"Dicariin sama siapa?” tanyaku sedikit panik. Aku betul-betul kaget dan merasa takut jika yang mencariku adalah polisi.Memang tak salah, orang yang merasa memiliki kesalahan pasti akan merasa takut dengan sesuatu hal yang ada kaitannya dengan kesalahannya, termasuk Aku. Aku memang takut jika nanti terseret dengan kasus Pak Rafli dan Andien. Pasalnya, Aku memang sempat akan menikah dengan turis asing. Bahkan, Aku sempat di belanjakan baju dan salon.“Itu... si Agus."Mang Ujang mengemukakan tentang siapa yang tadi dikatakan mencariku.“Emangnya si Agus mau ngapain nyariin Neng Lea? " tanya Mang Ujang kepada sekuriti lainnya, sekuriti yang tadi memergoki ku keluar dari toilet.“Katanya... mau nengokin Ibu nya Neng Lea yang baru dioperasi. Tapi orangnya malah nggak ada,” sahut Mang Parmin lagi membuat aku sedikit bernafas lega. Bagaimana tidak, Aku sudah mengira akan hal yang tidak tidak, namun ternyata Agus mencariku karena Ia ingin menjen
“Mang, kenapa ke sini?” tanya ku sambil menepuk-nepuk pundak Mang Parmin yang sedari tadi nyerocos kaya kereta api, serta tidak mendengarkan ucapanku.“Loh, memangnya salah? Kita mau ke rumah sakit umum kan?” tanya Mang Parmin masih melajukan motornya, namun sedikit melambat.“Bukan Mang, rumah sakit kota,” sahut ku sedikit kesal.“Euleuh, Mamang kira rumah sakit umum. Atuh rumah sakit kota mah elit, Neng!” ucap Mang Parmin seraya memutar balik. Dua rumah sakit itu memang berlawanan arah.“Maaf ya, Mang. Tadi Lea enggak bilang dari awal,” ucapku malahan merasa bersalah. Perasaan bersalah ini karena dua hal, karena tak memberitahunya dari awal dan karena sempat berprasangka buruk kepadanya. Berprasangka kalau Mang Parmin justru akan berbuat jahat.Akhirnya, Mang Parmin kembali melajukan motor ke arah yang lain. Sampai di tikungan dari arah sekolah tadi, Mang Parmin pun kembali bercerita dan menunjuk ke arah tikungan yang akan kami lewati.
“Kamu?!” ucapku selirih mungkin. Mulut yang menganga ku tutup dengan kedua telapak tangan.Lelaki itu tersenyum sumbang. Satu sudut bibirnya terangkat ke atas. “Kenapa? Baru inget?” tanyanya dengan sinis.“Ini di rumah sakit kota kan? Aku mau ketemu Ibu, dari kemarin Aku belum lihat Ibu. Udah siuman atau belum?” Aku memberondongnya dengan pertanyaan yang begitu panjang seperti kereta api. Bagaimana bisa Aku melupakan wanita yang amat berarti bagiku. Yang ku ingat malah Mang Parmin duluan, meskipun itu juga tak salah. Aku merasa bersalah karena Mang Parmin ikut celaka karena mengantarku ke rumah sakit.“Baru ingat sama Ibumu?” sinisnya. Namun, tangannya tak urung menahan gerakan tanganku yang ingin mencopot infus.“Zen, kenapa kamu bilang begitu?”’tanyaku geram.Ya, lelaki di hadapanku adalah sang suami yang baru ku ingat wajahnya. Ya, wajarlah Aku tak begitu mengingatnya karena kami tak banyak saling bertatapan. Pantas saja, pas awal Aku sadar, Aku merasa seperti mengenali dirinya.“Da
Tanpa banyak bicara, Aku mencoba turun sendiri untuk yang kedua kalinya. Hanya saja, kali ini Aku melakukannya dengan penuh perhitungan. Happp... Aku turun dengan ancang-ancang dan kedua tangan yang ku jadikan pegangan di sisi brankar. Tanpa ku kira sebelumnya, Ruslan membantuku dengan mengangkat bobot tubuhku dari sela kedua tangan, sampai badanku sempurna turun dari brankar. "Terima kasih," ucapku tulus. Namun, rasa Terima kasih yang kuwakilkan lewat kata-kata, tak jua mendapatkan respon sepadan dari Ruslan. Aku pun segera duduk di atas kursi roda yang sudah di stel dalam keadaan rem terpasang. Sedangkan Ruslan, Ia memperhatikanku seolah tak boleh ada kejadian terjatuh lagi, atau darah naik lagi ke selang infus. "Aneh," gumamku dalam hati. Orang ini lah yang tiba-tiba datang membantuku dan begitu perhatian, namun orang ini pula yang tiba-tiba begitu dingin terhadapku. Ah, Aku tak mau ambil pusing, biarkan saja. Yang penting, dia tak berbuat jahat kepadaku. Dari ekor mataku, ku
Aku menoleh ke arah Ruslan, mencari informasi yang pasti yang akan Ia berikan lagi, tapi lelaki itu hanya memberikan isyarat dengan kepala agar Aku segera mengikutinya. Aku pun mengalah, kembali menoleh ke arah Mama yang masih belum sadarkan diri. Ku genggam lagi tangannya, kuciumi bolak-balik dengan air mata yang masih deras mengalir. "Ma, cepat pulih ya. Nanti Lea ke sini lagi," ucapku seolah tak rela untuk meninggalkannya. Tapi, kupikir nanti Aku bisa kembali menemuinya. Setelah ku letakkan tangan Mama, Aku pun menganggukkan kepala, memberi kode kepada Ruslan agar segera pergi dari ICU. Ruslan mendorongku keluar, melepaskan baju APD yang kupakai, kemudian memintaku untuk mengenakan sebuah masker yang Ia minta dari petugas jaga ICU. Tak banyak tanya, Aku mengenakan masker yang baru saja dia berikan kepadaku. Aku melihat ke sekitar, tak ada yang mencurigakan menurutku. Entahlah, Aku tak tahu apa yang membuat Ruslan menganggap kacau. Apakah memang kacau, atau hanya dia yang lebay.
"Aku enggak tahu kamu bakalan bertahan sampai kapan," ucap Zen membuatku mengerutkan kening. Lelaki yang ada di hadapanku ini bukannya menjawab pertanyaanku, tapi malah membuat prasangka lain. "Maksudnya, bertahan dalam apa?" tanyaku ingin memastikan. Apa pikiranku tepat jika Ia akan menyerah dalam pengobatan Mama. "Tidak... tidak!" gumamku dalam hati seraya menggelengkan kepala. "Kenapa geleng-geleng? Kamu enggak akan bertahan ya?" tanyanya lagi. Aku tak ingin menjawab pertanyaannya tentang gelenganku. Aku hanya ingin memastikan bahwa Ia tak akan menyerah, alias bertahan dalam membantu pengobatan Mama. "Bertahan dalam hal apa?" tanyaku sekali lagi. Zen menarik diri dari senderan kursi. Kini, Ia menegakkan duduknya, kemudian mengatakan hal yang langsung terasa menusuk di otakku. "Bertahan dalam keadaan bebas." Setelah mengatakan hal itu, Ia pun kembali bersender seraya menyunggingkan senyum smirk nya. "Bebas? Tolong perjelas ucapanmu!" pintaku. "Wanita sepertimu, masa enggak ng
"Ada apa?" tanya Zen. Ia pun tak melanjutkan kalimat yang tadi sempat terpotong. Ruslan melirik ke arahku dengan penuh kekhawatiran. Setelah itu, Ia pun berbisik kepada Zen, membuat lelaki yang bergelar suamiku itu ikut panik. "Jadi?" tanya Zen seraya menatap ke arah Ruslan, meminta pendapatnya. Ruslan menganggukkan kepalanya kepada Zen, seolah ada obrolan kata diantara mereka yang tak boleh Aku tahu. "Kamu bisa jalan kan?" tanya Zen membuatku berpikir. Ya, apakah Aku bisa jalan atau enggak pasca kecelakaan semalam. "Tak ada waktu," ucap Ruslan membuat Zen tiba-tiba menarik tanganku. "Awww... sakit," keluhku karena masih merasakan sakit yang cukup besar di area kaki. "Mungkin bisa pakai kursi roda sampai tangga," ucap Ruslan membuat Zen kembali mendudukkanku di atas kursi roda. Aku bingung dengan kelakuan mereka berdua. Entah apa yang sedang terjadi, Aku tak tahu sama sekali karena kedua lelaki ini tak sedikit pun memberitahuku. Yang kurasakan pasti saat ini adalah ketakutan. A
"Ya, kami sudah masuk lewat pintu belakang," ucap salah satu petugas polisi itu, seolah Ia tengah berbicara dengan seseorang yang lain selain mereka berdua. Aku mematung saat dua orang berseragam polisi itu meringsek masuk lewat pintu belakang. Pandangannya tak sedikit pun melihat ke arahku. Mereka hanya mencari sesuatu ke setiap arah seraya terus melangkah masuk. "Upss... Maaf Mbak!" tukas Salah seorang diantara mereka karena tak sengaja menginjak pengki yang sedang ku pegang. "Pak Yanto hati-hati. Kasihan Mbak nya lagi bertugas," kilah petugas yang lain sambil terkekeh, yang sudah berjalan lebih depan. "Sudah, Saya sudah minta maaf." "Kurang tulus," sahut kawannya sedikit berteriak karena sudah berada di ruangan lain. "Saya dimaafkan kan, Mbak? Atau mau Saya bantu buat nyapu dulu?" tanya polisi yang tadi menginjak pengki, seraya kembali mendekatiku yang masih mematung di sana. "Ah, eng... enggak perlu, Pak,