Marvin tengah dirawat oleh seorang Dokter karena luka akibat vas bunga itu begitu dalam. Sedangkan Ferdinand mondar-mandir di luar ruangan menantikan Dokter keluar dari dalam dan memberikan kabar padanya.
“Dasar bodoh! Kenapa kalian bisa melepaskan gadis itu begitu begitu saja!” berang Marvin pada salah seorang pengawal yang bertugas untuk menjaga Jenia.
Tangan Ferdinand tidak hentinya menampar dan memukuli wajah pria di hadapannya itu, dengan kekesalan yang mendalam dan amarah yang memuncak.
“Aku tidak mau tahu, sekarang kalian cari gadis itu sampai dapat dan pastikan kalian membawanya kembali ke hadapanku!” tegas Ferdinand.
Pengawal itu pergi setelah mendapatkan perintah dari Ferdinand. Ferdinand begitu merasa kesal. Bagaimana tidak, ia merasa takut jika saja Marvin bangun dan mempertanyakan keberadaan gadis itu.
Marvin pasti akan marah besar padanya dan membatalkan semua kerja sama yang sudah ada di depan mata karena gadis itu. Ferdinand begitu stress memikirkan apa yang akan terjadi padanya saat ini karena insiden itu.
“Gadis kampung sialan, dia pun sangat sulit untuk di hubungi!” Ferdinand hampir saja mencampakkan ponselnya karena nomer yang ia tuju saat ini tidak dapat di hubungi.
“Hah!” Ferdinand meninju dinding hingga tangannya berdarah. Ia tidak dapat berpikir lebih baik setelah apa yang terjadi saat ini. Bahkan keberadaan Marvin di rumah sakit sekarang ini membuat Ferdinand semakin merasa bersalah.
“Bisa-bisanya gadis tidak tahu diri itu memukul Marvin dan melarikan diri, dia tidak tahu dengan siapa dia akan berhadapan!” ucap Ferdinand geram mengepalkan tangannya yang terluka.
Lampu ruangan operasi masih menyala, sudah beberapa jam Ferdinand menantikan Dokter akan keluar dari ruangan itu. Namun, Dokter tidak jua keluar dari ruangan hingga Ferdinand hampir saja terlelap di kursi tunggu.
Dokter dan beberapa orang suster keluar dari ruangan itu. Ferdinand yang mendengarkan suara pintu yang berdecit terbuka, segera berlari menghampiri Dokter.
“Dokter bagaimana keadaan Marvin?” tanya Ferdinand menantikan jawaban sang Dokter.
“Kami sudah melakukan operasi karena luka yang diterima pasien saat ini begitu dalam,” sahut sang Dokter.
“Apa operasinya berhasil Dokter?” tanya Ferdinand lagi.
“Ya, operasinya berhasil, kami akan memindahkan pasien ke kamar inap!”
“Syukurlah … Dokter, pindahkan dia ke kamar VVIP saya minta Dokter untuk merahasiakan insiden yang terjadi pada Marvin saat ini.”
“Tuan, kami akan menjaga rahasia pasien dengan sangat baik. Jangan terlalu khawatir, kita hanya perlu menunggu agar pasien segera sadar!” ucap Dokter sembari menepuk pundak Ferdinand. Kemudian ia meninggalkan Ferdinand.
Marvin telah dipindahkan ke ruang inap yang dipinta oleh Ferdinand, sementara itu Ferdinand menjaga Marvin dengan sangat baik.
Ferdinand berusaha untuk menelpon, tetapi semua nomer yang ia telpon saat ini tidak satupun yang aktif, membuat Ferdinand semakin kesal.
“Sial, kemana saja mereka. Kenapa tidak ada nomer yang bisa di hubungi? Gadis kampung itu juga tidak bisa di hubungi, apalagi Kak Jo. Apa mereka sedang bersama malam ini?” pikir Ferdinand mengempaskan ponselnya ke atas lantai.
“Fer…” mendengarkan suara orang yang memanggilnya, Ferdinand segera menghampiri Marvin yang tengah terbaring di atas ranjangnya.
“Vin, kamu sudah sadar?” tanya Ferdinand merasa senang dan takut jikalau Marvin akan marah besar padanya.
“Gadis itu kabur, dia bukan gadis kampung biasa seperti yang kamu katakan padaku!” bisik Marvin karena Marvin masih belum sanggup untuk berkata banyak.
Ferdinand membulalangkan matanya, sahabatnya kali ini mengakui kemampuan Jenia. Ferdinand merasa beruntung karena Marvin tidak serta memarahinya dan mencaci maki karena ia salah memilihkan gadis untuk sahabatnya itu.
“Aku sudah menyuruh orang untuk mencarinya, kamu tenang saja, kita pasti akan menemukannya!” dengan penuh kepastian Ferdinand berusaha untuk menghibur sahabatnya yang tengah menahan rasa sakitnya.
***
Perlahan Jenia membuka matanya, ia merasa tengah menghimpit sesuatu saat ini. Jenia membulatkan matanya ketika melihat bidang yang datar tepat di hadapannya. Segera ia berdiri.
“Bagaimana bisa aku tidur di atas tubuhnya?” Jenia menutup mulutnya tidak ingin membuat suara yang mungkin akan membuat Jonathan terbangun.
“Dasar pria cabul. Dia memang benar-benar tidak bisa di percaya!” geram Jenia.
Jenia segera berlari meninggalkan kamar itu sebelum Jonathan terjaga dari tidurnya. Baru saja hendak keluar dari apartemen itu, Jenia ingat, ia tidak memiliki sepeser uang pun.
Jenia kembali ke kamar Jonathan, di atas nakas Jenia melihat dompet milik Jonathan. Jenia mengambil beberapa lembar uang milik Jonathan lalu ia berlari meninggalkan tempat itu.
Jenia menghentikan taksi yang melintas di sana, memberikan alamat yang akan ia tuju saat ini.
Sopir taxi itu merasa heran melihat keadaan Jenia yang begitu berantakan, tetapi ia enggan menanyakan apa yang terjadi pada Jenia saat ini.
Langit sudah mulai terang, bahkan embun yang membasahi dedaunan sudah mulai tercium aromanya. Jenia turun dari taxi ketika ia sudah sampai di sebuah kossan yang merupakan tempat tinggal Cherry, sahabatnya.
Menatap pasti pada pintu gerbang yang dijaga oleh seorang satpam. Jenia masuk ke dalam kossan itu. Ia berdiri sejenak di depan sebuah kamar yang merupakan kamar Cherry.
Jenia mengetuk pintu kamar itu.
“Cherry … Cherry… aku mohon kamu keluar sekarang juga Cher!” Jenia terus memanggil Cherry.
“Nak Jenia!” sapa seorang wanita berhijab. Usianya sekitar lima puluh tahunan. Ia adalah Bu Yuni, pemilik kossan itu. Bu Yuni cukup kenal dengan Jenia, karena Jenia juga pernah menginap di kamar yang sama dengan Cherry.
“Bu apa Cherry ada?” tanya Jenia.
“Loh, emangnya kamu tidak tahu? Cherry sudah pergi kemarin!”
Jenia membulalangkan matanya, kemana Cherry pergi saat ini? Kenapa begitu tiba-tiba? Apakah Cherry memang sengaja meninggalkannya begitu saja?
Jenia merasa terluka mendengarkan kata pemilik kossan itu. Air matanya kembali menetes. Ia sudah menyiapkan banyak pertanyaan untuk Cherry, tetapi ia merasa hasilnya akan nihil karena Cherry sudah pergi, entah kemana.
“Bu, apa Ibu tahu kemana Cherry pergi?”
“Ibu tidak tahu, mungkin saja dia pulang kampung,”
“Cherry pulang kampung? Ah… aku sendiri tidak tahu di mana kampungnya, apa ibu tahu di mana kampung halaman Cherry?” tanya Jenia lagi. Jenia begitu terpukul dan terpuruk.
“Nak, Ibu juga tidak tahu di mana kampung Cherry.” Bu Yuni menepuk pundak Jenia. Ia berpikir mungkin Cherry dan Jenia sedang bertengkar saat ini.
“Nak, keadaanmu sangat berantakan sekali, sebaiknya kamu masuk dan bersihkan dirimu, semalam Ibu lihat, Cherry menyisakan beberapa pakaian di dalam lemarinya,” Bu Yuni membukakan pintu kamar Cherry dan meminta Jenia untuk masuk ke dalam kamar itu.
Jenia pun masuk ke dalam kamar itu. Bu Yuni kembali menutup pintu kamar. Jenia meringkuk di atas lantai. Tangisnya kembali pecah mengingat sahabatnya yang pergi begitu saja sebelum memberikan penjelasan kepadanya.
Jenia begitu terluka, terpuruk dalam jurang yang dalam. Hidupnya saat ini seakan menjadi sebuah boneka bagi sahabatnya sendiri yang sudah memperjual belikan dirinya yang masih memiliki harapan dalam masa depan yang gemilang.
Jenia berjalan menuju kamar mandi. Di sana ada bathtub, Jenia mengisi bathtub itu dengan air hingga penuh. Tanpa menanggalkan pakaiannya, Jenia masuk ke dalam bathtub dan membenamkan dirinya. Ia merasa begitu sedih, seakan tidak ada jalan baginya untuk keluar dari kesedihan dan keterpurukan yang ia terima saat ini.
“Kamu kejam Cherry!”
“Kamu jahat padaku, Cherry!”
“Apa salahku hingga kamu seperti ini padaku?”
Batin Jenia terus bertanya-tanya, meskipun ia tahu sangat tidak mungkin ia mendapatkan jawaban atas pertanyaannya saat Cherry sudah pergi entah kemana.
Bersambung …
Jenia menyentak tubuh Jonathan ke dinding. Jonathan terpaku dengan sikap yang ditunjukkan Jenia kepadanya. Ia tidak menyangka gadis itu begitu kuat dan terpancar aura kemarahan darinya“Apa rahasia yang kamu ketahui tentang Cherry?” tanya Jenia lagi dengan nada memaksa.“Rahasia apa? Aku tidak tahu apa-apa,” sahut Jonathan kaget dengan sikap Jenia yang tiba-tiba bersikeras ingin mengetahui sesuatu darinya.“Ah, aku benar-benar merasa gila sekarang. Bagaimana mungkin aku berada di sini, sedangkan aku tidak tahu di mana keberadaan Cherry saat ini,” keluh Jenia.“Je, aku benar-benar bingung, sebenarnya apa hubunganmu dengan Cherry? Maksudku, saat itu kamu enggan untuk menjawab pertanyaanku yang menanyakan hubungan antara kamu dengan Cherry, tetapi sekarang kamu yang ingin membahas ini,”sahut Jonathan.Jenia membuka matanya dengan lebar. Apa yang dikatakan Jonathan memang benar. Selama ini Jenia ber
Pintu terbuka lebar, begitupun dengan netra hitam pekat yang berdiri di hadapan Jenia saat ini. Matanya tidak berkedip sedetikpun melihat keberadaan Jenia di hadapannya saat ini.“Siapa ya?” tanya Jenia lagi.“Kamu kenapa bisa ada di sini?” tanya pria itu segera masuk ke dalam rumah meskipun Jenia belum memberikan ia aba-aba untuk masuk.“Tunggu dulu, kamu siapa?” tanya Jenia kemudian ia menutup pintu.“Kamu pasti sudah lupa padaku, tetapi aku masih ingat dengan jelas siapa kamu,” ujarnya duduk di atas sofa dengan kaki bersilang.“Hmm ….” Jenia berusaha mengingat kembali sosok yang ada di hadapannya saat ini. Ingatan Jenia sangatlah buruk, ia tidak bisa mengingat sosok yang baru sekali ia temui.“Hai, Dave!” sapa Jonathan yang baru saja keluar dari dapur dengan apron yang masih melekat di tubuhnya.“Hai, Jo. Aku tidak sedang mengganggu kalian berdua k
Jenia berusaha untuk menghindari sosok pria yang terus melangkah mendekatinya. Semakin dekat, membuat Jenia dapat melihat dengan jelas sosok pria bertopeng di hadapannya saat ini. Dua bulan sudah berlalu. Namun, dalam tempo yang singkat itu masih belum bisa membuat Jenia lupa pada sosok pria bertopeng di hadapannya saat ini. Pria angkuh yang selalu memperlakukannya secara kasar selama dua hari berada di sebuah Vila yang Jenia sendiri tidak ingat dengan pasti di mana Vila itu berada. Pria yang selalu menyodorkan surat kontrak agar Jenia bersedia hamil dan melahirkan anak untuknya, tetapi Jenia tidak memiliki hak atas anak yang dikandungnya, dialah pria itu. “Mr.M!” risik Jenia terus berjalan mundur sedangkan pria itu semakin melangkah cepat mendekati Jenia. “Kamu masih ingat padaku gadis nakal?” suara itu menggelegar di telinga Jenia, membuat bulu remang Jenia bergidik merinding mendengarkannya. Suara itu begitu menakutkan di telinga Jen
saJenia menyeka air matanya. Penuturan sang kakak membuat dirinya terasa semakin lemah. Hati siapa yang tidak merasa sedih dengan pertanyaan yang ia sodorkan? Jenia beranjak, membelakangi Erlina yang masih duduk menantikan jawabannya. Ia berniat untuk meninggalkan Erlina tanpa memberikan jawaban, tetapi Jenia mengurungkan niatnya. Jenia kembali duduk, menghadap pada kakak yang selama ini selalu ia anggap baik, tetapi sejak saat ini, Jenia merasa ragu dengan sikap yang ia tunjukkan saat ini. “Kak, apa kakak bukan seorang wanita? Kenapa kakak mempertanyakan hal ini kepadaku?” tanya Jenia. Kali ini, gentian Erlina yang terdiam mendengarkan pertanyaan Jenia. Tidak ada kegentaran sama sekali di wajah Jenia. “Bukankah kakak sendiri tahu apa yang benar dan apa yang salah di dunia ini? Selama ini aku selalu kagum pada kakak yang rajin mengikuti kegiatan keagamaan, bahkan dari yang aku lihat, setiap malam kakak selalu membaca kitab,” tutur Jenia.
Jenia kembali mengemasi barang-barangnya dan bersiap-siap untuk pergi meninggalkan tempatnya saat ini. Jonathan hanya bisa memandang tanpa bisa berkata apa-apa lagi.Bukan karena Jonathan tidak berusaha untuk menahan Jenia untuk tetap berada di tempatnya sementara waktu, tetapi Jenia terus bersikeras untuk mencari tempat tinggal lain.“Je, jika kamu bersedia, kamu bisa tinggal di sini,” ucap Jonathan mengulang ucapan yang sudah pernah ia katakan sebelumnya.“Jonathan, bagaimana bisa seorang wanita dan pria yang belum menikah tinggal bersama? Kita ini berada di sebuah Negara yang taat akan hokum,” Jenia beralasan.“Ya, aku tahu, tetapi jika kamu mau untuk tinggal di sini, aku bisa tinggal di tempat yang lain,” ucap Jonathan berusaha untuk membuat Jenia mengerti.“Bagaimana bisa aku tinggal di rumah ini, sedangkan pemiliknya harus terusir karena aku?” tutur Jenia lagi.Bagaimanapun Jonathan sudah
“Apa kita harus ke rumah sakit?” tanya Jonathan bersiap untuk melajukan kendaraannya.“Seharusnya aku yang mengatakan hal itu kepadamu, kamu terluka dan wajahmu juga memar!” ucap Jenia menunduk merasa bersalah karena telah menjadi penyebab luka di wajah Jonathan.“Kamu tidak perlu mengkhawatirkan aku, karena aku begitu khawatir melihat kamu jatuh tersungkur karena pria banci itu,” geram Jonathan mengingat kejadian beberapa menit lalu.“Aku tidak apa-apa, hanya merasa sakit sedikit saja! Sebaiknya kita ke rumah sakit untuk mengobati lukamu ini,” ucap Jenia.“Tidak, aku tidak akan ke rumah sakit hanya karena luka kecil ini.” Jonathan bersikeras untuk tidak ke rumah sakit, “lama sekali temanmu datang membawakan barang-barangmu,”sambung Jonathan.Jenia hanya diam tidak menjawab, karena Jenia sendiri tidak tahu kenapa Dion begitu lama membawakan koper miliknya. Tidak lama mereka men
Seperti biasanya, di dapur toko kue itu, Jenia selalu disandingkan dengan Dion dalam bekerja karena mereka sama-sama juru masak di sana.Dion selalu memberikan cerita-cerita kocak di sela kerjanya karena ia menganggap hal lucu akan membuat pekerjaan terasa ringan dan lebih santai, karena setiap harinya mereka selalu berkelibut dengan tepung dan adonan kue, sehingga akan sangat jarang berjumpa dengan orang lain selama mereka berada di dapur.“Je, kamu tahu, ternyata aku salah, aku pikir dia adalah seorang wanita karena memiliki rambut yang panjang dan indah, tetapi ternyata dia adalah seorang pria,” kekeh Dion sejadinya mengingat ceritanya yang sempat terjeda.Selama Dion menceritakan kisah-kisah kocaknya, Jenia hanya tersenyum simpul dan tidak ikut tertawa. Jenia tidak ingin Lila kembali salah paham jika melihatnya tertawa bersama dengan Dion, pria yang disukai Lila.“Dion, sudahlah jangan bercerita lagi, aku takut jika Bos Justin datang
Mata Jenia seakan sulit untuk berkedip, ia merasa lebih nyaman memandang sesuatu dengan focus, meskipun Dion, rekan satu kerja dengannya tahu bahwa saat ini Jenia tidak hanya sekadar memandang ke arah langit yang indah akan bintang-bintang berkilauan di angkasa, tetapi Jenia sedang melamun.“Je, ada apa denganmu? Sedari tadi kamu hanya melamun saja, bahkan kamu tidak menyantap makan malammu ini.” Kehadiran Dion mengejutkan Jenia yang melamun.“Eh, Dion, kamu bilang apa tadi? Aku tidak mendengarkannya, maafkan aku!” pinta Jenia.“Je, ada apa? Sejak kamu datang, aku perhatikan kamu seperti bukan dirimu saja. Ragamu memang berada di sini, tetapi pikiran dan hatimu seperti berada di tempat lain. Apa kamu sedang patah hati?” terka Dion.“Tidak, Dion, Aku tidak apa-apa. Aku juga sedang tidak patah hati, toh selama ini juga aku tidak pernah jatuh cinta,” sahut Jenia berusaha untuk menunjukkan senyuman terbaiknya.
Marvin masih sibuk memutar-mutar pena yang ada di tangannya. Ia masih menunggu kabar dari anak buah yang ia kerahkan untuk mencari keberadaan Jenia. Sudah dua bulan, Marvin tidak lagi mendengarkan kabar tentang Jenia, bahkan ia juga sudah meminta Ferdinand menghubungi Cherry.“Mereka berdua pasti sudah bersekongkol untuk mengelabui kita,” ucap Marvin kepada Ferdinand yang masih duduk kaku di atas sofa di dalam ruangan kerja itu.“Aku tidak yakin jika mereka berdua bersekongkol untuk mengelabui kita, karena Cherry sangat membenci gadis itu,”“Apa kamu yakin? Para wanita itu sangat mudah untuk membohongi orang lain dengan mimic wajah mereka,” ucap Marvin.“Ya, aku sangat yakin. Aku rasa, gadis itu masih berada di Bandung, Vin!”“Aku merasa yakin bahwa dia kembali ke Jakarta dan kembali pulang ke keluarganya,” ucap Marvin merasa yakin dengan apa yang terpikir di otaknya.“Itu dia