LOGINSore itu, Ziva tidak menyangka akan kembali duduk berhadapan dengan Reza Firnander—calon suami dan berhasil membuatnya tidur tidak nyenyak dua malam berturut-turut. Bukan karena cinta, tapi karena bingung: ini hidup nyata atau sinetron?
Reza datang sepuluh menit lebih awal. Duduk dengan gaya santai, kemeja linen abu, celana hitam pas badan, dan aroma parfum kayu-kayuan yang terlalu mahal untuk disebutkan mereknya. Wajahnya datar, seperti biasa. “Ada hal penting apa?” Reza tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap Ziva sesaat, lalu menarik sebuah map berwarna krem dari tas kerjanya dan menyodorkannya ke atas meja. Ziva mengangkat alis. “Apa ini?” “Baca saja,” jawab Reza singkat. Ziva membuka map itu perlahan, dan matanya segera menangkap deretan kalimat formal dengan kata-kata yang tajam dan jelas: KONTRAK PERNIKAHAN Pernikahan akan berlangsung sesuai jadwal keluarga. Tidak ada campur tangan emosional. Tidak ada kewajiban fisik sebagai pasangan. Berjalan sampai kondisi Kakek Yudistira membaik atau… meninggal. Setelah itu, perceraian akan diajukan secara damai dan rahasia. “Tunggu...” gumamnya, “Jadi kamu... benar-benar menganggap semua ini hanya formalitas? Aku... hanya peran figuran dalam hidupmu?” Reza menatapnya, ada rasa bersalah di sorot matanya. Tapi dia tetap dengan suara dinginnya, “Aku nggak punya pilihan, Ziva. Alisya belum siap, dan aku—” “Alisya?” suara Ziva naik satu oktaf. “Dia pacar ku, dan aku sangat mencintainya” "Kalau kamu mencintai Alisya, kenapa kamu melakukan ini?" Reza menghela napas pelan, seperti sudah lelah menjelaskan. Tapi Ziva tahu… bukan itu. Reza hanya lelah menghadapi situasi yang tidak ideal. "Karena aku tidak punya pilihan lain," jawab Reza. "Kakekku ingin lihat aku menikah. Dan Alisya selalu menolak saat aku ajak bicara soal masa depan. Dia bilang belum siap. Terus bilang nanti. Dan nanti itu... nggak pernah datang." “Lihat aku Reza, Aku siap” namun itu hanya suara hati Ziva. Ziva menunduk, mencoba mengatur napasnya yang mulai terasa berat. "Tapi kamu tetap mencintai dia?" Reza diam. Hening. Tapi dari matanya, jawabannya sudah jelas. "Ya," jawab Reza jujur. "Aku masih mencintainya." Ziva mengangguk kecil. Rasanya seperti mengiris hati sendiri. Tapi anehnya, ia tetap tenang. Terlalu tenang. Lalu Ziva bertanya lagi, pelan. "Apa Alisya tahu kamu akan menikah denganku?" Reza menggeleng. “Aku nggak sanggup ngomong. Karena aku yakin dia juga nggak akan terima. Aku takut dia malah menjauh lebih jauh.” Ziva menatap Reza, pahit. “Jadi kamu memilih menikah dengan perempuan yang bahkan belum kamu kenal... hanya agar kamu nggak kehilangan yang sebenarnya juga nggak pernah benar-benar menggenggam kamu?” Reza terdiam. Tertusuk. Tapi tidak membela diri. Ziva bangkit dari duduknya, mengambil nafas dalam. “Oke, Reza. Aku akan tandatangan. Kita main sandiwara ini. Tapi jangan pernah buat aku berharap lebih dari apa yang tertulis di kontrak itu.” Reza berdiri. “Ziva—” “Dan satu hal lagi,” potong Ziva dengan senyum getir. “Kalau suatu hari Alisya tahu dan memintamu kembali, kamu boleh pergi. Bahkan sebelum kontrak ini berakhir.” Reza diam. Mencerna perkataan Ziva. Ziva berjalan menuju pintu cafe. “Aku cuma berharap... suatu hari nanti, kamu sadar bahwa cinta nggak seharusnya membuat orang lain jadi cadangan.” Dan pintu pun tertutup dengan lembut. 🌸🌸🌸🌸🌸 Ding-dong! Ding-dong! Kayla—Sahabat Ziva membuka pintu apartemennya dalam keadaan pakai sheet mask warna hitam, rambut dicepol kayak roti sobek. “Astaga, Ziva?!” “Aku nggak tahu lagi harus ke mana…” ucap Ziva pelan. Bibirnya gemetar. “Loh—LOH! Kamu kenapa pake baju kerja? Jangan bilang… kamu dimarahin pasien!” Ziva tidak menjawab. Ia hanya memeluk Kayla—dan BOOM… tangisnya pecah kayak balon ditusuk garpu. Kayla yang awalnya panik berubah jadi shock. “Wah—wah, kamu nangis beneran? Bentar, bentar, jangan kena sheet mask-ku! Ini harga 500 ribu!” Tapi Ziva tetap menangis. Kayla akhirnya menyerah dan menarik sahabatnya masuk, lalu memberikan selimut tebal, teh panas, dan tisu segulungan penuh. “Kamu perlu makan. Orang patah hati itu butuh karbo. Aku pesan nasi goreng seafood dan brownies.” Ziva mengangguk lemah. Setelah beberapa menit akhirnya Ziva mulai cerita. “Aku... aku tanda tangan, Kay.” “Tanda tangan? Surat perceraian? Surat warisan?” “Surat kontrak nikah…” “Nikah beneran? Nikah sama tuyul? Ziv, kamu lagi di prank?” Ziva mendesah. “Reza Firnander… aku resmi jadi istrinya. Istri palsu. Tapi tetap aja… aku tanda tangan kontraknya.” “REZA FIRNANDER?! Tunggu—itu bukan yang kamu taksir diam-diam waktu SMP?” “Yes…” “Yang kamu kasih surat cinta dalam bentuk power point?!” “Itu NDA. Dan iya.” Kayla langsung menjatuhkan sendoknya dengan dramatis. “Oke. Aku butuh vitamin. Karena kayaknya cerita kamu butuh daya tahan tubuh kuat buat dicerna.” “Ziv… kamu masih suka dia?” “Iya. Dan dia bahkan nggak inget aku siapa…” “Huaaaaa” Tangis nya kembali pecah. “Ya Tuhan. Ini bukan FTV. Ini udah masuk level sinetron prime time.” Ziva memeluk bantal sofa erat-erat. “Dan yang paling nyesek… aku setuju. Padahal aku bisa nolak. Tapi aku tetap setuju. Aku bodoh banget, ya?” “Nggak, kamu bukan bodoh… kamu Cuma jatuh cinta. Dan cinta emang bikin IQ turun. Aku pernah jatuh cinta sama cowok yang koleksi tutup botol, Ziv. Jadi kamu nggak sendirian.” Ziva khirnya tertawa di antara isakannya. Kayla benar. Cinta memang membingungkan.Jam menunjukkan pukul 11 lewat sepuluh malam.Ziva yang baru saja selesai mencuci muka tiba-tiba bersuara manja dari kamar. “Rezaaa…”“Iya sayangku?”“Aku pengen bubur kacang hijau Mang Dani…”Reza yang sedang rebahan langsung menoleh, setengah kaget.“Sekarang?”“Iya. Aku kebayang banget rasanya, apalagi santannya yang gurih. Harus Mang Dani ya, jangan yang lain.”Reza menatap istrinya yang kini memegang perut kecilnya sambil manyun.Dalam hati, dia cuma bisa bergumam pelan, 'Mang Dani jam segini udah pasti pulang tidur, Sayang…'Tapi Reza ingat pesan bijak dari Pak Guntur, satpam apartemen:'Kalau istri ngidam, jangan banyak mikir. Jalan aja. Kalau dia tenang, hidup bapak aman.'Dengan langkah pelan tapi pasrah, Reza berdiri.“Oke, tunggu di sini ya. Aku beliin.”“Yang Mang Dani, Reza. Aku bisa tau kalau bukan.”“Iya, iya, yang Mang Dani.”Reza akhirnya keliling pakai mobil, muter lima blok, dan seperti dugaannya —gerobak Mang Dani sudah tutup.Yang ada cuma satu tukang bubur lain
Sejak kejadian cemburu di kantor kemarin, Reza pikir badai hormon Ziva sudah berlalu.Ternyata… dia salah besar.Sore itu, mereka baru aja pulang dari belanja kebutuhan rumah. Cuaca adem, langit cerah suasana yang harusnya tenang. Tapi begitu masuk apartemen, suasana langsung berubah 180 derajat.Ziva yang tadi masih tertawa di mobil, kini berdiri di depan pintu sambil menghela napas panjang.“Reza…”“Hmm?”“Kenapa sih kamu gak pernah ngerti aku?”Reza langsung berhenti di tempat.“Hah? Aku salah apa lagi?”Ziva melirik pelan, matanya sedikit berair. “Kamu tuh… tadi di jalan, aku bilang pengen es krim rasa stroberi, tapi kamu malah beli yang cokelat.”Reza menatap kantong belanja di tangannya. “Tapi… kamu bilang ‘apa aja boleh, asal dingin’.”“Itu kode, Reza!” seru Ziva, mulai gemas. “Aku tuh pengen kamu peka!”Reza mengedip beberapa kali, bingung antara minta maaf atau ketawa.“Maaf, Ziv. Aku… gak peka.”Ziva menghela napas dramatis. “Ya udah, aku capek ngomong. Aku cuma pengen dime
Hari itu, setelah selesai jadwal di rumah sakit, Ziva duduk sebentar di ruang istirahat dokter. Rambutnya diikat rapi, tapi wajahnya sedikit pucat karena kelelahan. Meski sudah dua bulan kehamilannya berjalan lancar, rasa mual dan cepat lelah masih sering datang tiba-tiba. Ia menatap ponselnya yang baru saja berbunyi—pesan dari Reza.[Aku gak bisa anterin kamu pulang hari ini, kamu pulang sendiri bisa?"][Masih siang, aku males sendirian di apartemen][Terus kamu mau kemana setelah ini][Kayaknya mau nyamperin kamu]Setelah berpamitan pada rekan kerjanya, Ziva pun langsung berangkat menuju perusahaan Reza.Begitu tiba di lobby gedung megah itu, semua orang seolah langsung tahu siapa dia. Resepsionis menyapa dengan ramah.“Selamat siang, Bu Ziva. Mau langsung ke lantai 15?”Ziva tersenyum, “Iya"Sampai di lantai 15, suasana kantor terasa tenang dan profesional. Beberapa staf menatap penasaran, dan beberapa lainnya berbisik pelan, “Eh, itu istrinya Pak Reza, kan?”Ziva berjalan dengan l
Reza menggaruk kepala, bingung. “Tapi udah malem banget, Ziv. Aku takut kamu kecewa kalau aku keluar, terus nggak dapet juga.”Ziva menatapnya lama, lalu menunduk. Bibirnya bergetar kecil, lalu tiba-tiba air matanya menetes begitu saja.“Reza… kamu nggak ngerti, ya?” suaranya pecah. “Aku tuh cuma pengen dimengerti. Aku capek banget hari ini. Pengen makan yang aku mau, tapi kamu malah bilang 'Nanti .”Reza langsung panik, duduk di sebelahnya. “Eh, eh, jangan nangis dong… Aku nggak bermaksud begitu, sumpah.”Tapi Ziva justru menunduk makin dalam, bahunya bergetar. “Aku ngerasa kayak… semua yang aku pengen itu repot buat kamu.”Reza menghela napas panjang, lalu mengusap pipinya pelan. “Sayang, denger aku ya. Aku nggak ngerasa repot sama kamu, sedikit pun. Aku cuma takut kamu makin kecewa kalo aku gagal dapetin satenya. Tapi kalau kamu mau, aku cari sekarang juga.”Ziva menatapnya dengan mata merah dan hidung yang memerah. "Gak terpaksa kan?”Reza tersenyum kecil. “Enggak. Demi kamu dan d
Setelah malam yang ramai dan penuh tawa itu, akhirnya satu per satu anggota keluarga pamit pulang.Suasana apartemen yang tadinya riuh seketika berubah hening.Ziva dan Reza berdiri di depan pintu sambil melambaikan tangan.Begitu pintu tertutup, keduanya menghela napas bersamaan.“Akhirnya…” “...sunyi lagi,” kata Ziva, hampir bersamaan dengan Reza.Mereka berdua saling pandang lalu tertawa kecil. Tapi tawa itu langsung berubah jadi tatapan bingung saat Ziva melangkah ke dapur.“Reza…”“Hm?”“Kulkas kita… kenapa… kayaknya… mau meledak?”Reza langsung ikut melihat, dan benar saja — kulkas mereka kini penuh sesak.Kotak makanan tertata rapat, ada wadah besar berisi sayur rebus, ikan kukus, susu ibu hamil, jus segar, sampai ramuan herbal berwarna aneh yang aromanya menusuk hidung.“Astaga… ini mereka sempat belanja sebanyak ini pas kita makan malam?”“Kayaknya iya…”“Aku yakin ini bukan kulkas kita lagi, tapi kulkas umum untuk program gizi nasional,” gumam Reza sambil menatap penuh hera
Di dalam apartemen, suasana langsung ramai.Mamah Lia langsung ke dapur tanpa izin, Mamah Indri sibuk menata bantal, Papah Adrian nyalain TV, dan Kakek malah duduk santai sambil berkata,“Nah, ini baru rumah tangga! Ada aroma keluarga.”Ziva cuma bisa saling pandang dengan Reza dan terkekeh pelan.“Aku rasa apartemen kita baru aja diserbu pasukan cinta keluarga.”“Pasukan cinta… dengan volume suara lima kali lipat dari normal,” balas Reza sambil terkekeh.Meja makan apartemen malam itu terlihat seperti sedang menggelar pesta kecil.Piring, mangkuk, dan aroma masakan memenuhi ruangan.Semua tampak sibuk kecuali satu orang, Ziva.“Ziva, duduk aja, jangan berdiri! Nanti capek!”“Iya, sayang, biar Mamah aja yang ambilin.”“Eh, jangan pegang piring panas, nanti tangannya kepanasan. Aduh, kasihan calon cucu Kakek.”Ziva sampai bingung mau napas di mana.Dia duduk manis di kursi tengah, sementara seluruh keluarga sibuk melayaninya seperti dia baru aja naik tahta jadi ratu hamil pertama di d







