Share

Bab 3

Author: Flower Lidia
last update Huling Na-update: 2025-06-17 17:59:31

Pintu rumah keluarga Firnander terbanting pelan. Reza melangkah masuk dengan langkah panjang dan cepat. Dasi dilepas kasar dan dilempar ke sofa. Nafasnya masih memburu. Ia menatap kedua orang tuanya dengan mata menyala.

“Kalian bercanda?”

Pak Ardian sedang membaca koran hanya melirik sebentar. “Akhirnya kamu bicara juga.”

Indri, masih tenang sambil menyesap teh hangatnya.

“Kita serius, Reza. Pernikahan akan berlangsung tiga hari lagi.” Timpal Ibunya

“Aku udah bilang berkali-kali, aku nggak setuju dijodohkan! Aku punya pacar, Ma! Aku cinta sama Alisya!” Reza terdengar emosional.

IIndri langsung menoleh tajam. “Alisya lagi? “

“Reza, dengar. Kami tidak menentang hubungan kalian. Tapi sudah tiga tahun kalian pacaran dan Alisya tak pernah menunjukkan keseriusan. Dia selalu bilang belum siap.”

Reza mengepalkan tangan. “Karena dia punya luka masa lalu, Ma. Dia perlu waktu.”

Ardian berdiri pelan, menatap anak lelakinya dengan sorot yang berbeda—lelah, namun dalam. “Sampai kapan kamu mau menunggu orang yang tidak siap untuk hidup denganmu? Kamu bahkan menolak semua perempuan baik yang kami kenalkan, hanya karena dia.”

Reza menggigit bibirnya. Lalu suara ibunya kembali terdengar, kali ini lebih pelan.

“Kakekmu, Reza… Kakekmu tidak baik-baik saja. Dia makin lemah, dan setiap hari hanya satu hal yang ia tanyakan: ‘Kapan Reza menikah?’ Kau tahu harapan terbesarnya sebelum menutup usia adalah melihat cucu kesayangannya berdiri di pelaminan. Dan dia tidak bisa menunggu lebih lama lagi.”

Reza memejamkan mata. Dadanya nyeri. Ia tahu, ia bukan cucu terbaik. Tapi kakeknya... satu-satunya orang yang selalu mendukung mimpinya. Bahkan dulu, saat ia menolak kuliah di luar negeri, hanya kakeknya yang membelanya. Dan sekarang, kakek ingin satu hal yang nyatanya… belum bisa ia berikan.

“Satu permintaan terakhir, Reza,” suara Indri pelan, “Kalau kau memang cinta Alisya, dan yakin dia akan jadi istrimu… kenapa bukan dia yang ada di rumah tadi malam? Kenapa dia bahkan tidak berani datang untuk memperjuangkanmu?”

 “Ziva… mungkin bukan wanita yang kamu inginkan. Tapi dia bisa jadi wanita yang kamu butuhkan.”

Reza membanting tubuhnya ke sofa, wajahnya gelap. “Kalian bahkan nggak tanya aku mau atau nggak.”

“Tapi kamu juga nggak bilang ‘tidak’ di depan mereka,” Ardian menimpali.

“Karena aku syok! Kalian sengaja jebak aku, ya?”

Suasana mendadak sunyi. Hanya detik jam yang terdengar.

Reza menunduk. Kedua tangannya menutup wajah. Dalam hati, ia ingin mengutuk semuanya. Tapi ia juga tahu, ini bukan perang biasa. Ini adalah pertempuran satu generasi: cinta

[Sayang, kapan kamu kerumah, aku kangen]

Jari-jarinya ragu. Ia tak langsung membalas. Pikirannya kacau. Dan di sudut hatinya, ada rasa bersalah.

 

🌸🌸🌸🌸🌸

 

“Ma, Ziva gak akan menikah!”

Suara Ziva bergema dari dalam kamar makan yang sudah sepi. Gelas-gelas kristal masih tersisa setengah isi, taplak putih elegan sudah agak kusut, dan piring buah belum tersentuh—seolah semua tamu tadi pergi terlalu cepat, meninggalkan ketegangan yang belum usai.

“Kamu pikir Mama bercanda tadi? Kamu dengar sendiri, semua orang setuju. Tinggal kamu dan Reza. Dan dia juga tidak menolak!”

Ziva berdiri dengan penuh emosi, tangannya mengepal.

“Dia gak menolak, bukan berarti dia setuju! Mama lihat sendiri, dia bahkan gak tertarik bicara sama aku. Bahkan saat kita di balkon, dia malah cuek dan gak ada niat kenalan lebih dalam. Orang kayak gitu, mau Mama jodohin ke anak Mama?!”

Lia menatap Ziva tajam. “Ziva! Kamu tahu siapa Reza. Keluarga Firnander itu—”

 “Aku gak peduli siapa dia! Mau anak presiden kek, anak konglomerat kek!”

Lia maju beberapa langkah, suaranya semakin tegas. “Ini soal masa depan kamu. Mama tahu kamu kerja keras. Tapi Mama juga tahu kamu terlalu sibuk sampai lupa kalau kamu manusia yang butuh pasangan. Kalau bukan karena Mama, kamu gak akan pernah mikirin soal pernikahan!”

Ziva mendesah panjang. “Mama tuh gak ngerti... Hidup aku udah penuh tekanan. Tanggung jawab di rumah sakit itu besar, Ma. Satu kesalahan kecil bisa bikin orang lain cacat seumur hidup. Aku gak bisa bagi fokus untuk pernikahan apalagi dengan orang yang bahkan gak peduli sama aku!”

Lia akhirnya duduk di kursi makan, perlahan. Suaranya melemah. “Mama Cuma gak mau kamu sendiri terus, Ziva… Mama Cuma ingin kamu bahagia.”

Ziva menunduk. Kali ini lebih tenang, tapi bibirnya masih bergetar.

“Bahagia bukan berarti menikah dengan orang yang sudah memiliki kekasih dalam tiga hari, Ma…”

Keheningan melingkupi ruang makan itu.

Ziva terdiam.  memandangi langit langit yang kosong.

Tiga hari lagi. Ia bahkan belum tahu ulang tahun Reza, makanan favoritnya, atau sekadar... suara tawanya. Karna Reza yang sekarang jauh berbeda dengan Reza yang ia kenal.

Di matanya tidak ada air mata. Belum. Tapi dadanya berat. Seperti diisi beban 20 kilogram harapan yang dilenyapkan dalam satu jam makan malam.

“Apa yang harus aku lakukan” Ziva frustasi.

Semua ini... seperti lelucon tanpa tawa.

Dan satu hal yang mengganggunya lebih dalam adalah:

Mengapa Reza tidak membantah tadi?

Apakah dia setuju? Apakah dia hanya diam karena terpaksa? Atau... karena memang tidak peduli?

Ziva berbaring, menatap langit-langit dengan pikiran kalut.

Tiga hari.

Apa yang bisa berubah dalam waktu sesingkat itu?

 

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • DIJODOHKAN MAMA   Bab 9

    “Dokter Zivaaaa!”“Oh my God, kamu serius nikah?! Sama CEO Firnander Group? Yang produknya viral sekarang?”Ziva mencolek pelipis. “Kenapa sih RS ini lebih up to date dari gosip infotainment?”“Ya karena kamu tokoh utamanya, dok! Kita nonton sinetron real life ini gratis!”Belum selesai, tiba-tiba Dokter Tama lewat sambil megang kopi.“Ziv, ngaku deh... kamu disihir dukun mana sampe bisa dapetin suami sekeren itu?”Ziva hanya mengangkat alis. “Tama, suamiku bukan action figure. Dia juga manusia. Bisa ngos-ngosan waktu lari tangga.”Semua ketawa.“Cepetan potong kuenya dong!”“Yaaa biar sah!”Lalu dengan senyum malas-malu, Ziva berucap,“Bismillah… demi perut lapar dan citra pengantin baru yang utuh, mari kita potong kuenya…”Tepuk tangan meledak lagi, lebih riuh dari sebelumnya. Bahkan suster bagian radiologi ikut berteriak,“YEAYY PENGANTIN BARUU!!”Lalu mengibaskan kain serbet ke udara seperti pesta pernikahan adat.“Selamat ya, Ziva!”“Akhirnya sah juga, ya ampun!”“Dokter favorit

  • DIJODOHKAN MAMA   Bab 8

    Ziva turun ke dapur dengan setelan piyama dan rambut diikat asal. Matanya masih sayu, tapi begitu melihat meja makan yang sudah tertata rapi dengan roti panggang, telur mata sapi, dan jus jeruk segar, matanya sedikit membelalakDi ruang tengah, Alisya dan Reza sedang tertawa. Tertawa. Serius.Ziva hampir tidak percaya apa yang dilihatnya. Alisya duduk menyamping di sofa, menggenggam lengan Reza seperti boneka kesayangan. Reza sendiri mengenakan kaus putih dan celana training, terlihat sangat santai dan… nyaman. Terlalu nyaman."Eh, Ziva! Udah bangun? Aku tadi sekalian bikin sarapan buat Reza, takut dia kesiangan."Ziva berdiri di ambang pintu, menahan napas dan menguatkan mental. Dia menatap Alisya dengan ekspresi setengah sadar."Dan... kamu nginep?" tanya Ziva datar, berusaha tak terdengar sinis."Enggaklah. Aku datang pagi-pagi, bawa bahan makanan sendiri. Sekalian kasih kejutan," sahut Alisya sambil nyengir, tak sadar kalau Ziva sedang mengulang kalimat ‘kasih kejutan’ di kepalany

  • DIJODOHKAN MAMA   Bab 7

    “Pisah kamar?” tanyanya pelan, nada suaranya datar. Tidak menyindir. Tidak marah. Hanya... butuh kejelasan.Reza akhirnya menatapnya, tajam tapi tak punya emosi.“Aku pikir, ini bukan pernikahan sungguhan,” katanya tenang. “Kita berdua tahu alasannya."Ziva tersenyum kecil, getir. “Oh, tentu. Karena ini cuma perjodohan demi menyenangkan keluarga. Aku ingat.”Reza mengangguk singkat. “Jadi... sebaiknya kita tetap menjaga batas. Kamar utama untukku, kamar tamu untukmu.”Ziva melangkah pelan menuju koper yang tadi ia tinggalkan di dekat sofa. Ia tidak langsung menjawab. Bahkan tidak menatap Reza lagi.Tapi di dalam hati?“Pisah kamar? Sok cool amat. Lu kira gue ngarep tidur sekasur juga? Hell no. Gue lebih milih tidur sama guling daripada tidur sama manusia es kayak kamu.”🌸🌸🌸🌸🌸Ziva masuk dan menutup pintu pelan. Kamar tamu itu… terlalu mewah untuk disebut "tamu", tapi terlalu asing untuk disebut "rumah". Furniturnya elegan, semuanya rapi dan wangi lavender. Tapi tetap saja, rasany

  • DIJODOHKAN MAMA   Bab 6

    Pagi itu, suasana rumah sederhana milik keluarga Ziva terasa hangat namun juga berat. Dapur dipenuhi aroma tumisan favoritnya: buncis telur dan ayam goreng kecap—menu andalan Mama yang selalu berhasil membuat Ziva lapar meski hatinya sedang tidak tenang. Di kursi meja makan, koper besar warna rose gold berdiri tegak, seolah menjadi penanda kalau ada sesuatu yang berubah hari ini. Ziva duduk sambil memainkan sendoknya, matanya menatap nasi putih yang masih mengepul. Mama duduk di depannya, tak kalah diam. "Jadi... hari ini ya kamu pindah?” suara Lia akhirnya memecah hening, lembut tapi terdengar berat. Ziva mengangguk. “Iya, Ma. Keluarga Reza bilang... mulai hari ini aku harus tinggal di apartemen mereka. Katanya, biar cepat adaptasi.” Lia mengangguk pelan, meski sorot matanya menyimpan ratusan kekhawatiran. “Mereka nggak maksa, kan?” “Nggak, Ma. Aku juga... udah siap.” Jawaban Ziva cepat, meski jelas itu bohong. Hatinya belum siap, belum sepenuhnya. Tapi waktu tak pernah menungg

  • DIJODOHKAN MAMA   Bab 5

    “Kay…”Ziva bersuara pelan, matanya merah, suaranya serak, tapi ada nada harap di sana. Kayla, yang masih duduk di samping tempat tidur sambil memegang sebotol air mineral, menoleh cepat.“Hm?”Ziva memandang jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 00.17. “Gue nginep sini aja, ya?”Kayla mengangkat satu alis. “Lah emangnya lo pikir gue bakal nyuruh lo pulang jam segini? Mau ditangkap satpam komplek apartemen karena dikira kuntilanak kesasar?”Ziva nyengir tipis walau matanya masih sembab. “Serius ngebayangin gue jadi kuntilanak cantik dengan koper pink itu agak ngena.”Kayla berdiri dan membuka lemari, mengeluarkan piyama cadangan warna biru muda bergambar alpukat tersenyum. “Nih, pake ini. Jangan bilang lo lupa bawa baju tidur, ya?”“Gue cuma sempat ambil coat, dompet, dan luka hati.”“Fix, lo butuh terapi.”Kayla memberikan nasi goreng yang ia pesan tadi.“Pokoknya malam ini kamu nggak usah mikirin dia. Kamu tinggal mikirin: mau sarapan nasi goreng atau roti bakar besok?”Ziva ter

  • DIJODOHKAN MAMA   Bab 4

    Sore itu, Ziva tidak menyangka akan kembali duduk berhadapan dengan Reza Firnander—calon suami dan berhasil membuatnya tidur tidak nyenyak dua malam berturut-turut. Bukan karena cinta, tapi karena bingung: ini hidup nyata atau sinetron?Reza datang sepuluh menit lebih awal. Duduk dengan gaya santai, kemeja linen abu, celana hitam pas badan, dan aroma parfum kayu-kayuan yang terlalu mahal untuk disebutkan mereknya. Wajahnya datar, seperti biasa. “Ada hal penting apa?”Reza tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap Ziva sesaat, lalu menarik sebuah map berwarna krem dari tas kerjanya dan menyodorkannya ke atas meja.Ziva mengangkat alis. “Apa ini?”“Baca saja,” jawab Reza singkat.Ziva membuka map itu perlahan, dan matanya segera menangkap deretan kalimat formal dengan kata-kata yang tajam dan jelas:KONTRAK PERNIKAHANPernikahan akan berlangsung sesuai jadwal keluarga. Tidak ada campur tangan emosional. Tidak ada kewajiban fisik sebagai pasangan. Berjalan sampai kondisi Kakek Yudistira

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status