“Datang, kok. Jena akan datang dengan saya.” Suara bariton itu keluar dari laki-laki yang tengah berdiri dan meletakkan satu tangannya di meja, sedang tangan yang lainnya memegangi kursi Jena.
Jena mengangkat wajahnya. Menatap sekilas pada Brian yang menyunggingkan seulas senyum padanya. Sebelum akhirnya kembali menatap Aran yang memicingkan matanya. “Kalian punya hubungan?” Mulut Jena penuh, dia mencoba berbicara, namun artikulasinya kurang jelas. “Gangbnhdnnjnga.” Kurang lebih begitulah yang didengar Aran. Aran dan Jena tertegun beberapa saat ketika tangan Brian mengelus puncak kepala Jena. “Makan yang benar dulu dong, Sayang …” Dan kejadian itu membuat hawa kantin menjadi lebih panas. Terbukti saat Aran melonggarkan sedikit dasinya dan mengibaskan kemejanya. Jena dapat melihat dengan jelas raut wajah Aran yang tampak jengah dan muak. Mungkin Jena akan merutuki Brian karena memanggilnya dengan panggilan ‘sayang’. Tapi, ketika melihat reaksi Aran seperti itu, Jena sepertinya akan sujud syukur pada Brian selama seminggu. Tangan Jena mengambil segelas air, meminumnya hingga setengah. Saat mulutnya hendak berbicara, Aran terlebih dulu bangkit dan meninggalkan kantin. “Poor … Aran.” Bola mata Jena berputar. Dia sudah menyelesaikan makannya dan bangkit menghadap Brian. Ingin sekali dia menampar mulut yang baru saja mengejek Aran. “Kamu ngapain, sih?” “Kamu harusnya berterimakasih karena aku sudah menolong kamu,”sahut Brian. Dia menyisir rambutnya dengan jemari. Tampak tidak memperdulikan tatapan Jena yang setajam silet itu. Jena berdecak. “Nggak. Aku nggak bakalan berterimakasih untuk orang yang suka ikut campur tanpa diminta. Ngerti?” Brian memasukkan satu tangannya di saku celana, satu tangan lainnya masih memegang kursi yang diduduki Jena tadi. Dia mengangguk lemah, “Ngerti, Sayang …” Jawaban itu membuat Jena menampar lengannya, “Nggak waras!” Dan Brian hanya tertawa-tawa melihat sosok itu sudah berjalan melewatinya. Dari arah pintu tampak Mbak Nurul menghentikan langkahnya dan melongokkan wajahnya, “Je, sepuluh menit lagi meeting. Pak Mungga minta data-data soal iklan dan media sosial yang minggu kemarin.” Setelahnya, Mbak Nurul berlalu setelah tersenyum pada Brian. Embusan nafas Jena terdengar panjang dan lelah. Dia baru saja makan di jam empat sore dan akan melaksanakan rapat yang kira-kira membutuhkan waktu lama. Padahal Jena sudah berpikir akan pulang tepat waktu. Namun, sepertinya itu hanyalah angan-angannya saja. Seseorang memegangi kedua pundaknya dari belakang. Memijat pelan, lalu, “Ayo, semangat-semangat! Ayo, dong. Sayang?” “Ish! Berisik!” Jena berbalik dan memukul perut milik lelaki itu, sebelum akhirnya pergi meninggalkan Brian yang kembali menertawainya. Langkah Jena terayun melewati koridor. Juga, melewati beberapa partisi. Dia sempat melihat Aran yang tampak sibuk menelepon seseorang. Langkah Jena terasa lebih berat saat melihat sosok itu. Empat tahun yang mereka jalani bukan waktu singkat. Mereka sudah menghabiskan waktu bersama dan melakukan pertemuan keluarga. Meski Jena akui bahwa memang benar Aran tidak pernah berniat untuk membicarakan soal pertunangan, atau yang lebih ekstrim, yaitu pernikahan. Dia tidak melakukannya. Sedang dengan Sasha, lelaki itu langsung berpikir untuk serius. Apa Jena memang tidak menjadi pilihan untuk dijadikan seorang istri? Apakah Jena seburuk itu? Jena menghembuskan nafas gusar. Dia baru saja memasuki partisinya, langkahnya terayun cepat menuju kubikelnya. Mengambil laptop dan—tangan Jena meraba-raba dalam laci. Matanya berpendar mencari sebuah benda kecil yang sudah dia siapkan jauh-jauh hari. “Je? Yuk! Pak Mungga belum datang tuh.” Suara Mbak Nurul terdengar seiring langkahnya mendekati kubikel Jena. Kernyitan di keningnya muncul saat melihat Jena mengobrak-abrik isi mejanya. “Je? Nyariin apa, sih?” “Flashdisk, Mbak! Seingat gue letakin di samping laptop. Atau nggak … ya laci. Tapi, sekarang nggak ada,” ucap Jena. Wajahnya tampak putus asa sekali. “Serius?” Mbak Nurul ikut mencari setiap sudut meja Jena. Dan benar, benda kecil itu tidak ada di sana. Keduanya berpandangan. Tampak ketegangan di sana. “Tapi, di laptop Lo ada, kan?” Mbak Nurul menunjuk laptop yang berada di atas meja. Jena mengangguk lemah, “Ada, kok. Cuma nggak se-detail yang di flashdisk.”jawab Jena. Tangannya mengusap wajahnya gusar. “Nggak apa-apa. Yang penting ada draft mentahnya. Yuk!” Mbak Nurul berjalan terlebih dulu. Dan Jena mengikutinya dari belakang dengan energi yang benar-benar habis. Seiring langkah berjalan, semakin bertambah degup jantung Jena. Dia sempat berpapasan dengan Aran yang menatapnya dari balik partisi. Namun, Jena memutuskan kontak mata terlebih dulu. Langkahnya terayun di koridor dengan ketukan Stiletto yang khas. Sempat menghentikan langkah dengan wajah memelas. Namun, tidak mungkin dia tidak menghadiri metting penting ini. Jadi, Jena memutuskan untuk tetap menghadiri meeting meski keadaannya hari ini semakin buruk. Terlepas dari apa yang menimpa hubungan percintaannya. Tangan Jena terulur, membuka pintu kaca dan segera masuk. Untung saja Pak Mungga belum datang. Jadi, Jena bisa duduk dengan tenang dan akan memeriksa file yang ada di laptopnya. Namun, sepertinya keberuntungan tidak berpihak pada Jena. Pak Mungga baru saja datang dan langsung duduk di kursinya. Matanya berpendar melihat pada divisinya yang sudah lengkap. “Baik. Kita langsung saja, ya?” Pak Mungga berdiri dan langsung menyalakan proyektor setelah menghubungkan dengan laptopnya. “Begini. Saya sudah menemui beberapa owner dan sudah berdiskusi dengan pihak manajemen tentang produk yang akan dirilis nanti.” Lalu, “Yang minggu kemarin saya suruh bikin draft iklan dan media sosialnya? Ada?” Tatapnya berpendar pada mereka yang duduk dengan raut wajah tegang. Mbak Nurul menyenggol lengan Jena, “Ada kok, Pak.” Lalu, dia berbisik, “Je, sana kasih.” Padahal seandainya Mbak Nurul melihat wajah Jena yang sudah pucat, dia pasti akan mengulur waktu. Semua memandangi Jena yang sangat lamban. Dia berdiri dan berjalan menghampiri Pak Mungga. Meletakkan laptopnya di dekat Pak Mungga. Tangannya segera mengotak-atik isi laptopnya. Mencari laporan yang sudah dia sediakan. Kosong. Jena tidak kehabisan akal. Dia terus mencari dan membuka beberapa file meski tangannya sudah gemetar. Susah payah dia menelan ludahnya sendiri di samping Pak Mungga. “Mana? Kok lama banget?” Pak Mungga ikut melihat isi laptop Jena. Kernyitan di dahinya mendalam saat melihat isi laptop Jena yang sama sekali tidak tersimpan file-file apapun di dalamnya. “Belum kamu kerjakan?” Sontak Jena menggeleng, “Sudah, Pak. Saya sudah kerjakan. Sudah saya salin juga ke flashdisk. Saya yakin kok, Pak. Saya nggak bohong. File nya nggak mungkin saya hapus.” Tangan Jena masih bergerak di atas kursor. “Mana flashdisk nya?” Dan saat pertanyaan itu meluncur. Tubuh Jena membeku. Dia mendongak dan menatap pada Mbak Nurul yang menatapnya dengan tatapan penuh tanya. “Hilang, Pak.” Suara Jena merendah. Dia hampir kehabisan suara saat mengatakannya. Pak Mungga berdecak sebal. Sore itu dihabiskan setelah melalui berbagai kritikan pedas dan sesekali makian yang ditujukan pada Jena. Jena benar-benar hanya terdiam dengan penuh penyesalan. Setelah Pak Mungga memutuskan untuk keluar ruangan. Beberapa orang sudah menghambur untuk segera keluar ruangan juga. Dan, ada beberapa menghampiri Jena. Mengusap lengannya. Mencoba menenangkan Jena yang pucat pasi. “Nggak apa-apa kok, Je. Pak Mungga emang gitu. Kamu nggak perlu masukin ke dalam hati. Ya?”ucap Dian, lalu pergi meninggalkan Jena yang masih terdiam. Mbak Nurul menghela nafas panjang. Dia menghampiri Jena setelah menjinjing tas laptopnya. “Je, kenapa nggak bilang? Kalau tahu tadi, aku bisa ngulur waktu dan nyari flashdisk kamu yang mungkin keselip atau jatuh.” Helaan nafasnya terdengar lagi, “Tapi, nggak apa-apa. Jadikan ini pelajaran aja buat kamu. Biar kamu lebih aware. Oke?” Jena mengangguk lemah. Dia berjalan keluar saat Mbak Nurul merangkulnya. Bercerita panjang lebar meski Jena tidak menanggapi. Setidaknya dengan begitu, pikiran Jena tidak terlalu terpuruk. Setelahnya, Jena memutuskan untuk duduk di balik kubikelnya. Dia menghela nafas panjang berkali-kali saat memandangi lampu-lampu sudah dimatikan. Tersisa hanya lampu meja yang menyinari kubikelnya saja. Jena kembali membuka laptop. Dia kembali mencari file-file yang ada di laptopnya. Benar-benar kosong. Jena yakin bahwa dia tidak mungkin menghapusnya. Kalau benar itu terjadi maka benar bahwa Jena cari mati. Tapi, tidak. Jena masih berpikir bahwa mungkin saja file nya dia pindahkan. Dia masih mengotak-atiknya saat seseorang berjalan mendekat. “Je? Kamu belum pulang?”Namun, di sela-sela lamunannya, perawat segera bertanya, “Bagaimana, Mbak? Sudah ditandatangani?”Jena menggeleng pelan. “Sus, emangnya nggak bisa dilakukan operasinya dulu? Saya janji bakal bayar semuanya, yang penting segera lakukan tindakan secepatnya.” Dia menggigit bibir bawahnya sambil meremas kuat berkas yang tengah digenggamnya saat beberapa orang di sana menatapnya iba.Perawat menghela nafasnya. “Maaf, Mbak. Kita hanya mengikuti prosedur.” Bahu Jena merosot, dia segera memberikan berkas itu kembali di atas meja. Lalu, melangkah pergi yang tujuannya pun dia tidak tahu. Kakinya berjalan di atas koridor panjang dengan lemas. Kemana lagi dia harus mencari uang tiga ratus juta itu? Pelupuk mata Jena kian memanas. Dia menutup wajahnya saat melewati beberapa orang. Dia tidak boleh menjual tangisnya. Sesusah apapun itu.Langkahnya telah sampai di sebuah kursi panjang dekat taman rumah sakit. Dia terduduk sambil menatap layar ponselnya. Siapakah yang bisa dia hubungi saat ini?Ibu.
Seseorang dengan jas putih andalannya, seorang dokter muda itu segera duduk di kursinya. “Dengan keluarga Pak Robi?”Jena segera bangkit dari tempatnya dan duduk di kursi yang berhadapan dengan dokter itu. “Iya, Dok. Saya anaknya.” Jena menoleh sebentar, menatap ayahnya yang tengah menahan sakit sambil memegangi lehernya. “Ayah saya sakit apa, Dok?”Dokter berdehem sebentar, meletakkan kedua tangannya di atas meja. Dia mendekatkan wajahnya dan menatap Jena lurus. “Belum. Saya belum bisa memberikan jawaban pastinya, karena kami belum melakukan pengecekan secara keseluruhan. Namun …” Dokter membenarkan sebentar kacamatanya. “Kenapa, Dok?” Jena merasakan degup jantungnya semakin cepat. Apalagi, saat raut wajah dokter berubah.“Namun, dari riwayat batuk yang lama, benjolan di lehernya, kesusahan menelan, itu suatu gejala … tumor tenggorokan.”Deg!Jena menahan nafasnya. Mulutnya terbuka dengan mata yang terbelalak. Dia menoleh sebentar pada ayahnya, sebelum kembali menatap Dokter dengan
Jena mengangguk pelan. Dia mengerti sekarang. Jadi, Brian cemburu, kan? Yang artinya … lelaki itu masih mengejarnya seperti kemarin-kemarin, kan? Jena menahan senyum sambil mengangkat wajahnya tinggi. “Memangnya kenapa? Suka-suka ak—”Seharusnya Jena tidak menantang lelaki itu. Jena menyesalinya, tapi juga menikmatinya mungkin? Dia merutuki dirinya yang diam saja saat bibir itu melumat habis bibirnya. Dia memaki dirinya tatkala permen karetnya sudah direbut oleh lidah lelaki itu. Dia juga terdiam saja saat wajah itu sudah menjauh sambil mengunyah permen karet sisanya.“Sudah aku peringatkan, tapi kamu malah menantang. Jadi, terima akibatnya.” Perkataan itu beriringan dengan langkah Brian yang mulai berjalan mendekati pintu. Dia menghentikan langkahnya sebelum akhirnya memutuskan untuk keluar. “Pulangnya aku anter, ya.” Bukan pertanyaan, melainkan ucapan yang tidak bisa ditawar. Jadi, Jena hanya menghembuskan nafas gusarnya. Namun, matanya melotot seketika saat daun pintu yang belum d
Dian. Menggerakkan kursinya hingga membentur kursi Jena. Dian tersentak kaget saat melihat Jena tersedak dan minuman jeruknya menumpahi kemeja bagian dada. “Ya ampun! Maafin gue, Je.”Jena meraih air mineral yang diberikan oleh seseorang di belakangnya. Setelah merasa tenggorokannya sudah membaik, Jena menoleh ke belakang. “Makasih, ya …” Dia tersenyum pada Azka yang membalas senyumnya.“Je, maafin gue, ya …” Dian menggigit bibirnya dengan perasaan bersalah.Jena mengangguk sambil berdiri. “Nggak apa-apa. Gue bawa baju ganti kok.” Perkataannya itu bersamaan dengan langkahnya yang menjauh dan segera hilang dari balik pintu.Tangannya mengibas-ngibas sisa-sisa bulir jeruk yang melekat di bagian dada kemejanya. Saat berpapasan dengan karyawan laki-laki, Jena segera merapatkan kedua tangannya dan berjalan tergesa untuk segera masuk ke dalam toilet.Jena menghembuskan nafasnya tatkala telah berada di dalam toilet wanita. Langkahnya mendekat, menatap dirinya sendiri di cermin itu. Dia meng
Dia celingak-celinguk untuk mengetahui siapakah yang berjalan ke arah mereka sekarang, namun seseorang yang tengah berjalan itu belum nampak sama sekali.“Lepasin.” Jena berusaha melepaskan dirinya. Namun, Brian tetap menahan kedua pergelangan tangannya dengan erat.“Kasih aku kesempatan. Okey?”Jena melotot. “Bisa lepasin dulu, nggak?!” Dia kembali memberontak, namun tetap saja tenaganya tidak lebih besar dari Brian. “Brian.”“Kasih aku kesempatan. Baru aku lepasin.” Brian memasang wajah datarnya. Dia tidak peduli dengan seseorang yang kini langkahnya akan menemukan keduanya.Jena menggigit bibirnya kuat. “Okey! Aku kasih kesempatan.” Dan saat itu, saat seorang perempuan terlihat berjalan ke arah mereka, tangan Jena sudah terlepas.Dian, tersenyum aneh sambil mengerutkan keningnya memandangi Jena dan Brian yang menatapnya aneh. “Eh, kalian belum ke ruang rapat? Jadwalnya tinggal lima menit, lho.” Perempuan itu melanjutkan jalannya saat Jena menjawab sebentar lagi.Tatkala Dian sudah
Namun, Brian tidak mempedulikan itu. Di saat semua orang tengah sibuk dengan pemikiran masing-masing. Dia justru melihat bagaimana dress yang tengah dipakai Jena itu begitu mempesona. Lekuk-lekuk tubuhnya. Brian tersenyum tipis sambil memainkan ujung rambut Jena. Enak kali, ya, kalau dijambak?Riski berdehem sesaat ketika melihat aksi Brian. Membuat semua karyawan yang ada di sana berbalik padanya. “Sori. Tenggorokan gue sakit.” Matanya melirik tajam pada Brian.Brian menahan tawa. Saat semua orang kembali sibuk dengan urusan mereka, Brian melihat kepala yang setara dengan dagunya. Dia mendekat. Meletakkan dagunya di atas kepala itu. Tidak. Dia tidak menyentuh kepala itu. Seolah ada pembatas antara dagunya dan kepala Jena. Namun, bisa saja Jena merasakannya, kan? Sehingga saat perempuan itu merasakan ada sesuatu di atas kepalanya, dia berbalik sambil menatap tajam Brian. Brian yakin, kalau tidak ada karyawan lain di sini, dia pasti sudah dicakar oleh Mak Lampir cantik di hadapnya ini