Pintu rumah keluarga Firnander terbanting pelan. Reza melangkah masuk dengan langkah panjang dan cepat. Dasi dilepas kasar dan dilempar ke sofa. Nafasnya masih memburu. Ia menatap kedua orang tuanya dengan mata menyala.
“Kalian bercanda?” Pak Ardian sedang membaca koran hanya melirik sebentar. “Akhirnya kamu bicara juga.” Indri, masih tenang sambil menyesap teh hangatnya. “Kita serius, Reza. Pernikahan akan berlangsung tiga hari lagi.” Timpal Ibunya “Aku udah bilang berkali-kali, aku nggak setuju dijodohkan! Aku punya pacar, Ma! Aku cinta sama Alisya!” Reza terdengar emosional. IIndri langsung menoleh tajam. “Alisya lagi? “ “Reza, dengar. Kami tidak menentang hubungan kalian. Tapi sudah tiga tahun kalian pacaran dan Alisya tak pernah menunjukkan keseriusan. Dia selalu bilang belum siap.” Reza mengepalkan tangan. “Karena dia punya luka masa lalu, Ma. Dia perlu waktu.” Ardian berdiri pelan, menatap anak lelakinya dengan sorot yang berbeda—lelah, namun dalam. “Sampai kapan kamu mau menunggu orang yang tidak siap untuk hidup denganmu? Kamu bahkan menolak semua perempuan baik yang kami kenalkan, hanya karena dia.” Reza menggigit bibirnya. Lalu suara ibunya kembali terdengar, kali ini lebih pelan. “Kakekmu, Reza… Kakekmu tidak baik-baik saja. Dia makin lemah, dan setiap hari hanya satu hal yang ia tanyakan: ‘Kapan Reza menikah?’ Kau tahu harapan terbesarnya sebelum menutup usia adalah melihat cucu kesayangannya berdiri di pelaminan. Dan dia tidak bisa menunggu lebih lama lagi.” Reza memejamkan mata. Dadanya nyeri. Ia tahu, ia bukan cucu terbaik. Tapi kakeknya... satu-satunya orang yang selalu mendukung mimpinya. Bahkan dulu, saat ia menolak kuliah di luar negeri, hanya kakeknya yang membelanya. Dan sekarang, kakek ingin satu hal yang nyatanya… belum bisa ia berikan. “Satu permintaan terakhir, Reza,” suara Indri pelan, “Kalau kau memang cinta Alisya, dan yakin dia akan jadi istrimu… kenapa bukan dia yang ada di rumah tadi malam? Kenapa dia bahkan tidak berani datang untuk memperjuangkanmu?” “Ziva… mungkin bukan wanita yang kamu inginkan. Tapi dia bisa jadi wanita yang kamu butuhkan.” Reza membanting tubuhnya ke sofa, wajahnya gelap. “Kalian bahkan nggak tanya aku mau atau nggak.” “Tapi kamu juga nggak bilang ‘tidak’ di depan mereka,” Ardian menimpali. “Karena aku syok! Kalian sengaja jebak aku, ya?” Suasana mendadak sunyi. Hanya detik jam yang terdengar. Reza menunduk. Kedua tangannya menutup wajah. Dalam hati, ia ingin mengutuk semuanya. Tapi ia juga tahu, ini bukan perang biasa. Ini adalah pertempuran satu generasi: cinta [Sayang, kapan kamu kerumah, aku kangen] Jari-jarinya ragu. Ia tak langsung membalas. Pikirannya kacau. Dan di sudut hatinya, ada rasa bersalah. 🌸🌸🌸🌸🌸 “Ma, Ziva gak akan menikah!” Suara Ziva bergema dari dalam kamar makan yang sudah sepi. Gelas-gelas kristal masih tersisa setengah isi, taplak putih elegan sudah agak kusut, dan piring buah belum tersentuh—seolah semua tamu tadi pergi terlalu cepat, meninggalkan ketegangan yang belum usai. “Kamu pikir Mama bercanda tadi? Kamu dengar sendiri, semua orang setuju. Tinggal kamu dan Reza. Dan dia juga tidak menolak!” Ziva berdiri dengan penuh emosi, tangannya mengepal. “Dia gak menolak, bukan berarti dia setuju! Mama lihat sendiri, dia bahkan gak tertarik bicara sama aku. Bahkan saat kita di balkon, dia malah cuek dan gak ada niat kenalan lebih dalam. Orang kayak gitu, mau Mama jodohin ke anak Mama?!” Lia menatap Ziva tajam. “Ziva! Kamu tahu siapa Reza. Keluarga Firnander itu—” “Aku gak peduli siapa dia! Mau anak presiden kek, anak konglomerat kek!” Lia maju beberapa langkah, suaranya semakin tegas. “Ini soal masa depan kamu. Mama tahu kamu kerja keras. Tapi Mama juga tahu kamu terlalu sibuk sampai lupa kalau kamu manusia yang butuh pasangan. Kalau bukan karena Mama, kamu gak akan pernah mikirin soal pernikahan!” Ziva mendesah panjang. “Mama tuh gak ngerti... Hidup aku udah penuh tekanan. Tanggung jawab di rumah sakit itu besar, Ma. Satu kesalahan kecil bisa bikin orang lain cacat seumur hidup. Aku gak bisa bagi fokus untuk pernikahan apalagi dengan orang yang bahkan gak peduli sama aku!” Lia akhirnya duduk di kursi makan, perlahan. Suaranya melemah. “Mama Cuma gak mau kamu sendiri terus, Ziva… Mama Cuma ingin kamu bahagia.” Ziva menunduk. Kali ini lebih tenang, tapi bibirnya masih bergetar. “Bahagia bukan berarti menikah dengan orang yang sudah memiliki kekasih dalam tiga hari, Ma…” Keheningan melingkupi ruang makan itu. Ziva terdiam. memandangi langit langit yang kosong. Tiga hari lagi. Ia bahkan belum tahu ulang tahun Reza, makanan favoritnya, atau sekadar... suara tawanya. Karna Reza yang sekarang jauh berbeda dengan Reza yang ia kenal. Di matanya tidak ada air mata. Belum. Tapi dadanya berat. Seperti diisi beban 20 kilogram harapan yang dilenyapkan dalam satu jam makan malam. “Apa yang harus aku lakukan” Ziva frustasi. Semua ini... seperti lelucon tanpa tawa. Dan satu hal yang mengganggunya lebih dalam adalah: Mengapa Reza tidak membantah tadi? Apakah dia setuju? Apakah dia hanya diam karena terpaksa? Atau... karena memang tidak peduli? Ziva berbaring, menatap langit-langit dengan pikiran kalut. Tiga hari. Apa yang bisa berubah dalam waktu sesingkat itu?Ziva masuk ke lobi hotel berbintang lima dengan gaun elegan sederhana. Rambutnya dibiarkan tergerai, wajahnya tenang meski jantungnya berdegup kencang. Bianca hanya mengawalnya dari jauh, berpura-pura sebagai tamu lain.Di lounge, ia melihat seorang pria duduk sendirian di sofa kulit hitam. Penampilannya rapi, jas abu-abu mahal menempel sempurna di tubuh atletisnya. Aura berwibawa terpancar jelas, membuat orang-orang otomatis memberi ruang.Adrian Mahendra.Ziva menarik napas panjang, lalu melangkah mendekat. “Permisi, Tuan Adrian?”Pria itu menoleh, matanya tajam tapi sekaligus penuh rasa ingin tahu. “Kita kenal?”“Belum,” jawab Ziva sambil duduk di seberang tanpa menunggu undangan. “Tapi saya tahu Anda mantan Alisya.”Adrian terdiam, lalu menyeringai tipis. “Langsung to the point, ya. Jarang ada wanita berani membuka percakapan seperti itu. Jadi… siapa kamu sebenarnya?”Ziva menatapnya lurus, tak bergeming. “Seseorang yang juga ingin membuka kedok Alisya.”"Baik silahkan duduk" Ziva
Jarum jam menunjuk pukul sebelas lewat. Apartemen senyap, hanya lampu ruang tamu yang menyala. Ziva membuka pintu dengan hati-hati, berharap Reza sudah tidur. Namun langkahnya langsung membeku.Reza duduk di sofa, masih terjaga, dengan tatapan tajam yang tidak lepas darinya sejak pintu terbuka.“Baru pulang lagi?” suaranya rendah, datar, tapi sarat emosi.Ziva melepas heels dan meletakkan tasnya. “Aku ada urusan,” jawabnya singkat.Reza bangkit, mendekat dengan langkah mantap. “Urusan apa, Zi? Jangan bilang kerja. Aku tahu kapan kamu pulang karena pasien, dan kapan kamu keluar untuk sesuatu yang kamu sembunyikan dariku. Kamu kira aku nggak sadar?”Ziva menghela napas keras, matanya berkilat. “Kamu nuduh aku sekarang? Jadi menurutmu aku pulang malam karena apa? Karena main-main? Karena ada orang lain?”Reza mendekat, suaranya meninggi. “Aku nggak bilang gitu! Tapi sikapmu bikin aku mikir yang macam-macam. Kamu selalu rahasiain sesuatu. Aku ini suamimu, Zi, tapi kamu perlakukan aku sepe
Pagi itu terasa berbeda. Reza dengan santai mengantarkan Ziva ke rumah sakit. Di sepanjang jalan, ia sempat menggoda kecil, membuat Ziva tersenyum tanpa sadar.“Kalau tiap hari aku yang nganterin, pasienmu bisa iri,” canda Reza sambil melirik istrinya.Ziva menahan tawa, memilih menjawab dengan nada dingin, “Fokus nyetir saja, Reza.”Namun hatinya sedikit bergetar melihat sikap Reza yang lebih perhatian akhir-akhir ini.Setibanya di rumah sakit, Ziva langsung larut dalam pekerjaannya. Jadwal padat, pasien menunggu, dan panggilan operasi darurat membuat waktu berjalan begitu cepat. Ia bahkan hampir lupa kalau pagi tadi Reza sempat membuatnya tersenyum.Menjelang siang, seorang perawat mengetuk pintu ruangannya. “Dokter Ziva, ada seseorang ingin bertemu Anda. Dia menunggu di ruang tunggu khusus.”Ziva mengerutkan kening. “Pasien?”“Tidak, Dok. Katanya ini masalah pribadi.”Dengan langkah tegas, Ziva menuju ruang tunggu. Ia sama sekali tidak menduga siapa yang menunggunya. Namun begitu p
Ketika pintu ruang kerja Bianca tertutup rapat, hanya ada suara jam dinding yang berdetak pelan. Di meja, flashdisk kecil berwarna hitam tergeletak—tampak sepele, tapi isinya cukup untuk mengguncang nama besar Alisya. Ziva menyender di kursi, menyilangkan kaki dengan tenang. Tatapannya menusuk, bibirnya tersenyum tipis penuh kemenangan.“Akhirnya,” ucap Ziva pelan, suaranya seperti racun manis. “Bukti yang selama ini kita cari, sudah dalam genggaman.”Nadine menunduk, jari-jarinya gemetar memegang mug kopi. “Kamu yakin ini cukup?” tanyanya.Ziva menoleh, alisnya terangkat anggun. “Lebih dari cukup. Bukti ini bukan hanya merusak citra Alisya, tapi juga mengikat orang-orang di sekitarnya.”Bianca bersandar dengan tangan menyilang. “Dan aku tahu tepat siapa yang harus jadi pintu masuk kita.”Ziva menatap Bianca penuh minat. “Siapa?”“Stefia,” jawab Bianca mantap. “Asisten kesayangan Alisya. Selalu ikut ke mana pun dia pergi. Kalau kita bisa menundukkan Stefia, maka setiap langkah Alisya
Acara masih berlangsung dengan penuh formalitas, namun hati Nadine terasa bergemuruh. Ia tersenyum pada para tamu, menyapa dengan sopan, tapi dalam dadanya ada bara yang mendidih. Begitu ada celah, ia melangkah cepat meninggalkan ruangan. Tumit sepatunya beradu dengan lantai marmer, suaranya nyaring menandakan langkah penuh emosi. Ia menuju kamar mandi wanita. Ziva yang sejak tadi sembunyi, melihat arah langkah itu. Tanpa pikir panjang, ia melirik Bianca yang baru saja mendekat. “Kita ikuti dia,” bisiknya. Bianca mengangguk singkat. Mereka berdua berjalan pelan, menjaga jarak agar tidak ketahuan, hingga berhenti tepat di depan pintu kamar mandi yang sedikit terbuka. Di dalam, suara Nadine terdengar pecah. “Sial!” Sebuah botol kecil yang entah apa jatuh ke wastafel. Suaranya bergema. “Kenapa dia harus datang sekarang? Kenapa aku harus terus dipermalukan di depan semua orang?” Nadine menatap pantulan dirinya di cermin, wajahnya memerah, matanya berkilat marah. Senyum anggun yang t
Hari itu datang lebih cepat dari yang Ziva bayangkan. Event amal yang dikelola Nadine digelar di sebuah ballroom hotel bintang lima di pusat kota. Undangan berkelas hadir dengan gaun elegan dan setelan jas yang rapi, suasana glamor memenuhi ruangan. Lampu kristal berkilauan, alunan musik lembut mengisi udara, dan pelayan lalu lalang membawa minuman.Ziva berdiri sejenak di pintu masuk, menarik napas dalam. Gaun hitam sederhana yang ia kenakan membuatnya tampak anggun tanpa berlebihan. Ia sengaja memilih penampilan yang elegan tapi tidak mencolok—cukup untuk menarik perhatian, tapi tidak mengundang rasa curiga.“Fokus, Ziv,” gumamnya pada diri sendiri. “Kamu datang bukan untuk pesta, tapi untuk misi.”Di sudut ruangan, Bianca sudah hadir lebih dulu, menyamar sebagai tamu. Ia memberi isyarat samar dengan gelas anggur di tangannya. Tatapan matanya berkata jelas: target ada di sana.Ziva mengikutinya, dan pandangannya akhirnya menemukan sosok Nadine. Wanita itu terlihat anggun dengan gaun