Aku terkejut melihat hal itu. Aku pun ketakutan dan tak ingin berlama-lama di sana.
Namun sayang, ekor mata pak Rafli melihat keberadaanku yang tak menggunakan masker. Di sekolah, Aku memang pernah mengenakan kerudung saat acara maulid, sehingga tak sulit bagi pak Rafli untuk mengenaliku.Pak Rafli nampak mengatakan sesuatu kepadaku, namun hanya dengan gerakan bibir. Hanya saja, ketakutanku membuat gadis itu tak ingin tahu apa yang diucapkan oleh pak Rafli. Aku hanya ingin kabur dari sana dan tak terseret oleh kasus yang tak sempat Ia geluti. Aku hanya sempat mampir di sana, itu yang selalu Ia tekankan pada dirinya sendiri.“Mbak!”Suara bariton seseorang membuyarkan lamunan Alea yang mengiringi kepergian pak Rafli dan kedua polisi keluar lobi rumah sakit. Kehebohan yang mulai meredup, tak serta merta membuat hatiku kembali tenang.“Mbak!” panggil seseorang lagi. Kali ini, pundakku ditepuk cukup keras.“Iya.” Aku melirik dan mendapati seorang polisi berseragam lengkap berdiri di hadapanku.“Astaghfirullah! Enggak Pak, saya enggak bersalah,” ucapku dengan berurai air mata. Apakah pak Rafli minta polisi ini untuk menangkapku juga?“Mbak nya salah kalau menghalangi brankar jenazah yang mau lewat,” tegas petugas polisi tersebut dengan tatapan tajam.Ekor mataku pun melihat ke belakangnya. Benar saja, ada brankar yang didorong oleh dua perawat dan dikawal oleh dua polisi. Sedangkan, pasiennya ditutupi kain putih di sekujur tubuhnya. Ya, pasti itu jenazah.Tempatku berdiri merupakan ujung koridor yang berhadapan langsung dengan lobi rumah sakit. Tidak terlalu luas dengan kanan kiri diisi oleh kursi tunggu, sehingga mau tak mau, keberadaanku yang berdiri di sana memang membuat jalanan untuk brankar terhalang.“Eh, iya maaf.” Aku pun segera menyingkir dari sana. Ku biarkan brankar jenazah itu dibawa melewatinya. Jujur saja, ini pertama kali bagiku berdekatan dengan orang yang sudah meninggal dan itu membuatku agak sedikit down.Saat brankar jenazah itu sudah betul-betul lewat, Aku melirik seorang petugas polisi yang berjalan di belakang brankar. Di tangannya, ada sebuah kantong plastik bening cukup besar, berisi baju dan, tas, juga sepatu yang tak dilipat rapi.Deggg...“Andin!” lirihku betul-betul pelan.Aku melihat baju yang ada dalam plastik tersebut, mirip dengan motif baju yang dikenakan oleh Andin saat terakhir bersamanya, berangkat ke villa. Bahkan, tas tangannya pun persis.“Andin!” lirihku lagi seraya menatap kepergian brankar itu keluar lobi.Aku berlari mengejar brankar itu, mengikis jarak agar Aku bisa memastikan apakah penglihatanku benar atau salah."Pak, itu jenazah siapa? " tanyaku kepada salah satu petugas yang berada di sekitar brankar itu.“Kurang tahu. Kenapa memangnya Dek?” tanya perawat itu seraya memicingkan penglihatannya.“Oh, begitu ya. Enggak ada apa-apa. Makasih banyak,” ucap ku dengan terpaksa.Aku kembali masuk ke dalam dengan perasaan kecewa karena tidak mendapatkan jawaban dari perawat tersebut.Namun saat langkahku baru beberapa saja, Aku mendengar suara keributan dari depan. Aku pun kembali memalingkan muka ke arah luar. Kudapati sudah ada beberapa wartawan yang mendekat ke area ambulance yang terparkir, menunggu brankar tadi dinaikkan ke dalamnya.Sementara para perawat sibuk memindahkan brankar ke dalam mobil ambulans, polisi memberi keterangan singkat mengenai kasus yang sedang mereka dalami.Aku yang awalnya akan menjauh pergi dari sana, kini melipir ke arah yang tidak terlalu jauh dari polisi tersebut."Kami belum bisa memberi keterangan yang lebih lanjut, karena kami sedang mendalami kasus ini. Tunggu beberapa waktu lagi, nanti kami akan memberikan keterangan kepada masyarakat."Polisi itu pun berniat untuk pergi meninggalkan wartawan, namun ada satu pertanyaan wartawan yang dilontarkan dan terpaksa harus dijawab oleh polisi tersebut."Lalu jenazah ini akan dibawa ke mana, Pak?" Wartawan itu membuat petugas polisi yang sudah melangkah dan mendekati mobilnya berhenti dan berbalik.“Kami akan memindahkannya ke rumah sakit Polisi demi kepentingan otopsi."Ia pun segera berlalu dari sana, memasuki mobilnya.Iring-iringan mobil polisi dan ambulans pun mulai terdengar begitu memekakkan telinga, kemudian semakin menjauh."Andin!" Luruh kembali air mataku melepas kepergian mobil ambulans yang kuyakini membawa jenazah Andin. Namun, untuk mengakui bahwa Aku mengenal sosok Andin kepada petugas, Aku tak memiliki keberanian itu. Aku takut kalau Aku pun akan terseret ke dalamnya."Oh iya, handphoneku."Aku segera berlari menuju ruang perawatan Mama, di mana barang-barangku disimpan. Aku tak begitu memperhatikan apakah ponselku ada dan terbawa di dalam tas, atau jatuh di suatu tempat.Tujuan pertama setelah Aku sampai di ruang perawatan Mama adalah mencari tas milikku. Tas butut karena sudah mengalami kerusakan di beberapa bagiannya. Tapi bukan Itu poin penting pentingnya, Aku mencari handphone, itu yang menjadi tujuanku saat ini."Alhamdulillah, untungnya nggak jatuh.” ucapku seraya menekan tombolnya. " Ya, mati," lirihku sambil membolak-balikan ponsel dan mendapati retak-retak di ujung atas sebelah kanan ponsel. Aku pun tak begitu yakin apakah ponsel ini mati karena kehabisan baterai atau karena rusak.Aku keluar menuju meja perawat, niatnya ingin meminjam charger milik perawat."Mbak, Bisa pinjam charger? " tanyaku." Charger apa? " tanya perawat itu ramah."USB, Mbak!" Sahutku sambil memperlihatkan lubang charg ponsel milikku."Oh, saya cuma punya tipe C. Teman saya juga tipe C." Perawat itu memperlihatkan ujung charger yang memang tidak terlalu jauh dari tempatnya duduk."Oh, nggak ada ya, Mbak?" Aku masih ingin memastikan keberadaan ponsel charger."Iya, nggak ada."Ya sudah, terima kasih ya," ucapku pada akhirnya."Sama-sama. Maaf ya, enggak bisa bantu," ucap perawat itu lagi."Nggak apa-apa, Mbak! Permisi!” Aku pun segera pergi dengan lunglai. Tujuanku kali ini adalah ruang operasi, dimana Mama masih tergeletak di meja operasi.“Pak Ruslan, mau kemana?” tanya ku saat melihat Ruslan beranjak menjauh dari ruang operasi.“Oh, Nona dari mana aja? Tadi dicariin sama perawat,” ucap Ruslan seraya menatapku dengan penuh kekhawatiran.“Oh, ada apa?” tanyaku tanpa menjawab pertanyaan Ruslan.“Darah yang keluar cukup banyak. Untuk berjaga-jaga, keluarga diminta mencari kantong darah tambahan. Rumah sakit sudah menyediakan tiga kantong, tapi khawatir kurang.”“Tadi katanya sudah siap semua?” tanyaku tak terima. "Bagaimana bisa operasi tetap berjalan sedangkan kantong darahnya masih kurang?” kesalku. Aku malah marah kepada Ruslan.Ruslan hanya diam, menunggu ku menyelesaikan omelan. Setelah reda, barulah Ia angkat bicara, “Sudah, yang penting, sekarang saya akan carikan ke PMI.”“Tapi darah Mama bukan darah biasa!” seru ku dengan berurai air mata.*Bersambung*“O-, masih bisa dicari.”“Tapi hanya bisa nerima dari golongan darah yang sama,” sangkalku. Aku merasa tak tenang saat mendengar hal itu.“Kalau enggak ada, Nona bisa mendonorkan darah Nona,” usul Ruslan membuat ku mengerutkan kening.“Golongan darah kami beda,” ucap ku membuat Ruslan yang kini mengerutkan keningnya.“Beda?” tanya Ruslan seraya menatap ku tak percaya.“Ya... bisa saja Aku samanya kaya Ayah. Kenapa jadi masalah?” ketus ku. Aku cukup kesal dengan Ruslan yang terlalu banyak bertanya.“Oh, enggak apa-apa, Nona. Permisi, saya mau carikan dulu kantong darahnya,” ucap Ruslan seraya berlalu pergi.Aku tak menjawab lagi, hanya menghembuskan nafas kasar, kemudian ku dudukkan bokong di kursi tunggu, tak jauh dari ruang operasi.Sudah hampir dua jam operasi dilakukan, namun tak ada tanda-tanda operasi akan berakhir. Bahkan, lampu yang berada di atas pintu ruang operasi pun masih berwarna merah.“Mb
“Apa, Pak?” tanya Zen semakin penasaran saat melihat keterdiaman pak Fandi.“Gay,” ucap pak Fandi pada akhirnya.“Appa?” pekik Zen setengah berteriak. “Biadab, dasar!” umpat Zen tepat di depan pak Fandi.“Masih mau diam?” tanya pak Fandi seraya menautkan alisnya.Zen menatap manik mata pak Fandi, sahabat almarhumah ibunya itu memang nampak tak suka kebohongan. “Betulkah ucapan Bapak?” tanya Zen lagi untuk lebih meyakinkan.“Nak Zen tahu dan kenal jelas siapa saya,” ucapnya lagi. Kemudian berlalu meninggalkan Zen yang masih mematung sendiri.Setelah tercenung beberapa saat, Zen pun akhirnya melangkahkan kakinya, mengikuti pak Fandi yang sudah berjalan terlebih dahulu.Zen duduk di sofa, tepat di samping pak Fandi.“Baiklah, Saya akan membacakan kembali surat wasiat harta yang sudah dituliskan oleh mendiang... mendiang bu Alisa. Saya hanya khawatir ada yang lupa dengan isinya,” ucap pak Fandi seraya menatap ke arah pak
“Zen mohon sudahi, Pa! Semua ini milik Zen dari almarhumah. Kenapa harus pindah tangan kepada Tante Rima? Zen merasa dirampok. Bukankah mempertahankan harta benda dari tangan perampok bisa mendapatkan pahala syahid?” ucap Zen seraya menaikkan satu sudut bibir nya.“Iya. Lanjutkan saja pak Fandi!” ucap Fatan pada akhirnya. Sungguh Ia merasa dipermalukan oleh Zen, meskipun di sisi hati lainnya Ia mengatakan bahwa ucapan Zen benar.“Enggak bisa, Pa...!” seru Rima dengan amarah yang mulai Ia perlihatkan, yang selama ini tertutupi oleh kepura-puraan.“Ssstt...!” Pak Fatan memberi isyarat agar istrinya diam dan tak menambah masalah.“Enggak. Jangan nyuruh Bunda diam sedangkan mulutnya anakmu itu kaya tempat sampah. Beraninya mengatakan saya perampok, padahal... “Plakkk...Tanpa sadar, Fatan menampar pipi Rima hingga menimbulkan suara yang cukup nyaring. Semua orang yang berada di sana terdiam, tak pernah membayangkan bahwa pak Fatan y
“Anak kesayangan Papa, kelihatan aslinya,” celetuk Zen membuat pak Fatan menarik nafasnya dalam-dalam.“Dia hanya membela Papa,” sahut lelaki paruh baya yang menjadi penyebab lahirnya Zen ke dunia.“Apapun yang Aku katakan tak akan pernah didengar, jadi buat apa lagi Aku harus menunjukkan kebenaran. Biarlah, nanti juga akan terbuka siapa yang benar dan siapa yang salah,” sahut Zen tak ingin memperpanjang perdebatannya lagi dengan pak Fatan. Ibaratkan ceret yang tertutup, diisi air apapun ia tak akan mampu menampungnya. Berbeda jika tutupnya dibuka, maka air apapun akan masuk, terkecuali si pemilik memilah dan memilih air apa yang akan diterima ceret. Seperti itulah, pola pikir dan hati manusia.“Bukannya begitu Zen... ““Tolong dilanjut, Pak! Ini sudah hampir tengah malam. Kita semua tentu butuh istirahat.” Zen memotong ucapan pak Fatan yang Ia yakini hanya ucapan pembelaan saja.Pak Fatan menutup mulutnya kembali. Ia sadar betul bahwa Ze
Zen mengeratkan kepalan tangannya karena sakit hati dengan apa yang diucapkan oleh pak Fatan. Bahkan, Ia masih mengingat wajah sinis dan penuh kemenangan dari wajah Renisa.Zen merasakan ada telapak tangan yang menenangkan di pundaknya. Ia pun menoleh ke arah pak Fandi yang berusaha menenagkannya. “Saya sendirian, Pak. Saya sebatang kara,” lirih suara Zen, namun masih jelas terdengar di telinga pak Fandi.“Nak Zen tenang saja, ada Saya di pihak nak Zen. Juga... Jangan lupa, saat ini nak Zen sudah punya istri.”Zen tersenyum kecut, kemudian melangkahkan kakinya untuk keluar dari rumah itu lebih dulu.“Bapak lupa, Saya belum mengenal siapa istri Saya. Apa pernikahan ini juga akan berhasil atau tidak,” ucap Zen seraya terkekeh. “Sudahlah Pak, jangan terlalu menghibur Saya. Tapi... “ ucap Zen seraya menghentikkan langkahnya sesaat, menatap ke arah pak Fandi. “Saya mengucapkan banyak banyak terima kasih, Pak! Jasa Bapak sangat besar buat saya, dan Saya
Pletakkk...“Awww... “ keluhku saat sesuatu terasa menghujam di kening. Rasanya seperti palu godam yang mengayun ke arah kening.“Hahahahahaha... “ rasanya ada suara buto ijo yang terdengar begitu membahana, sangat dekat denganku.“Hey, bangun!” lirih suara Santi, teman satu bangku denganku seraya mencubit pahaku cukup keras. Sungguh berbanding terbalik dengan suaranya yang tak mungkin terdengar sampai ke depan kelas.“Awww... “ teriakku, membuat tawa seisi kelas kembali membahana.“Lea! Lea! Jangan karena kamu bisa mengerjakan semua soal, membuat Saya memaklumi kebiasaan barumu. Jangan tidur di kelas!” gelegar suara pak Yahya begitu memekakan telinga.“Ya ampun, Aku masih di kelas ya?” tanyaku begitu polosnya.“Huuuuuu... “ sorak membahana dari seisi kelas.“Mentang-mentang ini hari terakhir pemantapan, kamu seenaknya tidur di kelas, sedangkan Saya berpeluh banyak karena berupaya keras membuat kalian semua paha
“Bagaimana kabarnya, anak-anakku?” tanya bu Salsa dengan suara yang bergetar.“Baik, Bu!” jawab kami serempak.Kulihat bu Salsa tak seperti biasanya yang galak dan judes pada siswa. Wanita cantik berhijab nude itu selalu tak suka apabila mendengar kelas berisik, atau melihat sampah permen, pasti semua siswa yang berada di sekitarnya akan terkena dampak cabutin rumput lapangan atau taman. Tapi kali ini, nampak sekali jika Ia sedang tertekan.Keringat besar sudah mengalir dari dahiku saat Ku lihat sosok yang menemani bu Salsa, kini ikut masuk dengan gagah.“Selamat siang!” ucapnya dengan tersenyum ramah, namun tak serta merta membuat kami balas beramah tamah.“Kok pada tegang banget, enggak ada yang jawab sapaan Saya?” tanya petugas berbaju coklat itu. Di dadanya, tertulis nama Irwan P.“Siang!” jawab teman-temanku serentak, kecuali Aku.“Silakan Bu, sambil duduk saja!” Pak Yahya menyodorkan kursi miliknya kepada bu Salsa.
Rasanya darahku terasa membeku, nafas pun serasa tak bisa lagi ku hirup saat mendengar tudingan Salwa tepat kepadaku.“Benarkah itu, Lea?” tanya pak Yahya, diangguki oleh bu Salsa.“Hah?”Hanya kata itu yang keluar dari mulutku sebagai pengganti jawab yang tak bisa kuungkapkan.“Benar kamu yang bersama-sama dengan Andin saat hari terakhir Ia bersekolah?” tanya bu Salsa mempertegas.Aku tak mampu menjawab setiap tanya, baik itu dari pak Yahya atau pun bu Salda. Rasanya ingin segera berlari dan meninggalkan tempat ini sejauh mungkin.“Ya, Aku juga lihat. Tapi, seingatku... kalau enggak salah kalian berpisah di depan gerbang sekolah ya, Lea?” tanya Rafael seolah menciptakan oase di tengah gurun yang tandus.Meskipun begitu, hanya anggukan yang bisa kusuguhkan untuk ucapan Rafael yang menurutku seperti sebuah pembelaan.Pak Yahya mendekati bu Salsa dan membisikannya sesuatu, “Bu, sepertinya Alea tidak bisa dibawa ke