Hujan menjadi saksi bisu rasa bahagia keduanya saat melewati jalan bersama. Di mana tawa bahagia yang kedengaran receh keluar dari bibir si perempuan. Sedangkan, lelaki itu menanggapinya dengan senyum manisnya. Jena merentangkan satu telapak tangannya di atas kepala Brian. “Biar adil, aku takut kamu sakit.” Dia tidak tahu kalau ucapannya barusan menggelitik isi dada lelaki itu. Keduanya melangkah bersamaan, menginjak air bersama, dan akhirnya mereka telah sampai pada tujuan mereka.Brian masih mendengar tawa bahagia itu tatkala mobil telah keluar dari parkiran. Dia menoleh singkat, “Kamu bahagia banget. Berarti aku berhasil bikin kamu bahagia?”Perempuan itu menghentikan aksi mengibas kemejanya. Dia menoleh, dan saat itu mereka bertatapan. “Iya, aku bahagia banget. Rasanya kayak impian waktu kecil tuh terlaksana.” Lalu, dia tertawa.Brian tersenyum simpul. Bunyi notifikasi dari ponselnya terdengar. Karena sadar tidak mungkin dia mengendarai sambil bermain ponsel, dia pun menoleh pa
“Hotel aja, gimana?” Setelahnya, Brian tertawa kecil saat mata itu melotot tajam. “Nggak lucu tau, Bi!” Sisa tawanya masih terdengar. “Iya, iya. Ke bioskop?” Dia meneleng untuk bisa melihat wajah yang tadinya cemberut. Rupanya reaksi perempuan itu di luar ekspektasi Brian, dia mengangguk antusias dengan senyum cantiknya. “Mauuu … aku sayang kamu deh, Bi.” Bahkan, Brian mendapatkan pipinya dielus. “Ciumnya mana?” Setelah mengucapkan itu, Brian mendapatkan kecupan ringan di bibirnya. Dia tersenyum bahagia. Mereka telah sampai di mobil Brian, dan Brian segera membukakan pintu untuknya. Lalu, seperti biasa, lelaki itu memutari mobilnya untuk segera duduk di samping perempuan itu. Brian, mendapati mata itu memandangi setiap pergerakannya. Dia memberikan senyum manisnya sambil menyalakan mesin mobil. “Kenapa? Kok natap aku kayak gitu?”tanya Brian sambil mengelus puncak kepala Jena. “Bisa nggak, kita kayak gini terus?”tanya Jena sambil menyanggah dagunya dengan tangannya. Dia masi
Selepas obrolan siang itu, dan setelah pekerjaannya selesai, Jena memutuskan untuk segera pulang. Dia sudah membereskan desk nya, dan meraih tas kerjanya. Melewati Mbak Nurul yang masih berkutat dengan dokumennya.“Wiii … tumben,”celetuk Mbak Nurul.Jena tertawa kecil. Pasalnya baru kali ini dia memecahkan rekornya sendiri. Dia adalah pekerja yang terbiasa pulang malam. Baru kali ini dia pulang di pukul empat sore. “Iya nih, gue duluan, ya?”“Mau kencan, yaa?”tanya Mbak Nurul sambil memainkan kedua alisnya. “Iya, kan? Sama Iksan?”Jena mengibaskan tangannya. “Nggak. Nggak kencan sama siapapun. Gue cuma mau pulang, terus istirahat.”Mbak Nurul mengangguk pelan, “Iya deh. Gue mau lanjutin kerja gue dulu. Bye!”“Bye!”Jena berhasil melewati beberapa divisi dan turun menggunakan elevator. Baru saja pintu elevator terbuka, dari sini Jena melihat Brian tengah mengobrol dengan Pak Ajri di lobi. Pak Ajri tersenyum pada Jena. “Wiii … mau jalan, ya?”Jena mengibaskan tangannya. “Nggak, Pak. Sa
Jena menoleh pada Brian. Dia tidak ambil pusing atas kepergian Riski dengan perasaan kesalnya. Keningnya mengernyit tajam, “Jenoy? Kok jelek banget, sih?”Brian melepaskan tawanya. “Jelek gimana?”Jena melanjutkan jalannya. “Nggak ada yang lebih bagus apa? Jidatku nggak jenong lho, Bi …” Tangan Brian terulur untuk membuka pintu ruang arsip. Tentu saja sisa tawanya masih terdengar. “Terus? Jenay?”Jena mendelik sini. “Aku bukan jablay.”Dan Brian kembali tertawa. Dia tidak peduli oleh beberapa karyawan yang tengah sibuk menata beberapa berkas di dalam rak. Langkahnya tetap mengikuti ke mana arah perempuan itu berjalan. “Terus apa dong?” Brian menjentikkan jarinya, sesaat membuat perempuan itu menoleh. “Umi? Kan kamu panggil aku ‘Bi’. Iya, kan, Mi?”“Kalau putus berasa jadi janda,”balas Jena.“Ya nggak apa-apa. Janda ketemu duda. Wiiii … senggol dong!” Astaga! Brian sampai tidak menyadari tingkahnya membuat karyawan lain cekikikan.“Ah, terserah!” Perempuan itu melangkah keluar dengan
Jena menoleh pada Brian. Dia tidak ambil pusing atas kepergian Riski dengan perasaan kesalnya. Keningnya mengernyit tajam, “Jenoy? Kok jelek banget, sih?”Brian melepaskan tawanya. “Jelek gimana?”Jena melanjutkan jalannya. “Nggak ada yang lebih bagus apa? Jidatku nggak jenong lho, Bi …” Tangan Brian terulur untuk membuka pintu ruang arsip. Tentu saja sisa tawanya masih terdengar. “Terus? Jenay?”Jena mendelik sini. “Aku bukan jablay.”Dan Brian kembali tertawa. Dia tidak peduli oleh beberapa karyawan yang tengah sibuk menata beberapa berkas di dalam rak. Langkahnya tetap mengikuti ke mana arah perempuan itu berjalan. “Terus apa dong?” Brian menjentikkan jarinya, sesaat membuat perempuan itu menoleh. “Umi? Kan kamu panggil aku ‘Bi’. Iya, kan, Mi?”“Kalau putus berasa jadi janda,”balas Jena.“Ya nggak apa-apa. Janda ketemu duda. Wiiii … senggol dong!” Astaga! Brian sampai tidak menyadari tingkahnya membuat karyawan lain cekikikan.“Ah, terserah!” Perempuan itu melangkah keluar dengan
Jena baru saja bangkit dari duduknya setelah mengerjakan ulang sebuah desain yang dipilih oleh Pak Mungga. Dia meraih beberapa berkas yang akan disimpan di ruang arsip. Berkas-berkas itu dia kumpulkan dan didekap erat saat melewati beberapa kubikel.“Je, mau ke ruang arsip, ya?”tanya Mbak Nurul. Setelah mendapat anggukan, Mbak Nurul mengangsurkan sebuah map berisi berkas padanya. Dengan cengiran khasnya, “Titip, ya … Sekalian gitu …”Jena meraihnya dengan senyuman tipis. Setelahnya, dia berjalan keluar dari WS. Kaki jenjangnya dengan cepat melangkah melewati beberapa divisi dan sampai akhirnya dia berpapasan dengan Iksan di koridor.Wajah tampan itu banyak bekas membiru. Terutama bagian pelipis dan di garis rahangnya. Jena memelankan langkahnya dengan bibir yang digigit kencang. “Maaf, ya …”Iksan tersenyum, namun kemudian meringis kesakitan sembari memegang pelipisnya. “Nggak apa-apa,”ucapnya saat melihat perempuan itu panik. “Oh iya, bingkisannya udah aku terima. Kamu harusnya nggak