Share

Bab 4

Author: Flower Lidia
last update Last Updated: 2025-06-17 17:59:36

Sore itu, Ziva tidak menyangka akan kembali duduk berhadapan dengan Reza Firnander—calon suami dan berhasil membuatnya tidur tidak nyenyak dua malam berturut-turut. Bukan karena cinta, tapi karena bingung: ini hidup nyata atau sinetron?

Reza datang sepuluh menit lebih awal. Duduk dengan gaya santai, kemeja linen abu, celana hitam pas badan, dan aroma parfum kayu-kayuan yang terlalu mahal untuk disebutkan mereknya. Wajahnya datar, seperti biasa.

“Ada hal penting apa?”

Reza tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap Ziva sesaat, lalu menarik sebuah map berwarna krem dari tas kerjanya dan menyodorkannya ke atas meja.

Ziva mengangkat alis. “Apa ini?”

“Baca saja,” jawab Reza singkat.

Ziva membuka map itu perlahan, dan matanya segera menangkap deretan kalimat formal dengan kata-kata yang tajam dan jelas:

 

KONTRAK PERNIKAHAN

Pernikahan akan berlangsung sesuai jadwal keluarga. Tidak ada campur tangan emosional. Tidak ada kewajiban fisik sebagai pasangan. Berjalan sampai kondisi Kakek Yudistira membaik atau… meninggal. Setelah itu, perceraian akan diajukan secara damai dan rahasia.

 

“Tunggu...” gumamnya, “Jadi kamu... benar-benar menganggap semua ini hanya formalitas? Aku... hanya peran figuran dalam hidupmu?”

Reza menatapnya, ada rasa bersalah di sorot matanya. Tapi dia tetap dengan suara dinginnya, “Aku nggak punya pilihan, Ziva. Alisya belum siap, dan aku—”

“Alisya?” suara Ziva naik satu oktaf.

“Dia pacar ku, dan aku sangat mencintainya”

"Kalau kamu mencintai Alisya, kenapa kamu melakukan ini?"

Reza menghela napas pelan, seperti sudah lelah menjelaskan. Tapi Ziva tahu… bukan itu. Reza hanya lelah menghadapi situasi yang tidak ideal.

"Karena aku tidak punya pilihan lain," jawab Reza.

 "Kakekku ingin lihat aku menikah. Dan Alisya selalu menolak saat aku ajak bicara soal masa depan. Dia bilang belum siap. Terus bilang nanti. Dan nanti itu... nggak pernah datang."

“Lihat aku Reza, Aku siap” namun itu hanya suara hati Ziva.

Ziva menunduk, mencoba mengatur napasnya yang mulai terasa berat. "Tapi kamu tetap mencintai dia?"

Reza diam. Hening. Tapi dari matanya, jawabannya sudah jelas.

"Ya," jawab Reza jujur. "Aku masih mencintainya."

Ziva mengangguk kecil. Rasanya seperti mengiris hati sendiri. Tapi anehnya, ia tetap tenang. Terlalu tenang.

Lalu Ziva bertanya lagi, pelan. "Apa Alisya tahu kamu akan menikah denganku?"

Reza menggeleng. “Aku nggak sanggup ngomong. Karena aku yakin dia juga nggak akan terima. Aku takut dia malah menjauh lebih jauh.”

Ziva menatap Reza, pahit. “Jadi kamu memilih menikah dengan perempuan yang bahkan belum kamu kenal... hanya agar kamu nggak kehilangan yang sebenarnya juga nggak pernah benar-benar menggenggam kamu?”

Reza terdiam. Tertusuk. Tapi tidak membela diri.

Ziva bangkit dari duduknya, mengambil nafas dalam. “Oke, Reza. Aku akan tandatangan. Kita main sandiwara ini. Tapi jangan pernah buat aku berharap lebih dari apa yang tertulis di kontrak itu.”

Reza berdiri. “Ziva—”

“Dan satu hal lagi,” potong Ziva dengan senyum getir. “Kalau suatu hari Alisya tahu dan memintamu kembali, kamu boleh pergi. Bahkan sebelum kontrak ini berakhir.”

Reza diam. Mencerna perkataan Ziva.

Ziva berjalan menuju pintu cafe.

“Aku cuma berharap... suatu hari nanti, kamu sadar bahwa cinta nggak seharusnya membuat orang lain jadi cadangan.”

Dan pintu pun tertutup dengan lembut.

🌸🌸🌸🌸🌸

Ding-dong! Ding-dong!

Kayla—Sahabat Ziva membuka pintu apartemennya dalam keadaan pakai sheet mask warna hitam, rambut dicepol kayak roti sobek.

“Astaga, Ziva?!”

“Aku nggak tahu lagi harus ke mana…” ucap Ziva pelan. Bibirnya gemetar.

“Loh—LOH! Kamu kenapa pake baju kerja? Jangan bilang… kamu dimarahin pasien!”

Ziva tidak menjawab. Ia hanya memeluk Kayla—dan BOOM… tangisnya pecah kayak balon ditusuk garpu.

Kayla yang awalnya panik berubah jadi shock.

“Wah—wah, kamu nangis beneran? Bentar, bentar, jangan kena sheet mask-ku! Ini harga 500 ribu!”

Tapi Ziva tetap menangis. Kayla akhirnya menyerah dan menarik sahabatnya masuk, lalu memberikan selimut tebal, teh panas, dan tisu segulungan penuh.

“Kamu perlu makan. Orang patah hati itu butuh karbo. Aku pesan nasi goreng seafood dan brownies.”

Ziva mengangguk lemah.

Setelah beberapa menit akhirnya Ziva  mulai cerita. “Aku... aku tanda tangan, Kay.”

“Tanda tangan? Surat perceraian? Surat warisan?”

“Surat kontrak nikah…”

“Nikah beneran? Nikah sama tuyul? Ziv, kamu lagi di prank?”

Ziva mendesah.

 “Reza Firnander… aku resmi jadi istrinya. Istri palsu. Tapi tetap aja… aku tanda tangan kontraknya.”

“REZA FIRNANDER?! Tunggu—itu bukan yang kamu taksir diam-diam waktu SMP?”

“Yes…”

“Yang kamu kasih surat cinta dalam bentuk power point?!”

“Itu NDA. Dan iya.”

Kayla langsung menjatuhkan sendoknya dengan dramatis.

“Oke. Aku butuh vitamin. Karena kayaknya cerita kamu butuh daya tahan tubuh kuat buat dicerna.”

 “Ziv… kamu masih suka dia?”

“Iya. Dan dia bahkan nggak inget aku siapa…”

“Huaaaaa” Tangis nya kembali pecah.

“Ya Tuhan. Ini bukan FTV. Ini udah masuk level sinetron prime time.”

Ziva memeluk bantal sofa erat-erat.

“Dan yang paling nyesek… aku setuju. Padahal aku bisa nolak. Tapi aku tetap setuju. Aku bodoh banget, ya?”

“Nggak, kamu bukan bodoh… kamu Cuma jatuh cinta. Dan cinta emang bikin IQ turun. Aku pernah jatuh cinta sama cowok yang koleksi tutup botol, Ziv. Jadi kamu nggak sendirian.”

Ziva khirnya tertawa di antara isakannya. Kayla benar. Cinta memang membingungkan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • DIJODOHKAN MAMA   Bab 146

    “Minum dulu, biar tenang,” katanya sambil meletakkan gelas di meja.Ziva menerima gelas itu dan meneguk pelan. “Terima kasih,” ucapnya, suaranya masih pelan tapi lebih tenang daripada tadi.Reza duduk di sampingnya, menatap wajah Ziva yang terlihat lelah namun mulai pulih.“Besok kamu ada rencana apa?” tanyanya pelan sambil membuka roti isi miliknya.Ziva berpikir sebentar. “Hmm… awalnya aku mau ke butik bayi, cari perlengkapan tambahan. Tapi kayaknya istirahat di rumah aja dulu deh. Hari ini udah cukup drama.”Nada suaranya diselipi senyum tipis, meskipun matanya masih menyimpan sisa takut.Reza mengangguk. “Setuju. Aku juga udah bilang ke orang rumah buat gak ganggu kamu dulu. Kalau kamu mau belanja, aku yang handle. Tapi kalau kamu bosan di rumah, besok sore aku ajak kamu jalan-jalan, gimana?”Ziva menatap Reza, alisnya terangkat. “Jalan-jalan kemana?”“Ke tempat yang gak ada orang nyerang kamu pakai pisau,” jawab Reza dengan nada datar tapi mata berkilat geli.Ziva mendengus pelan

  • DIJODOHKAN MAMA   Bab 145

    Pisau itu mengenai meja — suara cling! tajam terdengar saat ujungnya menghantam permukaan kaca.Keduanya terengah-engah. Ziva memanfaatkan momen itu untuk menepis tangan Clara, membuat pisau itu terlepas dan jatuh ke lantai.Clara masih mencoba meraih, tapi suara pintu terbuka keras menghentikan segalanya.“Bu Ziva!” suara seorang petugas keamanan memecah kepanikan.Clara terpaku. Napasnya kacau. Ia melihat ke arah Ziva — wajah yang masih terengah, keringat menetes di pelipis.Beberapa orang langsung berlari masuk. Dua di antaranya berusaha menarik tubuh Clara dari belakang, sementara pegawai lain memegangi Ziva yang mulai kehilangan keseimbangan.“Lepas! Lepasin gue!!” Clara berteriak, masih berusaha mendekat.Pisau di tangannya bergoyang, hampir terlepas, sampai seorang pegawai laki-laki berhasil merebutnya“Lepasin aku!” Clara menjerit keras, matanya liar. “Dia harus bayar! Semua orang harus tahu siapa dia sebenarnya!!”Pisau nyaris jatuh, tapi Clara masih berusaha menarik diri.Zi

  • DIJODOHKAN MAMA   Bab 144

    “Eh, Mbak, tolong ambilin top coat di meja belakang ya,” pinta pegawai utama yang menjadi atasan langsungnya.Clara langsung mengangguk cepat. “Iya, sebentar.”Ia melangkah ke belakang ruangan, tapi langkahnya terasa berat.Begitu sampai di sudut ruangan, napasnya mulai memburu.Tangannya mengepal kuat.“Ziva…” gumamnya pelan. “Bahkan di tempat baru pun, kamu masih ada di depanku. Tapi kali ini, aku gak akan diam aja.”Ia menatap bayangan wajahnya di cermin kecil di dinding.Sorot matanya kini berbeda — dingin, tajam, dan menyimpan niat yang tidak bisa ditebak.Clara berdiri diam di meja kerja, menyiapkan alat-alat nail art yang berkilau di bawah cahaya lampu. Pisau kecil pembersih kutikula, gunting kuku, pinset, jarum halus untuk desain detail—semuanya tertata rapi di nampan logam perak.Namun di matanya, alat-alat itu seperti senjata.Ia mengusap permukaannya dengan kain basah, gerakannya pelan, presisi, dan… sedikit terlalu lama.Senyumnya tipis—terlalu tipis untuk disebut ramah.Z

  • DIJODOHKAN MAMA   Bab 143

    Begitu melangkah masuk ke Luna’s Nail & Spa, Ziva langsung disambut oleh aroma bunga mawar dan melati yang menenangkan.Tempat itu tampak mewah lantainya mengilap, dindingnya penuh cermin besar, dan di setiap sudutnya tercium wangi lembut lilin aromaterapi.“Selamat datang, Ibu Ziva,” sapa resepsionis dengan ramah sambil membungkuk kecil.“Ibu mau perawatan kuku seperti biasa?”Ziva tersenyum anggun, satu tangan menepuk tasnya pelan.“Hari ini aku pengen yang beda. Aku lagi hamil, jadi harus tampil lebih… berkarisma gitu.”Resepsionis menahan tawa kecil, lalu mengangguk sopan.“Tentu, Bu. Silakan ke ruang VIP. Nanti tim desain kami bantu pilihkan motif terbaik.”Ziva berjalan melewati deretan kursi pelanggan lain, langkahnya ringan, sepatu flat-nya berkilau setiap kali terkena cahaya lampu gantung kristal.Beberapa orang sempat melirik bukan karena sombong, tapi karena pesona Ziva memang menonjol tanpa usaha.Begitu duduk di kursi empuk warna pastel, seorang desainer kuku datang mem

  • DIJODOHKAN MAMA   Bab 142

    “Bayi dan ibunya meninggal secara misterius setelah proses persalinan di salah satu klinik swasta.”Musik dramatis video itu terdengar sayup, disertai foto hitam putih seorang ibu muda dengan senyum lembut, bersama bayi mungil yang baru lahir.Keterangan video menyebutkan bahwa penyebab pasti belum diketahui — entah karena kelalaian, atau gangguan medis yang belum terdeteksi.Ziva menatap layar lama, matanya pelan-pelan redup.“Ya Tuhan… segampang itu nyawa hilang,” gumamnya lirih, nada suaranya berubah lembut dan sendu.Ia menggulir kolom komentar, membaca berbagai reaksi netizen sebagian marah, sebagian sedih, sebagian lainnya malah nyinyir tanpa empati.“Kadang orang lupa… yang dilihat cuma hasil, bukan perjuangan,” katanya pelan, lebih pada dirinya sendiri.Terapis yang tadi sibuk memijat berhenti sebentar, menatap wajah Ziva di cermin.“Ada apa, Bu?” tanyanya hati-hati.Ziva tersenyum lemah. “Ah, gak apa-apa. Cuma lihat berita gak enak. Tentang ibu yang kehilangan nyawa waktu la

  • DIJODOHKAN MAMA   Bab 141

    Pagi itu, sinar matahari menembus jendela besar apartemen mereka, memantul lembut di lantai marmer.Ziva sibuk menata rambutnya di depan cermin, sementara Reza berdiri di belakangnya sambil menggulung lengan kemejanya.“Rambut kamu tambah panjang ya,” kata Reza tiba-tiba, suaranya hangat.Ziva menatap pantulan mereka di cermin, tersenyum kecil. “Iya, makanya hari ini aku mau creambath. Udah kayak rumput kering nih.”Reza tersenyum, langkahnya pelan mendekat.“Tetep cantik, kok. Ziva mendengus manja, pura-pura sibuk mengambil tasnya.“Udah, aku berangkat sendiri aja ya. Aku pengen me time, gak mau ada yang ganggu.”Reza menatapnya lembut, tidak menahan.“Yaudah, silakan. Kamu butuh waktu buat diri kamu sendiri juga, Sayang.”Ia sempat membantu Ziva memakaikan jaket panjangnya.“Cuma satu syarat.”Ziva menatap curiga. “Apa?”“Kalau udah kelar, kabarin aku. Aku jemput. Deal?”Ziva tersenyum kecil, pura-pura berpikir lama sebelum akhirnya mengangguk.“Deal. Tapi aku bakal lama.”“Gak mas

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status