Setelah bertemu di sebuah kafe, di Mall Senayan City, Harvey dan Fritz langsung menyapa Josie dan Kiran. Mereka berempat berbicara sejenak, mengobrol tentang rencana mereka untuk hari itu. Fritz kemudian memutuskan untuk mengajak Kiran ke suatu tempat yang tidak disebutkan, meninggalkan Harvey dan Josie untuk tetap berada di dalam mall.
Josie, dengan senyum manisnya yang selalu membuat jantung Harvey berdegup lebih cepat, menatapnya dengan penuh semangat. "Kak Harvey, aku ingin ke toko buku. Ada beberapa novel yang ingin aku beli. Kamu mau ikut?" Harvey, seorang pengusaha sukses yang sudah lama menyukai Josie, tentu saja tidak menolak. “Tentu saja, Josie. Aku akan senang menemanimu,” jawabnya dengan senyum yang tidak pernah pudar dari wajahnya. Mereka berdua lalu berjalan berdampingan menuju toko buku, melewati keramaian mall dengan percakapan ringan. Setibanya di toko buku, Josie langsung menuju ke rak novel favoritnya. Dia tampak sangat antusias, matanya berbinar saat melihat deretan buku baru yang belum pernah dibacanya. Harvey mengikutinya dengan penuh perhatian, memperhatikan setiap gerak-geriknya. "Apa kamu menemukan sesuatu yang kamu suka?" tanya Harvey sambil mendekatkan dirinya ke arah Josie. "Ya, ini!" Josie mengangkat sebuah buku dengan sampul berwarna biru tua. "Aku sudah lama menunggu novel ini keluar." Harvey tersenyum melihat kegembiraan di wajah Josie. "Kalau begitu, beli saja. Aku yang akan bayar." Josie menatap Harvey dengan sedikit terkejut. "Oh, tidak, Kak Harvey, kamu tidak perlu melakukan itu." "Tidak apa-apa, Josie. Anggap saja sebagai hadiah dariku," jawab Harvey dengan lembut, menatap matanya dalam-dalam. “Mmmm … baiklah, Kak. Terima kasih banyak,” sahut Josie dengan wajah berbinar. Setelah berbelanja beberapa buku, Harvey pun memutuskan untuk membawa Josie ke area Timezone di dalam mall tersebut. "Bagaimana kalau kita bermain game sebentar? Sudah lama sejak terakhir kali aku ke Timezone," ajak Harvey. Josie mengangguk dengan antusias. "Tentu, Kak. Aku mau! kedengarannya menyenangkan!" “Baiklah, kalau begitu. Ayo … kita ke sana,” ajak Harvey. Mereka pun tiba di Timezone dan langsung mencoba berbagai permainan. Mulai dari permainan basket, di mana Josie mencoba untuk mengalahkan Harvey akan tetapi selalu gagal karena Harvey dengan mudah mencetak skor tinggi, hingga permainan tembak-menembak di mana mereka bekerja sama sebagai satu tim melawan pemain lain. Keduanya tertawa, bercanda, dan menikmati setiap momen yang mereka habiskan bersama. Setelah beberapa waktu, keduanya tiba di permainan balap mobil virtual. Harvey memperhatikan Josie yang tampak serius mengendarai mobilnya di layar, mencoba melewati setiap tikungan dengan kecepatan maksimum. Dia tertawa kecil melihat betapa antusiasnya Josie dalam permainan ini. “Ha-ha-ha! Aku tidak tahu jika kamu suka balapan mobil,” komentar Harvey setelah Josie selesai bermain dan berhasil menempati peringkat pertama di mesin game. Josie tersenyum bangga. “Aku suka tantangan, dan balapan mobil selalu membuat adrenalinku terpacu, Kak. Tapi aku ingin sekali merasakan balapan yang sesungguhnya, bukan hanya di game.” Mata Harvey berbinar mendengar keinginan Josie. Ide gila melintas di benaknya. Dia pun tersenyum penuh misteri. "Kalau begitu, bagaimana kalau kita mencoba sesuatu yang sedikit lebih ... nyata?" Josie mengerutkan kening, sedikit bingung. "Maksudnya apa, Kak?" Harvey hanya tersenyum lebih lebar. “Ayo, ikut aku. Aku punya sesuatu yang spesial untukmu.” Tanpa menjelaskan lebih lanjut, Harvey pun membawa Josie keluar dari mall menuju area parkir. Mereka masuk ke mobil sport mewah milik Harvey, dan Josie mulai merasa penasaran. “Kak Harvey, memangnya ke mana kita akan pergi?” Harvey hanya tertawa kecil. “He-he-he. Sabar, kamu akan segera tahu, kok.” Mereka lalu meninggalkan Jakarta dan mulai menuju Bogor. Josie masih mencoba menebak-nebak, akan tetapi Harvey tetap bungkam tentang tujuan mereka. Sekitar satu jam kemudian, keduanya pun tiba di Sirkuit Sentul. Begitu mereka melewati gerbang masuk, mata Josie membelalak penuh kegembiraan. “Kak Harvey! Kita di Sirkuit Sentul?” seru Josie dengan penuh antusias. Harvey tersenyum puas melihat reaksi Josie. “Iya, tepat sekali! Aku ingin kamu merasakan balapan mobil sungguhan. Aku sering balapan di sini, dan kupikir kamu mungkin ingin mencobanya.” Josie hampir melompat kegirangan. “Serius? Kamu sering balapan di sini, Kak?” Harvey mengangguk. "Betul sekali. Aku punya teman di sini. Dia membiarkanku menggunakan sirkuit kapan saja. Kamu akan melihat kebolehanku sebentar lagi." Mereka pun keluar dari mobil, dan Harvey segera menuju ke area garasi untuk berganti pakaian balap. Josie berdiri di luar, tidak sabar menunggu. Setelah beberapa menit, Harvey keluar mengenakan pakaian balap lengkap dengan helm, terlihat sangat profesional dan siap untuk balapan. Josie bertepuk tangan. "Kamu terlihat sangat keren, Kak Harvey!" Harvey tertawa dan membungkuk. "Ha-ha-ha! Terima kasih, Josie. Sekarang, lihat aku beraksi." Harvey pun segera masuk ke dalam mobil balapnya, sebuah mobil sport berwarna hitam mengkilap, dan mulai mengitari sirkuit. Dia memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi, dengan setiap tikungan dan gerakan yang begitu mulus. Josie menonton dari tepi sirkuit, kagum dengan keterampilan Harvey. Suara deru mesin dan ban yang berdecit di aspal membuat adrenalinnya berdegup kencang. Setelah beberapa putaran, Harvey kembali ke tempat Josie menunggu. Wajahnya bersinar penuh semangat, dan Josie bertepuk tangan penuh antusias. “Sungguh luar biasa, Kak Harvey! Kamu benar-benar hebat!” seru Josie. “Terima kasih,” ucap Harvey sambil membuka helmnya dan tersenyum. “Tapi itu belum semuanya. Sekarang, giliran kamu. Aku ingin kamu ikut denganku di dalam mobil sebagai navigator.” Josie tampak terkejut. “Aku? Di dalam mobil balap denganmu?” Harvey mengangguk, matanya memancarkan semangat. “Iya, aku akan mengajarimu beberapa hal tentang balap mobil, dan kita bisa merasakan kecepatan bersama.” Josie tersenyum lebar, antusiasme jelas terlihat di wajahnya. “Okay, aku akan melakukannya!” Harvey pun membantu Josie mengenakan pakaian pelindung dan helm. Setelah siap, mereka masuk ke dalam mobil. Harvey lalu menjelaskan beberapa hal dasar tentang bagaimana menjadi navigator, dan Josie mendengarkannya dengan penuh perhatian. “Apakah kamu siap?” tanya Harvey sambil menyalakan mesin mobil. Josie mengangguk dengan penuh semangat. “Aku siap, Kak!” Harvey lalu memacu mobilnya keluar dari pit lane dan langsung memasuki trek. Josie merasakan dorongan ke belakang ketika mobil melaju kencang. Adrenalin Josie meningkat tajam saat Harvey mengambil tikungan dengan kecepatan tinggi, membuatnya merasakan setiap goncangan dan getaran mobil. Mereka melaju cepat di lintasan, dan Harvey dengan tenang memberi instruksi kepada Josie kapan harus melihat ke arah tikungan berikutnya dan bagaimana memperkirakan kecepatan. Josie mengikuti arahannya dengan baik, merasa benar-benar hidup di dalam momen itu. "Wow, Kak Harvey! Ini luar biasa! Aku tidak pernah merasakan yang seperti ini sebelumnya!" teriak Josie di tengah deru suara mesin. Harvey tersenyum di balik helmnya. “Aku senang kamu menikmatinya, Josie! Kita akan melakukan beberapa putaran lagi. Pegang erat-erat, ya!” Mereka pun melanjutkan balapan, melewati beberapa putaran dengan kecepatan yang luar biasa. Harvey menunjukkan teknik-teknik balap yang mengesankan, membuat Josie merasa seperti mereka sedang terbang di atas aspal. Setelah beberapa putaran lagi, Harvey akhirnya melambatkan mobil dan kembali ke pit lane. Setelah mobil berhenti, Josie keluar dengan hati yang masih berdebar-debar, senyum lebar menghiasi wajahnya. “Balapannya sungguh luar biasa, Kak Harvey! Terima kasih banyak! Aku tidak tahu bagaimana kamu bisa begitu tenang saat mengemudi secepat itu!” Harvey tertawa kecil sambil melepas helmnya. “He-he-he. Itu hanya butuh latihan dan banyak pengalaman. Tapi aku senang kamu menikmatinya.” Josie mendekat dan memeluk Harvey dengan erat tanpa sadar. “Terima kasih, Kak Harvey. Ini adalah pengalaman terbaik yang pernah aku alami.” Harvey membalas pelukannya, merasakan kehangatan dari tubuh Josie yang begitu dekat. "Aku senang bisa berbagi ini denganmu, Josie. Semoga kita bisa melakukan lebih banyak hal seperti ini bersama." Josie tersenyum, melepaskan pelukannya, dan menatap Harvey dengan mata berkilau. “Aku harap begitu. Aku sangat menikmati waktu kita bersama.” Tanpa keduanya sadari mereka berdua telah berpelukan. Entah apa arti dari pelukan itu. Akan tetapi dengan perasaan bahagia yang masih menggema di hati keduanya, Harvey dan Josie menghabiskan sisa hari itu di sirkuit Sentul, Bogor. Berbicara dan tertawa, merayakan pengalaman luar biasa yang baru saja mereka alami bersama.Beberapa tahun kemudian,Mentari pagi menyinari pantai putih di resort mewah kawasan Nusa Dua, Bali. Suara debur ombak dan angin sepoi-sepoi menyambut hari yang istimewa. Di sebuah vila privat dengan kolam renang menghadap laut, tampak para sahabat lama yang kini sukses berkumpul bersama keluarga mereka dalam sebuah acara reuni keluarga yang telah lama direncanakan.Isaac dan Leticia, pasangan enerjik yang kini memiliki perusahaan ritel berkelas internasional, datang bersama dua anak mereka, Shem, remaja lelaki berusia 12 tahun yang cerdas dan atletis, serta Latisha, gadis berusia 10 tahun yang pandai melukis dan bercita-cita jadi arsitek.Fritz dan Kiran, pasangan bijak nan hangat, hadir dengan dua anak mereka yaitu Daren yang berusia 12 tahun, yang hobi teknologi dan sudah menciptakan aplikasi pertamanya, dan Nava, 10 tahun, yang gemar musik dan selalu membawa ukulelenya ke mana pun.Jacob dan Evanora, pasangan romantis yang dulu berbulan madu keliling Korea Selatan, kini datang ber
Mereka lalu membeli tiket dan menaiki Wolmido Ferris Wheel. Dari atas, terlihat laut biru yang luas, kapal-kapal yang bersandar di pelabuhan, serta kerlip lampu-lampu kota yang mulai menyala.“Pemandangan dari sini luar biasa,” seru Eva dengan suara pelan.Jacob memandang wajah istrinya yang terkena cahaya senja. “Tapi tetap tidak seindah kamu, Sayangku.”Eva tertawa sambil memukul pelan lengan Jacob. “Ha-ha-ha. Gombal. Tapi aku suka.”Setelah turun, mereka berjalan menyusuri Wolmido Street, jalanan pantai yang dipenuhi toko souvenir, warung makanan laut, dan pertunjukan jalanan. Seorang musisi tua memainkan saksofon, sementara anak-anak berlari mengejar gelembung sabun.Eva dan Jacob duduk di bangku pinggir pantai sambil menikmati odeng panas dan tteokbokki pedas yang baru saja dibeli dari warung kecil.“Tempat ini, rasanya seperti cerita musim panas dalam drama Korea,” gumam Eva sambil memandang laut.Jacob menatap laut juga. “Mungkin karena kita sedang menulis cerita kita sendiri
Setelah menikmati hiruk-pikuk Seoul dan damainya Pulau Jeju, Jacob dan Evanora melanjutkan perjalanan bulan madu mereka ke Gyeongju, kota yang dikenal sebagai Museum Tanpa Dinding. Kota ini kaya akan sejarah dan budaya, bekas ibu kota Kerajaan Silla yang berjaya selama hampir seribu tahun. Keduanya tiba di pagi hari, udara musim semi terasa sejuk dengan langit cerah tanpa awan.Mobil sewaan mereka berhenti di depan Bulguksa Temple, kuil Buddha megah yang merupakan warisan dunia UNESCO.“Wow … tempat ini luar biasa keren,” gumam Evanora sambil menatap tangga batu yang mengarah ke pintu gerbang utama kuil. “Arsitekturnya benar-benar anggun dan damai.”Jacob menggenggam tangan istrinya. “Aku suka ekspresimu setiap kali lihat tempat bersejarah, Sayang. Matamu selalu bersinar.”“Ayo kita eksplor tempat ini,” ucap Evanora tak sabar.Mereka lalu menaiki tangga perlahan, menikmati keheningan dan kesakralan tempat itu. Aroma kayu tua dan dupa menenangkan jiwa. Patung-patung Buddha berdiri t
Destinasi wisata bulan madu Jacob dan Evanora berikutnya yaitu ke Busan dan Jeju.Pagi itu, udara Busan terasa segar dengan semilir angin laut yang menyapu lembut wajah Jacob dan Evanora. Mereka baru saja tiba di kota ini setelah perjalanan singkat dari Seoul. Dengan penuh semangat, keduanya langsung menuju destinasi pertama yaitu ke Haeundae Beach.Saat tiba di pantai, mata Evanora berbinar melihat pasir putih yang lembut membentang luas. Deburan ombak berirama, sementara para wisatawan menikmati suasana dengan bermain air, berjemur, atau sekadar berjalan di tepi pantai."Jacob, lihat itu! Pasirnya benar-benar putih dan lembut!" seru Evanora sambil melepas sandalnya dan berjalan di atas pasir.Jacob tersenyum, ikut melepas sandalnya. "Iya, ini jauh lebih indah daripada yang aku bayangkan. Udara lautnya juga menyegarkan."Mereka lalu berjalan menyusuri pantai, menikmati pemandangan dan sesekali berhenti untuk mengambil foto. Di kejauhan, terlihat beberapa orang bermain voli pantai."
Pagi pertama bulan madu Jacob dan Evanora di Korea Selatan dimulai dengan suasana yang romantis di kamar mandi hotel mewah tempat mereka menginap. Cahaya matahari pagi yang menerobos masuk melalui tirai jendela menambah kehangatan di antara mereka.Jacob sudah lebih dulu mengisi bathtub dengan air hangat yang beraroma bunga-bunga indah. Evanora yang masih mengenakan jubah mandi tersenyum melihat suaminya yang tengah menunggu di dalam bathtub."Ayo masuk, Sayang," Jacob menepuk permukaan air, mengundang Evanora untuk bergabung.Evanora tersipu, tapi tanpa ragu dia pun melangkah masuk. Air hangat langsung menyelimuti tubuhnya, memberikan sensasi relaksasi yang luar biasa. Jacob merangkulnya dari belakang, mengecup lembut bahunya."Hari pertama bulan madu kita. Aku ingin kita menikmati setiap momen bersama," bisik Jacob.Evanora tersenyum, membalikkan tubuhnya sedikit agar bisa menatap wajah suaminya. "Aku juga, Sayang. Aku sungguh tidak sabar menjelajahi Seoul bersamamu."Keduanya meng
Kamar hotel suite tempat Jacob dan Evanora menginap di Seoul tampak hangat dengan pencahayaan temaram. Jendela besar di sisi kamar memperlihatkan pemandangan kota yang gemerlap, sementara tirai tipis yang tertiup angin menambah suasana romantis malam itu. Tempat tidur king-size dengan seprai putih bersih terasa begitu nyaman di bawah tubuh mereka berdua.Jacob berbaring di samping Evanora, menatap wajah istrinya yang tampak cantik meski tanpa riasan. Evanora juga menoleh ke arah suaminya, tersenyum lembut. Mereka baru saja selesai menikmati makan malam di kamar, dan kini mereka akhirnya beristirahat di kamar setelah menempuh perjalanan yang panjang dari Jakarta ke Seoul.“Rasanya masih seperti mimpi,” ujar Evanora pelan, jemarinya menggenggam tangan sang suami erat-erat.Jacob tersenyum. “Aku juga merasa begitu. Aku masih ingat pertama kali bertemu denganmu. Aku tidak pernah menyangka kalau kita akan sejauh ini.”Evanora tertawa pelan. “He-he-he. Dulu kamu terlihat begitu serius da