhasil menyebutkan semua nama makanan yang ada di kota ini."Ya, kalau gak boleh semua, kamu boleh pilih salah satu. Lagi pula mana mungkin perutku cukup untuk memakan semua itu," ujarnya sambil cengar-cengir memperl
Melihat Sinta duduk di teras rumah, aku bergegas berputar, berjalan ke arah lain. Bermaksud untuk masuk ke dalam rumah lewat pintu belakang. Semoga saja Sinta tidak melihatku. Rasanya tulang-tulangku sudah remuk dan otakku hampir mengeluarkan asap panas akibat bekerja seharian. Aku ingin segera beristirahat. Rasanya sudah tidak sanggup menemui Sinta dalam kondisi lelah seperti ini. Bekerja sebagai customer service ternyata tidak mudah. Seharian harus bersikap ramah dan mengembangkan senyum kepada para pelanggan meskipun suasana hati sedang tidak mendukung untuk itu. Ditambah lagi beberapa pelanggan yang marah-marah tidak jelas membuatku semakin kesal. Aku jadi teringat dengan salah satu pelanggan perempuan yang sedang memiliki masalah percintaan. Dia menelepon sambil menangis, lalu berkata, "Saya mau mengembalika
Rupanya ini tujuan Sinta yang sebenarnya? Memintaku berhenti bekerja karena dia tidak mau suaminya satu kantor dengan mantan. "Memangnya siapa kamu menyuruhku berhenti bekerja? Kamu bukan pemilik perusahaan kan?" sergahku tidak ingin menuruti permintaannya. "Aku tidak main-main, Naina! Aku belum menarik ucapanku, kamu harus mengundurkan diri dari pekerjaanmu," ucap Sinta dengan suara sopran yang melengking membuat sakit di telinga. "Aku juga tidak main-main, kamu pikir aku takut kepadamu? Kamu bukan siapa-siapa. Dimataku kamu tidaklah lebih dari seorang wanita yang menikahi bekas suami orang," sergahku diselimuti amarah. "Jaga mulutmu, Naina! Aku tidak akan tinggal diam kalau sampai aku melihatmu menggoda Mas Bayu," tukas Sinta kepadaku.