"Lihat saja, anakku akan menikah lagi dengan pria paling kaya dan tampan sedunia dan saat itu kau hanya bisa menangis menyesali semuanya. Hidupmu tidak akan pernah bahagia mulai detik ini!" Ibu langsung menutup telepon setelah puas meluapkan kemarahan pada mantan menantunya. Aku yang mendengarnya hanya melongo, tidak percaya ibu mengatakan itu semua.
Tidak lama kemudian, ponselku berbunyi. Rupanya Mas Bayu yang meneleponku.
"Apa maksud semua ini? Kau yang menipuku, kenapa ibumu yang marah-marah padaku? Kuperingatkan sekali lagi, jangan macam-macam terhadapku, atau aku akan menuntut kalian karena sudah menipuku!"
"Aku tidak takut ancamanmu, Mas. Silakan saja kau menuntutku, aku juga bisa menuntut balik atas pencemaran nama baik!"
Seharian aku mengurung diri. Di kamar, aku menangis sejadi-jadinya. Namun di depan ibu, aku berpura-pura tegar. Aku tidak boleh terlihat lemah karena itu hanya akan membuat ibu semakin sedih.
Aku tidak pernah menyangka pernikahanku dengan Mas Bayu hanya seumur kecambah. Bukankah ini lebih memalukan daripada pernikahan seumur jagung? Aku tidak berani memikirkan bagaimana pandangan orang-orang terhadapku setelah mengetahui ini.
"Aku memang tidak berguna. Tetangga-tetangga pasti sudah membicarakanku, 'kan, Bu? Ibu pasti malu. Lebih baik aku pergi saja dari sini," ucapku sepulang ibu berbelanja. Saat di teras rumah tadi, aku sempat mendengar beberapa warga yang lewat berbisik-bisik mempertanyakan kepergian suami yang baru saja menikahiku.
"Ibu tidak malu, Nak. Kamu tidak bersalah. Lebih baik kamu fokus menata masa depanmu, tidak usah mendengarkan kata orang." Ibu menghiburku dengan tulus.
"Apa aku masih punya masa depan, Bu? Mas Bayu sudah menghancurkan semuanya. Tidak ada yang tersisa. Bahkan aku sudah meninggalkan pekerjaanku demi menuruti kata-katanya." Goyah sudah pertahananku. Akhirnya menangis juga aku di hadapan ibu.
"Hai …. Anak ibu tidak boleh putus asa. Kamu harus semangat. Memangnya apa yang sudah dilakukan putriku sampai masa depannya hancur? Kau tidak melakukan dosa besar, 'kan? Kau berhak bahagia, Naina." Ibu memeluk dan menguatkan aku.
Ibu benar, aku tidak boleh terlalu lama tenggelam dalam keterpurukan. Tiga hari, waktu yang cukup untuk aku menata hati. Meski rasanya masih sakit, tapi aku harus bangkit. Aku harus melanjutkan hidup meski tanpa Mas Bayu.
Kenangan bersama Mas Bayu masih begitu melekat di hatiku. Mas Bayu adalah pria yang mengejar-ngejar aku sejak pertama kali dia melihatku di tempat aku bekerja. Dia bahkan menolak beberapa wanita demi mendapatkan aku.
Aku, wanita yang tidak mudah ditaklukkan. Bukan karena dia tidak tampan, tapi karena saat itu masih ada seseorang yang aku sukai.
Mas Bayu tidak mudah menyerah. Tahu tidak mendapatkan hatiku, dia mulai mendekati orang tuaku.
"Terimalah lamaran Bayu, Nak. Dia anak baik. Umur Bapakmu ini mungkin tidak lagi panjang," pinta bapak kepadaku.
"Nak Bayu akan menjagamu setelah kepergian bapak. Benar, 'kan, Nak Bayu?" tanya bapak penuh harap
Mas Bayu pun menjawab pertanyaan bapak dengan anggukan pasti.
"Berjanjilah kau akan menjaga Naina setelah kepergianku. Dia anakku satu-satunya. Kau akan mencintainya seperti aku mencintainya, 'kan?" pinta bapak kepada Mas Bayu.
"Bapak bicara apa? Bapak tidak boleh pergi. Bapak tidak boleh meninggalkan Naina," ujarku sembari berlari masuk ke dalam rumah, meninggalkan mereka berdua di teras rumah.
Demi bapak, aku akhirnya menerima lamaran Mas Bayu. Awalnya aku memang terpaksa, tetapi karena kegigihan Mas Bayu, hatiku luluh juga. Aku mulai mencintainya.
Enam bulan setelah kami bertunangan, kondisi bapak mulai kritis. Berkali-kali bapak mendesak Mas Bayu untuk mempercepat pernikahan kami. Namun, jangankan menikahiku, menjenguk bapak pun dia tidak pernah.
"Aku sedang dipromosikan untuk naik jabatan, Naina. Aku tidak bisa meninggalkan pekerjaanku. Setelah pekerjaanku selesai, secepatnya aku akan ke sana untuk menjenguk bapak." Janjinya kala itu. Namun, sampai bapak tutup usia, Mas Bayu tidak kunjung datang.
Mas Bayu akhirnya datang saat acara pemakaman bapak. Kami memutuskan untuk tidak merubah rencana awal. Pernikahan kami dilakukan sekitar lima bulan sepeninggal bapak.
Sekarang aku berada di pusara bapak. Seminggu sebelum menikah, aku dan Mas Bayu datang ke sini untuk meminta restu. Seharusnya hari ini kami datang sebagai suami istri. Namun, hari ini aku datang sendirian sebagai seorang janda. Bapak pasti sangat sedih.
"Bapak, maafkan Naina. Naina sudah gagal mempertahankan pernikahan Naina. Naina sudah melanggar janji Naina kepada bapak untuk hidup bahagia bersama Mas Bayu." Aku tidak bisa menahan tangis di atas pusara bapak.
Pulang dari berziarah, aku sengaja lewat rumah orang tua Mas Bayu yang letaknya tidak terlalu jauh dari rumahku. Rumahku dan Mas Bayu masih berada dalam satu kota. Entah angin apa yang membawaku ingin ke sana.
Aku tidak menyangka masih terpasang janur kuning di depan rumah orang tua Mas Bayu. Seharusnya besok aku ke rumah ini untuk melakukan prosesi ngunduh mantu. Semua rencana sudah berantakan, tapi mengapa janur kuning itu masih terpasang?
"Naina!" Seorang tetangga berlari menghampiriku sambil memanggil-manggil namaku. Memberiku kode untuk menghentikan laju motor yang aku kendarai.
Dia seorang ibu paruh baya, pemilik warung kelontong yang lumayan besar di kampung ini. Ibu Lisa namanya. Aku mengenalnya karena kebetulan Bu Lisa memiliki kerabat di dekat rumahku.
Bu Lisa berusaha mengatur napasnya yang ngos-ngosan, lalu berkata, "Apa kamu sudah mendengar, Na? Besok Bayu akan menikah."
Acara pernikahanku dan Hyuga akan segera dilaksanakan. Pasti saat ini orang-orang sedsng sibuk mendekorasi gedung pernikahan, sementara aku masih berada di rumah bersama beberapa perias. Seorang perias sedang serius merias wajahku, dan beberapa perias lainnya mempersiapkan pakaian untukku. Setelah selesai berhias, aku berdiri di depan kaca rias. Memandang wajah cantik yang terpantul di kaca rias. Aku yakin, wajah ini pasti membuat semua orang pangling. Aku sendiri tidak mengenali wajah ini saat pertama melihatnya di kaca. Sebuah mobil putih berhias pita dan bunga mengantarku ke gedung pernikahan. Aku berangkat bersama ibu, sementara Hyugo sudah menunggu di gedung. Rencananya, akad nikah akan dilaksanakan di gedung pernikahan yang berada di aula masjid besar kota kami. Betapa terkejutnya aku ketika melihat Sinta juga berdandan cantik dengan mengenakan baju pengantin. Dia turun dari mobil yang berhenti tepat di depan gedung pernikahan. "Ibu duluan saja. Aku akan menyusul nanti," uca
Aku mengendap-endap mendekati mobil Sinta. Kubuka pintu mobil yang ternyata tidak terkunci. Dengan cepat aku masuk ke dalam mobil dan bersembunyi di jok kursi belakang. Malam ini, aku harus sampai rumah, karena esok hari adalah acara pernikahanku. Aku tidak ingin pernikahanku dengan Hyuga gagal karena calon pengantin wanita yang menghilang.Aku mengambil ponsel dari tas. Kunyalakan ponsel untuk menghubungi Hyuga. Sialnya, ponselku mati dan aku tidak membawa charger.Kulihat Sinta ke luar dari bangunan. Gegas aku berjongkok di bawah kursi dan merundukkan kepala agar tidak ketahuan oleh Sinta. Jika tertangkap olehnya, aku takut dia tidak akan melepaskanku kali ini."Pernah itu sudah berhasil menyekap Naina, Ma. Rencana kita berhasil. Aku tidak perlu meneror wanita itu lagi. Sekarang kita siapkan rencana selanjutnya." Sinta berbicara ditelepon dengan seseorang.Untung saja, Sinta tidak mengetahui jika aku sudah meninggalkan bangunan kosong itu. Mungkin lelak
"Makanlah, Nona. Aku akan menyuapimu." Lelaki gempal itu kembali masuk ke ruangan dengan sebungkus makanan. Dia membuka bungkusan berisi nasi dengan lauk seadanya dan menyuapkannya kepadaku."Tidak! Lepaskan tanganku. Aku akan makan sendiri," elakku sembari memalingkan muka darinya. Mengacuhkan suapan nasi di depanku."Ayolah cepat makan. Aku tidak ingin kamu mati kelaparan di sini," bujuknya."Siapa yang menyuruhmu melakukan semua ini? Siapa yang memerintahkanmu untuk menculikku?" tanyaku penasaran. Aku menatap tajam pria itu. Menunggu jawaban keluar dari mulutnya."Apa aku perlu menjawab pertanyaanmu? Cepatlah makan agar tugasku cepat selesai," paksanya."Kenapa memberiku makan? Kenapa kamu tidak membiarkan aku mati saja di sini?" protesku."Kalau aku mau, aku bisa saja membunuhmu sejak tadi." Lelaki gempal itu mendekatkan wajah dan melotot menakutiku."Bunuh saja. Aku tidak takut." Aku mendongakkan kepala menantangnya.
"Hallo!" Meski agak kesal, kuberanikan diri menjawab telepon dari nomer yang belakangan ini menerorku. Aku sangat penasaran siapa dia sebenarnya. Namun, lagi-lagi telepon dimatikan."Coba aku lihat nomernya, Na. Mungkin saja aku mengetahui itu nomer siapa," cetus Thalia.Aku memberikan ponselku pada Thalia. Dia bergegas mencari nomer peneror itu di ponselnya. Kosong. Thalia tidak menemukan nomer yang dimaksud di kontak ponselnya."Enggak mungkin juga dia memakai nomer asli, Thalia. Mungkin dia sengaja menyembunyikan identitasnya biar aku tidak mengetahuinya." Aku mengambil ponselku dari Thalia dan memasukkannya ke dalam tas.Saat hari mulai sore, aku berpamitan pada Thalia untuk pulang. Mobil warna hitam berhenti tepat di depan rumah Thalia dan aku segera berlari masuk ke dalam mobil itu.Mobil hitam itu melaju kencang membelah jalanan kota. Aku sengaja memesan mobil itu lewat applikasi online. Namun, entah mengapa aku merasakan gelagat aneh dari d
Aku dalam perjalanan untuk menemui Thalia. Setelah sekian lama, akhirnya dia memberitahuku tempat tinggalnya yang baru. Semalam aku sudah berjanji untuk mengunjunginya sepulang bekerja."Pergi! Jangan pernah datang lagi. Selama ini hubungan kita hanya pura-pura. Jadi jangan pernah kamu bermimpi untuk mendapatkan hatiku!" Aku mendengar suara Thalia berteriak saat aku baru saja turun dari mobil. Hyuga meminjamiku mobil sekaligus sopir pribadinya saat aku berpamitan hendak menemui Thalia. Dia sendiri tidak bisa menemaniku karena masih ada yang harus dikerjakannya di kantor.Aku berjalan cepat memasuki sebuah teras rumah. Kudapati si jabrik ke luar dari rumah disusul dengan suara pintu yang ditutup dengan keras.Aku mengerutkan kening memandang si jabrik. Dia tidak menghiraukan kehadiranku dan langsung berjalan menjauh."Thalia! Apa kamu di dalam?" Segera kuketuk pintu setelah kupastikan si jabrik telah pergi dengan mengendarai motor sport warna merah.
Hari ini aku ada janji untuk pergi bersama Hyuga. Kami akan memilih gaun pengantin. Kami tidak sendiri karena ibuku dan ibu Mas Hyuga juga ikut."Apa kebaya ini tidak terlalu mahal?" tanya ibu setelah seorang penjaga butik menyebutkan harga dari kebaya pengantin yang dipilih oleh Bu Hanin."Apa kita pindah ke butik lain saja? Atau kita bisa membeli kainnya saja biar aku menjahitnya sendiri," kata ibu lagi, ragu-ragu.Bu Hanin tersenyum, membentangkan kebaya brukat lengan panjang yang dia pilih di depanku, lalu berkata, "Kebaya ini sangat cocok dipakai Naina. Soal harga tidak jadi masalah bagi keluarga Al-Barra. Pesta pernikahan Hyuga nanti akan mengundang orang-orang penting. Aku ingin mempelai wanita terlihat paling cantik di sana."Bu Hanin mempersilakan agar aku mencoba kebaya yang dia pilih. Aku mengangguk sambil menerima kebaya itu dan membawanya ke ruang ganti.Kebaya warna merah dengan bawahan yang terjuntai hingga lantai. Seorang wani
Hari ini aku pulang bekerja dengan perasaan yang tidak tenang. Meski aku tidak takut dengan pesan teror dan ancaman itu, tetap saja hatiku was-was karena ada orang yang tidak menyukai hubunganku dengan Hyuga.Di teras rumah, kulihat Mas Bayu duduk bersama Bu Sara dan juga ibu. Aku segera berlari kecil menghampiri mereka untuk mengetahui maksud kedatangan mereka."Kau sudah pulang, Duduklah!" titah ibu sambil menepuk kursi kosong di sebelahnya."Ada apa ini?" tanyaku tanpa basa-basi setelah aku duduk. Aku melirik ke arah Mas Bayu dan Bu Sara."Kedatangan kami ke sini karena ada hal yang ingin kami bicarakan kepadamu," ujar Bu Sara sambil menyentuh tangan yang kuletakkan do atas meja."Naina, sekali lagi aku mohon kepadamu. Kembalilah kepadaku. Aku minta maaf dengan apa yang terjadi pada kita dahulu. Sekarang aku sadar, kecantikan bukanlah segalanya. Aku mencintaimu apa adanya, Naina," kata Mas Bayu panjang lebar."Sudah terlambat,
"Ayo cepat buka saja amplop itu, Na. Siapa tahu surat cinta dari Pak Bos," ucap Hanifah sambil terkikik.Aku kembali menutup mulut Hanifah dengan telapak tanganku dan menyuruhnya diam. Hanifah menangkis telapak tanganku. Dia tersenyum jail lalu kembali ke kursinya.Aku kembali menatap amplop coklat itu, pelan-pelan kusobek ujungnya. Terlihat beberapa kertas di dalamnya. Sepertinya memang sebuah surat.Aku keluarkan isi amplop itu. Sebuah surat dan beberapa foto membuat netraku terbuka lebar. Kuletakkan beberapa foto itu di atas meja dan aku mulai membaca sebuah surat."Batalkan pertunanganmu dengan Hyuga, atau aku akan mengirimkan foto-foto ini kepadanya!" Sebuah kertas berisi kalimat singkat membuat mataku tidak berkedip saat membacanya."Apa ini? Dia mengancamku? Siapa yang mengirimkan surat ancaman ini kepadaku?" Aku bertanya dalam hati. Kemudian kulihat satu per satu foto yang berserakan di atas meja.Mataku kembali terbelalak meli
"Pipimu merah sekali," ujar Hanifah sambil terkekeh. Matanya menyipit memandangku. Dia tidak berhenti tersenyum jail."Apa lihat-lihat," jawabku sambil memanyunkan bibir. Berpura-pura merajuk."Ups, maaf boss!" serunya sambil memasang sikap hormat."Ciye, yang sebentar lagi menjadi istri bos," lanjutnya sambil mengedipkan mata.Aku mengedarkan pandangan kemudian memberikan kode pada Hanifah agar diam. Berharap semoga tidak ada yang mendengarkan ucapan Hanifah barusan.Para rekan kerjaku di kantor belum mengetahui tentang pertunanganku dengan Hyuga. Bahkan mereka juga belum mengetahui bahwa boss baru mereka adalah Hyuga.Aku dan Mas Hyuga sengaja merahasiakan ini. Hanya keluarga dan teman dekat yang menghadiri acara pertunangan kemarin. Biarlah mereka semua nanti akan mengetahui saat acara pernikahan kami."Apa? Siapa yang akan menjadi istri bos? Jangan mimpi!" seru Laelia sambil berjalan dan melirikku sinis.Aku berusaha menaha