Fritz dan Kiran duduk di salah satu sudut kafetaria kampus, mengobrol ringan setelah seharian disibukkan dengan kegiatan masing-masing. Kiran, gadis yang dikenal ramah dan cerdas, selalu berhasil menarik perhatian Fritz. Namun, sore itu terasa berbeda. Ada sesuatu yang ingin Fritz katakan, namun dia memilih untuk menundanya. Setelah beberapa menit berbincang, Fritz tiba-tiba tersenyum lebar."Kiran, hari ini sudah lama sekali kita berada di area kampus. Bagaimana kalau kita pergi sebentar ke suatu tempat yang spesial?" Fritz berkata dengan nada santai, namun pandangannya terlihat serius.Kiran mengerutkan keningnya. "Kita mau ke mana, Fritz? Maksudmu sekarang?"Fritz mengangguk. "Iya Kiran, sekarang. Aku mau ajak kamu ke The Awan Lounge. Tempat yang sangat indah, pemandangannya sungguh spektakuler, dan makanannya juga enak."Kiran terdiam sejenak. Nama tempat itu terdengar familiar, namun dia belum pernah berkunjung ke sana. "The Awan Lounge? Bukannya itu rooftop yang terkenal di
Hari hampir sore, suasana di kafetaria kampus tidak terlalu ramai. Harvey, seorang CEO muda yang sangat disegani di kalangan mahasiswa dan dosen, duduk berhadapan dengan Josie, gadis yang diam-diam sudah lama dikagumi olehnya. Senyum lembut terukir di wajah Josie, dan Harvey merasa jantungnya berdegup kencang setiap kali gadis itu menatapnya.“Kamu ada rencana setelah pulang kampus hari ini Josie?” tanya Harvey sambil menyesap kopi hitamnya. Mata tajamnya tak lepas dari gadis itu.Josie tersenyum. “Tidak ada, Kak. Paling aku langsung pulang ke rumah. Kenapa, Kak?”Harvey menatap Josie sejenak, tampak seperti sedang memikirkan sesuatu yang serius. “Aku ada sesuatu yang spesial buat kamu. Bagaimana kalau kita pergi ke Sentul sekarang?”Josie mengerutkan kening, bingung. “Sentul? Ada apa di sana? Oh iya! Aku hampir saja lupa! Kakak mulai mengajariku balap mobil, ya?” tebak sang gadis.“Ha-ha-ha! Aku nggak bisa kasih tahu sekarang. Tapi aku janji, kamu nggak akan nyesel,” jawab Harvey
Kafetaria kampus mulai lengang. Pasangan-pasangan yang tadi sempat duduk di sana sudah pergi sejak beberapa saat lalu. Kini hanya tinggal ada Jacob, CEO muda yang berwibawa, dan Eva, gadis ceria yang sudah lama menjadi sahabat baiknya. Hari hampir sore, matahari perlahan mulai terbenam, menciptakan suasana hening yang menggantung di antara keduanya. Jacob pun menatap keluar jendela kafetaria, seolah-olah memikirkan sesuatu yang penting. Sedangkan Eva duduk di depannya, merasa sedikit canggung karena suasana yang kini hanya tinggal mereka berdua. “Eva, aku punya rencana setelah ini. Aku harap kamu mau ikut denganku,” ucap Jacob tiba-tiba, memecah keheningan. Eva menatapnya dengan penasaran. “Rencana apa itu, Jacob?” Jacob tersenyum tipis. “Aku ingin mengajakmu ke tempat yang spesial. Bagaimana kalau kita pergi ke The Neighbourhood? Tempat itu adalah sebuah restoran yang berada di kawasan Jakarta Selatan yang memiliki private room.” Eva mengerutkan dahi, terkejut mendengar nama
.Keesokan harinya, di tengah gedung-gedung pencakar langit di pusat kota Jakarta, empat CEO muda yang merajai dunia bisnis di Kota Jakarta tampak sedang bersemangat menjalani hari mereka di kantor masing-masing. Isaac, Fritz, Harvey, dan Jacob, meski berasal dari perusahaan yang berbeda, dikenal sebagai sahabat dekat. Mereka sering bersaing sehat di dunia bisnis, namun selalu mendukung satu sama lain dalam kehidupan pribadi.Pagi itu, Isaac duduk di kantor pribadinya dengan senyum lebar yang tak bisa disembunyikan oleh. Kepalanya masih dipenuhi bayangan tentang Leticia, gadis yang selama ini dirinya incar, yang kini telah resmi menjadi kekasihnya. Tak jauh berbeda, dengan Fritz yang sedang sibuk dengan laptopnya di kantor pusat perusahaan teknologi yang dipimpin olehnya, namun sesekali pikirannya melayang kepada Kiran, gadis yang selalu membuat hatinya berdebar kencang, yang telah sah menjadi pacarnya.Sementara Harvey, dengan segudang jadwal rapat, tak henti-hentinya memikirkan Jos
Cerahnya pagi,Pagi itu di sebuah kampus ternama di Kota Jakarta, suasana kafetaria kampus terlihat cukup tenang. Di salah satu sudut ruangan kafetaria, terdapat empat gadis cantik yang sedang nongkrong santai sambil menunggu dosen pembimbing untuk mengkonsultasikan skripsi mereka. Para gadis itu antara lain Leticia, Kiran, Evanora, dan Josie. Keempatnya sedang duduk berderet di depan laptop mereka masing-masing. Mata mereka sangat serius tertuju pada layar laptop, jemari keempatnya terlihat sibuk menari-nari di atas keyboard, yang menandakan jika mereka sedang fokus merevisi skripsi yang sebentar lagi akan diajukan kepada dosen. Namun, ada yang berbeda dari wajah-wajah mereka hari itu. Di balik keseriusan para gadis, keempatnya tampak berseri-seri, senyum-senyum kecil sesekali muncul di bibir mereka.Leticia menatap layar laptopnya, akan tetapi pikirannya melayang pada kejadian kemarin sore. Setelah sekian lama menyukai Isaac, CEO muda yang selalu dia kagumi, akhirnya mereka pun re
Satu bulan telah berlalu sejak hubungan rahasia antara para CEO muda dan gadis-gadis yang tetap terjaga dengan rapi. Meskipun para pemuda sukses tersebut berusaha sebaik mungkin untuk menyembunyikan cinta mereka, malam ini segalanya terasa lebih sulit ketika para orang tua yang telah bersahabat lama mengadakan makan malam istimewa di rumah Keluarga Tuan Rahez, sebuah rumah megah dengan halaman yang luas dan ruang makan yang elegan. Makan malam ini dirancang oleh para ibu yang memiliki hubungan erat, antara lain Mama Zemi, Mommy Hera, Mami Arlyn, dan Mommy Agnes. Wanita sosialita itu turut mengundang para suami dan anak-anaknya untuk berkumpul dalam acara keluarga yang mereka anggap sebagai kesempatan untuk saling mendekatkan diri sebagai sahabat yang telah lama kenal dan berhubungan baik.Para ayah, antara lain, Papa Rahez, Daddy King, Papi Tiano, dan Daddy Edward, yang merupakan pengusaha sukses yang merajai bisnis di Kota Jakarta, mulai terlihat tegang saat menyadari bahwa putra-pu
Acara terus berlanjut,Malam itu terasa semakin hangat di rumah besar milik Tuan Rahez. Setelah makan malam yang lezat, para ibu pun memutuskan untuk merancang acara santai di halaman belakang rumah. Mama Zemi, Mommy Hera, Mami Arlyn, dan Mommy Agnes tampak bersemangat mengatur kegiatan karaoke bersama. Misi para ibu masih tetap sama, yaitu ingin memanfaatkan suasana keakraban ini untuk mempererat hubungan spesial antara anak-anak mereka. Sementara itu, para ayah sibuk dengan keseruan mereka sendiri.Di pojok halaman yang diterangi lampu-lampu taman yang temaram, papan-papan catur sudah tertata rapi. Papa Rahez tampak serius memandang papan catur di depannya, berhadapan dengan Daddy King. Di sisi lain, Papi Tiano duduk berhadapan dengan Daddy Edward. Raut wajah mereka menunjukkan fokus yang mendalam, seolah-olah dunia di sekitar para ayah telah menghilang entah ke mana."Bro apa kamu yakin mau jalankan pion ke depan? Itu langkah yang berisiko, Bro Rahez," komentar Daddy King sambil me
Pagi yang cerah di sebuah rumah besar di kawasan Jakarta Selatan. Burung-burung berkicau riang, langit berwarna biru muda tanpa awan, dan angin berhembus lembut melalui jendela-jendela yang terbuka. Seolah-olah akan menyambut hari yang penuh warna dan kebahagiaan.Di salah satu kamar di lantai atas, seorang gadis cantik bernama, Leticia Topaz Hez. Yang akrab dipanggil Leticia, terlihat sedang duduk di meja belajarnya dengan wajah serius. Gadis berambut hitam lurus itu sepertinya sangat sibuk menghafal materi skripsinya. Bibirnya terlihat komat-kamit mengulang beberapa poin penting yang sudah dipersiapkan olehnya selama berbulan-bulan.“Bab tiga, penelitian kuantitatif, data diuji menggunakan ....” Leticia berbicara sendiri dengan pelan, sesekali matanya menatap lembaran-lembaran skripsi yang terbuka di hadapannya. Hari ini adalah hari yang sangat penting bagi gadis cantik itu. Sidang skripsi sebagai penentu kelulusannya untuk meraih gelar sarjana.Tiba-tiba, suara ketukan pelan terden
Malam itu, suasana penuh kehangatan memenuhi kamar mewah di The Ritz London. Fritz dan Kiran baru saja menyelesaikan resepsi pernikahan mereka yang megah dan penuh kebahagiaan. Setelah melewati hari yang panjang, keduanya mulai berganti pakaian untuk memulai perjalanan bulan madu mereka ke Islandia.Kiran berdiri di depan cermin besar di kamar, mengenakan gaun kasual berwarna pastel yang nyaman namun tetap anggun. Rambutnya yang panjang tergerai lembut, sementara Fritz mengenakan setelan santai dengan jaket kulit hitam yang menambah kesan gagahnya.Kiran lalu berkata,“Aku masih tidak percaya, Fritz. Hari ini seperti mimpi. Semua terasa sempurna.”Fritz pun tersenyum sambil mendekati Kiran, istrinya.“Karena kamu membuatnya sempurna, Sayangku. Kamu adalah pengantin tercantik yang pernah ada.”“Ih … gombal kamu, Fritz!” celetuk Kiran.“Ini bukan bualanku, Sayang! Tapi dari kesungguhan hatiku,” seru Fritz kepada sang istri.Fritz lalu memegang tangan Kiran dengan lembut, membawanya ke s
Setelah saling mengucapkan janji suci pernikahan, kedua mempelai yang sedang berbahagia yaitu Fritz dan Kiran yang kini sedang melangkah ke tengah-tengah ballroom dengan senyuman bahagia yang tidak pernah lepas dari wajah mereka. Tepuk tangan meriah dari para tamu menggema di ruangan megah yang telah dihiasi lampu kristal dan bunga-bunga putih serta emas. Di tengah ballroom, berdiri sebuah kue pernikahan lima tingkat yang menjulang tinggi, dihiasi dengan bunga gula dan ornamen emas yang sungguh elegan.Fritz menggenggam tangan Kiran, membimbingnya menuju ke kue pernikahan. Sebuah pisau khusus yang dihiasi pita emas telah disiapkan untuk momen tersebut.“Kiran, apakah kamu siap, Sayang?” tanya Fritz sambil menoleh ke arah istrinya.Kiran tersenyum hangat. “Aku selalu siap jika bersamamu, Fritz.” sahutnya antusias kepada suaminya.Tangan mereka pun bersatu memegang pisau, lalu dengan perlahan memotong kue dari bagian atas menuju ke bawah sambil diiringi tepuk tangan para tamu. Fritz p
Hari pernikahan Fritz dan Kiran di Ballroom Hotel The Ritz London.Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba juga. Ballroom The Ritz London, hotel mewah dengan nuansa klasik dan elegan, telah disulap menjadi tempat yang memukau untuk pernikahan Fritz dan Kiran. Lampu kristal berkilauan menerangi ruangan yang dihiasi dengan rangkaian bunga putih dan emas. Meja-meja bundar dengan taplak sutra, piring porselen, dan gelas kristal menghiasi ruangan, sementara suara lembut orkestra bermain di latar belakang menambah suasana megah.Para tamu telah memenuhi ballroom, termasuk kolega dan rekan bisnis Fritz, yang mengenakan busana formal sesuai dress code. Di barisan depan, duduklah Tuan Rahez dan Nyonya Zemi, kedua orang tua Fritz, yang mengenakan pakaian berwarna emas. Gaun Nyonya Zemi berhiaskan payet berkilau, sementara Tuan Rahez tampak gagah dengan jas emas elegan. Di sebelah mereka, duduk Tuan King dan Nyonya Hera, orang tua Kiran, dengan kebaya tradisional berwarna emas yang memancarkan k
Persiapan para ibu,Di sebuah salon kecantikan mewah di kawasan Jakarta Selatan, suasana pagi terasa nyaman dan elegan. Ruangan itu dipenuhi dengan aroma lembut lavender, dilengkapi dengan dekorasi modern bernuansa putih gading dan emas. Para pegawai salon dengan seragam rapi melayani beberapa pelanggan sosialita yang datang untuk memanjakan diri.Di salah satu sudut ruangan, dua wanita paruh baya duduk di kursi pijat sambil menjalani perawatan wajah. Mereka adalah Nyonya Zemi, ibunda Fritz, dan Nyonya Hera, ibunda Kiran. Keduanya tampil anggun dengan gaun santai berwarna pastel dan aksesoris mewah yang mempertegas status mereka sebagai wanita sosialita berkelas.Nyonya Zemi menyandarkan kepalanya dengan tenang sementara seorang terapis mengoleskan masker wajah. Di sebelahnya, Nyonya Hera memeriksa kukunya yang tengah dihiasi warna merah muda pucat.Nyonya Hera tersenyum puas sambil melirik Nyonya Zemi, seraya berkata,“Jeng Zemi, akhirnya harapan kita terkabul juga. Fritz melamar Kir
Rencana menuju London,Di sebuah restoran mewah di bilangan Jakarta Selatan, suasana siang itu terasa tenang dan nyaman. Restoran tersebut dihiasi dengan lampu gantung elegan dan interior klasik bergaya Eropa. Lantunan musik jazz lembut menemani para pengunjung yang tengah menikmati hidangan mereka. Di sudut ruangan, dua pria paruh baya duduk di sebuah meja bundar dengan beberapa hidangan tersaji rapi di atasnya.Tuan Rahez, pria berkacamata dengan rambut yang mulai memutih di pelipisnya, duduk santai sambil menyeruput secangkir kopi hitam. Di hadapannya, Tuan King, seorang pria bertubuh tegap dengan kumis tipis, tersenyum sambil memutar-mutar sendok kecil di dalam cangkir tehnya. Mereka adalah dua pengusaha ternama yang sudah bersahabat sejak lama. Hari ini, keduanya bertemu untuk membahas sesuatu yang sangat penting yaitu pernikahan anak-anak mereka, Fritz dan Kiran.Tuan Rahez lalu meletakkan cangkir kopinya ke atas piring kecil.“Wah, rasanya lega sekali akhirnya Fritz dan Kiran
Pagi itu, London menyambut Fritz dan Kiran dengan udara segar dan sinar matahari yang cerah. Fritz sudah menyiapkan rencana untuk menghabiskan hari bersama sang kekasih. Dia ingin menunjukkan kepada kekasihnya sisi romantis Kota London, sambil merencanakan momen besar yang telah dirinya persiapkan jauh-jauh hari."Kiran, hari ini kita akan jalan-jalan keliling Kota London. Ada banyak tempat indah yang ingin aku tunjukkan padamu," ucap Fritz sambil tersenyum ketika mereka sarapan bersama di ruang makan rumah Opa Roland.Kiran memandang Fritz dengan penuh rasa ingin tahu. "Oh, jadi kamu sudah punya rencana? Ada kejutan apa hari ini?"Fritz tertawa pelan. "He-he-he! Tunggu saja. Aku janji, kamu akan menyukainya."“Oma, Opa? Aku mohon izin untuk membawa Kiran keliling Kota London,” seru Fritz antusias kepada kakek dan nenek dari kekasihnya tersebut.“Tentu, Fritz. Opa percaya kamu bisa melindungi dan menjaga Kiran dengan baik,” tutur Opa Roland.Wah … memangnya kalian mau ke mana Fritz?
Suasana malam yang tenang menyelimuti rumah mewah keluarga Opa Roland yang ada di London. Lampu kristal menggantung di ruang makan besar, memancarkan sinar hangat ke meja makan yang penuh dengan hidangan. Fritz duduk bersama Opa Roland dan Oma Yesi, dua sosok yang sangat dihormatinya. Hatinya berdebar,akan tetapi dia tahu ini adalah waktu yang tepat untuk mengungkapkan niatnya.Setelah menyelesaikan makanan terakhirnya, Fritz menatap Opa Roland dengan mata penuh tekad. "Opa, Oma," ucapnya memulai pembicaraan, suaranya terdengar jelas namun sedikit bergetar. "Saya ingin menyampaikan sesuatu yang sangat penting."Oma Yesi menatap Fritz dengan penuh perhatian, sementara Opa Roland meletakkan gelasnya di atas meja, memberi isyarat agar pria muda itu melanjutkan perkataannya.“Saya ingin menikah dengan Kiran,” Fritz melanjutkan dengan suara mantap. “Saya mencintainya dan ingin membangun masa depan bersama. Namun .…” Dia terdiam sejenak, menundukkan kepala dengan ekspresi sedih. “Tuan
Kedatangan Fritz dan Kiran di London.Udara Kota London yang sejuk menyambut Fritz dan Kiran begitu mereka keluar dari bandara Heathrow. Keduanya tampak kelelahan setelah menempuh perjalanan panjang dari Jakarta, namun ada semangat tersirat di wajah mereka. Fritz memesan taksi online, dan beberapa menit kemudian, sebuah mobil hitam datang menghampiri mereka."Ini taksinya," ujar Fritz sambil membantu Kiran memasukkan koper ke bagasi."Terima kasih, Fritz," balas Kiran dengan senyum manis.Perjalanan menuju rumah kakek dan nenek Kiran berlangsung dalam suasana nyaman. Kiran terlihat antusias menjelaskan setiap sudut kota London yang mereka lewati."Itu Big Ben, Fritz. Aku sering bermain di sekitar sini waktu kecil saat berkunjung ke rumah Opa dan Oma," cerita Kiran.Fritz mengangguk sambil tersenyum. "Kamu pasti punya banyak kenangan indah di sini. Aku senang akhirnya bisa melihat langsung tempat yang sering kamu ceritakan."Tak lama kemudian, mobil berhenti di depan sebuah rumah berg
Pagi yang Cerah di Kediaman Keluarga Tuan Tiano.Mentari pagi menembus jendela besar di ruang makan keluarga Tuan Tiano, menghadirkan kehangatan di tengah suasana dingin. Aroma kopi yang harum dan roti panggang yang renyah mengisi udara, menemani keluarga itu memulai hari. Di meja makan, Tuan Tiano duduk di ujung meja dengan koran di tangan, sementara Nyonya Arlyn mengatur makanan yang dihidangkan oleh asisten rumah tangga mereka.Eva, putri kedua keluarga Tiano, tampak sibuk menuangkan susu ke dalam gelasnya, sementara Harvey, sang putra sulung, dengan santai mengoleskan selai kacang pada rotinya."Harvey, tambahkan madu di rotimu. Kamu terlalu kurus belakangan ini," ujar Nyonya Arlyn lembut, seraya menyodorkan botol madu kepada putra sulungnya.Harvey tersenyum simpul. "Mami selalu khawatir padaku, padahal berat badan aku stabil kok, Mi."Eva tersenyum melihat interaksi mereka. Namun, dia tahu waktunya membahas sesuatu yang cukup serius. Setelah menarik napas dalam-dalam, Eva pun