Rasanya darahku terasa membeku, nafas pun serasa tak bisa lagi ku hirup saat mendengar tudingan Salwa tepat kepadaku.
“Benarkah itu, Lea?” tanya pak Yahya, diangguki oleh bu Salsa.“Hah?”Hanya kata itu yang keluar dari mulutku sebagai pengganti jawab yang tak bisa kuungkapkan.“Benar kamu yang bersama-sama dengan Andin saat hari terakhir Ia bersekolah?” tanya bu Salsa mempertegas.Aku tak mampu menjawab setiap tanya, baik itu dari pak Yahya atau pun bu Salda. Rasanya ingin segera berlari dan meninggalkan tempat ini sejauh mungkin.“Ya, Aku juga lihat. Tapi, seingatku... kalau enggak salah kalian berpisah di depan gerbang sekolah ya, Lea?” tanya Rafael seolah menciptakan oase di tengah gurun yang tandus.Meskipun begitu, hanya anggukan yang bisa kusuguhkan untuk ucapan Rafael yang menurutku seperti sebuah pembelaan.Pak Yahya mendekati bu Salsa dan membisikannya sesuatu, “Bu, sepertinya Alea tidak bisa dibawa keKepala terasa berat, mata tak bisa melihat apapun, semuanya nampak gelap. Rasa dingin menusuk sampai ke sumsum tulang ku. Sedetik ku kerjapkan mata, sekedar mencari cahaya yang mungkin bisa kutemukan.“Aku di mana?" lirihku. Aku mencoba memegang kepala yang terasa begitu sakit dan berat, "Sakit. Aduh!” rengekku.Aku meraba segala yang ada di sekitarku, “ Di mana ini?” monologku. Tempat ini terasa sempit dan entah di mana. Aku mencoba bangkit, kemudian duduk hanya sekedar mengembalikan kestabilan tubuh.Meskipun kepala masih sangat berat, tapi Aku berusaha mengingat apa yang terjadi, “Aku di toilet,” ucapku mengingat kejadian terakhir tadi, seraya mengedarkan pandangan, namun tetap saja tak ada cahaya yang bisa kulihat. Dengan sekuat tenaga, Aku bangkit meraba bagian tembok yang ku perkirakan sebagai pintu. Ku raba bagian selot kunci.Klik.. Aku membuka selot kunci pintu wc sampai terbuka.Krieeettt...Sedikit demi sedikit pintu ku buka sampai akhirnya terbuka semua. Sama saja, gelap
"Dicariin sama siapa?” tanyaku sedikit panik. Aku betul-betul kaget dan merasa takut jika yang mencariku adalah polisi.Memang tak salah, orang yang merasa memiliki kesalahan pasti akan merasa takut dengan sesuatu hal yang ada kaitannya dengan kesalahannya, termasuk Aku. Aku memang takut jika nanti terseret dengan kasus Pak Rafli dan Andien. Pasalnya, Aku memang sempat akan menikah dengan turis asing. Bahkan, Aku sempat di belanjakan baju dan salon.“Itu... si Agus."Mang Ujang mengemukakan tentang siapa yang tadi dikatakan mencariku.“Emangnya si Agus mau ngapain nyariin Neng Lea? " tanya Mang Ujang kepada sekuriti lainnya, sekuriti yang tadi memergoki ku keluar dari toilet.“Katanya... mau nengokin Ibu nya Neng Lea yang baru dioperasi. Tapi orangnya malah nggak ada,” sahut Mang Parmin lagi membuat aku sedikit bernafas lega. Bagaimana tidak, Aku sudah mengira akan hal yang tidak tidak, namun ternyata Agus mencariku karena Ia ingin menjen
“Mang, kenapa ke sini?” tanya ku sambil menepuk-nepuk pundak Mang Parmin yang sedari tadi nyerocos kaya kereta api, serta tidak mendengarkan ucapanku.“Loh, memangnya salah? Kita mau ke rumah sakit umum kan?” tanya Mang Parmin masih melajukan motornya, namun sedikit melambat.“Bukan Mang, rumah sakit kota,” sahut ku sedikit kesal.“Euleuh, Mamang kira rumah sakit umum. Atuh rumah sakit kota mah elit, Neng!” ucap Mang Parmin seraya memutar balik. Dua rumah sakit itu memang berlawanan arah.“Maaf ya, Mang. Tadi Lea enggak bilang dari awal,” ucapku malahan merasa bersalah. Perasaan bersalah ini karena dua hal, karena tak memberitahunya dari awal dan karena sempat berprasangka buruk kepadanya. Berprasangka kalau Mang Parmin justru akan berbuat jahat.Akhirnya, Mang Parmin kembali melajukan motor ke arah yang lain. Sampai di tikungan dari arah sekolah tadi, Mang Parmin pun kembali bercerita dan menunjuk ke arah tikungan yang akan kami lewati.
“Kamu?!” ucapku selirih mungkin. Mulut yang menganga ku tutup dengan kedua telapak tangan.Lelaki itu tersenyum sumbang. Satu sudut bibirnya terangkat ke atas. “Kenapa? Baru inget?” tanyanya dengan sinis.“Ini di rumah sakit kota kan? Aku mau ketemu Ibu, dari kemarin Aku belum lihat Ibu. Udah siuman atau belum?” Aku memberondongnya dengan pertanyaan yang begitu panjang seperti kereta api. Bagaimana bisa Aku melupakan wanita yang amat berarti bagiku. Yang ku ingat malah Mang Parmin duluan, meskipun itu juga tak salah. Aku merasa bersalah karena Mang Parmin ikut celaka karena mengantarku ke rumah sakit.“Baru ingat sama Ibumu?” sinisnya. Namun, tangannya tak urung menahan gerakan tanganku yang ingin mencopot infus.“Zen, kenapa kamu bilang begitu?”’tanyaku geram.Ya, lelaki di hadapanku adalah sang suami yang baru ku ingat wajahnya. Ya, wajarlah Aku tak begitu mengingatnya karena kami tak banyak saling bertatapan. Pantas saja, pas awal Aku sadar, Aku merasa seperti mengenali dirinya.“Da
Tanpa banyak bicara, Aku mencoba turun sendiri untuk yang kedua kalinya. Hanya saja, kali ini Aku melakukannya dengan penuh perhitungan. Happp... Aku turun dengan ancang-ancang dan kedua tangan yang ku jadikan pegangan di sisi brankar. Tanpa ku kira sebelumnya, Ruslan membantuku dengan mengangkat bobot tubuhku dari sela kedua tangan, sampai badanku sempurna turun dari brankar. "Terima kasih," ucapku tulus. Namun, rasa Terima kasih yang kuwakilkan lewat kata-kata, tak jua mendapatkan respon sepadan dari Ruslan. Aku pun segera duduk di atas kursi roda yang sudah di stel dalam keadaan rem terpasang. Sedangkan Ruslan, Ia memperhatikanku seolah tak boleh ada kejadian terjatuh lagi, atau darah naik lagi ke selang infus. "Aneh," gumamku dalam hati. Orang ini lah yang tiba-tiba datang membantuku dan begitu perhatian, namun orang ini pula yang tiba-tiba begitu dingin terhadapku. Ah, Aku tak mau ambil pusing, biarkan saja. Yang penting, dia tak berbuat jahat kepadaku. Dari ekor mataku, ku
Aku menoleh ke arah Ruslan, mencari informasi yang pasti yang akan Ia berikan lagi, tapi lelaki itu hanya memberikan isyarat dengan kepala agar Aku segera mengikutinya. Aku pun mengalah, kembali menoleh ke arah Mama yang masih belum sadarkan diri. Ku genggam lagi tangannya, kuciumi bolak-balik dengan air mata yang masih deras mengalir. "Ma, cepat pulih ya. Nanti Lea ke sini lagi," ucapku seolah tak rela untuk meninggalkannya. Tapi, kupikir nanti Aku bisa kembali menemuinya. Setelah ku letakkan tangan Mama, Aku pun menganggukkan kepala, memberi kode kepada Ruslan agar segera pergi dari ICU. Ruslan mendorongku keluar, melepaskan baju APD yang kupakai, kemudian memintaku untuk mengenakan sebuah masker yang Ia minta dari petugas jaga ICU. Tak banyak tanya, Aku mengenakan masker yang baru saja dia berikan kepadaku. Aku melihat ke sekitar, tak ada yang mencurigakan menurutku. Entahlah, Aku tak tahu apa yang membuat Ruslan menganggap kacau. Apakah memang kacau, atau hanya dia yang lebay.
"Aku enggak tahu kamu bakalan bertahan sampai kapan," ucap Zen membuatku mengerutkan kening. Lelaki yang ada di hadapanku ini bukannya menjawab pertanyaanku, tapi malah membuat prasangka lain. "Maksudnya, bertahan dalam apa?" tanyaku ingin memastikan. Apa pikiranku tepat jika Ia akan menyerah dalam pengobatan Mama. "Tidak... tidak!" gumamku dalam hati seraya menggelengkan kepala. "Kenapa geleng-geleng? Kamu enggak akan bertahan ya?" tanyanya lagi. Aku tak ingin menjawab pertanyaannya tentang gelenganku. Aku hanya ingin memastikan bahwa Ia tak akan menyerah, alias bertahan dalam membantu pengobatan Mama. "Bertahan dalam hal apa?" tanyaku sekali lagi. Zen menarik diri dari senderan kursi. Kini, Ia menegakkan duduknya, kemudian mengatakan hal yang langsung terasa menusuk di otakku. "Bertahan dalam keadaan bebas." Setelah mengatakan hal itu, Ia pun kembali bersender seraya menyunggingkan senyum smirk nya. "Bebas? Tolong perjelas ucapanmu!" pintaku. "Wanita sepertimu, masa enggak ng
"Ada apa?" tanya Zen. Ia pun tak melanjutkan kalimat yang tadi sempat terpotong. Ruslan melirik ke arahku dengan penuh kekhawatiran. Setelah itu, Ia pun berbisik kepada Zen, membuat lelaki yang bergelar suamiku itu ikut panik. "Jadi?" tanya Zen seraya menatap ke arah Ruslan, meminta pendapatnya. Ruslan menganggukkan kepalanya kepada Zen, seolah ada obrolan kata diantara mereka yang tak boleh Aku tahu. "Kamu bisa jalan kan?" tanya Zen membuatku berpikir. Ya, apakah Aku bisa jalan atau enggak pasca kecelakaan semalam. "Tak ada waktu," ucap Ruslan membuat Zen tiba-tiba menarik tanganku. "Awww... sakit," keluhku karena masih merasakan sakit yang cukup besar di area kaki. "Mungkin bisa pakai kursi roda sampai tangga," ucap Ruslan membuat Zen kembali mendudukkanku di atas kursi roda. Aku bingung dengan kelakuan mereka berdua. Entah apa yang sedang terjadi, Aku tak tahu sama sekali karena kedua lelaki ini tak sedikit pun memberitahuku. Yang kurasakan pasti saat ini adalah ketakutan. A