“Kay…”
Ziva bersuara pelan, matanya merah, suaranya serak, tapi ada nada harap di sana. Kayla, yang masih duduk di samping tempat tidur sambil memegang sebotol air mineral, menoleh cepat. “Hm?” Ziva memandang jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 00.17. “Gue nginep sini aja, ya?” Kayla mengangkat satu alis. “Lah emangnya lo pikir gue bakal nyuruh lo pulang jam segini? Mau ditangkap satpam komplek apartemen karena dikira kuntilanak kesasar?” Ziva nyengir tipis walau matanya masih sembab. “Serius ngebayangin gue jadi kuntilanak cantik dengan koper pink itu agak ngena.” Kayla berdiri dan membuka lemari, mengeluarkan piyama cadangan warna biru muda bergambar alpukat tersenyum. “Nih, pake ini. Jangan bilang lo lupa bawa baju tidur, ya?” “Gue cuma sempat ambil coat, dompet, dan luka hati.” “Fix, lo butuh terapi.” Kayla memberikan nasi goreng yang ia pesan tadi. “Pokoknya malam ini kamu nggak usah mikirin dia. Kamu tinggal mikirin: mau sarapan nasi goreng atau roti bakar besok?” Ziva tertawa. “Kay, kamu tuh beneran kayak bantal. Selalu bisa nyamankan hati.” Kayla mengangkat alis. “Terus lo apa? Guling? Soalnya suka muter pas tidur?” Mereka berdua tertawa pelan. Lalu saat lampu kamar dipadamkan, dan suara kota mulai redup, Ziva bergumam pelan, hampir tak terdengar. “Apakah ini malam terakhir sebelum aku merubah status ku?” 🌸🌸🌸🌸🌸🌸 Hari itu dimulai dengan angin pelan yang menebarkan aroma bunga melati dan kenanga. Pagi belum benar-benar matang, tapi halaman rumah keluarga Ziva sudah ramai. Petugas dekorasi hilir mudik, membawa vas kaca, mengatur bunga, mengecek kursi, dan merapikan pelaminan. Ziva duduk diam di depan cermin, mengenakan kebaya putih bersih dengan detail bordir tangan di sepanjang lengannya. Veil panjang menjuntai lembut, membingkai wajahnya yang anggun. Seorang perias sedang menyematkan melati ke sanggulnya, tangan perias gemetar karena terpukau oleh kecantikan Ziva. Di balik senyumnya yang mulai terbentuk, Ziva menarik napas dalam-dalam. “Ziv, Ziv! Lo trending di tongkrongan tetangga! Gila, itu uang maharnya kayak hadiah doorprize mobil!” “Ya ampun, Kayla… jangan bikin aku tambah deg-degan.” “Deg-degan gimana? Beberapa jam lagi lo jadi nyonya crazy rich, dan calon ibu rumah tangga paling heboh se-gang!” Ziva hanya tersenyum, Setidaknya para tetangga tidak akan meremehkannya lagi. “Ziv… lo cantik banget sumpah,” Kayla, berdiri di belakang, memotret diam-diam. “Beneran kayak cewek Korea yang nikah sama chaebol di drakor.” Ziva mendengus geli. “Kayla, yang ini realita, bukan episode TV.” “Tapi lo beneran secantik itu. Gua sampe pengen guling-guling!” Ziva tertawa pelan. Lalu… matanya kembali tertuju ke cermin menatap gaun cantik yang ia pakai. Gaun yang dipilih ibunya dua hari lalu, katanya, "Karena kamu dokter, jadi bajunya harus tetap terlihat kuat tapi anggun." Perlahan, Ziva menyentuh dadanya. “Ayah, kalau Ayah masih ada… Ayah pasti bangga lihat aku.” Meski ia kecewa, tapi peran ayah selalu ia butuhkan. Kayla diam, lalu mendekat dan merangkul bahunya. “Ziv…,” katanya lembut. Ziva mengangguk pelan. Tak ingin menangis hari ini. Hari ini… dia sudah bertekad: "Aku harus bahagia. Bukan untuk Reza, bukan untuk semua yang memaksa… Tapi untuk diriku sendiri. Rumah keluarga Ziva yang biasanya tenang, hari ini ramai luar biasa. Tenda putih berdiri megah di halaman, dihiasi bunga-bunga segar dan kain satin yang menjuntai anggun. Para tetangga sibuk berbisik-bisik, entah karena gaun pengantin Ziva, ketampanan Reza, atau mahar yang kabarnya fantastis. Lia sendiri tak berhenti mondar-mandir menyambut tamu sambil sesekali menepuk-nepuk dadanya bangga. “Kamu harus senyum ya, jangan jutek kayak kemarin,” bisik Lia pada Ziva yang berjalan perlahan menuju ruangan akad. Ziva hanya mengangguk… lalu melihat sosok Reza. Dia berdiri di sana. Tampan dalam balutan jas putih gading, sorot matanya dingin namun tetap tenang. Tak banyak senyum, tapi cukup memberi kesan kalau dia datang bukan karena paksaan… setidaknya di hadapan publik. Tapi yang membuat Ziva tercekat adalah… Kakek Yudistira. Pria tua yang duduk di kursi roda, mengenakan beskap batik dengan peci hitam. Wajahnya terlihat pucat, tapi mata tuanya berbinar penuh harapan. Saat melihat Ziva, kakek itu berkata lirih, “Kamu cantik sekali, Nak. Janji sama kakek ya, kamu akan mempertahankan pernikahan ini .” Ziva terdiam Seketika, hatinya mencelos. Tapi ia tetap tersenyum dan mengangguk. Ijab kabul dimulai. Semua tamu disilakan duduk. Reza duduk menghadap penghulu. Di depannya, mahar terletak rapi dalam kotak kaca: emas 100 gram, sepasang cincin berlian, dan uang tunai 5 miliar rupiah. Jumlah yang membuat keluarga Ziva sempat hampir tersedak semalam. “Reza Firnander bin Ardian Firnander…” suara penghulu mulai menggema. Reza menarik napas. Tangannya gemetar. Matanya lurus ke depan. Datar. “Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan Ziva Develop binti Almarhum Hasan Mulyadi, dengan maskawin Emas 100 gram dan uang tunai 5 miliar tunai.” “…Saya terima nikah dan kawinnya Ziva Develop binti Hasan Mulyadi, dengan maskawin tersebut tunai.” Tepuk tangan meledak di seluruh ruangan. Ziva menunduk. Dalam hatinya, campur aduk. Ada senyum. Ada tangis. Ada detak jantung yang tak karuan. Tapi saat itu juga, dia mengulang lagi dalam hati, "Ziva... kamu harus bahagia." "Ini momen sekali seumur hidup. Meski bukan cinta yang mengiringi… tapi kamu tetap pantas bahagia."Jarum jam menunjuk pukul sebelas lewat. Apartemen senyap, hanya lampu ruang tamu yang menyala. Ziva membuka pintu dengan hati-hati, berharap Reza sudah tidur. Namun langkahnya langsung membeku.Reza duduk di sofa, masih terjaga, dengan tatapan tajam yang tidak lepas darinya sejak pintu terbuka.“Baru pulang lagi?” suaranya rendah, datar, tapi sarat emosi.Ziva melepas heels dan meletakkan tasnya. “Aku ada urusan,” jawabnya singkat.Reza bangkit, mendekat dengan langkah mantap. “Urusan apa, Zi? Jangan bilang kerja. Aku tahu kapan kamu pulang karena pasien, dan kapan kamu keluar untuk sesuatu yang kamu sembunyikan dariku. Kamu kira aku nggak sadar?”Ziva menghela napas keras, matanya berkilat. “Kamu nuduh aku sekarang? Jadi menurutmu aku pulang malam karena apa? Karena main-main? Karena ada orang lain?”Reza mendekat, suaranya meninggi. “Aku nggak bilang gitu! Tapi sikapmu bikin aku mikir yang macam-macam. Kamu selalu rahasiain sesuatu. Aku ini suamimu, Zi, tapi kamu perlakukan aku sepe
Pagi itu terasa berbeda. Reza dengan santai mengantarkan Ziva ke rumah sakit. Di sepanjang jalan, ia sempat menggoda kecil, membuat Ziva tersenyum tanpa sadar.“Kalau tiap hari aku yang nganterin, pasienmu bisa iri,” canda Reza sambil melirik istrinya.Ziva menahan tawa, memilih menjawab dengan nada dingin, “Fokus nyetir saja, Reza.”Namun hatinya sedikit bergetar melihat sikap Reza yang lebih perhatian akhir-akhir ini.Setibanya di rumah sakit, Ziva langsung larut dalam pekerjaannya. Jadwal padat, pasien menunggu, dan panggilan operasi darurat membuat waktu berjalan begitu cepat. Ia bahkan hampir lupa kalau pagi tadi Reza sempat membuatnya tersenyum.Menjelang siang, seorang perawat mengetuk pintu ruangannya. “Dokter Ziva, ada seseorang ingin bertemu Anda. Dia menunggu di ruang tunggu khusus.”Ziva mengerutkan kening. “Pasien?”“Tidak, Dok. Katanya ini masalah pribadi.”Dengan langkah tegas, Ziva menuju ruang tunggu. Ia sama sekali tidak menduga siapa yang menunggunya. Namun begitu p
Ketika pintu ruang kerja Bianca tertutup rapat, hanya ada suara jam dinding yang berdetak pelan. Di meja, flashdisk kecil berwarna hitam tergeletak—tampak sepele, tapi isinya cukup untuk mengguncang nama besar Alisya. Ziva menyender di kursi, menyilangkan kaki dengan tenang. Tatapannya menusuk, bibirnya tersenyum tipis penuh kemenangan.“Akhirnya,” ucap Ziva pelan, suaranya seperti racun manis. “Bukti yang selama ini kita cari, sudah dalam genggaman.”Nadine menunduk, jari-jarinya gemetar memegang mug kopi. “Kamu yakin ini cukup?” tanyanya.Ziva menoleh, alisnya terangkat anggun. “Lebih dari cukup. Bukti ini bukan hanya merusak citra Alisya, tapi juga mengikat orang-orang di sekitarnya.”Bianca bersandar dengan tangan menyilang. “Dan aku tahu tepat siapa yang harus jadi pintu masuk kita.”Ziva menatap Bianca penuh minat. “Siapa?”“Stefia,” jawab Bianca mantap. “Asisten kesayangan Alisya. Selalu ikut ke mana pun dia pergi. Kalau kita bisa menundukkan Stefia, maka setiap langkah Alisya
Acara masih berlangsung dengan penuh formalitas, namun hati Nadine terasa bergemuruh. Ia tersenyum pada para tamu, menyapa dengan sopan, tapi dalam dadanya ada bara yang mendidih. Begitu ada celah, ia melangkah cepat meninggalkan ruangan. Tumit sepatunya beradu dengan lantai marmer, suaranya nyaring menandakan langkah penuh emosi. Ia menuju kamar mandi wanita. Ziva yang sejak tadi sembunyi, melihat arah langkah itu. Tanpa pikir panjang, ia melirik Bianca yang baru saja mendekat. “Kita ikuti dia,” bisiknya. Bianca mengangguk singkat. Mereka berdua berjalan pelan, menjaga jarak agar tidak ketahuan, hingga berhenti tepat di depan pintu kamar mandi yang sedikit terbuka. Di dalam, suara Nadine terdengar pecah. “Sial!” Sebuah botol kecil yang entah apa jatuh ke wastafel. Suaranya bergema. “Kenapa dia harus datang sekarang? Kenapa aku harus terus dipermalukan di depan semua orang?” Nadine menatap pantulan dirinya di cermin, wajahnya memerah, matanya berkilat marah. Senyum anggun yang t
Hari itu datang lebih cepat dari yang Ziva bayangkan. Event amal yang dikelola Nadine digelar di sebuah ballroom hotel bintang lima di pusat kota. Undangan berkelas hadir dengan gaun elegan dan setelan jas yang rapi, suasana glamor memenuhi ruangan. Lampu kristal berkilauan, alunan musik lembut mengisi udara, dan pelayan lalu lalang membawa minuman.Ziva berdiri sejenak di pintu masuk, menarik napas dalam. Gaun hitam sederhana yang ia kenakan membuatnya tampak anggun tanpa berlebihan. Ia sengaja memilih penampilan yang elegan tapi tidak mencolok—cukup untuk menarik perhatian, tapi tidak mengundang rasa curiga.“Fokus, Ziv,” gumamnya pada diri sendiri. “Kamu datang bukan untuk pesta, tapi untuk misi.”Di sudut ruangan, Bianca sudah hadir lebih dulu, menyamar sebagai tamu. Ia memberi isyarat samar dengan gelas anggur di tangannya. Tatapan matanya berkata jelas: target ada di sana.Ziva mengikutinya, dan pandangannya akhirnya menemukan sosok Nadine. Wanita itu terlihat anggun dengan gaun
Suara langkah cepat terdengar di koridor rumah sakit. Ziva, dengan jas putihnya, berjalan sambil membuka catatan medis pasien. Wajahnya tampak serius, seolah semua hal lain di dunia ini tidak ada—kecuali para pasien yang menunggunya.“Dok, pasien nomor tiga butuh pemeriksaan ulang, tensinya naik lagi,” ujar seorang perawat sambil menyerahkan hasil cek.“Baik, siapkan ruangannya. Saya segera ke sana,” jawab Ziva cepat.Sepanjang pagi hingga siang, Ziva tenggelam dalam rutinitas. Menangani pasien anak-anak, melakukan pemeriksaan rawat jalan, hingga menenangkan keluarga pasien yang panik. Senyumnya tetap ada, meski hatinya berat oleh pikiran lain.Di sela waktu istirahat makan siang, ia duduk di ruang dokter. Ponselnya bergetar. Pesan dari Bianca masuk:“Kita ketemuan di kafe biasa”Ziva menatap layar ponselnya lama. Ia menggenggam dahi, tarik napas panjang. Jadwal pasiennya masih padat, tapi kesempatan emas untuk memulai misi juga ada di depan mata.“Dok Ziva, pasien berikutnya sudah si