Share

7. Bukan Yang Biasa

Penulis: Haifa Dinantee
last update Terakhir Diperbarui: 2024-03-01 21:30:35

Aku terkejut melihat hal itu. Aku pun ketakutan dan tak ingin berlama-lama di sana.

Namun sayang, ekor mata pak Rafli melihat keberadaanku yang tak menggunakan masker. Di sekolah, Aku memang pernah mengenakan kerudung saat acara maulid, sehingga tak sulit bagi pak Rafli untuk mengenaliku.

Pak Rafli nampak mengatakan sesuatu kepadaku, namun hanya dengan gerakan bibir. Hanya saja, ketakutanku membuat gadis itu tak ingin tahu apa yang diucapkan oleh pak Rafli. Aku hanya ingin kabur dari sana dan tak terseret oleh kasus yang tak sempat Ia geluti. Aku hanya sempat mampir di sana, itu yang selalu Ia tekankan pada dirinya sendiri.

“Mbak!”

Suara bariton seseorang membuyarkan lamunan Alea yang mengiringi kepergian pak Rafli dan kedua polisi keluar lobi rumah sakit. Kehebohan yang mulai meredup, tak serta merta membuat hatiku kembali tenang.

“Mbak!” panggil seseorang lagi. Kali ini, pundakku ditepuk cukup keras.

“Iya.” Aku melirik dan mendapati seorang polisi berseragam lengkap berdiri di hadapanku.

“Astaghfirullah! Enggak Pak, saya enggak bersalah,” ucapku dengan berurai air mata. Apakah pak Rafli minta polisi ini untuk menangkapku juga?

“Mbak nya salah kalau menghalangi brankar jenazah yang mau lewat,” tegas petugas polisi tersebut dengan tatapan tajam.

Ekor mataku pun melihat ke belakangnya. Benar saja, ada brankar yang didorong oleh dua perawat dan dikawal oleh dua polisi. Sedangkan, pasiennya ditutupi kain putih di sekujur tubuhnya. Ya, pasti itu jenazah.

Tempatku berdiri merupakan ujung koridor yang berhadapan langsung dengan lobi rumah sakit. Tidak terlalu luas dengan kanan kiri diisi oleh kursi tunggu, sehingga mau tak mau, keberadaanku yang berdiri di sana memang membuat jalanan untuk brankar terhalang.

“Eh, iya maaf.” Aku pun segera menyingkir dari sana. Ku biarkan brankar jenazah itu dibawa melewatinya. Jujur saja, ini pertama kali bagiku berdekatan dengan orang yang sudah meninggal dan itu membuatku agak sedikit down.

Saat brankar jenazah itu sudah betul-betul lewat, Aku melirik seorang petugas polisi yang berjalan di belakang brankar. Di tangannya, ada sebuah kantong plastik bening cukup besar, berisi baju dan, tas, juga sepatu yang tak dilipat rapi.

Deggg...

“Andin!” lirihku betul-betul pelan.

Aku melihat baju yang ada dalam plastik tersebut, mirip dengan motif baju yang dikenakan oleh Andin saat terakhir bersamanya, berangkat ke villa. Bahkan, tas tangannya pun persis.

“Andin!” lirihku lagi seraya menatap kepergian brankar itu keluar lobi.

Aku berlari mengejar brankar itu, mengikis jarak agar Aku bisa memastikan apakah penglihatanku benar atau salah.

"Pak, itu jenazah siapa? " tanyaku kepada salah satu petugas yang berada di sekitar brankar itu.

“Kurang tahu. Kenapa memangnya Dek?” tanya perawat itu seraya memicingkan penglihatannya.

“Oh, begitu ya. Enggak ada apa-apa. Makasih banyak,” ucap ku dengan terpaksa.

Aku kembali masuk ke dalam dengan perasaan kecewa karena tidak mendapatkan jawaban dari perawat tersebut.

Namun saat langkahku baru beberapa saja, Aku mendengar suara keributan dari depan. Aku pun kembali memalingkan muka ke arah luar. Kudapati sudah ada beberapa wartawan yang mendekat ke area ambulance yang terparkir, menunggu brankar tadi dinaikkan ke dalamnya.

Sementara para perawat sibuk memindahkan brankar ke dalam mobil ambulans, polisi memberi keterangan singkat mengenai kasus yang sedang mereka dalami.

Aku yang awalnya akan menjauh pergi dari sana, kini melipir ke arah yang tidak terlalu jauh dari polisi tersebut.

"Kami belum bisa memberi keterangan yang lebih lanjut, karena kami sedang mendalami kasus ini. Tunggu beberapa waktu lagi, nanti kami akan memberikan keterangan kepada masyarakat."

Polisi itu pun berniat untuk pergi meninggalkan wartawan, namun ada satu pertanyaan wartawan yang dilontarkan dan terpaksa harus dijawab oleh polisi tersebut.

"Lalu jenazah ini akan dibawa ke mana, Pak?" Wartawan itu membuat petugas polisi yang sudah melangkah dan mendekati mobilnya berhenti dan berbalik.

“Kami akan memindahkannya ke rumah sakit Polisi demi kepentingan otopsi."Ia pun segera berlalu dari sana, memasuki mobilnya.

Iring-iringan mobil polisi dan ambulans pun mulai terdengar begitu memekakkan telinga, kemudian semakin menjauh.

"Andin!" Luruh kembali air mataku melepas kepergian mobil ambulans yang kuyakini membawa jenazah Andin. Namun, untuk mengakui bahwa Aku mengenal sosok Andin kepada petugas, Aku tak memiliki keberanian itu. Aku takut kalau Aku pun akan terseret ke dalamnya.

"Oh iya, handphoneku."

Aku segera berlari menuju ruang perawatan Mama, di mana barang-barangku disimpan. Aku tak begitu memperhatikan apakah ponselku ada dan terbawa di dalam tas, atau jatuh di suatu tempat.

Tujuan pertama setelah Aku sampai di ruang perawatan Mama adalah mencari tas milikku. Tas butut karena sudah mengalami kerusakan di beberapa bagiannya. Tapi bukan Itu poin penting pentingnya, Aku mencari handphone, itu yang menjadi tujuanku saat ini.

"Alhamdulillah, untungnya nggak jatuh.” ucapku seraya menekan tombolnya. " Ya, mati," lirihku sambil membolak-balikan ponsel dan mendapati retak-retak di ujung atas sebelah kanan ponsel. Aku pun tak begitu yakin apakah ponsel ini mati karena kehabisan baterai atau karena rusak.

Aku keluar menuju meja perawat, niatnya ingin meminjam charger milik perawat.

"Mbak, Bisa pinjam charger? " tanyaku.

" Charger apa? " tanya perawat itu ramah.

"USB, Mbak!" Sahutku sambil memperlihatkan lubang charg ponsel milikku.

"Oh, saya cuma punya tipe C. Teman saya juga tipe C." Perawat itu memperlihatkan ujung charger yang memang tidak terlalu jauh dari tempatnya duduk.

"Oh, nggak ada ya, Mbak?" Aku masih ingin memastikan keberadaan ponsel charger.

"Iya, nggak ada."

Ya sudah, terima kasih ya," ucapku pada akhirnya.

"Sama-sama. Maaf ya, enggak bisa bantu," ucap perawat itu lagi.

"Nggak apa-apa, Mbak! Permisi!” Aku pun segera pergi dengan lunglai. Tujuanku kali ini adalah ruang operasi, dimana Mama masih tergeletak di meja operasi.

“Pak Ruslan, mau kemana?” tanya ku saat melihat Ruslan beranjak menjauh dari ruang operasi.

“Oh, Nona dari mana aja? Tadi dicariin sama perawat,” ucap Ruslan seraya menatapku dengan penuh kekhawatiran.

“Oh, ada apa?” tanyaku tanpa menjawab pertanyaan Ruslan.

“Darah yang keluar cukup banyak. Untuk berjaga-jaga, keluarga diminta mencari kantong darah tambahan. Rumah sakit sudah menyediakan tiga kantong, tapi khawatir kurang.”

“Tadi katanya sudah siap semua?” tanyaku tak terima. "Bagaimana bisa operasi tetap berjalan sedangkan kantong darahnya masih kurang?” kesalku. Aku malah marah kepada Ruslan.

Ruslan hanya diam, menunggu ku menyelesaikan omelan. Setelah reda, barulah Ia angkat bicara, “Sudah, yang penting, sekarang saya akan carikan ke PMI.”

“Tapi darah Mama bukan darah biasa!” seru ku dengan berurai air mata.

*Bersambung*

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • DIJUAL KE PRIA ASING, DINIKAHI PEWARIS   48.

    Beberapa waktu yang lalu terjadi ketegangan antara Zen dan ayah kandungnya. Ya, lelaki yang menggunakan helm itu adalah Revan, anak tiri pak Fatan. Ketegangan itu masih berlanjut di atas sofa yang saling berhadapan. "Kamu seharusnya berterimakasih kepadaku, Zen! Bagaimana pun, Aku telah menyelamatkan dia," tunjuknya lagi kepadaku, entah untuk yang ke berapa kali. "Kau seorang lelaki, tapi mulutmu terlalu banyak!" kesal Zen mencebik. Ia bosan mendengar semua kata yang terus keluar dari mulut Revan. Entahlah, lelaki itu seringnya nampak menakutkan, tapi mengapa kali ini terlihat seperti orang bodoh."Zen, seharusnya kau bisa berbagi sebagian hartamu untuk Revan! Bagaimana pun, dia itu saudaramu, saudara yang selalu menjaga apa yang kau miliki agar tepat sasaran dan aman. " Apa ucapanmu tak salah?!" cebik Zen dengan menarik ke atas sebelah bibirnya. "Bukankah dia menikmati semua yang harusnya menjadi milikku? Dia pencuri. Pen... cu... ri! Bahkan, dia membuatnya hilang beberapa. Jadi t

  • DIJUAL KE PRIA ASING, DINIKAHI PEWARIS   48.

    Beberapa waktu yang lalu terjadi ketegangan antara Zen dan ayah kandungnya. Ya, lelaki yang menggunakan helm itu adalah Revan, anak tiri pak Fatan. Ketegangan itu masih berlanjut di atas sofa yang saling berhadapan. "Kamu seharusnya berterimakasih kepadaku, Zen! Bagaimana pun, Aku telah menyelamatkan dia," tunjuknya lagi kepadaku, entah untuk yang ke berapa kali. "Kau seorang lelaki, tapi mulutmu terlalu banyak!" kesal Zen mencebik. Ia bosan mendengar semua kata yang terus keluar dari mulut Revan. Entahlah, lelaki itu seringnya nampak menakutkan, tapi mengapa kali ini terlihat seperti orang bodoh."Zen, seharusnya kau bisa berbagi sebagian hartamu untuk Revan! Bagaimana pun, dia itu saudaramu, saudara yang selalu menjaga apa yang kau miliki agar tepat sasaran dan aman. " Apa ucapanmu tak salah?!" cebik Zen dengan menarik ke atas sebelah bibirnya. "Bukankah dia menikmati semua yang harusnya menjadi milikku? Dia pencuri. Pen... cu... ri! Bahkan, dia membuatnya hilang beberapa. Jadi t

  • DIJUAL KE PRIA ASING, DINIKAHI PEWARIS   47

    DAS 47 "Eemmmhhh... "Aku berusaha berteriak untuk meminta tolong, tapi mulutku dibekap oleh si lelaki berhelm, sedangkan mobil sudah melaju dengan kecepatan sedang. Sepertinya, motor pun ada yang membawanya karena terdengar suara deru nya memekakan telinga. "Au E... " teriak lelaki berhelm, tapi tak jelas di pendengaranku. Aku terus saja meronta, berteriak demi meminta pertolongan. Meskipun, rasanya tak akan ada orang yang bisa mendengar, tapi setidaknya Aku bisa nekad turun dari mobil seperti yang pernah ku lakukan di mobil pak Rafli. "Pak Zen, enggak usah dibekap, enggak bakalan kedengaran orang kok."Ada suara bariton seseorang dari baris ke tiga yang menyebut nama suamiku. Seketika, lelaki berhelm itu melepaskan tangannya dari mulutku. Aku pun begitu, tak berusaha meronta lagi, apalagi berteriak untuk meminta tolong. "Zen?" tanyaku lirih dengan berurai air mata. Ia hanya menganggukkan kepala, tanpa membuka helm nya. Aku tak berkata-kata lagi karena merasa semua masih abu-a

  • DIJUAL KE PRIA ASING, DINIKAHI PEWARIS   46. Saling Menyalahkan

    Zen tak menggubris permintaanku. Ia malah menyeretku semakin cepat, masuk ke ruangan yang waktu itu Aku duduk di sofanya. "Zen!" pekikku lagi seraya berusaha melepaskan diri lebih keras. Namun heran, Zen semakin mencengkeram leherku. "Stop!" teriak Zen yang terdengar jelas di kupingku, meskipun nafasku mulai tersengal. "Apa yang...?" pekik suara lelaki di hadapanku, tapi entah siapa. Aku masih fokus untuk melepaskan diri dari cengkeraman Zen. Rasanya Aku akan kehabisan nafas dan bisa saja kehilangan nyawa. "Alea?" "Berhenti Zen, atau Aku akan membuatmu menyesal karena menyeret perempuan ini ke rumah!" ucap Zen tepat di samping telingaku. Tidak, dia mengatakan apa? Otakku masih sempat untuk berfikir meskipun sulit. "Lepaskan dia karena dia enggak ada sangkut pautnya sama masalah kita!" teriak lelaki yang sedari tadi berada di rumah ini dengan emosi, lelaki yang mungkin adalah Zen yang sebenarnya. "Berhenti!" ucap lelaki berhelm yang ku yakin bukan Zen, seraya mengeratkan jerata

  • DIJUAL KE PRIA ASING, DINIKAHI PEWARIS   DAS 45. Sepertinya Zen

    "Emmmhhhh... " Aku berusaha berteriak untuk meminta tolong, tapi mulutku dibekap oleh si lelaki berhelm, sedangkan mobil sudah melaju dengan kecepatan sedang. Sepertinya, motor pun ada yang membawanya karena terdengar suara deru nya memekakan telinga. "Au E... " teriak lelaki berhelm, tapi tak jelas di pendengaranku. Aku terus saja meronta, berteriak demi meminta pertolongan. Meskipun, rasanya tak akan ada orang yang bisa mendengar, tapi setidaknya Aku bisa nekad turun dari mobil seperti yang pernah ku lakukan di mobil pak Rafli. "Pak Zen, enggak usah dibekap, enggak bakalan kedengaran orang kok." Ada suara bariton seseorang dari baris ke tiga yang menyebut nama suamiku. Seketika, lelaki berhelm itu melepaskan tangannya dari mulutku. Aku pun begitu, tak berusaha meronta lagi, apalagi berteriak untuk meminta tolong. "Zen?" tanyaku lirih dengan berurai air mata. Ia hanya menganggukkan kepala, tanpa membuka helm nya. Aku tak berkata-kata lagi karena merasa semua masi

  • DIJUAL KE PRIA ASING, DINIKAHI PEWARIS   Bab 43. Pengendara motor

    Aku baru menyadari bahwa mereka berdua kini tengah berasa di atas motor. Bukankah tadi lelaki yang membawaku juga turun dari motor? Apakah mereka bertukar posisi atau tidak? "Enggak apa-apa," Sahutku meringis, seraya berpikir hal yang saat ini sebenarnya tak perlu ku pikirkan. Aku pun segera menaiki motor berwarna merah seraya menahan sakit di kaki. Sedangkan motor yang tadi ku naiki segera melaju ke arah yang berlawanan. "Pakai!" Sebuah hoodie berwarna hitam disodorkan kepadaku, saat Aku sudah duduk di atas jok motor. Tanpa pikir panjang, Aku segera meraih hoodie tersebut dan mengenakannya. Motor pun segera melaju lagi, membelah keheningan malam. Rasanya, pipiku diterpa dinginnya angin malam. Beruntung, hoodie yang kupakai menutupi badan dan kepalaku sehingga rasa hangat cukup ku rasa. Tangan ku tautkan di kedua sisi behel motor, meskipun hal itu membuat tanganku terasa sangat dingin. "Mas, kamu siapa?" tanyaku pada akhirnya. Aku memberanikan diri untuk bertanya, m

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status