Share

Pria Bertopeng

“Kenapa aku bisa berada di sini? Vila siapa ini? Apa mungkin Cherry membawaku ke Vilanya? Tidak mungkin! Lalu, siapa pria di luar sana?” Jenia terus bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Ia benar-benar merasa bingung dengan apa yang telah terjadi padanya saat ini.

Tidak mendapatkan jawaban atas pertanyaannya itu, membuat Jenia semakin risau. Jenia menggigit jari, berharap ia mendapatkan ide luar biasa untuk bisa lepas dari sana.

Jenia hanya bisa duduk diam sembari memikirkan cara untuk dapat keluar dari tempat itu. Suara pintu yang terbuka membuat Jenia kaget. Tidak ada orang yang datang dari balik pintu itu, hanya sepasang tangan yang menaruh nampan berisi makanan dan minuman di belakang pintu, kemudian pintu terkunci kembali.

Seperti seorang tahanan di balik jeruji besi, kurang lebih hal itu yang dirasakan Jenia saat ini. Bahkan, mereka seolah-olah tengah memberikan makan pada seekor macan sehingga mereka takut untuk menemui Jenia secara langsung.

“Siapa mereka? Mengapa mereka mengurungku di sini? Di mana Cherry?” Jenia tidak berhenti bertanya pada dirinya sendiri.

Matanya menatap pada makanan yang masih berada di belakang pintu. Ia mengambil napas panjang lalu mengembuskan dengan kasar dan membuang muka ke arah lain, merasa enggan untuk menyantap makanan itu.

“Aku tidak ingin makan! Bawa kembali makanan kalian!” pekik Jenia mengancam seolah-olah akan ada orang yang datang mendengarkan teriakannya kali ini.

Jenia kembali berselimut, berusaha untuk menahan rasa lapar yang sejatinya sudah membuat perutnya bergemuruh sejak tadi.

“Hei, aku tidak akan makan! Keluarkan aku dari sini!” Jenia terus terpekik.

Ia tidak peduli pada suara parau yang terdengar tegas di telinganya, yang ia pedulikan adalah sang ayah yang pasti dari semalam sudah menunggunya untuk pulang. Bisa saja ayahnya, Maheza, menunggunya dengan tangkai sapu yang siap untuk dipukulkan pada Jenia karena tidak pulang semalam tanpa memberikan kabar.

Pintu kamar tempat Jenia berada kembali terbuka, kali ini seorang wanita yang tampak renta datang dan membawakan makanan itu pada Jenia. Dari pakaian seragam yang ia kenakan, sudah jelas bahwa dia adalah asisten rumah tangga di vila itu.

“Anda siapa?” tanya Jenia dengan bibir manyun.

“Saya diperintahkan tuan muda untuk mengantarkan makanan ini kepada Nona. Nona harus makan, jika nona tidak makan, maka seluruh orang yang berada di vila saat ini juga tidak boleh makan!” tutur wanita tua itu dengan bahasa yang lugas dan santun.

Jenia menganga, peraturan aneh itu benar-benar tidak biasa terdengar di telinganya. Biasanya, Maheza selalu menghukum Jenia dan melarang Jenia untuk makan, tetapi karena kebaikan kakak tirinya, Jenia masih bisa mengisi perutnya yang kosong.

Namun, peraturan di vila itu sungguh berbeda, membuat Jenia yang berhati lembut merasa tidak tega jadinya. Jenia tidak ingin orang lain menderita karena dirinya.

“Makanlah walau sedikit, sejak pagi Nona tidak menyantap apapun!” ucapnya lagi dengan nada khawatir.

“Baiklah, akan aku lakukan, aku akan menyantap semua makanan ini karena aku tidak ingin kalian menjadi kelaparan, tapi …” Jenia terdiam sejenak, sedangkan wanita tua itu tampak menantikan apa yang akan Jenia ucapkan.

“Tapi, aku ingin kalian membiarkan aku keluar dari tempat ini, aku harus pulang!” rengek Jenia.

Wanita itu berbalik badan dan meninggalkan Jenia tanpa berkata sepatah katapun. Membuat Jenia merasa jengkel lalu menyantap makanannya dengan rasa kesal.

Penjagaan di depan kamar Jenia begitu ketat, ada tiga orang yang berdiri di depan pintu. Di anak tangga juga terdapat dua orang yang berdiri di sana. Di depan setiap pintu yang mengarah keluar dari vila itupun dijaga ketat oleh pria yang berseragam hitam dengan otot yang menyembul dari balik baju yang mereka kenakan.

“Kenapa mereka mengurungku di sini? Kesalahan apa yang telah aku lakukan? Apa Papa memiliki hutang sehingga mereka menyandera aku sampai papa melunasi hutangnya dengan menjualku?” Jenia tidak berhentinya bertanya-tanya.

Ia kembali ingat pada Cherry. Entah bagaimana nasib Cherry saat ini, apakah Cherry juga mengalami hal yang sama dengannya? Atau Cherry diperlakukan lebih parah dibandingkan dengannya?

Huh, Jenia mengembus napas kasar, ia tidak bisa membayangkan jika kemalangan dan penyekapan ini juga terjadi pada sahabatnya.

“Cherry pasti akan menderita, bahkan orang tua Cherry di kampung pasti akan sangat sedih apalagi orang tua Cherry tidak akan mampu menebusnya jika pencuri ini meminta uang tebusan,” pikir Jenia.

“Papa!” seketika Jenia teringat pada Maheza, sang papa yang telah berusia renta itu pasti akan terkena serangan jantung jika mengetahui keberadaan putrinya yang terkurung di sebuah tempat dengan pengawasan ketat seperti ini.

Jenia beranjak mendekati pintu. Ia tidak bisa berlama-lama berada di tempat itu. Ia harus keluar dari sana dan kembali pulang untuk menemui Maheza yang pasti marah karena menunggu kepulangannya.

“Tolong … lepaskan aku, biarkan aku pulang!” rengek Jenia menggedor-gedor pintunya meminta untuk dilepaskan dari kurungannya saat ini.

Tidak ada jawaban dari luar, tetapi tak lantas membuat Jenia menyerah karena keadaan itu, Jenia kembali terus menggedor pintu sembari merengek meminta untuk dibukakan.

Pintu itu terbuka, Jenia mundur sedikit ke belakang. Seorang pria berpostur tinggi tegap dengan mengenakan topeng di wajahnya datang menghampiri Jenia.

Kharismatik pria itu membuat Jenia terdiam kaget, terlihat jelas dari postur tubuhnya yang tinggi tegap. Jenia sama sekali tidak tahu siapa orang yang berada di balik topeng itu.

“Kamu pasti bos mereka, kamu pasti salah orang, aku bukan anak orang yang paling kaya, aku juga bukan anak yang dimanjakan orang tua, sehingga jika kamu meminta tebusan pada mereka, mereka pasti tidak akan memberikannya,” tutur Jenia menepiskan rasa takutnya.

Pria itu dapat memandang dan melihat Jenia dengan jelas dari balik topengnya. Gadis itu berwajah lugu, tetapi ia juga cukup pandai dalam berkata-kata. Pria bertopeng itu mengamati Jenia dari puncak kepala hingga ke ujung kaki.

 Pria di hadapan Jenia saat ini adalah Marvin Hadijaya Sasena, seorang duda kaya raya pemilik usaha furniture terkenal di Indonesia. Dari matanya ia menunjukkan kemarahan pada Jenia yang selalu berisik meminta untuk dilepaskan.

“Aku mohon, Tuan. Lepaskan aku dari sini, aku harus kembali pulang dan bekerja! Lagi pula, keluargaku tidak memiliki uang untuk memberikan tebusan kepadamu,” rengek Jenia lagi dengan nada memelas dan memohon, menyatukan kedua telapak tangannya.

“Diam! hentikan rengekanmu itu!” suara itu terdengar tegas dan penuh kemarahan. Seketika, Jenia menutup mulutnya, merasa kaget dengan apa yang ia dengar barusan.

Setelah seharian menunggu untuk dibebaskan, kali ini Jenia hanya mendapatkan hardikan dari pria bertopeng itu.

Marvin berjalan selangkah demi selangkah mendekati Jenia, sedangkan Jenia melangkah mundur hingga tubuhnya terhenti di sebuah tembok yang beradu dengan punggungnya.

“Apakah mulutmu ini tidak bisa diam, hah?” tanyanya lagi dengan penuh emosi.

Jenia masih bungkam, ia terlalu takut untuk menjawab pertanyaan pria bertopeng itu. Orang yang sedang berada di dalam kemarahan bisa melakukan apapun kepadanya, Jenia masih belum siap jika ia harus meninggalkan Papanya dengan cara mati mengenaskan di tangan pria itu.

“Apa kamu tahu siapa dirimu itu?” tanyanya lagi dengan nada tegas, membuat jantung Jenia terasa ingin copot mendengarkannya.

“Aku Jenia!” celetuk Jenia.

“Kamu adalah milikku, aku sudah membelimu dengan harga yang cukup mahal, aku harap kamu tidak akan mengecewakanku! Maka, lakukan tugasmu dengan baik dan tutup mulutmu itu!” tegasnya lagi.

Bibir Jenia ternganga mendengarkan pengakuan pria yang sama sekali tidak pernah ia kenali itu.

*** Bersambung***  

Thietha

Jika kalian suka cerita ini, jangan lupa tambahkan ke rak kalian ya!

| Sukai

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status