Share

8. Fitnah Kejam

“O-, masih bisa dicari.”

“Tapi hanya bisa nerima dari golongan darah yang sama,” sangkalku. Aku merasa tak tenang saat mendengar hal itu.

“Kalau enggak ada, Nona bisa mendonorkan darah Nona,” usul Ruslan membuat ku mengerutkan kening.

“Golongan darah kami beda,” ucap ku membuat Ruslan yang kini mengerutkan keningnya.

“Beda?” tanya Ruslan seraya menatap ku tak percaya.

“Ya... bisa saja Aku samanya kaya Ayah. Kenapa jadi masalah?” ketus ku. Aku cukup kesal dengan Ruslan yang terlalu banyak bertanya.

“Oh, enggak apa-apa, Nona. Permisi, saya mau carikan dulu kantong darahnya,” ucap Ruslan seraya berlalu pergi.

Aku tak menjawab lagi, hanya menghembuskan nafas kasar, kemudian ku dudukkan bokong di kursi tunggu, tak jauh dari ruang operasi.

Sudah hampir dua jam operasi dilakukan, namun tak ada tanda-tanda operasi akan berakhir. Bahkan, lampu yang berada di atas pintu ruang operasi pun masih berwarna merah.

“Mbak,keluarga nya lagi di dalam ya? Sakit apa?” tanya seseorang yang tiba-tiba duduk di sampingku.

“Iya,” jawabku singkat.

“Sakit apa?” tanyanya lagi.

“Tumor, Mbak.”

“Tumor apa?” tanyanya lagi membuat ku sedikit risih. Namun, Aku cukup memahami bahwa hal itu merupakan bentuk keramah tamahan orang.

“Tumor payudara, Mbak.”

Aku pun menghembuskan nafas cukup keras. Aku hanya ingin dimengerti agar tak diajak berbicara terlebih dahulu.

“Oh, kanker payudara ya? Harus hati-hati itu. Tetangga saya juga kena kanker payudara, padahal baru stadium dua, tapi meninggal.”

“Maksudnya?” tanyaku seraya menatap tajam ke arahnya, meminta penjelasan untuk apa dia menceritakan hal menyedihkan saat Aku sedang dalam keadaan menunggu Mama di meja operasi.

“Iya. Penyakit kaya begitu harus hati-hati. Enggak usah percaya kata dokter yang bahaya kalau sudah stadium empat. Wong stadium dua saja sudah bisa bikin orang meninggal,” ucap perempuan itu tanpa beban.

“Mbak, permisi ya.” Ucapku segera beranjak dan menjauh dari sana. Heran dengan orang yang begitu tak memiliki hati seperti perempuan di sampingku ini. Jangan-jangan, dia cuma kuntilanak jadi-jadian, yang memang di dalam raganya tak ada hati untuk merasa. Kesal sekali.

“Tunggu dulu!” ucap perempuan yang sedari tadi mengajak ku berbicara, namun tak dapat mengerem mulutnya.

“Kenapa lagi, Mbak?” Kuhentikan langkah, berpikir bahwa dia akan meminta maaf karena sudah menyinggung perasaanku.

“Kamu harus udah siapin pemakaman dari sekarang! Kasihan Mama kamu kalau nanti... “

“Cukup Mbak! Saya enggak mau ribut lagi begini! Urus saja rambutmu yang berkutu itu!” kesalku seraya pergi meninggalkannya. Aku tak ngasal bicara seperti itu. Aku melihat Ia yang memiliki rambut gimbal, bau tak sedap dan sedari tadi menggaruk-garuk kepalanya.

“Eh, tunggu dulu Mbak. Saya ngomong kenyataan. Saya... “

Aku tak menghiraukan panggilannya. Bahkan, Aku pun tak lagi mendengarkan apa yang Ia ucapkan. Aku menganggap suaranya sebagai radio yang tak memiliki frekuensi pas. Jelek dan mengganggu pendengaran.

Aku duduk berjauhan dengannya, meskipun mata ini masih bisa melihat wajahnya yang mengerikan, serta suaranya yang mengganggu indera pendengaran, tapi Aku menganggapnya tak ada.

Setelah meraup oksigen dengan serakah, Aku pun kembali menunggu dengan gelisah. Aku khawatir dengan apa yang akan terjadi kepada Mama. Bagaimana pun, ucapan perempuan kunti tadi seolah memasuki alam bawah sadarku. Orang yang baru stadium dua saja sudah meninggal, apalagi... “

Aku menggelengkan kepala dengan cepat, bagaimana bisa Aku berpikir hal demikian. Apa pentingnya ucapan orang tadi.

Aku pun kembali menundukkan kepala dan mulai berdzikir lagi. Mencoba mencari ketenangan dengan dzikir.

“Nona, belum selesai?” tanya Ruslan yang kini sudah berada di sisiku.

Aku menoleh ke arah sumber suara, menatap sosok gagah yang kini duduk di samping. Meskipun di bangku yang berbeda dan berjarak. “Sudah dapat?” tanya ku setelah menatap Ruslan sesaat.

“Sedang dicarikan,” sahutnya membuat ku memicingkan matanya.

“Sama siapa?” tanya ku lagi.

“Ada banyak orang di sekitar Nona, saat ini. Jangan takut!” jawabnya yang kupikir tak berkaitan dengan pertanyaanku.

“Maksudnya?” tanyaku lagi.

“Perempuan tadi tak akan lagi berani membuka mulutnya. Jadi... “ Tiba-tiba Ia menoleh dan menatap mataku. “Jangan pikirkan ucapanny!” lanjutnya lagi.

Aku melihat ada sorot mata tajam di sana, sorot mata yang membuatku sedikit bergidik. Aku pun mencari sosok perempuan tadi yang kini tak ku lihat. Jangan-jangan, betul-betul kunti lagi.

“Kanker stadium dua meninggal karena terbunuh, bukan karena kankernya.”

Aku semakin tak mengerti dan mengerutkan kening semakin dalam. “Maksudnya bagaimana? Siapa yang sakit itu?” tanyaku lagi.

"Yang pasti, perempuan tadi tak boleh membuat mental Nona rapuh. Lagipula, dia sudah tak bisa berkutik," ucapnya membuatku termenung, mencoba menyelami maksud perkataannya.

“Jangan dipikirkan! Mari, ditunggu di laboratorium untuk menyerahkan kantong darah,” ucap Ruslan membuatku bernafas lega, sekaligus sedikit melupakan keherananku barusan.

***

Zen menatap kepergian Alea, yang ditemani oleh Ruslan. Ia merasa sedih karena tak bisa menemani istrinya untuk ke rumah sakit. Padahal, belum tentu juga Alea berkata jujur kepadanya tentang keluarganya. Tapi ada rasa tanggung jawab lebih yang Ia rasakan. Entahlah...

“Nak Zen, mari!” ajak pak Fandi dari mulut pintu.

Zen berbalik, menoleh ke arah pak Fandi. Lelaki tinggi nan tampan itu hanya menganggukkan kepala, kemudian melangkah menghampiri pak Fandi.

“Bersiaplah. Nak Zen harus berjibaku dengan mereka yang mau menguasai harta nak Zen. Mempertahankan harta sendiri termasuk ibadah, bahkan dapat pahala syahid jika sampai meninggal karena mempertahankan hak,” ucap pak Fandi seraya menepuk pundak Zen.

“Benarkah, Pak?” tanya Zen yang baru mengetahui hal ini.

“Itu yang saya dengar dari pak Yai. Kamu bisa tanyakan sama ulama, mereka yang berkompeten menjawab hal ini. Ayo!” sahut pak Fandi begitu bijak.

“Tapi... benarkah Pak? Benarkah yang barusan Bapak katakan sama saya?” tanya Zen penasaran. Pasalnya, selama ini Ia menjauh karena tak ingin ribut dengan sang Ayah, sehingga Ia mengalah dan hampir saja merelakan harta bendanya jatuh ke tangan Rima.

Pak Fandi menghentikan langkahnya lagi, tepat di samping meja bundar yang dihiasi dengan vas bunga besar.

“Kalau Nak Zen punya uang dua juta, di jalan mau dirampok. Nak Zen ngelawan sampai titik darah penghabisan, InsyaAllah dapat pahala syahid. Jadi, anggap saja mereka yang menginginkan harta Nak Zen dengan alasan Nak Zen enggak nikah-nikah, bahkan dengan keji memfitnah nak Zen, anggap mereka sebagai perampok, atau begal juga boleh.” Pak Fandi terkekeh saat mengatakan hal itu.

Tidak dengan Zen, ada kalimat yang mengganggu pikiran lelaki tampan itu. “Saya difitnah apa?” tanya Zen menahan langkah pak Fandi yang awalnya mau melangkahkan kakinya lagi.

“Nak Zen tak tahu apa yang mereka katakan kepada saya?” tanya pak Fandi dengan memicingkan matanya.

Zen hanya menggelengkan kepalanya sebagai jawaban bahwa Ia betul-betul tak tahu.

“Apa Papa yang fitnah saya? Jangan menutupi kebusukannya, Pak!”

“Untungnya bukan pak Fatan. Beliau hanya sedang terseret arus saja.” Pak Fandi menjawabnya dengan yakin.

“Jadi siapa? Fitnah apa yang dialamatkan kepada Saya?” tanya Zen dengan amarah yang mulai membuncah.

*Bersambung*

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status