“Apa maksud ucapanmu itu?” tanya Jenia dengan nada yang mulai meninggi.
Jonathan meneguk salivanya, jakunnya turun naik mendengarkan suara Jenia yang bernada tinggi dan memekakan telinganya. Sepertinya kali ini ia telah salah dalam berkata sehingga memancing kemarahan gadis yang tengah terpuruk di belakangnya saat ini.
“Maaf, aku hanya bercanda saja, aku tidak bersungguh-sungguh dalam mengucapkannya!” Jonathan berusaha untuk meyakinkan Jenia dengan menggeleng-gelengkan kepala, menunjukkan bahwa ia adalah pria yang baik-baik.
“Kenapa kalian para pria selalu saja seenaknya dalam bicara? Bukankah kamu tahu apa yang kamu katakan barusan itu adalah salah satu pelecehan terhadap wanita?”
“Tolong, jangan berpikir seperti itu tentangku, aku sungguh-sungguh, sama sekali tidak bermaksud seperti itu, aku hanya bercanda saja,” gagap Jonathan.
“Dalam situasi seperti ini, kamu masih bisa membuat guyonan kepadaku?”
“Baiklah, aku minta maaf! Aku mengaku salah.” tutur Jonathan merasa bersalah.
Selesai menyantap makanannya, Jenia dibantu Jonathan membersihkan kakinya yang lecet karena Jenia berlari tanpa mengenakan alas kaki.
“Tidak usah! Aku bisa sendiri!” ucap Jenia menolak bantuan Jonathan kali ini.
“Pekerjaan akan semakin ringan jika dikerjakan bersama, lagi pula aku lihat kamu begitu ragu!” tutur Jonathan tanpa ragu mengolesi kaki Jenia dengan salap dari kotak P3K miliknya.
“Kakiku terasa sedikit perih, mungkin karena itu!”
“Lehermu berdarah, sini aku bantu memakaikan hansaplastnya.”
“Tidak usah!” tolak Jenia.
“Sini, kamu tidak bisa melihat bagian mana yang harus ditutupi, jadi jangan menolak ya, aku hanya ingin membantu.”
Jenia menganggukkan kepalanya menyetujui niat baik Jonathan padanya kali ini.
“Oh, ya,sebelum ini kita belum saling berkenalan, mmm, maksudku aku masuh tidak tahu siapa namamu?” tanya Jonathan tanpa menoleh karena ia sedang sibuk mengobati luka di leher Jenia.
“Namaku Jenia,”
“Nama yang bagus!”
“Terima kasih,”
“Hmm… apa yang terjadi padamu? Kenapa kamu sampai seperti ini?” Jonathan bertanya dengan hati-hati.
“Seseorang telah menculikku!” sahut Jenia.
“Kenapa kamu tidak lapor ke polisi?”
Jenia menggeleng-gelengkan kepalanya. Mendengarkan kata ‘polisi’ membuat Jenia semakin tidak percaya diri, terlebih orang yang akan Jenia hadapi di medan hukum bukanlah orang yang sembarang. Dia memiliki uang yang banyak, sudah jelas dia memiliki kekuasaan yang mampu dengan cepat mengalahkan Jenia.
Ia bukan korban penculikan, tetapi korban dari ketidak adilan dunia, sehingga seorang sahabat menghianatinya dengan tindakan yang tidak pernah terpikirkan dan terbayangkan oleh Jenia selama ini.
“Aku hanya orang lemah, aku tidak memiliki bukti jika dia sudah menculikku, terlebih sepertinya dia orang yang berpengaruh!” ucap Jenia dengan raut wajah yang sedih.
“Hm… ya sudah, yang penting saat ini kamu sudah terbebas darinya. Kamu harus lebih berhati-hati sekarang. Tidak semua orang bisa bersikap baik kepada orang lain.
“Bagaimana denganmu?” tanya Jenia.
“Ya, jelas aku adalah orang yang baik-baik, jika aku tidak baik mana mau aku memberikan tumpangan dan bersedia menurutimu!” kekeh Jonathan.
“Kamu sendiri, apa yang kamu lakukan di daerah itu?” tanya Jenia.
“Kebetulan aku ada pertemuan penting untuk kerja sama dengan rekan-rekanku di salah satu kantor cabang yang ada di daerah itu.”
“Lalu, bagaimana dengan pertemuan pentingmu itu?” tanya Jenia lagi.
“Ya, gagal karena aku ada di sini saat ini!”
“Maaf!”
“Kamu tidak perlu minta maaf, karena bagiku nyawa seseorang lebih penting dari pertemuan itu!”
“Terima kasih karena sudah peduli kepadaku,”
“Kamu jangan berpikir macam-macam, aku memang orang yang sangat peduli, tetapi kepedulianku ini tidak hanya kepadamu saja, aku sangat peduli kepada orang yang sedang dalam kesusahan, aku peduli kepada anak-anak bahkan aku juga peduli kepada orang yang sudah tua,”
“Ya, memang seharusnya kita menjadi manusia yang saling peduli satu sama lain, bukan?”
“Iya, kamu benar. Sebelumnya kemana aku harus mengantarmu?”
“Ke Jakarta!”
“Oh ya, apakah kita akan ke Jakarta malam ini juga? Atau kamu mau kita cari penginapan saja?” Jonathan berbalik tanya.
“Aku tidak ingin ke penginapan, apa kamu mau menjebakku?” suara Jenia mulai bergemetar dan meninggi. Sangat sulit bagi Jenia untuk membayangkan ia berada di sebuah penginapan bersama dengan pria yang masih tidak jelas tujuannya untuk membantu Jenia.
Jenia merasa was-was, ia takut pria di hadapannya adalah salah seorang anggota dari Mr. M yang mengaku telah membelinya.
“Tidak!” tolak Jenia dengan tegas.
“Loh, kenapa? Jika kita tetap pergi ke Jakarta malam ini juga, aku tidak merasa yakin kita bisa sampai di tempat tujuan dengan selamat!”
“Kenapa tidak?”
“Apa kamu bisa menyetir?” Jonathan menjawab pertanyaan Jenia dengan kembali bertanya.
“Tidak!” tutur Jenia menunduk.
“Kalau begitu, baiklah!” Jonathan terpaksa menuruti kehendak gadis yang ada di belakangnya. Ia tidak ingin gadis itu mencurigainya atas perbuatan yang tidak pernah ia lakukan.
Jonathan cukup paham apa yang menjadi ketakutan Jenia saat ini. Mereka berdua baru dua kali di pertemukan, bagaimana bisa Jenia langsung percaya begitu saja padanya. Terlebih dari pandangan mata Jenia terlihat ada trauma yang menyerangnya.
Jonathan terus melajukan mobilnya di jalanan masuk menuju Tol Cipularang, sementara itu gadis yang berada di belakangnya saat ini sudah terlelap dalam tidurnya di jok belakang.
Kurang lebih tiga jam perjalanan dari Bandung-Jakarta, mereka pun sampai di halaman parkir hampton’s Park Apartemen karena Jonathan tidak tahu kemana dia harus mengantar gadis yang ada di belakangnya saat ini.
“Je!” panggil Jonathan pelan menepuk pundak Jenia.
“Jangan sentuh aku. Lepaskan aku, Lepaskan!” igau Jenia. Tangannya melayang-layang seolah ia tengah melakukan perlawanan.
“Je, Jenia!” panggil Jonathan lagi.
Keringat di kening Jenia mengucur deras. Di dalam mobil yang dingin dan ber AC seolah-olah Jenia sedang berada di dekat bara api. Ia pun terus mengigau.
Jonathan merasa panik melihat kondisi Jenia saat ini, ia berusaha membangunkan Jenia. Ia menaruh tangannya di kening Jenia, tubuh Jenia begitu panas, mungkin saja jika sebuah telur di taruh di atas keningnya telur itu akan matang jadinya.
Jonathan tidak punya cara lain lagi selain menggendong dan membawa gadis itu masuk ke dalam apartemennya. Jonathan menggendong tubuh Jenia di belakang punggungnya. Ia menaruh tubuh mungil itu di atas ranjang miliknya.
Jenia masih saja meracau tidak jelas. Jonathan merasa iba pada gadis yang tengah demam tinggi itu.
Jonathan mengambil air dan handuk kecil untuk mengompres Jenia untuk menurunkan suhu badannya yang begitu tinggi. Rasa ibanya membuat ia melakukan hal yang sama sekali tidak pernah ia lakukan sebelumnya kepada siapapun.
“Pa, tolong Jenia Pa, Jenia janji, Jenia akan mengikuti semua keinginan Papa, Jenia akan berhenti dari pekerjaan Jenia demi Papa, tolong Jenia Pa. Lepaskan Jenia dari tempat ini Pa!” Jenia tidak berhentinya mengigau.
Tubuh Jenia bergetar hebat, ia menggigil kedinginan. Jonathan menyelimuti gadis itu dengan selimut tebal miliknya, bahkan Jonathan pun sudah mengurangi suhu dari AC kamarnya saat ini, tetapi Jenia masih tampak kedinginan.
“Apa yang harus aku lakukan?” tanya Jonathan pada dirinya sendiri. Ia bingung harus berbuat apa lagi untuk mengurangi rasa dingin yang menghampiri Jenia. Jonathan sungguh tidak tega melihat gadis itu menderita karena demam.
Jonathan duduk di samping Jenia. Ia mendekap Jenia dengan erat sambil menepuk pundak Jenia dengan lembut. Layaknya seorang ayah yang tengah berusaha menenangkan anak yang terus mengigau.
“Pa!” panggil Jenia lagi.
“Kamu harus tenang dan istirahat!” bisik Jonathan.
“Pa, maafkan Jenia Pa! lepaskan Jenia Pa, tolong Jenia Pa!” igau Jenia masih dengan mata yang tertutup.
“Iya, iya, kamu istirahat lah!” tutur Jonathan lembut seolah ia bersikap menjadi seorang ayah untuk Jenia.
“Sepertinya dia sangat terpukul sampai demam begini!” ucap Jonathan pada dirinya sendiri.
Jenia terlelap dalam dekapan tulus Jonathan. Seakan ia mendapatkan tempat yang ternyaman dan damai untuk berisitirahat. Bahkan hingga menjelang subuh, igauan Jenia sudah tidak terdengar lagi.
Jonathan merasa lelah, matanya sudah tidak sanggup lagi untuk terbuka lebar. Tanpa sadar, Jonathan pun tertidur dalam keadaan duduk sembari mendekap Jenia yang sudah lebih dulu terlelap di dadanya.
*** Bersambung***
Marvin tengah dirawat oleh seorang Dokter karena luka akibat vas bunga itu begitu dalam. Sedangkan Ferdinand mondar-mandir di luar ruangan menantikan Dokter keluar dari dalam dan memberikan kabar padanya. “Dasar bodoh! Kenapa kalian bisa melepaskan gadis itu begitu begitu saja!” berang Marvin pada salah seorang pengawal yang bertugas untuk menjaga Jenia. Tangan Ferdinand tidak hentinya menampar dan memukuli wajah pria di hadapannya itu, dengan kekesalan yang mendalam dan amarah yang memuncak. “Aku tidak mau tahu, sekarang kalian cari gadis itu sampai dapat dan pastikan kalian membawanya kembali ke hadapanku!” tegas Ferdinand. Pengawal itu pergi setelah mendapatkan perintah dari Ferdinand. Ferdinand begitu merasa kesal. Bagaimana tidak, ia merasa takut jika saja Marvin bangun dan mempertanyakan keberadaan gadis itu. Marvin pasti akan marah besar padanya dan membatalkan semua kerja sama yang sudah ada di depan mata karena gadis itu. Ferdin
Jonathan merasa tubuhnya begitu ringan kali ini, padahal dengan jelas semalam ia tidur sembari mendekap Jenia. Ia tidak bisa merasakan keberadaan gadis yang semalam menggigil kedinginan di dalam dekapannya. Jonathan membuka matanya ia segera membetulkan posisi duduknya. Jenia sudah tidak ada di dekatnya. Ia menatap ke sekitar, Jenia sudah tidak ada di dalam ruangan itu. Jonathan berdiri dan mencari Jenia keluar. Berharap gadis itu masih berada di dalam apartemennya. “Gadis itu sudah pergi, dia pasti berpikir yang tidak-tidak tentangku!” pikirnya sembari memukul-mukul kepalanya. Jonathan merasa bersalah pada Jenia, karena gadis itu baru saja keluar dari masalahnya dan kini ia memberikan masalah baru pada Jenia. “Bodoh… bodoh… bodoh!” ucap Jonathan mengatai dirinya sendiri. Jenia pasti tidak akan menerima alasannya hingga ia harus mendekap Jenia semalaman. Jonathan tidak bisa berpikir lain, selain memikirkan tanggapan Jenia kepadanya.
Jonathan kembali ke rumah sakit. Sedangkan Jenia tidak ingin berlama-lama berada di kamar kossan Cherry. Setelah mendengarkan cerita Bu Yuni panjang lebar, Jenia memberanikan dirinya untuk kembali pulang ke rumah. “Aku pulang!” sapa Jenia dengan lemas. Julia, Ibu tiri Jenia tengah sibuk membaca majalah harian terkejut dengan kedatangan Jenia kali ini. Ia berdiri bertolak pinggang menatap Jenia dengan tatapan yang begitu kejam berselimut amarah. “Oh, enak sekali ya hidupmu, setelah pergi tanpa kabar kamu pulang begitu saja!” omel Julia dengan nada tinggi. “Ma, aku lelah. Aku tidak ingin berdebat dengan Mama!” ucap Jenia terus melangkah masuk ke dalam rumahnya berusaha untuk mengabaikan Julia yang memerah karena marah. Julia berjalan menghampiri Jenia. Ia merasa kesal dengan sikap Jenia yang mengabaikannya. Plak!!! Satu tamparan melesat di pipi Jenia sehingga pipi itu berjejak merah. Jenia memegang pipinya yang terasa sakit. Ia b
Jonathan kembali masuk ke dalam ruangan di mana Ferdinand tampak tegang. Entah apa yang sedang mereka bicarakan kali ini membuat rasa penasarannya semakin membuncah. “Apa yang sedang kalian bicarakan? Kenapa sikap kamu seperti kawat tegang begitu?” tanya Jonathan menepuk pundak Ferdinand yang tengah berusaha menyembunyikan wajahnya dari sang kakak. “Ha, enak saja, lihat ini, bahkan aku lebih tampan darimu!” keluh Ferdinand. “Kami hanya sedang membicarakan pertemuan kita yang gagal.” “Oh ya, aku juga minta maaf karena ada hal yang mendesak sehingga aku tidak bisa mengunjungimu tadi malam!” ucap Jonathan penuh sesal. “Hal mendesak apa yang pernah kamu lakukan kak, selain pekerjaan? Bukankah semua pekerjaan sudah beres?” tanya Ferdinand merasa curiga. Ferdinand merasa heran karena kakaknya selalu menyibukkan diri dengan pekerjaan, bahkan dari yang Ferdinand tahu selama ini, Cherry berniat memutuskannya karena Jonathan tidak pernah memilik
Jenia menyeka air mata yang terus-terusan tumpah karena penyesalan atas diri yang tidak bisa ia jaga. Ia tidak ingin terus berada di ambang kehancuran seperti yang ia rasakan. Ia berdiri di depan pintu, berniat untuk keluar kamar. Namun, Jenia mengurungkan niatnya ketika mendengar suara perdebatan antara Erliza dan Erlina di depan kamarnya. Di luar kamar, Erlina membawakan makanan untuk Jenia. Ia merasa iba kepada Jenia, meskipun Jenia hanyalah adik tirinya saja, tetapi rasa sayangnya kepada Jenia sama besar dengan kasih sayang yang Erlina berikan kepada Erliza. “Kakak kenapa selalu bersikap sok baik sama Jenia? Biarkan saja dia mati kelaparan karena tidak makan. Siapa suruh dia mengurung diri saja di kamar sejak dia pulang?” gerutu Erliza merasa cemburu melihat Erlina yang selalu baik kepada Jenia. “Za, kamu tidak boleh berkata kasar seperti itu, bagaimanapun Jenia adalah adikku, aku tidak ingin terjadi sesuatu hal kepadanya,” “Dia hany
Sudah dua bulan lamanya Jenia kembali pulang ke rumah. Ia juga memutuskan untuk kembali menjalankan aktifitasnya di sebuah toko kue tempat ia bekerja. Jenia tidak ingin menghabiskan waktu dan tenaganya untuk menangisi apa yang telah terjadi padanya saat ini. Ia masih terus berusaha untuk membungkam semua rahasia tentang malam itu dari keluarga besarnya. Jenia tidak ingin menjadi beban pikiran bagi keluarganya, Jenia memutuskan untuk selalu diam dan bersikap seolah semuanya baik-baik saja. "Je, kamu terlihat pucat, apa kamu sedang kurang sehat?" tanya Dion, salah seorang rekan kerja Jenia. "Iya, sepertinya aku agak sedikit pusing," ucap Jenia memija-mijat pelipisnya. "Kalau kamu merasa pusing, sebaiknya kamu duduk dan istirahat saja dulu, biar aku yang menggantikan kamu mengadon kue-kue ini." "Tidak Dion, pekerjaanmu juga masih banyak bukan? Aku masih bisa mengerjakan semua ini." Jenia menolak. Jenia tidak ingin Dion men
Jonathan menghentikan mobilnya di parkiran sebuah café. Namun, ia tidak segera turun dari mobil. Dia masih duduk diam menantikan jawaban dari bibir Jenia yang masih bungkam.Sementara di sebelahnya, Jenia hanya bisa melentikkan jarinya. Jenia enggan menjawab pertanyaan yang disodorkan oleh Jonathan kepadanya.“Apa begitu sulitnya bagimu untuk menjawab pertanyaanku?” Tanya Jonathan tidak mampu untuk menunggu lama atas pertanyaan itu.“Aku tidak tahu, apa sebenarnya hubunganku dengan Cherry dan kenapa kamu sangat ingin tahu apa yang terjadi antara aku dan Cherry?” Tanya Jenia dengan nada datar.Jonathan memandang tak percaya kepada gadis yang hanya menatap ke arah depan tanpa mengabaikannya.“Hm…” Jonathan mengembuskan napas dengan kasar.Hatinya berkata lain, ada sesuatu yang telah terjadi antara Jenia dan Cherry. Jonathan semakin penasaran, ia semakin ingin tahu apa yang telah membawa Cherry
“Apa yang Dokter katakan? Kenapa Anda tidak bisa memeriksa putri kami? Bukankah Anda seorang Dokter professional?” Tanya Maheza.Maheza tidak memahami dengan pasti apa yang dimaksud oleh Dokter Vina. Entah alasan apa yang membuat Dokter Vina meminta Jenia untuk diperiksa oleh Dokter kandungan dan melakukan test.“Sebaiknya, tunggu Jenia sampai sadar dan minta dia untuk melakukan test pack, Julia.” ucap Dokter Vina kepada Julia.“Apa maksudmu, Vin? Apa yang terjadi pada Jenia? Katakan kepada kami, Vin! Jangan membuat kami merasa bodoh seperti ini!” Julia tampak tidak bisa menerima apa yang sahabatnya katakan.Selain menjadi Dokter keluarga, Dokter Vina merupakan sahabat Julia sejak mereka masih kuliah.“Aku tidak bisa memberikan diagnosis pasti, Julia, tetapi dari hasil pemeriksaan dan diagnosisku, Jenia hamil!”Bagaikan guruh dan petir yang menyambar bersamaan di atas puncak kepala, semua