Share

Tercekik Hutang

“Dimana Tomi?” cerca dua pria yang berdiri di depan pintu.

Tatapan keduanya membuat Mala risih. Pasalnya, mata mereka terus memindai tubuh Mala dari ujung kaki hingga kepala.

“Mas Tomi tidak ada di rumah. Dia sedang bekerja.” Meski takut karena melihat penampilan dua pria berbadan besar dengan tangan penuh tato, Mala harus bersikap tenang.

“Bohong!” bentak salah satu pria, teriakannya membuat Mala berjingkat.

“Kami sudah ke tempat kerja Tomi, tapi dia tidak ada di sana,” imbuh pria berbadan besar itu.

“Memangnya kalian berdua ini siapa? Dan … ada urusan apa dengan Mas Tomi?” tanya Mala penasaran.

“Baca ini!” Salah satu pria melempar map biru ke wajah Mala.

Jantung Mala seakan berhenti berdetak, napasnya memburu setelah membaca secarik kertas di dalam map.

Perjanjian utang-piutang. Lima puluh juta, jumlah yang sangat banyak bagi Mala. Mata Mala membola saat tahu sertifikat rumah milik mendiang orangtuanya yang menjadi jaminan. Tubuh Mala terhuyung ke belakang hingga membentur pintu, tangannya memegang dada yang terus berdebar. Teganya Tomi menggadaikan sertifikat rumah untuk mencari pinjaman uang.

“Minggir.” Dua pria dengan tangan bertato menerobos masuk.

“Tomi … keluar kamu. Jangan terus bersembunyi!” Teriakan mereka menyentak lamunan Mala. Mala segera mendahului dua pria yang terus menyerukan nama Tomi.

Danis, pria kecilnya ada di dalam, bocah berpipi gembul itu pasti ketakutan. Dugaan Mala tidak meleset, Danis terlihat ketakutan, dia memejamkan mata dengan memeluk sebuah bantal usang.

“Sayang.” Mala memeluk Danis, menenangkan putranya.

“Danis takut, Bunda.” Suaranya bergetar, rasa takut dan tangis menjadi satu.

“Ada Bunda, Sayang. Bunda tidak akan membiarkan siapapun menyakiti Danis.” Mala menengadah sebisa mungkin menahan air matanya agar tidak jatuh. Dia harus terlihat kuat dihadapan Danis, meskipun sebenarnya hatinya rapuh.

Mala terus memeluk Danis, tidak memedulikan dua pria yang terus menyisir setiap sudut rumah guna mencari Tomi.

Salah satu pria menyingkap tirai berwarna merah. Dia mendekat kearah Mala yang tengah memeluk Danis, merebut kasar map biru yang masih berada di genggaman Mala.

“Bilang sama Tomi kalau sampai minggu depan dia tidak membayar cicilan hutang plus bunga …,” sudut bibir pria berbadan besar terangkat, “kalian harus angkat kaki dari sini.”

Mala menepis tangan pria yang dengan lancang menyentuh dagu lancipnya. “Jangan kurang ajar, ya!” hardik Mala.

Mendengar penolakan Mala, si pria justru tertawa terbahak-bahak. “Beruntung sekali Tomi memiliki istri secantik kamu.” Dia berusaha mengikis jarak. Namun, di saat bersamaan temannya memanggil.

“Ayo cabut! Bos telpon, kita harus pindah lokasi.

Instruksi dari temannya membuat pria itu kesal karena dia belum puas memandang wajah ayu Mala. “Abang pergi dulu, ya, cantik. Jangan lupa ingatkan Tomi cicilan bulan ini sudah jatuh tempo.”

Akhirnya, kedua pria itu meninggalkan rumah Mala. Udara di sekitar Mala kembali longgar.

Mengurai pelukannya lalu membingkai wajah Danis. Mala menarik napas dalam, menampilkan senyum terbaiknya. Dia harus kuat demi Danis. “Mereka sudah pergi, Sayang.”

“Mereka siapa, Bun? Kenapa teriak-teriak nyariin Ayah? Kan, Danis takut?”

Pertanyaan Danis membuat Mala bingung. Jawaban apa yang harus dia berikan?

“Mereka salah alamat, mungkin,” jawab Mala sekenanya.

“Salah alamat, kok, tau nama Ayah?”

Ya, begitulah Danis akan terus bertanya bila jawaban yang didapat dirasa kurang memuaskan.

“Danis mau ikut Bunda,” tutur Mala mengalihkan pembicaraan.

“Mau,” jawab bocah itu antusias, senyuman sudah kembali terbit di bibir kecilnya. “Ikut kemana Bunda?” tanya Danis penasaran.

“Ke rumah Bu Hajah Siti antar baju,” ucap Mala.

Sepanjang perjalanan Mala dan Danis terus bergandengan tangan. Sesekali terdengar tawa dan nyanyian dari keduanya. Tahun ini, seharusnya Danis sudah masuk paud. Namun, kondisi ekonomi yang semakin memburuk memaksa Mala menunda menyekolahkan Danis. Beruntung putranya adalah bocah yang penurut. Tidak pernah protes dan merengek saat melihat teman sebayanya menggendong tas di pundak pada pagi hari. Danis dipaksa menjadi lebih dewasa oleh keadaan. Sedangkan Tomi mana peduli dengan putranya yang belum juga mengenyam bangku sekolah.

“Rumah Bu Hajah besar, ya, Bun,” ucap Danis. Mereka berdiri di depan rumah dua lantai, ada mobil hitam yang terparkir di halaman rumah. Pelanggan cuci gosok Mala kebanyakan memang ibu-ibu komplek. Mala mengetuk pintu dan mengucapkan salam, adab yang selalu Mala terapkan ketika bertamu.

Seorang wanita dengan daster batik dan kerudung berwarna hitam keluar dari rumah. “Eh, ada Mala dan Danis. Masuk-masuk!” Bu Hajah Siti memang sangat ramah.

“Terima kasih, Bu Hajah. Kami di sini saja, kami hanya mau mengantar baju-baju Bu Hajah,” ucap Mala sopan.

“Tunggu sebentar, ya, saya ambil uang dulu.” Bu Hajah Siti membawa baju-baju yang diberikan oleh Mala ke dalam.

“Rumah Bu Hajah selain besar juga bagus,ya, Bun. Punya mobil juga.” Danis tidak henti-hentinya memuji penampakan rumah Bu Hajah.

“Iya, Nak.”

“Nanti kalau Danis sudah besar, Danis beliin Bunda rumah kayak rumah Bu Hajah, ya,” celetukan bocah berusia empat tahun yang membuat mata Mala mengembun.

“Amiin.” Hanya itu yang bisa Mala ucap, mengaminkan impian mulia sang putra.

Tidak lama Bu Hajah Siti keluar dengan membawa bungkusan hitam lalu memberikannya pada Danis. Bocah itu saat gembira hingga berulang kali mengucapkan terima kasih pada Bu Hajjah Siti.

*

Sesampainya di rumah, Danis langsung membuka bungkusan pemberian Bu Hajah Siti. “Ayam goreng, Bunda!” Wajahnya begitu riang mendapati beberapa potong ayam goreng.

“Alhamdulillah, ya Nak. Uang pemberian Bu Hajjah jangan lupa dimasukkan celengan.”

“Iya, Bunda.”

Mala bersyukur dipertemukan dengan orang sebaik Hajah Siti. Wanita shaleh yang selalu memberi uang lebih pada Mala untuk jasa cuci gosok. Tidak jarang wanita setengah abad itu juga memberi uang jajan untuk putranya Danis seperti hari ini.

“Masak enak. Punya banyak uang kamu?” cecar Tomi yang baru saja datang, netranya memicing melihat potongan ayam goreng di piring.

“Ini dikasih sama Bu Hajah, Yah,” jawab si kecil.

“Oh, ya.” Tatapan Tomi beralih pada Mala. Namun, yang ditatap justru membuang muka. Dahi pria berjambang tipis itu mengernyit, tidak biasanya Mala bersikap tak acuh padanya.

“Ayah mau,” ucap Danis.

“Mau, dong.” Tomi menarik kursi kayu untuk duduk. “Kebetulan Ayah lapar.” Mengacak rambut putranya asal lalu Tomi mengisi piring dengan nasi dan ayam.

Riak bahagia terpancar di wajah polos Danis hanya karena usapan di pucuk kepalanya.

Sebisa mungkin Mala menahan emosinya agar tidak meluap. Bertengkar di hadapan putra mereka akan berdampak buruk bagi psikologis Danis. Mala harus bersabar dan menunggu waktu yang tepat. Meskipun, tangannya sudah mengepal erat menahan amarah yang hampir meledak.

*

Alam mimpi sudah menghanyutkan Danis. Ini saatnya bagi Mala membahas kejadian tadi siang dengan Tomi.

Lagi, Tomi sibuk dengan ponsel miliknya. Kadang dia tersenyum dan bersorak, tapi detik berikutnya dia berteriak frustasi lalu marah-marah tidak jelas. Judi online benar-benar membuatnya seperti orang tidak waras.

“Mas, Mala ingin bicara.”

“Bicara saja.” Sedetik pun pandangan Tomi tidak beralih dari ponselnya.

“Aku mau bicara, Mas!” Suara lembut Mala menghilang berubah menjadi suara bernada tinggi.

Kesal karena Tomi tak acuh, Mala merebut ponsel Tomi dan melemparkannya ke sembarang arah.

Tindakan Mala tentu membuat Tomi murka. Pria itu bangkit lalu mencengkram dagu istrinya. “Kamu sudah mulai berani, hah!” Sebelah tangan Tomi pun mengambang di udara.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status