"ARGGHHH!!" Seketika buluk kuduk Hana berdiri hebat. Mendengar jeritan yang menyakitkan. Bagaimana bisa dia bertemu dengan monster mengerikan, kejam dan tak punya hati seperti itu.
Bagaimana Hana bisa tertimpa kesialan yang tak terduga seperti ini. Lolos dari ular betina, juga suami yang tidak pernah memperdulikan, sekarang dia malah dihadapkan dengan monster tak berperasaan. Tubuh Hana di lempar oleh dua pengawal yang terus menyeretnya dan menuruti tuannya agar memasukkan Hana ke dalam mobil. Lalu, orang itu mendapatkan tas Hana yang dibawa oleh anak buahnya. Hana menciut diujung mobil dan tak berani mendekat, meski matanya terus tertuju pada tas yang dibuka oleh orang itu. Dia tidak punya nyali saat laki-laki itu mengeluarkan dompet milik Hana dan melihat kartu Identitasnya. "Hana Hastari? Siapa kau? Kenapa kau lancang dan berani sekali menabrakku. Kau benar-benar sudah bosan hidup?" Orang tadi mencengkram rahang gadis itu dan menekannya dengan kekuatan penuh. "Jawab? Kenapa kau diam saja? Apa kau mata-mata yang dibayar keluarga Zian, hah?" Hana menggeleng pelan, dia benar-benar tidak mengerti dengan semua yang dikatakan oleh orang itu. "Jangan bohong. Kau pasti disuruh keluarga Zian kan? Kau disuruh mereka untuk pura-pura menabrakku? Lalu, kau akan menunjukkan wajah polosmu yang seperti ini hanya untuk menggodaku. Cih. Hebat sekali Zian family itu. Berani sekali mereka main-main denganku. Meremehkanku, sama halnya dengan cari mati!" tuding lelaki itu semakin sarkas. Bagaimana Hana akan memberikan pembelaan jika mulutnya dibungkam dan tangannya diikat. Dia hanya bisa terus menggeleng untuk meyakinkan lelaki itu kalau semua tuduhannya salah. Hana tidak mengerti dengan arah pembicaraan dan tuduhannya. Dia memang benar-benar tidak sengaja menabrak karena sedang mengejar suaminya Bima yang sedang bersama dengan Zhifa. "Oke, kita buktikan saja. Kau pikir aku akan takut dan terjebak oleh rencana keluarga Zian.” “Karena mereka sudah mengirimkan dirimu. Jadi, aku tidak akan menyia-nyiakannya. Aku penasaran, bagaimana rasanya wanita polos seperti dirimu jika sedang di ranjang," seringainya penuh dengan kemarahan dan menghempaskan rahang Hana dengan kasar. Suara pintu kemudi ditutup dan masuklah laki-laki yang bernama Radon itu sambil memegang kemudi. "Kembali ke mansion, Radon. Aku akan mencicipi wanita kiriman dari Zian. Dia pikir, aku akan terjebak dengan wanita polos seperti ini.” “Cukup hebat, aku tidak menyangka kalau dia akan mengirimkan wanita polos seperti ini," celetuk lelaki yang terus memindai Hana dengan tatapan seolah ingin menelannya hidup-hidup. Mata Hana mendelik, ucapannya tadi. Dia memang tidak mengerti. Tapi, dari tatapan laki-laki kejam itu, Hana tahu, dirinya sedang dalam bahaya. “Sudah tidak seksi, pakaiannya biasa. Tapi, wajah polosnya cukup menggodaku. Aku penasaran dengan teriakannya nanti. Aku yakin, dia pasti bertekuk lutut oleh keperkasaanku.” gumam lelaki kejam tadi. Jantung Hana semakin memburu dengan hebat. Dia tidak tahu bagaimana bisa meloloskan diri dari monster jahat itu. “Mas, huhuhu, Mas Bima, tolong aku, Mas, kamu ada dimana, Mas? Aku takut….” Hana bisa berteriak dan terus menangis dalam hati. Dia berharap, siang bolong ini hanya sebuah mimpi. Bukan seperti yang sekarang sedang dia rasakan. Hana tidak tahu kemana mobil itu membawanya. Ini adalah kali pertama dia bepergian tanpa izin dari pengurus rumah Bima. Hana yakin pengurusnya itu akan mencari dan menghubungi Bima jika sampai malam ini wanita itu tidak pulang ke rumah. Hana masih terbiasa seperti itu. Bagaimanapun kondisinya saat ini, Hana masih menganggap kalau dia istri sahnya Bima. “Bagaimana aku harus melarikan diri? Ini dimana sih? Terus kenapa orang itu menatapku tak berkedip. Memang apa kesalahanku? Nggak, nggak, kamu memang salah Hana, kamu tadi nggak sengaja menabraknya. Dasar Hana bodoh.” Hana dengan pikirannya yang membuncah. Terus menyalahkan diri. Otaknya berputar mencari cara agar dia bisa membebaskan diri. Kembali Hana mendengar pintu dibuka dan laki-laki itu turun lebih dulu. Hana menolak keluar. Dia tidak yakin kalau akan selamat jika dia keluar dari mobil itu. “Keluarlah atau kau ingin anak buahku yang menyeret lagi,” suara bariton dan serak itu memerintah Hana. Dia berdiri di depan pintu menunggu gadis itu. Hana tetap diam. Dia benar-benar tidak menggerakkan tubuhnya dan tidak ingin menuruti perintah laki-laki itu. Kalau memang bisa, dia ingin segera melarikan diri. “Umm ummm umm!” Hana meronta lagi saat tangannya ditarik dengan tiba-tiba oleh laki laki itu. Kali ini dia tidak memerintahkan anak buahnya. Dia sendiri yang secara paksa menarik tangan Hana lalu saat tubuh gadis itu di ambang pintu, laki laki itu menarik Hana ke pundaknya. Hana diangkat seperti karung beras. “Rodan, jangan biarkan siapapun mengganggu waktuku. Aku akan mencicipi kiriman dari keluarga Zian dahulu,” laki-laki itu sempat menghentikan langkah, berbalik dan memberikan perintah pada orang yang paling dipercayanya. Hana semakin gelisah. Tubuhnya terus berontak, tapi laki-laki itu mengabaikan. “Baik Tuan Math. Tapi, maaf, Tuan, apakah anda memerlukan sesuatu?” tawar Radon, dia yakin tuannya pasti akan meminta hal yang aneh-aneh untuk menambah meriah suasana pertempuran di ranjang nanti. “Untuk yang ini aku rasa tidak perlu dan satu lagi, aku akan membawanya ke kamarku, bukan kamar yang biasa,” jelas Math, Radon memanggilnya seperti itu. Mata Radon membulat, itu adalah hal langka yang dilakukan tuannya. Selama ini, dia akan selalu membawa para gadis yang hanya menghangatkan ranjang tuannya ke kamar merah. “Kau jangan salah paham, aku ingin membersihkan tubuhku. Badanku bau busuk penghianat tadi,” Radon hampir lupa kalau tuannya juga cinta kebersihan. Apalagi dia tadi habis masuk ke ruangan hukuman. “Baik Tuan Math, katakan saja jika anda memerlukan sesuatu, saya akan berada tidak jauh dari Anda,” Radon berbicara, tapi dia tidak mungkin benar-benar berani ada di dekat kamar tuannya, karena itu sama saja bunuh diri. Tidak ada sahutan, Math berbalik kembali dan membawa Hana masuk ke kamarnya. Math tanpa ragu menurunkan Hana di lantai hingga membuat Hana menjerit dalam bungkam. Tangannya saja masih sakit, ditambah ikatan kencang membuatnya menjerit tajam. “Sshh, ahh, sakit. Tangan, tubuhku sakit banget,” Hana ingin sekali melepaskan ikatan, tapi itu benar-benar sulit. “Jangan macam-macam, aku hanya ingin membersihkan sebentar tubuhku. Sebaiknya kau patuh agar aku tidak terlalu menyakitimu.” Math mencengkram rahang Hana kembali. Hana tidak bisa berbuat apa-apa dengan mulutnya yang masih dibekap dan tangannya diikat. Namun, tatapan mata menyiratkan dan memohon belas kasih. “Cih, kenapa dia menunjukkan wajah memelas seperti itu. Harusnya aku yang marah. Kau sudah bodoh dan mau saja diperalat keluarga Zian,” Math mengeratkan giginya. Dia sebenarnya tidak memiliki kesabaran seperti ini, tapi entah kenapa saat melihat sorot mata Hana yang bening seolah ada sesuatu yang disiratkan. “Baiklah, aku tidak akan lama. Siapkan diri dan bersikap baik. Aku rasa hanya wajahmu saja yang polos, keluarga Zian itu memang benar-benar bisa mencari gadis sepertimu,” ejek Math, dia sepertinya sangat membenci keluarga Zian. Laki-laki bertubuh besar itu berdiri dan menghampiri lemari baju. “Mas Bima, kamu dimana Mas, tolong aku, Mas, aku takut,” Hana hanya bisa menangis kembali dalam bekapan. Air matanya yang kering sekarang basah kembali.“Apa sih?” Lilian berusaha turun dan menghindari tatapannya, tapi pelukan Radon semakin erat, tidak melepaskan.Tangannya malah secara aktif menurunkan tali tanpa lengan milik Lilian.“Aku juga haus, aku kan belum minum sejak tadi. Kamu cuma kasih aku makan saja,” persis seperti anak kecil yang sedang merayu, wajahnya saja sampai dibuat-buat. Terlihat memelas dan kasihan.“Mi–minum, iya aku kasih, aku ambilkan dulu,” cegahnya tetap tidak ingin memberikan hal yang diminta oleh Radon.“Kau tahu, aku tidak minta minum yang itu,” karena tali satu sudah berhasil diturunkan Radon menyentuhnya, “yang ini maksudku,” saat diturunkan langsung terlihat benda itu keluar. Bentuknya memang tidak terlalu besar, Radon me R3 M45 pelan, “Umm!” Lilian memejamkan mata, untuk persiapan hari ini, Lilian memang sengaja memakai baju yang mudah dilepaskan, dia benar-benar ingin memberikan yang pertama itu untuk Reno.Kepala Radon menunduk, dalam satu kali terkamanan, benda itu langsung masuk ke mulutnya, “Umm
“Jadi, mau makan apa?” sekali lagi Radon bertanya dengan lembut, Lilian memalingkan wajahnya karena malu, dia kepergok sedang tersenyum saat memikirkannya.“Makan apa saja, aku nggak mau masuk ke restoran!” ucap Lilian, tapi wajahnya masih berpaling. Mobil berhenti mendadak, Lilian langsung menoleh. Radon membuka tali pengamannya.“Bagaimana kalau disini?” Radon sembarang berhenti di tempat banyak jajanan yang tersedia. Lilian mengangguk pelan, “aku belikan sebentar. Mau tunggu disini atau ikut?” Radon masih menatapnya dengan penuh harap.“Kalau aku ikut, aku pasti borong semua,” cetus Lilian dengan sengaja memberikan tes pada Radon.“Tidak masalah, hanya jajanan kaki lima. Uangku lebih dari cukup,” jawab Radon tidak ragu sama sekali, Lilian tanpa ragu membuka tali pengaman dan keluar lebih dulu dari mobil. Radon hanya ingin Lilian segera melupakan peristiwa tadi.Setelah menguping pembicaraan tadi, dia benar-benar senang. Hatinya tidak seperti diawal tadi saat akan menjemput Lilian.
“Ada apa?” tatapan Math langsung tertuju pada istrinya, wajahnya berubah muram.“Kamu dimana? Cepat kirim lokasinya, aku akan segera kesana,” merasa tidak yakin kalau saat ini Lilian dan Reno sedang di tempat pemutaran film. Telinga Radon langsung seperti radar tinggi dan memasangnya dengan seksama. Namun, yang ada hanya tangisan kencang dari Lilian.“Aku akan segera kesana, sudah jangan menangis lagi, Lili!” Hana bangkit dari pangkuannya bersiap pergi, namun Math menahannya.“Berikan ponselnya,” kata Math.“Matty … aku nggak lagi main-main. Aku harus kesana segera. Aku takut ada apa-apa dengan Lilian,” Wajah cemas Hana langsung terlihat.“Berikan padaku, biarkan Radon yang menjemputnya,” kata Math, menatapnya agar tidak terlalu cemas.“Tapi?” Math masih mengulurkan tangan, Radon langsung mendekat ketika tuannya berkata akan memberikan tugas baru, Hana akhirnya memberikan ponselnya, “catat nomornya dan jemput dia dengan selamat!” perintah Math, Radon mengkonfirmasi nomor Lilian dari p
“Anda tidak apa-apa Tuan Zian?” Bob spontan meraih tangan Zian karena tuannya tiba-tiba akan jatuh.“Hah, sepertinya ada yang sedang memaki ku,” Bob menatap wajah tuannya yang tidak biasa berkata seperti itu.“Maksudnya?!”“Sudahlah … mana mengerti. Lebih baik kamu mulai merubah sesuatu agar lebih menarik perhatian seseorang,” semakin dengarnya, Bob semakin tidak mengerti dengan pikiran tuannya. “Apa Anda salah makan, Tuan Zian?” Reaksi Zian langsung menendang kakinya. “Aghhh!” desisnya memegang kaki yang ditendang tadi, “apa saya salah bicara, Tuan?” protes Bob.“Diamlah!” Zian masih menatap ponselnya yang tidak mendapatkan balasan.“Benar-benar keterlaluan. Dia mengabaikanku,” omelnya lagi masih menatap ponsel yang tidak berbunyi pesan masuk satupun. Bob hanya menatap tuannya bingung dan mengikuti tuannya masuk mobil.***“Sayang, ada apa? Kenapa hari ini kau terlihat murung?” Zhifa mendekat pada Bima yang sibuk bolak-balik menatap ponselnya.Bima diam, tidak memberikan jawaban, n
Ternyata ucapannya di dalam mobil benar-benar dia lakukan. Hana tidak percaya, namun semua sudah menjadi bubur sekarang dia benar-benar sudah menjadi istri dari seorang Fernandez. “Kalau begitu antarkan aku pulang sekarang. Aku nggak mau disini,” Hana merasakan salah sendiri dan dia benar-benar bad mood apalagi setelah kejadian dia mengotori jas laki-laki yang bernama Frank tadi.“Tuan berpesan, saya tetap menemani Anda disini sampai Tuan kembali,” Radon bersikeras tetap berada di dekatnya.“Sudah jangan berisik kepalaku pusing. Kalau dia mau marah terserah, tapi aku mau pulang sekarang. Kamu nggak menemaniku nggak apa-apa. Aku bisa pulang sendiri,” Hana mengambil tas dan bersiap untuk pergi. “Nyonya, tetaplah disini, Tuan akan benar-benar akan menembak ku kalau Nyonya tetap pergi,” radon juga sama keras kepalanya seperti Math.“Aku capek dan ngantuk kalau harus menunggunya selesai,” padahal radon tahu ini hanya untuk menghindari tuannya.Apalagi tadi dia sudah mendengar saat di mob
“Duh … kenapa ruangannya banyak sekali? Aku jadi bingung yang mana toiletnya?” Gedung pertemuan itu berbeda dari gedung mall atau kantor yang akan mudah menemukan tanda toilet. Kali ini dia berada di gedung yang mewah dengan lampu-lampu gantung yang bercahaya kiri dan kanan seperti ruangan, namun jika orang awam seperti Hana masuk ke dalam, dia yakin akan tersesat seperti dirinya saat ini. “Kemarilah!” Tangan yang semenjak tadi dipegang, Hana terkejut karena tangan itu menarik dia ke salah satu ruangan dan membuka pintu, “kau bisa membersihkan bercak tadi di sini, kalau tidak bisa hilang kemungkinan besar kau harus mengganti jasku. Salah satu desainer ternama dan itu dibuat dengan khusus,” jelasnya. Hana membeku juga bingung. Bukan masalah harga, tapi untuk pergaulan sosialita dia memang benar-benar buta. Jadi, dia tetap harus mengandalkan Math kalau memang bekas krim tadi tidak bisa dibersihkan. Namun, kalau sampai itu terjadi Hana pun bingung, kecemburuan Math pasti sudah dapat d