Share

7. Bukan Yang Biasa

Aku terkejut melihat hal itu. Aku pun ketakutan dan tak ingin berlama-lama di sana.

Namun sayang, ekor mata pak Rafli melihat keberadaanku yang tak menggunakan masker. Di sekolah, Aku memang pernah mengenakan kerudung saat acara maulid, sehingga tak sulit bagi pak Rafli untuk mengenaliku.

Pak Rafli nampak mengatakan sesuatu kepadaku, namun hanya dengan gerakan bibir. Hanya saja, ketakutanku membuat gadis itu tak ingin tahu apa yang diucapkan oleh pak Rafli. Aku hanya ingin kabur dari sana dan tak terseret oleh kasus yang tak sempat Ia geluti. Aku hanya sempat mampir di sana, itu yang selalu Ia tekankan pada dirinya sendiri.

“Mbak!”

Suara bariton seseorang membuyarkan lamunan Alea yang mengiringi kepergian pak Rafli dan kedua polisi keluar lobi rumah sakit. Kehebohan yang mulai meredup, tak serta merta membuat hatiku kembali tenang.

“Mbak!” panggil seseorang lagi. Kali ini, pundakku ditepuk cukup keras.

“Iya.” Aku melirik dan mendapati seorang polisi berseragam lengkap berdiri di hadapanku.

“Astaghfirullah! Enggak Pak, saya enggak bersalah,” ucapku dengan berurai air mata. Apakah pak Rafli minta polisi ini untuk menangkapku juga?

“Mbak nya salah kalau menghalangi brankar jenazah yang mau lewat,” tegas petugas polisi tersebut dengan tatapan tajam.

Ekor mataku pun melihat ke belakangnya. Benar saja, ada brankar yang didorong oleh dua perawat dan dikawal oleh dua polisi. Sedangkan, pasiennya ditutupi kain putih di sekujur tubuhnya. Ya, pasti itu jenazah.

Tempatku berdiri merupakan ujung koridor yang berhadapan langsung dengan lobi rumah sakit. Tidak terlalu luas dengan kanan kiri diisi oleh kursi tunggu, sehingga mau tak mau, keberadaanku yang berdiri di sana memang membuat jalanan untuk brankar terhalang.

“Eh, iya maaf.” Aku pun segera menyingkir dari sana. Ku biarkan brankar jenazah itu dibawa melewatinya. Jujur saja, ini pertama kali bagiku berdekatan dengan orang yang sudah meninggal dan itu membuatku agak sedikit down.

Saat brankar jenazah itu sudah betul-betul lewat, Aku melirik seorang petugas polisi yang berjalan di belakang brankar. Di tangannya, ada sebuah kantong plastik bening cukup besar, berisi baju dan, tas, juga sepatu yang tak dilipat rapi.

Deggg...

“Andin!” lirihku betul-betul pelan.

Aku melihat baju yang ada dalam plastik tersebut, mirip dengan motif baju yang dikenakan oleh Andin saat terakhir bersamanya, berangkat ke villa. Bahkan, tas tangannya pun persis.

“Andin!” lirihku lagi seraya menatap kepergian brankar itu keluar lobi.

Aku berlari mengejar brankar itu, mengikis jarak agar Aku bisa memastikan apakah penglihatanku benar atau salah.

"Pak, itu jenazah siapa? " tanyaku kepada salah satu petugas yang berada di sekitar brankar itu.

“Kurang tahu. Kenapa memangnya Dek?” tanya perawat itu seraya memicingkan penglihatannya.

“Oh, begitu ya. Enggak ada apa-apa. Makasih banyak,” ucap ku dengan terpaksa.

Aku kembali masuk ke dalam dengan perasaan kecewa karena tidak mendapatkan jawaban dari perawat tersebut.

Namun saat langkahku baru beberapa saja, Aku mendengar suara keributan dari depan. Aku pun kembali memalingkan muka ke arah luar. Kudapati sudah ada beberapa wartawan yang mendekat ke area ambulance yang terparkir, menunggu brankar tadi dinaikkan ke dalamnya.

Sementara para perawat sibuk memindahkan brankar ke dalam mobil ambulans, polisi memberi keterangan singkat mengenai kasus yang sedang mereka dalami.

Aku yang awalnya akan menjauh pergi dari sana, kini melipir ke arah yang tidak terlalu jauh dari polisi tersebut.

"Kami belum bisa memberi keterangan yang lebih lanjut, karena kami sedang mendalami kasus ini. Tunggu beberapa waktu lagi, nanti kami akan memberikan keterangan kepada masyarakat."

Polisi itu pun berniat untuk pergi meninggalkan wartawan, namun ada satu pertanyaan wartawan yang dilontarkan dan terpaksa harus dijawab oleh polisi tersebut.

"Lalu jenazah ini akan dibawa ke mana, Pak?" Wartawan itu membuat petugas polisi yang sudah melangkah dan mendekati mobilnya berhenti dan berbalik.

“Kami akan memindahkannya ke rumah sakit Polisi demi kepentingan otopsi."Ia pun segera berlalu dari sana, memasuki mobilnya.

Iring-iringan mobil polisi dan ambulans pun mulai terdengar begitu memekakkan telinga, kemudian semakin menjauh.

"Andin!" Luruh kembali air mataku melepas kepergian mobil ambulans yang kuyakini membawa jenazah Andin. Namun, untuk mengakui bahwa Aku mengenal sosok Andin kepada petugas, Aku tak memiliki keberanian itu. Aku takut kalau Aku pun akan terseret ke dalamnya.

"Oh iya, handphoneku."

Aku segera berlari menuju ruang perawatan Mama, di mana barang-barangku disimpan. Aku tak begitu memperhatikan apakah ponselku ada dan terbawa di dalam tas, atau jatuh di suatu tempat.

Tujuan pertama setelah Aku sampai di ruang perawatan Mama adalah mencari tas milikku. Tas butut karena sudah mengalami kerusakan di beberapa bagiannya. Tapi bukan Itu poin penting pentingnya, Aku mencari handphone, itu yang menjadi tujuanku saat ini.

"Alhamdulillah, untungnya nggak jatuh.” ucapku seraya menekan tombolnya. " Ya, mati," lirihku sambil membolak-balikan ponsel dan mendapati retak-retak di ujung atas sebelah kanan ponsel. Aku pun tak begitu yakin apakah ponsel ini mati karena kehabisan baterai atau karena rusak.

Aku keluar menuju meja perawat, niatnya ingin meminjam charger milik perawat.

"Mbak, Bisa pinjam charger? " tanyaku.

" Charger apa? " tanya perawat itu ramah.

"USB, Mbak!" Sahutku sambil memperlihatkan lubang charg ponsel milikku.

"Oh, saya cuma punya tipe C. Teman saya juga tipe C." Perawat itu memperlihatkan ujung charger yang memang tidak terlalu jauh dari tempatnya duduk.

"Oh, nggak ada ya, Mbak?" Aku masih ingin memastikan keberadaan ponsel charger.

"Iya, nggak ada."

Ya sudah, terima kasih ya," ucapku pada akhirnya.

"Sama-sama. Maaf ya, enggak bisa bantu," ucap perawat itu lagi.

"Nggak apa-apa, Mbak! Permisi!” Aku pun segera pergi dengan lunglai. Tujuanku kali ini adalah ruang operasi, dimana Mama masih tergeletak di meja operasi.

“Pak Ruslan, mau kemana?” tanya ku saat melihat Ruslan beranjak menjauh dari ruang operasi.

“Oh, Nona dari mana aja? Tadi dicariin sama perawat,” ucap Ruslan seraya menatapku dengan penuh kekhawatiran.

“Oh, ada apa?” tanyaku tanpa menjawab pertanyaan Ruslan.

“Darah yang keluar cukup banyak. Untuk berjaga-jaga, keluarga diminta mencari kantong darah tambahan. Rumah sakit sudah menyediakan tiga kantong, tapi khawatir kurang.”

“Tadi katanya sudah siap semua?” tanyaku tak terima. "Bagaimana bisa operasi tetap berjalan sedangkan kantong darahnya masih kurang?” kesalku. Aku malah marah kepada Ruslan.

Ruslan hanya diam, menunggu ku menyelesaikan omelan. Setelah reda, barulah Ia angkat bicara, “Sudah, yang penting, sekarang saya akan carikan ke PMI.”

“Tapi darah Mama bukan darah biasa!” seru ku dengan berurai air mata.

*Bersambung*

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status