Home / Romansa / DIKEJAR DUDA KEREN / PERSETUJUAN TANPA KOMPROMI

Share

PERSETUJUAN TANPA KOMPROMI

Author: Bastiankers
last update Last Updated: 2025-03-14 10:27:32

Pagi itu adalah pagi terburuk bagi Jena. Dia baru saja menghabiskan malamnya untuk menangisi Aran. Yang padahal belum tentu lelaki itu mengingatnya, atau mungkin juga sedang mengejek Jena.

Ingin sekali Jena tidak kemana-mana hari ini, namun telepon dari Mbak Nurul selalu menghantuinya. Yang pada akhirnya, membuat Jena tetap ke kantor meski suasana hatinya memburuk.

Baru saja sampai dan duduk di balik kubikelnya, Jena sudah menarik nafas panjang saat melihat tumpukan berkas. Beberapa tumpukan itu mungkin saja tengah menertawai Jena. Membuat Jena melipat tangannya di atas desk dan meletakkan dagunya di sana.

Seseorang menarik kursi di samping Jena. Menghasilkan derit yang terdengar sekilas. Membuat Jena segera menoleh.

“Wiihh … pagi-pagi lemas amat?” Mbak Nurul memicing. Lama dia menatap wajah Jena yang tidak biasanya. “Lo nggak apa-apa, Je? Kok mata Lo bengkak?” Lalu, dia sedikit terkesiap. Entah apa yang dia pikirkan, lalu, “Apa jangan-jangan Aran udah lamar Lo? Iya, kan?”

Jena menghela nafas. Dia tidak menjawabnya langsung. Masih berpikir bahwa semua yang menimpanya kemarin adalah mimpi buruk. 

“Je? Ceritain dong!”pinta Mbak Nurul dengan antusias. Dia tidak tahu saja kalau suasana hati Jena sedang tidak baik-baik saja. 

“Gue udah putus.” Jena tidak menoleh. Dia hanya menyangga dagunya dengan satu telapak tangan. Dia sudah tahu respon perempuan di sampingnya itu.

Terperangah dalam waktu lama. Matanya membulat tidak percaya. Dan mulutnya membuka hendak bersuara. Banyak sekali pertanyaan yang muncul di benaknya. Namun, “Kok bisa?” Hanya itu yang bisa keluar dari mulut Mbak Nurul.

Jena mengedikkan bahunya. “Ya … gitu.” Jena mengambil beberapa berkas dan mulai menelitinya. Dia pikir, Mbak Nurul akan segera bangkit dan membiarkannya sendiri. Ternyata, tidak.

“Siapa yang mutusin? Lo? Atau Aran?” Sepertinya perempuan itu masih tidak percaya dengan apa yang menimpa Jena. Jena memaklumi itu, karena hanya Mbak Nurul yang tahu tentang semuanya.

“Aran,”jawabnya. Menoleh singkat, “Udah, ya, Mbak? Aku kayaknya mau fokus sama kerjaan aku yang numpuk ini. Lagian tuh duda satu juga nggak nanggung-nanggung mau ngasih semuanya ke aku.”

Mbak Nurul bangkit setelah melepaskan tawanya. Dia hanya menepuk pundak Jena sebelum benar-benar menghilang dari kubikel Jena. Sesaat, membuat Jena melepaskan nafas panjang.

Akhirnya, dia bisa menikmati sunyi senyap yang bisa membawanya fokus dalam pekerjaan lagi. Setidaknya begitu. Setidaknya dengan dia sibuk dan fokus bekerja, maka dia tidak akan terlalu memikirkan kisah percintaannya yang kandas.

Semua sedang fokus pada pekerjaan mereka masing-masing. Hanya terdengar beberapa bunyi bising, seperti bunyi keyboard, bunyi print, atau terdengar beberapa langkah kaki.

Dia benar-benar tenggelam dalam pekerjaannya. Sampai-sampai tidak memperdulikan perutnya yang sudah kelaparan dan minta diisi. Matanya melirik jam dinding. Ternyata waktunya sudah tersita banyak. 

Baru saja Jena bangkit dan membereskan beberapa barang di desk. Pandangannya tertuju pada seorang lelaki yang memasuki work station dan menuju ke arah kubikelnya.

Senyum khas yang selalu ditujukan pada Jena itu, kini membuat Jena tampak muak. Dia memalingkan wajah sesaat. 

“Je? Aku nyariin di kantin nggak ada. Tahunya kamu masih di sini,”ucap Aran seraya melipat tangannya di atas kubikel Jena. 

“Kenapa? Bukannya urusan kita udah selesai?”ketus Jena. Di wajahnya terlihat pemandangan tidak bahagia. Namun, sepertinya Aran tidak mengerti itu.

“Apa, sih? Professional dong, Je. Bagaimana pun kita ini masih rekan kerja. Nggak etis bawa-bawa perasaan di dalam dunia kerja,”ucap lelaki itu.

Jena berdecak. “Kalau gitu, cari aja partner lain. Soalnya aku ‘nggak etis’!”sahut Jena. Kemudian, berjalan melewati Aran yang hendak menarik pergelangan tangannya.

Lelaki itu mengekor di belakang Jena. Tampak ingin berkomentar atas sikap dan tindakan yang diambil Jena. Apalagi yang Aran mau? Toh, hubungan mereka sudah selesai?

Jena tidak menggubris Aran meski beberapa karyawan lain menatap keduanya bergantian saat mereka sudah tiba di kantin. Jena mengambil tempat duduk di sudut. Dia merogoh saku untuk mengambil ponsel. Memainkan benda persegi itu agar tatapnya tidak bertemu dengan Aran yang duduk di hadapannya.

“Je … kamu itu masih kekanak-kanakan tahu, ga?” Aran menatap tajam pada Jena yang malas menanggapinya.

Jena tidak menyahut. Dia hanya menggumam. Lama. Sembari sesekali menoleh ke kanan dan ke kiri pada beberapa orang yang memerhatikan mereka. 

“Ini nih. Satu hal yang paling nggak aku suka dari kamu. Selalu kekanak-kanakan. Egois dan paling nggak bisa dengerin orang lain,”lanjut Aran. Dia sama sekali tidak memperdulikan tatapan beberapa mata. Ya, mungkin itu sudah sikapnya. Yaitu, tidak peduli dengan tanggapan orang.

Jena berdecak sebal. Dia hanya bersandar di kursi sambil melipat tangan di dada. Matanya sesaat memicing sebelum menjawab ucapan Aran. “Oh ya? Aku egois? Nggak salah tuh? Selama empat tahun pacaran, baru kali ini kamu bilang aku egois?”

Aran mengangguk. “Ya.” 

Dia benar-benar menyebalkan di mata Jena. Seandainya tidak ada orang di sana, mungkin saja Jena akan meneriakinya dengan kata-kata serapah. Setelah apa yang dilihat Jena semalam, bisa-bisanya laki-laki itu datang untuk menghakiminya. 

Seorang pelayan datang membawakan pesanan keduanya. Namun, tatapan sengit yang dilayangkan Jena tidak berubah. Dia bahkan berpikir untuk mengambil jus jeruk yang dia pesan dan melemparnya pada kemeja putih Aran. 

Tidak. Jena tidak akan melakukan hal bodoh itu di kantor. Apalagi di tengah-tengah banyaknya karyawan yang baru saja masuk untuk meeting dadakan. 

Jena menoleh sebentar saat mendengar suara yang dia kenali. 

“Tahap perencanaan sudah saya bagikan pada pihak manajemen. Tinggal diakumulasikan kembali,”ucap Brian pada beberapa orang di hadapannya. Mereka mengambil tempat duduk di samping meja Jena.

Mungkin saja lelaki itu tahu bahwa seseorang sedang menatapnya. Maka dari itu, dia menoleh pada meja di seberang. Tatap keduanya bertemu sebelum akhirnya Brian memutuskan tatap itu terlebih dulu. 

“Semua datanya akan saya kirim besok,”sahut salah satu dari mereka. Membuat wajah Brian tampak tidak puas mendengarnya.

“Kalau bisa sore atau malam ini. Supaya saya bisa memeriksanya ulang dan akan memberikan draft nya pada Pak Ridwan. Bisa?”

Jena tidak melihat lagi aktivitas yang berlangsung di sampingnya. Tangannya sudah menyendok pasta yang dipesannya. Memakannya sambil terus mendengar percakapan di seberang. 

“Je, ada sesuatu yang mau aku omongin sama kamu.” Suara Aran memecah fokus Jena. Meski Jena tidak menanggapinya, Aran tetap akan bersuara. Jadi, “Aku mau tunangan sama Shasa. Bunda yang pengen.”

Jena terkekeh. Dia menertawakan alasan yang dikemukakan Aran. Bunda yang menginginkan katanya? Selepas yang dilihat Jena semalam? Apakah benar demikian? “Oh … bagus. Selamat, ya.”

“Kamu datang, kan?”tanya Aran dengan menaikkan alisnya satu. Tampak tidak yakin dengan Jena. Lalu, “Acara pertunangan ku bulan depan. Kalau bisa, kamu datang bawa pasangan. Bisa, kan?”

Jena menghentikan kunyahannya. Garpunya terlepas dari tangannya saat merasa kerongkongannya tertohok. Sesak begitu melanda saat ini. 

Namun, “Datang kok. Jena akan datang dengan saya.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • DIKEJAR DUDA KEREN   Om Ferdi

    Namun, di sela-sela lamunannya, perawat segera bertanya, “Bagaimana, Mbak? Sudah ditandatangani?”Jena menggeleng pelan. “Sus, emangnya nggak bisa dilakukan operasinya dulu? Saya janji bakal bayar semuanya, yang penting segera lakukan tindakan secepatnya.” Dia menggigit bibir bawahnya sambil meremas kuat berkas yang tengah digenggamnya saat beberapa orang di sana menatapnya iba.Perawat menghela nafasnya. “Maaf, Mbak. Kita hanya mengikuti prosedur.” Bahu Jena merosot, dia segera memberikan berkas itu kembali di atas meja. Lalu, melangkah pergi yang tujuannya pun dia tidak tahu. Kakinya berjalan di atas koridor panjang dengan lemas. Kemana lagi dia harus mencari uang tiga ratus juta itu? Pelupuk mata Jena kian memanas. Dia menutup wajahnya saat melewati beberapa orang. Dia tidak boleh menjual tangisnya. Sesusah apapun itu.Langkahnya telah sampai di sebuah kursi panjang dekat taman rumah sakit. Dia terduduk sambil menatap layar ponselnya. Siapakah yang bisa dia hubungi saat ini?Ibu.

  • DIKEJAR DUDA KEREN   Biaya Yang Mahal

    Seseorang dengan jas putih andalannya, seorang dokter muda itu segera duduk di kursinya. “Dengan keluarga Pak Robi?”Jena segera bangkit dari tempatnya dan duduk di kursi yang berhadapan dengan dokter itu. “Iya, Dok. Saya anaknya.” Jena menoleh sebentar, menatap ayahnya yang tengah menahan sakit sambil memegangi lehernya. “Ayah saya sakit apa, Dok?”Dokter berdehem sebentar, meletakkan kedua tangannya di atas meja. Dia mendekatkan wajahnya dan menatap Jena lurus. “Belum. Saya belum bisa memberikan jawaban pastinya, karena kami belum melakukan pengecekan secara keseluruhan. Namun …” Dokter membenarkan sebentar kacamatanya. “Kenapa, Dok?” Jena merasakan degup jantungnya semakin cepat. Apalagi, saat raut wajah dokter berubah.“Namun, dari riwayat batuk yang lama, benjolan di lehernya, kesusahan menelan, itu suatu gejala … tumor tenggorokan.”Deg!Jena menahan nafasnya. Mulutnya terbuka dengan mata yang terbelalak. Dia menoleh sebentar pada ayahnya, sebelum kembali menatap Dokter dengan

  • DIKEJAR DUDA KEREN   Sisa Permen

    Jena mengangguk pelan. Dia mengerti sekarang. Jadi, Brian cemburu, kan? Yang artinya … lelaki itu masih mengejarnya seperti kemarin-kemarin, kan? Jena menahan senyum sambil mengangkat wajahnya tinggi. “Memangnya kenapa? Suka-suka ak—”Seharusnya Jena tidak menantang lelaki itu. Jena menyesalinya, tapi juga menikmatinya mungkin? Dia merutuki dirinya yang diam saja saat bibir itu melumat habis bibirnya. Dia memaki dirinya tatkala permen karetnya sudah direbut oleh lidah lelaki itu. Dia juga terdiam saja saat wajah itu sudah menjauh sambil mengunyah permen karet sisanya.“Sudah aku peringatkan, tapi kamu malah menantang. Jadi, terima akibatnya.” Perkataan itu beriringan dengan langkah Brian yang mulai berjalan mendekati pintu. Dia menghentikan langkahnya sebelum akhirnya memutuskan untuk keluar. “Pulangnya aku anter, ya.” Bukan pertanyaan, melainkan ucapan yang tidak bisa ditawar. Jadi, Jena hanya menghembuskan nafas gusarnya. Namun, matanya melotot seketika saat daun pintu yang belum d

  • DIKEJAR DUDA KEREN   Jangan Coba-coba

    Dian. Menggerakkan kursinya hingga membentur kursi Jena. Dian tersentak kaget saat melihat Jena tersedak dan minuman jeruknya menumpahi kemeja bagian dada. “Ya ampun! Maafin gue, Je.”Jena meraih air mineral yang diberikan oleh seseorang di belakangnya. Setelah merasa tenggorokannya sudah membaik, Jena menoleh ke belakang. “Makasih, ya …” Dia tersenyum pada Azka yang membalas senyumnya.“Je, maafin gue, ya …” Dian menggigit bibirnya dengan perasaan bersalah.Jena mengangguk sambil berdiri. “Nggak apa-apa. Gue bawa baju ganti kok.” Perkataannya itu bersamaan dengan langkahnya yang menjauh dan segera hilang dari balik pintu.Tangannya mengibas-ngibas sisa-sisa bulir jeruk yang melekat di bagian dada kemejanya. Saat berpapasan dengan karyawan laki-laki, Jena segera merapatkan kedua tangannya dan berjalan tergesa untuk segera masuk ke dalam toilet.Jena menghembuskan nafasnya tatkala telah berada di dalam toilet wanita. Langkahnya mendekat, menatap dirinya sendiri di cermin itu. Dia meng

  • DIKEJAR DUDA KEREN   Terpaksa

    Dia celingak-celinguk untuk mengetahui siapakah yang berjalan ke arah mereka sekarang, namun seseorang yang tengah berjalan itu belum nampak sama sekali.“Lepasin.” Jena berusaha melepaskan dirinya. Namun, Brian tetap menahan kedua pergelangan tangannya dengan erat.“Kasih aku kesempatan. Okey?”Jena melotot. “Bisa lepasin dulu, nggak?!” Dia kembali memberontak, namun tetap saja tenaganya tidak lebih besar dari Brian. “Brian.”“Kasih aku kesempatan. Baru aku lepasin.” Brian memasang wajah datarnya. Dia tidak peduli dengan seseorang yang kini langkahnya akan menemukan keduanya.Jena menggigit bibirnya kuat. “Okey! Aku kasih kesempatan.” Dan saat itu, saat seorang perempuan terlihat berjalan ke arah mereka, tangan Jena sudah terlepas.Dian, tersenyum aneh sambil mengerutkan keningnya memandangi Jena dan Brian yang menatapnya aneh. “Eh, kalian belum ke ruang rapat? Jadwalnya tinggal lima menit, lho.” Perempuan itu melanjutkan jalannya saat Jena menjawab sebentar lagi.Tatkala Dian sudah

  • DIKEJAR DUDA KEREN   Meminta Kesempatan

    Namun, Brian tidak mempedulikan itu. Di saat semua orang tengah sibuk dengan pemikiran masing-masing. Dia justru melihat bagaimana dress yang tengah dipakai Jena itu begitu mempesona. Lekuk-lekuk tubuhnya. Brian tersenyum tipis sambil memainkan ujung rambut Jena. Enak kali, ya, kalau dijambak?Riski berdehem sesaat ketika melihat aksi Brian. Membuat semua karyawan yang ada di sana berbalik padanya. “Sori. Tenggorokan gue sakit.” Matanya melirik tajam pada Brian.Brian menahan tawa. Saat semua orang kembali sibuk dengan urusan mereka, Brian melihat kepala yang setara dengan dagunya. Dia mendekat. Meletakkan dagunya di atas kepala itu. Tidak. Dia tidak menyentuh kepala itu. Seolah ada pembatas antara dagunya dan kepala Jena. Namun, bisa saja Jena merasakannya, kan? Sehingga saat perempuan itu merasakan ada sesuatu di atas kepalanya, dia berbalik sambil menatap tajam Brian. Brian yakin, kalau tidak ada karyawan lain di sini, dia pasti sudah dicakar oleh Mak Lampir cantik di hadapnya ini

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status