“Kau tidak salah, Math!” sebagai protes Bruno menyindir.
“Lakukan dengan cepat, aku mau makan malam!” cetus Math tidak tahu malu. Dia duduk di sebelah Hana, gregetan karena melihat bibir Hana, sisa jiplakan susu masih tertinggal disana. Tanpa ragu, Math mengusap bibir Hana dengan tangannya. Mereka yang melihat Hana melongo. Seumur hidup, Matheo Fernandez hanya dilayani, bukan melayani seseorang. Bahkan itu tergelitik Dengan sikap Math diluar nalar. “Makan malam, apa ada daging panggang?” tiba-tiba saja Hana menyeletuk. Entah darimana keberanian itu, apa karena perutnya memang sangat kelaparan. Bruno menatap karena ucapannya. Bahkan tanpa sadar menekan pergelangan tangannya yang masih memar, “Aw!” spontan Hana mendesis dan menarik tangannya. “Kau mau mati? Apa tidak bisa pelan sedikit!” cetus Matheo terdengar seperti mengada-ada. Kembali Bruno dan Radon saling menatap. Bruno segera membalut lukanya dengan perban. Dia tidak ingin menjadi tumbal ocehan Matheo. Hana masih menoleh. Menunggu jawaban. Lalu, Math akan mengangkat tubuhnya. “Stop! Aku sudah bisa berdiri!” celetuk Hana, dia mengangkat tangan menahan tubuhnya. Math mengerutkan kening. “Kau?!” deliknya. “Kita belum kenal, jangan sok akrab!” suara alat yang dibawa Bruno jatuh ke lantai saat Hana mengatakan hal seperti itu. “Bisa-bisanya wanita itu berbicara padamu seperti itu, Math!” dengus Bruno berkacak pinggang. “Memangnya aku yang salah. Dia yang membawaku, ops, salah, dia yang menculikku ke sini. Dia sendiri yang salah paham denganku. Aku tidak sengaja menabraknya, aku tadi sedang mengejar suami dan selingkuhan nya,” Hana tidak lagi menjadi wanita penurut seperti biasanya. Hatinya seakan mati. Setelah perlakuan Bima dan Zhifa beberapa jam lalu mengubah seluruh perasaannya. Hana tidak ingin lagi berharap dan dia juga seperti biasa, ponselnya pun tidak berdering. Bima tidak mencarinya. Dia benar-benar hanya seorang istri yang berstatus sebagai istri, tapi tidak pernah dicintai suaminya. Bruno dan Radon saling memandang kembali. Mau menyalahkan, tapi seperti ucapannya, mereka memang salah membawa orang. “Tuan, hidangan sudah tersedia,” Josh datang untuk memberitahu. “Kau buat daging panggang?” Josh menatap wajah tuannya sesaat, “mmm … akan saya siapkan. Ada lagi yang perlu saya siapkan, Tuan?” Mengingat kembali, Josh tahu, itu bukan salah satu hidangan yang tuannya suka. Dia bisa menebak dengan tuannya yang langsung melirik Hana. Otak Hana langsung berputar saat mendapati lirikan, “Aku mau sesuatu yang asam dan segar? Apa ada?” Mata Josh, Bruno dan Radon seakan tidak percaya. Mereka ingin melirik tuannya. “Aku sama sekali belum menyentuhnya!” tegas Math yang merasa menjadi tertuduh. “Mmm … kalau nggak ada, apapun yang rasanya dingin dan segar, aku mau. Ah … yoghurt dengan perasaan lemon dan madu juga boleh,” tambah Hana. Dalam pikirannya, ini adalah kesepakatan yang sudah dijanjikan oleh Math. “Uhm, nggak ada ya? Sudahlah, ternyata mau disini atau disana, sama saja. Aku juga nggak boleh makan,” cetus Hana, wajahnya terlihat sedih. Math meliriknya sorot mata tajam pada Josh, “Ah tidak, tidak, Nona, ah maaf, Nyonya, akan saya siapkan semuanya,” Josh mengelap keringat yang tidak keluar saking takut dengan tatapan tuannya. Dia segera menghilang dari pandangan. “Kau? Namamu?” tunjuk Bruno semakin penasaran. Apalagi melihat Math seolah tidak peduli dengan apapun yang dilakukannya. Tidak pernah ada yang bisa memberikan perintah ataupun perkataan asal-asalan seperti tadi. Ini pertama kalinya Bruno juga Radon melihat. “Aku? Hana, Hana Hastari,” sambil mengulurkan tangan untuk berkenalan dengan Bruno. Bruno baru menarik tangannya untuk berkenalan, dia sudah merasakan bulu kuduknya berdiri. “Robert Bruno, kau bisa memanggil sama seperti dia, Bruno atau mungkin dokter tampan,” Rodan hampir saja tersedak mendengar gombalannya. “Em, nama yang bagus, senang berkenalan dengan Anda, Dok!” jawab Hana tersenyum dan tiba-tiba saja tangannya ditarik. “Cepat habiskan makananmu. Aku juga mau makan!” cetus Math, menyeret Hana tanpa sadar bahkan saat ini Hana tidak memakai alas kaki. “Pelan sedikit, ssh-sakit!” terasa sedikit nyeri. “Hey, Math, aku belum mengobati luka di wajahnya,” Bruno buru-buru mengejar, dia ingin memberikan salep. “Letakkan itu dan pergilah!” usir Math, seperti habis manis sepah dibuang. “Hah?! Kau benar-benar gila, Math. Kau mengusirku?!” protes Bruno. “Cepatlah!” dia tidak peduli dengan ocehan, Math terlihat tidak sabaran. Josh sudah menuruti permintaannya. Ada daging panggang, yogurt dengan perasaan lemon dan madu. “Ehm … ini enak dan segar. Aku benar-benar sudah lama nggak menikmati ini. Hooh, tiga tahunku yang ku buang sia-sia!” seruputan pertama dengan sendok, “ahh … masih ada blueberry juga, ahh enak banget!” tambah Hana, sendok an dan gigitan langsung membuat lidahnya masam hingga memejamkan mata, namun dia tidak berhenti memakannya. “Dan ini umm … koki disini lebih pintar karena membuatkan aku daging panggang,” Hana sedang menyuapkan garpu ke mulutnya dengan potongan-potongan tipis daging yang sudah dipanggang juga saus yang menggugah selera. Matheo bergeming. Ekor matanya tidak henti memindai cara bicara juga sikap yang ditunjukkan. Bagi beberapa orang yang melihat itu adalah hal biasa, namun bagi Math, itu sangat luar biasa. Dia sampai memberikan reaksi dengan bersandar dan melipat kedua tangannya. Seolah Hana sedang mempertontonkan pertunjukan yang seru. “Tuan, apa saya perlu menyiapkan makanan Anda?” Josh bertanya karena tuannya masih belum memulai makan. Dia tampak serius melihat Hana yang lahap menyantap hidangan seperti orang yang belum makan selama tiga hari. “Kau? Emm, berikan aku resep daging panggang dan cara membuat yoghurt ini. Aku ingin membuat sendiri nanti di rumah,” mata Hana berbinar saat berbicara dengan Josh dan blak Josh tiba-tiba saja ditendang oleh tuannya hingga dia tersungkur. Hana kaget dan langsung sadar. “Ya ampun! Aku salah. Aku kan sudah membuat kesepakatan dengannya. Aku lupa tanya, apa kesepakatan yang dia mau saat melepaskan ku tadi,” suara hati Hana bergema. Dia spontan berdiri. “Eh eum anu Tuan!” Hana belum selesai bicara, Math bangun dan meja digebrak. Saking kaget, Hana memegangi dadanya. “Walah walah dia marah. Gimana ini?!” bulu kuduk Hana meremang, sepertinya ada monster yang akan memakannya hidup-hidup. “Sebentar-sebentar eum jangan salah paham dulu, aku hanya minta to– aghhh!!” jerit Hana. Tubuhnya tiba-tiba saja pindah, kali ini dia tidak digendong seperti ala pengantin baru. Kali ini Math mengangkat tubuhnya dan meletakkannya di pundak. “Aku mau makan. Jangan mengganggu!” Math berbalik sekaligus memberikan perintah. “Heh, Radon, sepertinya wanita itu dimanjakan!” Bruno menyikut lengannya. “Tidak mungkin, saya berani jamin dan taruhan Tuan Bruno,” Bruno menarik sudut bibirnya. “Kau bodoh dan buta? Kau tidak melihat sikapnya?” Radon malah geleng-geleng kepala, “anda yang salah menilai, Tuan. Kali ini, saya yakin, wanita itu pasti akan mati!” Bruno membulatkan mata mendengar ucapannya.“Apa sih?” Lilian berusaha turun dan menghindari tatapannya, tapi pelukan Radon semakin erat, tidak melepaskan.Tangannya malah secara aktif menurunkan tali tanpa lengan milik Lilian.“Aku juga haus, aku kan belum minum sejak tadi. Kamu cuma kasih aku makan saja,” persis seperti anak kecil yang sedang merayu, wajahnya saja sampai dibuat-buat. Terlihat memelas dan kasihan.“Mi–minum, iya aku kasih, aku ambilkan dulu,” cegahnya tetap tidak ingin memberikan hal yang diminta oleh Radon.“Kau tahu, aku tidak minta minum yang itu,” karena tali satu sudah berhasil diturunkan Radon menyentuhnya, “yang ini maksudku,” saat diturunkan langsung terlihat benda itu keluar. Bentuknya memang tidak terlalu besar, Radon me R3 M45 pelan, “Umm!” Lilian memejamkan mata, untuk persiapan hari ini, Lilian memang sengaja memakai baju yang mudah dilepaskan, dia benar-benar ingin memberikan yang pertama itu untuk Reno.Kepala Radon menunduk, dalam satu kali terkamanan, benda itu langsung masuk ke mulutnya, “Umm
“Jadi, mau makan apa?” sekali lagi Radon bertanya dengan lembut, Lilian memalingkan wajahnya karena malu, dia kepergok sedang tersenyum saat memikirkannya.“Makan apa saja, aku nggak mau masuk ke restoran!” ucap Lilian, tapi wajahnya masih berpaling. Mobil berhenti mendadak, Lilian langsung menoleh. Radon membuka tali pengamannya.“Bagaimana kalau disini?” Radon sembarang berhenti di tempat banyak jajanan yang tersedia. Lilian mengangguk pelan, “aku belikan sebentar. Mau tunggu disini atau ikut?” Radon masih menatapnya dengan penuh harap.“Kalau aku ikut, aku pasti borong semua,” cetus Lilian dengan sengaja memberikan tes pada Radon.“Tidak masalah, hanya jajanan kaki lima. Uangku lebih dari cukup,” jawab Radon tidak ragu sama sekali, Lilian tanpa ragu membuka tali pengaman dan keluar lebih dulu dari mobil. Radon hanya ingin Lilian segera melupakan peristiwa tadi.Setelah menguping pembicaraan tadi, dia benar-benar senang. Hatinya tidak seperti diawal tadi saat akan menjemput Lilian.
“Ada apa?” tatapan Math langsung tertuju pada istrinya, wajahnya berubah muram.“Kamu dimana? Cepat kirim lokasinya, aku akan segera kesana,” merasa tidak yakin kalau saat ini Lilian dan Reno sedang di tempat pemutaran film. Telinga Radon langsung seperti radar tinggi dan memasangnya dengan seksama. Namun, yang ada hanya tangisan kencang dari Lilian.“Aku akan segera kesana, sudah jangan menangis lagi, Lili!” Hana bangkit dari pangkuannya bersiap pergi, namun Math menahannya.“Berikan ponselnya,” kata Math.“Matty … aku nggak lagi main-main. Aku harus kesana segera. Aku takut ada apa-apa dengan Lilian,” Wajah cemas Hana langsung terlihat.“Berikan padaku, biarkan Radon yang menjemputnya,” kata Math, menatapnya agar tidak terlalu cemas.“Tapi?” Math masih mengulurkan tangan, Radon langsung mendekat ketika tuannya berkata akan memberikan tugas baru, Hana akhirnya memberikan ponselnya, “catat nomornya dan jemput dia dengan selamat!” perintah Math, Radon mengkonfirmasi nomor Lilian dari p
“Anda tidak apa-apa Tuan Zian?” Bob spontan meraih tangan Zian karena tuannya tiba-tiba akan jatuh.“Hah, sepertinya ada yang sedang memaki ku,” Bob menatap wajah tuannya yang tidak biasa berkata seperti itu.“Maksudnya?!”“Sudahlah … mana mengerti. Lebih baik kamu mulai merubah sesuatu agar lebih menarik perhatian seseorang,” semakin dengarnya, Bob semakin tidak mengerti dengan pikiran tuannya. “Apa Anda salah makan, Tuan Zian?” Reaksi Zian langsung menendang kakinya. “Aghhh!” desisnya memegang kaki yang ditendang tadi, “apa saya salah bicara, Tuan?” protes Bob.“Diamlah!” Zian masih menatap ponselnya yang tidak mendapatkan balasan.“Benar-benar keterlaluan. Dia mengabaikanku,” omelnya lagi masih menatap ponsel yang tidak berbunyi pesan masuk satupun. Bob hanya menatap tuannya bingung dan mengikuti tuannya masuk mobil.***“Sayang, ada apa? Kenapa hari ini kau terlihat murung?” Zhifa mendekat pada Bima yang sibuk bolak-balik menatap ponselnya.Bima diam, tidak memberikan jawaban, n
Ternyata ucapannya di dalam mobil benar-benar dia lakukan. Hana tidak percaya, namun semua sudah menjadi bubur sekarang dia benar-benar sudah menjadi istri dari seorang Fernandez. “Kalau begitu antarkan aku pulang sekarang. Aku nggak mau disini,” Hana merasakan salah sendiri dan dia benar-benar bad mood apalagi setelah kejadian dia mengotori jas laki-laki yang bernama Frank tadi.“Tuan berpesan, saya tetap menemani Anda disini sampai Tuan kembali,” Radon bersikeras tetap berada di dekatnya.“Sudah jangan berisik kepalaku pusing. Kalau dia mau marah terserah, tapi aku mau pulang sekarang. Kamu nggak menemaniku nggak apa-apa. Aku bisa pulang sendiri,” Hana mengambil tas dan bersiap untuk pergi. “Nyonya, tetaplah disini, Tuan akan benar-benar akan menembak ku kalau Nyonya tetap pergi,” radon juga sama keras kepalanya seperti Math.“Aku capek dan ngantuk kalau harus menunggunya selesai,” padahal radon tahu ini hanya untuk menghindari tuannya.Apalagi tadi dia sudah mendengar saat di mob
“Duh … kenapa ruangannya banyak sekali? Aku jadi bingung yang mana toiletnya?” Gedung pertemuan itu berbeda dari gedung mall atau kantor yang akan mudah menemukan tanda toilet. Kali ini dia berada di gedung yang mewah dengan lampu-lampu gantung yang bercahaya kiri dan kanan seperti ruangan, namun jika orang awam seperti Hana masuk ke dalam, dia yakin akan tersesat seperti dirinya saat ini. “Kemarilah!” Tangan yang semenjak tadi dipegang, Hana terkejut karena tangan itu menarik dia ke salah satu ruangan dan membuka pintu, “kau bisa membersihkan bercak tadi di sini, kalau tidak bisa hilang kemungkinan besar kau harus mengganti jasku. Salah satu desainer ternama dan itu dibuat dengan khusus,” jelasnya. Hana membeku juga bingung. Bukan masalah harga, tapi untuk pergaulan sosialita dia memang benar-benar buta. Jadi, dia tetap harus mengandalkan Math kalau memang bekas krim tadi tidak bisa dibersihkan. Namun, kalau sampai itu terjadi Hana pun bingung, kecemburuan Math pasti sudah dapat d