Mag-log inSesegukan pun tidak akan mempan meluluhkan hati Bima. Karena Bima memang tidak pernah cinta Hana.
"Iya, Mas, aku lapar banget. Aku mau makan yang banyak loh supaya aku kuat saat melayani kamu sampai pagi," ucap Zhifa berkata merdu merayu, bergelendotan lagi di lengan Bima yang masih berstatus suami Hana. Wanita itu sudah tidak peduli. Apalagi, tatapan seisi restoran seolah menganggap Hana lah pelakor. Perebut suami orang. Rasanya Hana benar-benar jijik mendengar ucapan wanita itu. Dia wanita selingkuh, tapi setiap malam bisa membuat suaminya betah. Sedangkan Hana, berkali-kali mencoba dan menunggu tetap tidak pernah disentuh oleh Bima. Tiga tahun ini, Bima mengabaikan Hana seperti boneka hidup. Bahkan saat malam pertama saja, Bima malah meninggalkan dia di hotel tanpa adanya penjelasan. Hana memang tinggal di rumah mewah dengan banyak pelayan, tapi tidak pernah mendapatkan cinta dari suami. Hana sudah menahan semua, dia ingin hari ini mendapatkan keadilan. Dia, tetap ingin mempertahankan suaminya dan tidak mau kalah dengan wanita ular itu. Dia tahu, Zhifa tidak benar-benar tulus mencintai Bima, kalau bukan karena harta, mana mungkin Zhifa yang sudah diputuskan mau menerima Bima kembali. Hana bangkit dan mencoba mengejar punggung Bima yang semakin menjauh. Rasa sakit di tangan juga rambut yang dijambak kasar oleh Zhifa sudah tidak dipedulikan. Saat ini, Hana hanya ingin bersaing dengan wanita pelakor itu dan berusaha merebut suaminya kembali. Kakinya sempat tersandung dan tanpa sengaja menabrak seorang. Hana segera menundukkan kepala dan meminta maaf. Dia semakin panik saat melihat Bima masuk ke mobil dan akan pergi. "Aw! Sa-sakit!" Hana terkejut saat tangannya di cengkeraman dengan kuat. "Sudah menabrak orang dan ingin pergi? Kau benar-benar cari mati!" Suara serak dan bariton dari seorang laki-laki mencegah Hana pergi. Hana membeku dan menarik wajahnya perlahan ke arah suara. "Ma-maafkan aku, Tuan, sungguh, aku nggak sengaja," Hana mencoba menahan tangis. Dia mengusap perlahan air mata yang masih mengalir di pipinya. Sesaat, lelaki itu memicingkan mata. Biasanya lelaki itu tidak pernah tertarik dengan urusan wanita manapun selain wanita yang menghangatkan ranjangnya setiap malam. Namun, saat melihat Hana kebingungan juga panik membuatnya penasaran. "Kau harus bertanggung jawab!" cetusnya, tatapan lelaki itu terus memindai Hana. Hana menarik wajah, semakin dia menarik wajah, air matanya malah tidak bisa dikendalikan. “Ada apa? Kenapa dia menangis seperti itu? Cih, wanita menangis benar-benar menyebalkan.” Lelaki berwajah dingin itu mengumpat dihati. Kali ini dia benar-benar menjadi lelaki kepo yang ingin tahu urusan orang lain. Saat ditatap olehnya, tatapan Hana malah sibuk melirik ke arah pintu. Dia menyadari kalau suaminya sudah benar-benar pergi bersama wanita licik itu. "Bawa dia!" perintahnya tiba-tiba, Hana terkejut saat dirinya diseret oleh dua orang dibelakang orang itu. "Tu-tunggu, Tuan, hey, aku mau dibawa kemana, Tuan?" teriak Hana. Hana berontak dengan sisa tenaga yang dimiliki. Meski rontanya cukup kuat, tetap saja tidak akan bisa melawan dua orang lelaki dengan berperawakan lebih besar darinya. "Rodan, bungkam mulutnya. Berisik sekali. Kita akan meeting dan aku ingin dia bertanggung jawab dengan perbuatannya!" perintah lelaki tadi mengisyaratkan agar membungkam mulut Hana. "Ti-tidak, lepaskan aku. Hey, kau mau bawa kemana aku, Tuan, kau kalau ingin aku bertanggung jawab jangan seperti i–," belum sempat Hana melakukan aksi protesnya hingga tuntas, lelaki yang dipanggil Rodan menyumpal mulut Hana dengan kain dan mengikat kedua tangannya. “Ssh … astaga, sial sekali nasibku. Tadi bertemu dengan Zhifa si wanita licik, sekarang aku malah berurusan dengan lelaki kejam ini.” “Siapa dia? Dan mau dibawa kemana aku? Arghh, mulut dan tanganku benar-benar kesakitan. Aku harus bisa bertemu dengan mas Bimo segera. Aku mau harus membicarakan lagi yang tadi.” Hana mengikuti langkah laki-laki di depannya dan memasuki lorong dengan lift khusus. Dia bahkan tidak tahu kalau di restoran itu memiliki lift khusus yang membawa mereka turun. Lelaki itu, lelaki yang dipanggil, Rodan dan setidaknya masih ada sekitar sepuluh orang lagi laki-laki bertubuh sama besar dibelakang Hana yang mengikuti. Hana dibawa ke suatu ruangan yang entah dimana dia berada. Pencahayaan cukup remang padahal diluar sana, Hana yakin malam belum datang. "Argghhh! Tolong, tolong maafkan saya, saya tidak akan mengulanginya lagi." Semakin dalam langkah mereka, Hana mendengar suara lengkingan seorang laki-laki. Sepertinya dia sedang merasakan sakit karena berulang kali berteriak dan mengumandangkan perkataan yang sama. Ingin sekali Hana berteriak atau melarikan diri. Namun, saat matanya berkeliling, dia baru menyadari ruangan itu bukan sembarang ruangan. Lelaki yang sempat meminta pertanggung jawaban pada Hana itu sekarang sedang duduk di satu kursi kayu dengan tatapannya yang bengis pada seseorang. Mata Hana membulat lebar saat melihat seorang laki-laki sedang diikat menggunakan rantai besi. Kedua tangan dan kakinya terbelenggu rantai tersebut dengan tubuhnya yang sudah bersimbah darah karena cambukan. “Ya–ya ampun, dimana aku? Apa itu? Apa yang akan dia lakukan? Kenapa aku malah bisa tersesat di tempat mengerikan seperti ini. Aku tidak mau melihatnya, huuuuu, Mas Bima dimana kamu? Tolong aku, Mas ….” Raungan Hana semakin keras, namun sayangnya itu semua percuma karena dia tetap tidak bisa mengeluarkan suara. Hana menggeleng kuat dan memejamkan mata saat gadis itu mendengar kembali teriakan kesakitan bergema. "Aaagghh!! Tolong, ampuni, saya, Tuan, saya mohon. Ini hanya salah paham. Tolong Tuan selidiki lagi. Saya tidak mungkin berkhianat dengan Tuan." Lelaki dalam ikatan rantai besi itu mengiba belas kasih, tapi lelaki itu melirik lelaki yang bernama Radon, "Masih berani mulut penghianat sepertimu berbicara, sepertinya aku harus memotong lidahmu agar kau tidak cerewet. Lihatlah, semua bukti sudah mengarah padamu!" decak Rodan, dia terlihat begitu kesal dan tak sabar apalagi lelaki dengan rantai besi itu mencoba memohon pengampunan pada Tuannya. Namun, suara amukan tadi mengganggu pendengaran lelaki yang duduk di kursi kayu itu. Dia menoleh dan melihat Hana semakin berontak dan seolah ingin mengatakan tidak ingin melihat semua. “Hah. Benar-benar merepotkan. Aku lupa masih membawa wanita ini. Bagaimana kalau dia membocorkan kejadian ini. Hah, aku tidak peduli. Kalau dia berani membuka mulut, aku tidak akan segan membunuhnya.” Ancam laki-laki itu di hati sambil memicingkan tajam mata pada Hana. Kemudian dia beranjak dari duduk, sesaat Rodan menoleh dan memutarkan lehernya. Dia yakin ada yang berbeda dengan Tuannya, biasanya sang Tuan akan menikmati pertunjukan itu sampai habis. "Bereskan semua sesuai prosesnya, Rodan. Tidak perlu sampai kau membunuhnya, tapi pastikan mulut dan tangannya tidak dapat memberikan celah untuk kita. Aku tunggu di mobil," ucapnya tegas dan penuh penekanan. "Tidak, jangan, Tuan, saya mohon. Maafkan saya, Tuan. Saya tidak akan melakukan kesalahan lagi, Arghh!“ jerit permohonan lagi dengan teriakan keras saat cambuk menyapa tubuhnya kembali. Kemudian tatapannya beralih pada Hana. Dengan tubuh bergetar dan menggeleng kuat saat dirinya diseret kembali oleh orang-orang suruhannya.“Huhuhu, akhirnya kamu bangun juga, aku benar-benar takut sekali, huhuhu!” Lilian langsung memeluknya pelan.“Sudah, sudah, jangan menangis lagi. Aku sudah gak apa-apa,” Lilian segera mengangkat tubuhnya agar tidak membuat Hana sesak.“Tolong bantu, aku!” Hana meminta ranjangnya dinaikkan, dia tidak ingin terus tiduran.Pintu dibuka, Bruno masuk membawa laporan hasil operasi dan seorang suster membawakan obat dan makanan. Suster memeriksa infus lalu keluar setelah Bruno menyuruhnya.Lilian memberikan jarak, dia mundur dan Radon baru saja kembali dengan satu paperbag makanan untuknya.“Kau ini benar-benar luar biasa. Untungnya masih bisa terselamatkan. Lain kali jangan main benda tajam lagi. Lebih baik kau mainkan saja benda tumpul mereka!” Bruno sedang memberitahukan kondisinya juga mengejek dua laki-laki itu. Mereka tidak banyak suara setelah dibuat ultimatum oleh Bruno jangan berisik.Mereka benar-benar menurut.“Mana ada aku main it–,” seketika wajah Hana memerah ketika dia memaham
“Tidaaak, sayanggg!!!” Math dan Zian berlari kearah Hana, wanita itu sudah terkapar di tanah, tubuhnya bersimbah darah.“Habisi wanita itu!” perintah Math dan Zian, Lilian terkejut dan berlari memeluk tubuh Hana yang banjir darah. Kemudian suara peluru tiba-tiba berbunyi, pe-lu-ru-peluru tersebut langsung membuat Zhifa terkapar tidak jauh dari tubuh Hana. Tangannya masih memegang pisau berlumuran darah.Bima membeku. Pertunjukan barusan terjadi di depan matanya. Hana sempat melihatnya, tapi tubuhnya semakin melemas karena kehilangan banyak darah. Matanya perlahan tertutup.“Jangan biarkan dia lolos juga, Radon, Bob!” perintah keduanya, sudah pasti tujuan selanjutnya adalah Bima.“Aghhh!” Bima terkejut karena tiba-tiba tubuhnya dihajar oleh Radon dan Bob dari depan juga belakang, “ag aku tidak bersalah. Dia, bukan disuruh olehku!” suara Bima penuh getaran, dia sudah melihat Zhifa meregang nyawa akibat pe-lu-ru-peluru tadi tidak mungkin dia membayangkan kalau pe-lu-ru-peluru itu juga be
Lilian hampir saja tersedak mendengar ucapan Hana. Dia tidak mengira kalau temannya akan berbicara sebar-bar itu.“Aku lapar! Berhenti saja disitu,” Hana merasa lapar lagi karena dia hanya ingin benar-benar bebas makan tanpa pengawasan dua laki-laki itu.Mereka menghentikan taksi di depan restoran cepat saji.“Aku tunggu disini saja, aku gak bawa uang. Ponselku juga tertinggal di kamar Math!” kata Hana menunjukkan sederet gigi putih. Meminta Lilian yang membeli dan dia memilih menunggu di bangku area taman dekat restoran siap saji tersebut.“Hmm, tunggu saja disana, aku gak akan lama!” Hanya mengangguk dan mereka berpisah. Hana berjalan kearah taman dan Lilian ke restoran siap saji.“Akhirnya aku bisa bernapas sebentar,” kata Hana.Dia tahu, Math dan Zian memantau tidak jauh-jauh. Mobil-mobil mereka mengawasi diseberang jalan.“Kau yakin tidak perlu kesana?” Zian berdiri bersebelahan dengan Math, sama-sama melipat kedua tangannya. Setelah pertemuan di ranjang tadi, hubungan mereka sep
Hana memilih acak, satu kaos dan celana. Math sudah memenuhi lemari dengan model yang dipilihnya serta ukuran milik Hana. Dibandingkan dengan Bima, perhatian Math jauh lebih nyata. “Rupanya dia sangat memperhatikanku, dia ga pernah bertanya berapa ukuran dan model yang kusukai, tapi pilihannya aku benar-benar menyukainya,” batin Hana berbisik, dia tersenyum puas dengan yang dilihatnya.Hana menghindari dulu pemakaian gaun. Kapok jika tiba-tiba mereka langsung menyerbunya. Lebih baik memilih model lain.Dia ingat ponselnya yang belum diisi daya. Dan menaruhnya di tempat pengisian daya khusus, dia hanya meletakkan ponselnya di lempeng tanpa kabel yang merepotkan.“Sayang!” Math mendekatinya.“Diamlah jangan berisik!” sembari menyalakan ponsel, hitungan beberapa detik ponselnya menyala, beberapa notifikasi panggilan tidak terjawab masuk beserta pesan langsung terlihat di layar.Math sudah mengerutkan kening tidak sukanya. Zian pun perlahan-lahan mendekat dan melirik. Melihat Hana sedan
“Ssstt!” kata Math, dia malah membuka bajunya dan merogoh saku kantongnya, menunjukkan kain milik Hana yang tadi disita olehnya. Itu memang disembunyikan oleh Math.Math hanya ingin menyampaikan kalau yang sedang terjadi bukan kesalahannya. Semua yang terjadi sekarang adalah kecerobohan dirinya. Jadi, dia lebih memilih berbagi istri dengan rival terberatnya daripada dia harus ditinggalkan.“Biarkan dia mengurus yang disana, kami akan bergantian, jadi aku harap kau bisa menyiapkan tenagamu,” ucap Math, Hana membulatkan mata, sebelum dia sempat protes, “Ahhh hmmm shh!” Zian sudah menyerang di bawahnya lagi, lalu Zian menyembulkan kepalanya, “seharusnya kau ambil keputusan itu sejak tadi. Benar-benar menyebalkan, aku sampai harus menunggu lama,” dengus Zian. Dia sekarang terang-terangan tidak peduli karena Math juga sudah melepaskan seluruh yang dipakainya.Math naik ke ranjangnya, menarik tubuh Hana dari belakang hingga Zian lebih leluasa melakukan aksinya di bawah sana.“Ma–Matty ahh a
Math tidak menjawab, dia langsung duduk. Hana berbalik dan, “Agh!” dia terkejut karena tepat sekali Zian ada dibelakangnya.Math menoleh, “Kau!” deliknya.“Bukan salahku, dia yang merobek bajuku tadi,” kata Zian, lagi-lagi menunjukkan sikap yang kasihan.“Matty!” Hana greget sendiri, padahal dia berniat menyuruhnya pergi setelah makan, “emm, kita ganti baju dulu,” kata Hana merasa tidak enak, dia tidak ingin melihat Zian berkeliaran seperti itu. Radon spontan menutup mata Lilian.“Sayang!” protes Math.“Diam, kamu benar-benar gak bisa dipercaya. Kalau seperti ini, aku lebih baik pergi saja!” Hana jadi mengancam, dia ingin masalah cepat selesai, tapi ini sepertinya berada di labirin yang terus berputar-putar.“Ng–nggak sayang, jangan seperti itu. Maafkan aku, sayang! Math langsung bergerak saat Hana membantu memapah Zian ke kamar mereka. Selama dipegang Hana, suhu tangannya saja sudah membuatnya menelan air liur. Zian benar-benar lapar dan haus. Dia ingin sekali menerkam Hana kalau sa







