“O-, masih bisa dicari.”
“Tapi hanya bisa nerima dari golongan darah yang sama,” sangkalku. Aku merasa tak tenang saat mendengar hal itu.“Kalau enggak ada, Nona bisa mendonorkan darah Nona,” usul Ruslan membuat ku mengerutkan kening.“Golongan darah kami beda,” ucap ku membuat Ruslan yang kini mengerutkan keningnya.“Beda?” tanya Ruslan seraya menatap ku tak percaya.“Ya... bisa saja Aku samanya kaya Ayah. Kenapa jadi masalah?” ketus ku. Aku cukup kesal dengan Ruslan yang terlalu banyak bertanya.“Oh, enggak apa-apa, Nona. Permisi, saya mau carikan dulu kantong darahnya,” ucap Ruslan seraya berlalu pergi.Aku tak menjawab lagi, hanya menghembuskan nafas kasar, kemudian ku dudukkan bokong di kursi tunggu, tak jauh dari ruang operasi.Sudah hampir dua jam operasi dilakukan, namun tak ada tanda-tanda operasi akan berakhir. Bahkan, lampu yang berada di atas pintu ruang operasi pun masih berwarna merah.“Mbak,keluarga nya lagi di dalam ya? Sakit apa?” tanya seseorang yang tiba-tiba duduk di sampingku.“Iya,” jawabku singkat.“Sakit apa?” tanyanya lagi.“Tumor, Mbak.”“Tumor apa?” tanyanya lagi membuat ku sedikit risih. Namun, Aku cukup memahami bahwa hal itu merupakan bentuk keramah tamahan orang.“Tumor payudara, Mbak.”Aku pun menghembuskan nafas cukup keras. Aku hanya ingin dimengerti agar tak diajak berbicara terlebih dahulu.“Oh, kanker payudara ya? Harus hati-hati itu. Tetangga saya juga kena kanker payudara, padahal baru stadium dua, tapi meninggal.”“Maksudnya?” tanyaku seraya menatap tajam ke arahnya, meminta penjelasan untuk apa dia menceritakan hal menyedihkan saat Aku sedang dalam keadaan menunggu Mama di meja operasi.“Iya. Penyakit kaya begitu harus hati-hati. Enggak usah percaya kata dokter yang bahaya kalau sudah stadium empat. Wong stadium dua saja sudah bisa bikin orang meninggal,” ucap perempuan itu tanpa beban.“Mbak, permisi ya.” Ucapku segera beranjak dan menjauh dari sana. Heran dengan orang yang begitu tak memiliki hati seperti perempuan di sampingku ini. Jangan-jangan, dia cuma kuntilanak jadi-jadian, yang memang di dalam raganya tak ada hati untuk merasa. Kesal sekali.“Tunggu dulu!” ucap perempuan yang sedari tadi mengajak ku berbicara, namun tak dapat mengerem mulutnya.“Kenapa lagi, Mbak?” Kuhentikan langkah, berpikir bahwa dia akan meminta maaf karena sudah menyinggung perasaanku.“Kamu harus udah siapin pemakaman dari sekarang! Kasihan Mama kamu kalau nanti... ““Cukup Mbak! Saya enggak mau ribut lagi begini! Urus saja rambutmu yang berkutu itu!” kesalku seraya pergi meninggalkannya. Aku tak ngasal bicara seperti itu. Aku melihat Ia yang memiliki rambut gimbal, bau tak sedap dan sedari tadi menggaruk-garuk kepalanya.“Eh, tunggu dulu Mbak. Saya ngomong kenyataan. Saya... “Aku tak menghiraukan panggilannya. Bahkan, Aku pun tak lagi mendengarkan apa yang Ia ucapkan. Aku menganggap suaranya sebagai radio yang tak memiliki frekuensi pas. Jelek dan mengganggu pendengaran.Aku duduk berjauhan dengannya, meskipun mata ini masih bisa melihat wajahnya yang mengerikan, serta suaranya yang mengganggu indera pendengaran, tapi Aku menganggapnya tak ada.Setelah meraup oksigen dengan serakah, Aku pun kembali menunggu dengan gelisah. Aku khawatir dengan apa yang akan terjadi kepada Mama. Bagaimana pun, ucapan perempuan kunti tadi seolah memasuki alam bawah sadarku. Orang yang baru stadium dua saja sudah meninggal, apalagi... “Aku menggelengkan kepala dengan cepat, bagaimana bisa Aku berpikir hal demikian. Apa pentingnya ucapan orang tadi.Aku pun kembali menundukkan kepala dan mulai berdzikir lagi. Mencoba mencari ketenangan dengan dzikir.“Nona, belum selesai?” tanya Ruslan yang kini sudah berada di sisiku.Aku menoleh ke arah sumber suara, menatap sosok gagah yang kini duduk di samping. Meskipun di bangku yang berbeda dan berjarak. “Sudah dapat?” tanya ku setelah menatap Ruslan sesaat.“Sedang dicarikan,” sahutnya membuat ku memicingkan matanya.“Sama siapa?” tanya ku lagi.“Ada banyak orang di sekitar Nona, saat ini. Jangan takut!” jawabnya yang kupikir tak berkaitan dengan pertanyaanku.“Maksudnya?” tanyaku lagi.“Perempuan tadi tak akan lagi berani membuka mulutnya. Jadi... “ Tiba-tiba Ia menoleh dan menatap mataku. “Jangan pikirkan ucapanny!” lanjutnya lagi.Aku melihat ada sorot mata tajam di sana, sorot mata yang membuatku sedikit bergidik. Aku pun mencari sosok perempuan tadi yang kini tak ku lihat. Jangan-jangan, betul-betul kunti lagi.“Kanker stadium dua meninggal karena terbunuh, bukan karena kankernya.”Aku semakin tak mengerti dan mengerutkan kening semakin dalam. “Maksudnya bagaimana? Siapa yang sakit itu?” tanyaku lagi."Yang pasti, perempuan tadi tak boleh membuat mental Nona rapuh. Lagipula, dia sudah tak bisa berkutik," ucapnya membuatku termenung, mencoba menyelami maksud perkataannya.“Jangan dipikirkan! Mari, ditunggu di laboratorium untuk menyerahkan kantong darah,” ucap Ruslan membuatku bernafas lega, sekaligus sedikit melupakan keherananku barusan.***Zen menatap kepergian Alea, yang ditemani oleh Ruslan. Ia merasa sedih karena tak bisa menemani istrinya untuk ke rumah sakit. Padahal, belum tentu juga Alea berkata jujur kepadanya tentang keluarganya. Tapi ada rasa tanggung jawab lebih yang Ia rasakan. Entahlah...“Nak Zen, mari!” ajak pak Fandi dari mulut pintu.Zen berbalik, menoleh ke arah pak Fandi. Lelaki tinggi nan tampan itu hanya menganggukkan kepala, kemudian melangkah menghampiri pak Fandi.“Bersiaplah. Nak Zen harus berjibaku dengan mereka yang mau menguasai harta nak Zen. Mempertahankan harta sendiri termasuk ibadah, bahkan dapat pahala syahid jika sampai meninggal karena mempertahankan hak,” ucap pak Fandi seraya menepuk pundak Zen.“Benarkah, Pak?” tanya Zen yang baru mengetahui hal ini.“Itu yang saya dengar dari pak Yai. Kamu bisa tanyakan sama ulama, mereka yang berkompeten menjawab hal ini. Ayo!” sahut pak Fandi begitu bijak.“Tapi... benarkah Pak? Benarkah yang barusan Bapak katakan sama saya?” tanya Zen penasaran. Pasalnya, selama ini Ia menjauh karena tak ingin ribut dengan sang Ayah, sehingga Ia mengalah dan hampir saja merelakan harta bendanya jatuh ke tangan Rima.Pak Fandi menghentikan langkahnya lagi, tepat di samping meja bundar yang dihiasi dengan vas bunga besar.“Kalau Nak Zen punya uang dua juta, di jalan mau dirampok. Nak Zen ngelawan sampai titik darah penghabisan, InsyaAllah dapat pahala syahid. Jadi, anggap saja mereka yang menginginkan harta Nak Zen dengan alasan Nak Zen enggak nikah-nikah, bahkan dengan keji memfitnah nak Zen, anggap mereka sebagai perampok, atau begal juga boleh.” Pak Fandi terkekeh saat mengatakan hal itu.Tidak dengan Zen, ada kalimat yang mengganggu pikiran lelaki tampan itu. “Saya difitnah apa?” tanya Zen menahan langkah pak Fandi yang awalnya mau melangkahkan kakinya lagi.“Nak Zen tak tahu apa yang mereka katakan kepada saya?” tanya pak Fandi dengan memicingkan matanya.Zen hanya menggelengkan kepalanya sebagai jawaban bahwa Ia betul-betul tak tahu.“Apa Papa yang fitnah saya? Jangan menutupi kebusukannya, Pak!”“Untungnya bukan pak Fatan. Beliau hanya sedang terseret arus saja.” Pak Fandi menjawabnya dengan yakin.“Jadi siapa? Fitnah apa yang dialamatkan kepada Saya?” tanya Zen dengan amarah yang mulai membuncah.*Bersambung*“Apa, Pak?” tanya Zen semakin penasaran saat melihat keterdiaman pak Fandi.“Gay,” ucap pak Fandi pada akhirnya.“Appa?” pekik Zen setengah berteriak. “Biadab, dasar!” umpat Zen tepat di depan pak Fandi.“Masih mau diam?” tanya pak Fandi seraya menautkan alisnya.Zen menatap manik mata pak Fandi, sahabat almarhumah ibunya itu memang nampak tak suka kebohongan. “Betulkah ucapan Bapak?” tanya Zen lagi untuk lebih meyakinkan.“Nak Zen tahu dan kenal jelas siapa saya,” ucapnya lagi. Kemudian berlalu meninggalkan Zen yang masih mematung sendiri.Setelah tercenung beberapa saat, Zen pun akhirnya melangkahkan kakinya, mengikuti pak Fandi yang sudah berjalan terlebih dahulu.Zen duduk di sofa, tepat di samping pak Fandi.“Baiklah, Saya akan membacakan kembali surat wasiat harta yang sudah dituliskan oleh mendiang... mendiang bu Alisa. Saya hanya khawatir ada yang lupa dengan isinya,” ucap pak Fandi seraya menatap ke arah pak
“Zen mohon sudahi, Pa! Semua ini milik Zen dari almarhumah. Kenapa harus pindah tangan kepada Tante Rima? Zen merasa dirampok. Bukankah mempertahankan harta benda dari tangan perampok bisa mendapatkan pahala syahid?” ucap Zen seraya menaikkan satu sudut bibir nya.“Iya. Lanjutkan saja pak Fandi!” ucap Fatan pada akhirnya. Sungguh Ia merasa dipermalukan oleh Zen, meskipun di sisi hati lainnya Ia mengatakan bahwa ucapan Zen benar.“Enggak bisa, Pa...!” seru Rima dengan amarah yang mulai Ia perlihatkan, yang selama ini tertutupi oleh kepura-puraan.“Ssstt...!” Pak Fatan memberi isyarat agar istrinya diam dan tak menambah masalah.“Enggak. Jangan nyuruh Bunda diam sedangkan mulutnya anakmu itu kaya tempat sampah. Beraninya mengatakan saya perampok, padahal... “Plakkk...Tanpa sadar, Fatan menampar pipi Rima hingga menimbulkan suara yang cukup nyaring. Semua orang yang berada di sana terdiam, tak pernah membayangkan bahwa pak Fatan y
“Anak kesayangan Papa, kelihatan aslinya,” celetuk Zen membuat pak Fatan menarik nafasnya dalam-dalam.“Dia hanya membela Papa,” sahut lelaki paruh baya yang menjadi penyebab lahirnya Zen ke dunia.“Apapun yang Aku katakan tak akan pernah didengar, jadi buat apa lagi Aku harus menunjukkan kebenaran. Biarlah, nanti juga akan terbuka siapa yang benar dan siapa yang salah,” sahut Zen tak ingin memperpanjang perdebatannya lagi dengan pak Fatan. Ibaratkan ceret yang tertutup, diisi air apapun ia tak akan mampu menampungnya. Berbeda jika tutupnya dibuka, maka air apapun akan masuk, terkecuali si pemilik memilah dan memilih air apa yang akan diterima ceret. Seperti itulah, pola pikir dan hati manusia.“Bukannya begitu Zen... ““Tolong dilanjut, Pak! Ini sudah hampir tengah malam. Kita semua tentu butuh istirahat.” Zen memotong ucapan pak Fatan yang Ia yakini hanya ucapan pembelaan saja.Pak Fatan menutup mulutnya kembali. Ia sadar betul bahwa Ze
Zen mengeratkan kepalan tangannya karena sakit hati dengan apa yang diucapkan oleh pak Fatan. Bahkan, Ia masih mengingat wajah sinis dan penuh kemenangan dari wajah Renisa.Zen merasakan ada telapak tangan yang menenangkan di pundaknya. Ia pun menoleh ke arah pak Fandi yang berusaha menenagkannya. “Saya sendirian, Pak. Saya sebatang kara,” lirih suara Zen, namun masih jelas terdengar di telinga pak Fandi.“Nak Zen tenang saja, ada Saya di pihak nak Zen. Juga... Jangan lupa, saat ini nak Zen sudah punya istri.”Zen tersenyum kecut, kemudian melangkahkan kakinya untuk keluar dari rumah itu lebih dulu.“Bapak lupa, Saya belum mengenal siapa istri Saya. Apa pernikahan ini juga akan berhasil atau tidak,” ucap Zen seraya terkekeh. “Sudahlah Pak, jangan terlalu menghibur Saya. Tapi... “ ucap Zen seraya menghentikkan langkahnya sesaat, menatap ke arah pak Fandi. “Saya mengucapkan banyak banyak terima kasih, Pak! Jasa Bapak sangat besar buat saya, dan Saya
Pletakkk...“Awww... “ keluhku saat sesuatu terasa menghujam di kening. Rasanya seperti palu godam yang mengayun ke arah kening.“Hahahahahaha... “ rasanya ada suara buto ijo yang terdengar begitu membahana, sangat dekat denganku.“Hey, bangun!” lirih suara Santi, teman satu bangku denganku seraya mencubit pahaku cukup keras. Sungguh berbanding terbalik dengan suaranya yang tak mungkin terdengar sampai ke depan kelas.“Awww... “ teriakku, membuat tawa seisi kelas kembali membahana.“Lea! Lea! Jangan karena kamu bisa mengerjakan semua soal, membuat Saya memaklumi kebiasaan barumu. Jangan tidur di kelas!” gelegar suara pak Yahya begitu memekakan telinga.“Ya ampun, Aku masih di kelas ya?” tanyaku begitu polosnya.“Huuuuuu... “ sorak membahana dari seisi kelas.“Mentang-mentang ini hari terakhir pemantapan, kamu seenaknya tidur di kelas, sedangkan Saya berpeluh banyak karena berupaya keras membuat kalian semua paha
“Bagaimana kabarnya, anak-anakku?” tanya bu Salsa dengan suara yang bergetar.“Baik, Bu!” jawab kami serempak.Kulihat bu Salsa tak seperti biasanya yang galak dan judes pada siswa. Wanita cantik berhijab nude itu selalu tak suka apabila mendengar kelas berisik, atau melihat sampah permen, pasti semua siswa yang berada di sekitarnya akan terkena dampak cabutin rumput lapangan atau taman. Tapi kali ini, nampak sekali jika Ia sedang tertekan.Keringat besar sudah mengalir dari dahiku saat Ku lihat sosok yang menemani bu Salsa, kini ikut masuk dengan gagah.“Selamat siang!” ucapnya dengan tersenyum ramah, namun tak serta merta membuat kami balas beramah tamah.“Kok pada tegang banget, enggak ada yang jawab sapaan Saya?” tanya petugas berbaju coklat itu. Di dadanya, tertulis nama Irwan P.“Siang!” jawab teman-temanku serentak, kecuali Aku.“Silakan Bu, sambil duduk saja!” Pak Yahya menyodorkan kursi miliknya kepada bu Salsa.
Rasanya darahku terasa membeku, nafas pun serasa tak bisa lagi ku hirup saat mendengar tudingan Salwa tepat kepadaku.“Benarkah itu, Lea?” tanya pak Yahya, diangguki oleh bu Salsa.“Hah?”Hanya kata itu yang keluar dari mulutku sebagai pengganti jawab yang tak bisa kuungkapkan.“Benar kamu yang bersama-sama dengan Andin saat hari terakhir Ia bersekolah?” tanya bu Salsa mempertegas.Aku tak mampu menjawab setiap tanya, baik itu dari pak Yahya atau pun bu Salda. Rasanya ingin segera berlari dan meninggalkan tempat ini sejauh mungkin.“Ya, Aku juga lihat. Tapi, seingatku... kalau enggak salah kalian berpisah di depan gerbang sekolah ya, Lea?” tanya Rafael seolah menciptakan oase di tengah gurun yang tandus.Meskipun begitu, hanya anggukan yang bisa kusuguhkan untuk ucapan Rafael yang menurutku seperti sebuah pembelaan.Pak Yahya mendekati bu Salsa dan membisikannya sesuatu, “Bu, sepertinya Alea tidak bisa dibawa ke
Kepala terasa berat, mata tak bisa melihat apapun, semuanya nampak gelap. Rasa dingin menusuk sampai ke sumsum tulang ku. Sedetik ku kerjapkan mata, sekedar mencari cahaya yang mungkin bisa kutemukan.“Aku di mana?" lirihku. Aku mencoba memegang kepala yang terasa begitu sakit dan berat, "Sakit. Aduh!” rengekku.Aku meraba segala yang ada di sekitarku, “ Di mana ini?” monologku. Tempat ini terasa sempit dan entah di mana. Aku mencoba bangkit, kemudian duduk hanya sekedar mengembalikan kestabilan tubuh.Meskipun kepala masih sangat berat, tapi Aku berusaha mengingat apa yang terjadi, “Aku di toilet,” ucapku mengingat kejadian terakhir tadi, seraya mengedarkan pandangan, namun tetap saja tak ada cahaya yang bisa kulihat. Dengan sekuat tenaga, Aku bangkit meraba bagian tembok yang ku perkirakan sebagai pintu. Ku raba bagian selot kunci.Klik.. Aku membuka selot kunci pintu wc sampai terbuka.Krieeettt...Sedikit demi sedikit pintu ku buka sampai akhirnya terbuka semua. Sama saja, gelap