Mentari pagi beranjak naik menyinari bumi pertiwi. Hangatnya sinar sang surya tembus mencapai ruangan di mana seorang gadis berparas imut dan lugu terbaring di sebuah ranjang bewarna keemasan.
Namanya Jenia Maheza, gelitik sinar mentari seakan memintanya untuk segera bangkit dari lelapnya.
Perlahan Jenia membuka kelopak matanya. Menatap pada sumber sinar yang berasal dari jendela ruangan itu. Cahaya mentari menyilaukan mata, membuatnya kesulitan untuk membuka matanya, kepalanya juga terasa begitu berat, padahal Jenia sangat ingat, ia sama sekali tidak menyeruput minuman berbau alcohol yang terhidang di hadapannya, tadi malam.
Tubuhnya terasa pegal-pegal, membuat Jenia enggan untuk beranjak dari tempatnya berbaring. Ia kembali menarik selimut dan menutupi tubuhnya. Sontak ia merasa hal yang aneh menyelimutinya saat ini.
Dengan perasaan was-was, Jenia melirik tubuhnya yang mungil itu dari balik selimut.
“Haa?” Jenia kaget, ia segera duduk dan melihat dirinya sendiri. Tidak ada sehelai benangpun yang menempel di tubuhnya saat ini.
Sigap, Jenia duduk, masih dengan selimut sebagai pembungkus tubuhnya.
“Apa yang terjadi padaku? Kemana pakaianku?” tanya Jenia dengan lugu pada dirinya sendiri.
Matanya melirik ke sana kemari mencari-cari pakaian yang ia kenakan semalam. Ia mendapati pakaian itu berserakan di atas lantai di kamar yang asing baginya. Entah di mana ia berada saat ini.
“Apa yang terjadi padaku? Aku di mana? Ini bukan kamarku. Apa aku berada di kossan Cherry? Tidak! Ini bukan tempatnya!” Jenia terus bertanya-tanya meskipun ia tahu, ia tidak akan mendapatkan jawaban atas pertanyaannya itu karena tak ada orang di sana.
Jenia beranjak, masih dengan menggunakan selimut sebagai pembungkus tubuhnya. Segera ia mengutip satu persatu pakaiannya yang berserakan, lalu mengenakan kembali pakaian itu dengan tergesa-gesa.
Jenia merasa kakinya begitu lemas, bagian kewanitaannya pun terasa begitu sakit dan nyeri. Jantungnya semakin berdetak tidak karuan saat melihat noda merah di atas ranjang tempat semula ia terjaga.
“Apa yang terjadi padaku? Ini bukan jadwal menstruasiku keluar,” dadanya mulai turun naik, napasnya seakan tercekat di tenggorokan. Dengan mata yang berlinang ia pun di bibir ranjang.
“Mungkinkah aku…” Jenia tidak bisa membayangkan apa yang sempat terlintas dalam benaknya saat ini.
“Tidak mungkin!” Jenia menggeleng-gelengkan kepalanya tak percaya dengan pikiran bodoh yang sempat terlintas olehnya.
“Hanya Cherry yang tahu apa yang terjadi padaku semalam!” seketika ingatannya mengarah pada Cherry, sahabat yang ia temui tadi malam di sebuah bar karena sahabatnya meminta untuk ditemani.
“Di mana ponselku?” Jenia membongkar tas tangan miliknya yang berada di atas nakas. Namun, ia tidak menemukan ponsel di dalam tas itu.
Tubuhnya seketika merasa semakin lemas. Harapannya seakan tidak terwujud.Ia bertanya-tanya pada dirinya sendiri akan apa yang terjadi padanya, pada malam di mana dia tidak mengingat apapun.
Jenia berjalan menuju pintu, tetapi pintu kamar itu terkunci dari luar. Jenia merasa terkurung di dalam ruangan mewah itu.
“Hallo, apa ada orang di luar? Aku terkunci di dalam sini. Jika kalian petugas hotel, tolong keluarkan aku!” pekik Jenia dangan hati yang lara.
Tidak ada sahutan dari luar kamar membuat Jenia semakin merasa aneh dan ketakutan.
Jenia duduk di atas lantai sembari memeluk lutut dan menangisi apa yang telah terjadi padanya.
Jenia harus berusaha ekstra untuk mengingat apa yang telah terjadi padanya saat ini, meskipun ingatan itu sedang tidak bersahabat dengannya.
Perlahan Jenia mulai mengingat apa yang terjadi padanya semalam.
Ia mendapatkan telpon dari Cherry, sahabat karibnya sejak mereka duduk di bangku SMA. Saat itu, Jenia baru saja pulang dari toko tempat ia bekerja.
“Je, aku mohon, temani aku malam ini!” suara rengekan Cherry terdengar jelas di telinga Jenia ketika Jenia baru saja mengangkat telponnya. Dari suara si penelpon, Jenia dapat merasakan kegusaran dalam hati Cherry.
“Ada apa, Cher? Kenapa kamu menangis seperti ini?” Jenia yang begitu polos menanyakan apa yang terjadi pada sahabatnya. Jenia paling tidak bisa mendengarkan sahabatnya yang menangis.
“Aku patah hati, aku baru saja putus dengan pacarku!” rengeknya lagi.
Jenia diam sejenak sebelum ia memutuskan untuk kembali bertanya pada Cherry. Jenia menatap pada jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya.
“Masih pukul sembilan kurang,” gumam Jenia.
Sejenak Jenia berpikir apakah malam ini ia akan menemani Cherry atau menolak ajakan Cherry untuk bertemu. Namun, Jenia merasa tidak tega mendengarkan suara rengekan Cherry yang masih terdengar jelas di telinganya. Bagaimanapun Cherry adalah sahabat terbaik yang selalu mendengarkan keluh kesahnya.
Bagi Jenia, Cherry tidak hanya seorang sahabat, ia sudah menganggap Cherry seperti saudaranya sendiri. Jenia tidak akan membiarkan Cherry menangis karena putus cinta dan bertindak yang aneh-aneh.
“Oke, aku akan segera ke sana, kamu kirim saja lokasinya! Sudah, kamu jangan menangis lagi!” Jenia berusaha menenangkan Cherry via telpon.
“Harus datang ya, Je!” pinta Cherry.
“Iya, Kamu tenang ya, Cher, tunggu aku sampai datang jangan beranjak selangkahpun, oke!” ujar Jenia kemudian menutup panggilan telponnya.
Jenia berdiri di bibir jalan, ia harus menyebrang untuk mendapatkan kendaraan yang akan membawanya ke tempat Cherry. Tidak sabar dengan lampu lalu lintas yang tidak kunjung menyalakan warna merah, Jenia menerobos, menyebrang di antara mobil yang saling bersahutan membunyikan klakson.
Hampir saja Jenia tertabrak oleh sebuah mobil sport, tanpa meminta maaf, Jenia terus berjalan, sedangkan pemilik mobil menghampiri Jenia dan memberikan Jenia sebuah kartu nama lalu pergi tanpa berkata-kata.
“Dasar orang aneh, hampir saja menabrak bukannya meminta maaf, malah memberikan kartu nama,” gumamnya membolak-balikan kartu nama yang ada di tangannya, lalu Jenia memasukkan kartu itu ke dalam saku celananya.
Tidak lama ia berdiri, sebuah taksi berhenti tepat di hadapannya dan mengantar Jenia ke alamat yang Jenia tunjukkan kepada sopir itu.
Setibanya di depan sebuah gedung, di mana di dalam gedung itu terdapat sebuah bar yang biasa dikunjungi Cherry ketika Cherry sedang merasa jenuh dengan kesibukannya sehari-hari, sedangkan Jenia hanya dua kali datang ke tempat itu.
Jenia celingak-celinguk menatap sekitar. Banyak muda mudi di sana untuk menghibur diri dari kepenatan menjalankan tugas duniawi di siang hari. Beberapa orang satpam berdiri dengan gagahnya di depan pintu.
Jenia melewati satpam itu dan masuk ke dalam, mencari keberadaan Cherry yang menelponnya sambil menangis-nangis. Sebelum masuk, Jenia membaca doá. Tempat itu bukanlah tempat yang pantas untuk Jenia masuki. Jika tidak karena terpaksa demi membahagiakan dan menghibur sahabatnya, Jenia begitu enggan untuk berada di sana.
“Cher, kamu kenapa?” tanya Jenia memeluk Cherry yang masih duduk sambil memegang minuman di tangannya.
“Lepaskan!” Jenia yang lugu melepaskan gelas yang ada di tangan Cherry. Jenia dapat merasakan kedukaan yang Cherry rasakan saat ini. Cherry tampak begitu patah hati, sehingga ia melarikan diri ke tempat hiburan malam dan meminum-minuman alcohol itu.
“Cher, ceritakan padaku ada apa? Kenapa pacarmu sampai memutuskan hubungan kalian?” tanya Jenia duduk di hadapan Cherry, menggenggam erat jari jemari Cherry, menguatkan Cherry yang tengah patah hati.
“Dia menuduhku berselingkuh, Je!” rengek Cherry lagi.
Jenia berusaha menghapus air mata yang mengalir di wajah Cherry.
“Kamu yang sabar ya, Je. Kamu harus kuat, lelaki di dunia ini tidak hanya dia saja!” Jenia berusaha untuk menguatkan sahabatnya yang tampak sedih karena perpisahan itu.
“Je, apa aku boleh minta sesuatu padamu?” tanya Cherry.
“Boleh, kamu mau apa?” tanya Cherry.
“Aku ingin kamu menemani aku minum malam ini!” pinta Cherry. Jenia terdiam sejenak menatap pada gelas dan sebotol anggur di mejanya saat ini.
Jenia meneguk salivanya, bagaimana bisa dia meminum-minuman beralkohol seperti itu, sedangkan Jenia tidak pernah merasakannya walau setetespun.
Jenia menarik napas dalam sebelum ia memberikan keputusan besar kepada Cherry.
“Baiklah aku akan menemanimu minum, tetapi aku tidak ingin minum-minuman anggur yang beralkohol seperti ini!” Jenia menyetujui permintaan Cherry dengan memberikan satu permintaan.
“Baiklah, kamu mau minum apa? Hm… maksudku, apa kamu mau jus orange?”
“Ya, jika ada, jika tidak ada, cukup berikan aku air putih saja,”
“Kamu ini nai’f atau bodoh sih, Je!” kekeh Cherry.
“Kamu tahu sendiri bukan, aku paling tidak bisa dengan minuman seperti ini, mencium aromanya saja, aku rasa mau muntah, bagaimana jika aku meminumnya, hergh!” Jenia bergidik merinding seketika ia membayangkan saat menyeruput minuman itu.
“Aku akan membawakan jus untukmu, tunggulah di sini!” Cherry beranjak hendak mengambil jus untuk Jenia, sedangkan Jenia duduk sembari tangannya sibuk dengan ponsel yang ada di tangannya.
“Ini, jus-mu, Je!” tidak lama, Cherry datang dan menyodorkan minuman itu kepada Jenia, Jenia pun menyeruput minuman itu.
Sambil duduk dan berusaha mengingat, akhirnya Jenia dapat mengingat bahwa dia tidak sadarkan diri setelah meminum jus jeruk yang diberikan Cherry kepadanya.
“Ya, aku ingat, aku meminum sebuah jus jeruk, lalu apa mungkin jus jeruk itu mengandung alcohol sehingga aku kehilangan kesadaranku?” Jenia memukul keningnya sendiri.
“Hanya segelas jus jeruk, rasanya sungguh tidak mungkin membuatku mabuk dan kehilangan kesadaranku,” pikirnya lagi membuatnya semakin pusing.
Ia mengambil tasnya dan menyalempangkan tas itu. Beranjak menuju pintu dengan kaki yang masih terasa lemas bergemetar.
Jenia menarik panel pintu, tetapi pintu itu masih terkunci, Jenia berteriak, “hey, apa ada orang? Aku terkunci di dalam sini, tolong keluarkan aku!”.
Jenia berharap lengkingan suaranya dapat didengarkan oleh orang yang berada di luar kamar itu.
“Ingat! Kalian harus menjaga gadis itu. Jangan biarkan dia keluar dari kamarnya, apa lagi keluar dari vila ini!” Jenia dapat mendengarkan suara parau seorang pria yang berada di luar kamarnya dengan menempelkan telinganya ke pintu. Nada bicaranya cukup tinggi dan membentak.
Mendengar bentakan itu, napas Jenia kembali tidak beraturan. Ia menjauhi dirinya dari balik pintu. Rasa takut mulai menghampirinya. Jenia berjalan menuju jendela. Menatap keluar, begitu rimbun pepohonan yang menjulang tinggi di luar sana.
“Di mana aku? Kenapa pria di luar itu mengatakan bahwa ini adalah Vila?” Jenia terus bertanya pada dirinya sendiri.
Ia begitu ingat semalam ia berada di sebuah bar, lalu mengapa ia ada di sebuah vila? Di vila mana ia berada saat ini? Apa yang sebenarnya terjadi pada Jenia hingga ia berada di tempat yang asing baginya?
*** Bersambung***
Mohon maaf ya, kepada treaders semua, karena cerita ini mengalami revisi . Selamat membaca dan semoga betah ya!
“Kenapa aku bisa berada di sini? Vila siapa ini? Apa mungkin Cherry membawaku ke Vilanya? Tidak mungkin! Lalu, siapa pria di luar sana?” Jenia terus bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Ia benar-benar merasa bingung dengan apa yang telah terjadi padanya saat ini. Tidak mendapatkan jawaban atas pertanyaannya itu, membuat Jenia semakin risau. Jenia menggigit jari, berharap ia mendapatkan ide luar biasa untuk bisa lepas dari sana. Jenia hanya bisa duduk diam sembari memikirkan cara untuk dapat keluar dari tempat itu. Suara pintu yang terbuka membuat Jenia kaget. Tidak ada orang yang datang dari balik pintu itu, hanya sepasang tangan yang menaruh nampan berisi makanan dan minuman di belakang pintu, kemudian pintu terkunci kembali. Seperti seorang tahanan di balik jeruji besi, kurang lebih hal itu yang dirasakan Jenia saat ini. Bahkan, mereka seolah-olah tengah memberikan makan pada seekor macan sehingga mereka takut untuk menemui Jenia secara langsung. “S
“Kamu adalah milikku!” suara itu kembali menggema di telinga Jenia. Jenia membulalangkan matanya, ia tidak mengerti apa maksud perkataannya. Bagaimana dia bisa mengatakan bahwa dia membeli Jenia, sedangkan Jenia sendiri tidak pernah memberikan diri dan hidupnya kepada orang lain. “Kamu bohong, kamu mau uang ‘kan? Aku akan memberikan uang yang kamu mau, aku pasti akan memberikannya, tetapi izinkan aku untuk pulang. Aku harus pulang!” pinta Jenia. Pria itu menarik Jenia dan memelintir tangan Jenia kebelakang. Jenia merintih kesakitan. Ia mendekatkan wajahnya dekat dengan wajah gadis itu. “Aku tidak akan membiarkan kamu pergi dari tempat ini sampai kamu memberikan anak untukku!” bisiknya dengan nada yang tegas. Jenia merintih kesakitan, tetapi ia masih dapat mendengarkan suara bisikan pria bertopeng itu. Jenia membuka matanya dengan lebar. Bagaimana bisa Jenia memberikan dia seorang anak sedangkan ia sama sekali tidak kenal dengan pria di hadapan
Di tempat lain, Cherry tengah menunggu kedatangan seseorang di dekat halte bus. Ia berdiri cukup lama sembari terus menatap pada layar ponselnya. Terik mentari yang memanas, semakin terasa membakar api semangat Cherry untuk membawa barang bawaannya pergi. Cherry sudah memesan sebuah tiket bus yang akan mengantarkan ia ke suatu tempat. “Jo!” Cherry memeluk pria bertubuh tinggi tegap yang baru saja turun dari mobil merahnya. Pria itu mengusap punggung Cherry. Seakan ia tidak merelakan Cherry untuk pergi dengan membawa beban banyak di dekatnya. “Cher, apa kamu yakin akan meninggalkan aku sendiri di sini?” pria bermata sayu nan teduh itu mempertanyakan kepergian Cherry kali ini. “Maafkan aku, Jo. Aku harus pergi, karena ayah dan ibuku saat ini sedang sakit, mereka memerlukan aku!” “Tapi, kamu pasti akan kembali, ‘kan, Cher, demi aku?” tanya Jonathan Alexandria yang merupakan kekasih Cherry. Dari mata yang teduh itu terlihat jelas, betapa i
Dahi Jenia mengerenyit, kepalanya masih terasa begitu sakit karena benturan keras yang disebabkan oleh pria bertopeng itu. Jenia menguatkan tubuhnya untuk duduk dan memperhatikan keadaan di sekelilingnya. Menatap pada jendela, langit di luar sana sudah mulai gelap, hujanpun sudah mulai reda. Bahkan lampu kamar itu pun menyala begitu menyilaukan mata. Jenia sadar bahwa ia masih berada di tempat yang sama, di Vila di mana Jenia sendiri tidak tahu dengan jelas di mana posisi vila itu. “Ternyata aku tidak sedang bermimpi. Ini adalah kenyataan pahit yang harus aku telan, tapi, sampai kapan aku terkurung di sini?” tanya Jenia pada dirinya sendiri. Ia terus memikirkan cara untuk dapat keluar dari ruangan itu. Jenia memijat pelipisnya yang masih terasa sakit. Seakan tidak dapat menemukan cara karena begitu banyaknya pengawal di luar sana, Jenia kembali menangis, kali ini ia benar-benar merasa hidupnya akan berakhir begitu saja di tempat yang sangat asing bagi
“Tanda tangani kontrak ini, atau kamu akan menyesal!” geram pria itu mencekik Jenia penuh amarah. “Tidak! Aku tidak akan menandatanganinya!” Jenia keras kepala, menolak untuk menandatangani surat kontrak yang ada di atas ranjangnya. “Huh, ternyata kamu memanglah gadis yang amat keras kepala. Kamu terlalu egois, sehingga kamu tidak memikirkan keluargamu yang berada di Jakarta akan hidup menderita karenamu!” Jenia membulatkan matanya mendengarkan ucapan pria itu yang merembet kepada keluarganya. Mungkinkah dia mengenal keluarga Jenia? ataukah ini hanya sekadar ancama belaka? “Kamu tidak kenal siapa keluargaku!” ucap Jenia dengan bangga dengan suaranya yang ia paksakan. Cekikan itu semakin kuat membuat Jenia merasa kesulitan untuk bernapas. Jenia merasa suaranya tercekat. “Pikirkanlah baik-baik, jika kamu tidak ingin tanda tangani perjanjian ini, maka bersiaplah mengucapkan selamat tinggal kepada ayah tercintamu, aku bisa membuatnya mati
Jenia sudah memikirkan dengan matang cara untuk keluar dari vila itu. Ia tidak akan peduli dengan hasil yang akan ia capai. Namun, Jenia percaya diri, bahwa ia bisa terbebas dari genggaman pria bertopeng itu meskipun ia harus mempertaruhkan nyawanya. “Aku pasti bisa menjalankan rencanaku ini,” ucapnya yakin meskipun ada sedikit kegetiran di dalam hatinya. Jenia tersenyum memandang pada langit yang mulai kelam. Seharian ini pria bertopeng itu tidak mendatanginya, membuat ia merasa sedikit lega dan dapat memulihkan kesehatannya setelah kemarin ia harus menahan rasa sakit yang diberikan oleh pria kejam itu. Jenia menatap vas bunga berbahan kaca yang ada di atas lemari kayu dekat kamar mandi. Jenia mengelus vas bunga itu dengan senyum penuh harapan. “Vas bunga yang sangat cantik, aku harap kamu sangat berguna di dalam kehidupanku ini!” tukas Jenia tidak luput pandangannya dari memandangi vas bunga dan mengelus benda yang ada di hadapannya itu.
Jenia mengandalkan segala kepandaiannya kali ini. Ia tidak bisa terus berlari sedangkan para pengawal itu terus saja mengejarnya, lagi pula, Jenia tidak tahu jalan mana yang harus ia telusuri agar terbebas dari tempat gelap dan dipenuhi pepohonan itu. Di hadapan Jenia ada sebuah pohon yang menjulang tinggi dan begitu banyak dahan di pohon yang bisa Jenia andalkan kali ini. Jenia tersenyum senang, seakan kepintarannya memberikan keberuntungan padanya. Ia tidak peduli dengan kemungkinan-kemungkinan binatang yang ada di atas pohon itu. Jenia berusaha untuk memanjat pohon itu setingginya, hingga para pengawal yang terus saja mengejarnya tidak dapat menemukan keberadaannya. Dari atas pohon, Jenia bisa mendengarkan suara para pengawal yang masih mengejarnya dan mencari-cari keberadaannya. Ia meneguk salivanya ketika seokor ular putih berada di dekatnya. Ia berusaha untuk tetap diam dan tenang, saat ular pohon menjulur melewati tubuhnya. Rasa
“Apa maksud ucapanmu itu?” tanya Jenia dengan nada yang mulai meninggi. Jonathan meneguk salivanya, jakunnya turun naik mendengarkan suara Jenia yang bernada tinggi dan memekakan telinganya. Sepertinya kali ini ia telah salah dalam berkata sehingga memancing kemarahan gadis yang tengah terpuruk di belakangnya saat ini. “Maaf, aku hanya bercanda saja, aku tidak bersungguh-sungguh dalam mengucapkannya!” Jonathan berusaha untuk meyakinkan Jenia dengan menggeleng-gelengkan kepala, menunjukkan bahwa ia adalah pria yang baik-baik. “Kenapa kalian para pria selalu saja seenaknya dalam bicara? Bukankah kamu tahu apa yang kamu katakan barusan itu adalah salah satu pelecehan terhadap wanita?” “Tolong, jangan berpikir seperti itu tentangku, aku sungguh-sungguh, sama sekali tidak bermaksud seperti itu, aku hanya bercanda saja,” gagap Jonathan. “Dalam situasi seperti ini, kamu masih bisa membuat guyonan kepadaku?” “Baiklah, aku minta maaf! Aku menga