“Je? Kamu belum pulang?” Suara khas dari seseorang yang Jena kenali terdengar seiring langkahnya mendekat. “Je?” Suara itu terdengar lagi saat dia sudah sampai di kubikel Jena.
Pandangan mereka bertemu beberapa saat, namun Jena menjadi yang pertama memutus tatap itu. Dia melepas nafas berat dengan menyangga dagu beralaskan satu tangan. Tangan lainnya bermain di papan ketik. “Belum.” Lelaki itu yang tidak lain adalah Brian, mulai menarik kursi di desk sebelah dan duduk berdekatan dengan Jena. Memakai kacamata bulat yang dia genggam sedari tadi. Ikut meneliti isi file yang sedang dibuat Jena. “Ngapain?”ketus Jena tanpa merubah posisi. Dia hanya menoleh singkat dengan kernyitan di dahinya. “Lihat file yang—lho? Bukannya ini pernah kamu buat, ya? Bukannya minggu lalu? Iya, kan? Yang waktu kamu kerjain di rooftop?”cecar Brian dengan menoleh kan seluruh wajahnya pada Jena. Dan, “Iya.” “Kenapa? Apa Pak Mungga nggak suka?” Brian masih menatap wajah Jena yang tidak menoleh itu. Pertanyaan itu tidak langsung dijawab Jena. Dia masih berpikir bahwa semua kecerobohannya mungkin saja karena ketidakprofesionalan dirinya. Helaan nafasnya terdengar. “Dilihat aja belum.” Menoleh sekilas, lalu, “File nya tiba-tiba hilang. Flashdisk nya juga.” Dan, “Hah? Serius?” Brian meneleng untuk melihat wajah Jena yang kembali menatap laptop. Jena hanya mengangguk. “Aku temani?” Sontak dia terkekeh saat Jena menatapnya dengan horor, “Malam ini? Nggak apa-apa kok. Kasihan ada cewek sendirian di kantor.” Jena memutar bola matanya, “Halah. Modus.” Jawaban itu langsung disambut oleh tawa Brian. Rupanya Jena saat ini sedang tidak mood, jadi, “Udah sana. Pulang. Nggak usah gangguin aku. Aku mau fokus kerjain ini.” Tangannya mendorong pelan lengan Brian yang dekat dengannya. “Aku serius, Je. Masa mau ninggalin cewek cantik, seksi, bahenol—aduh!” Brian kembali tertawa, namun kali ini sambil mengusap tangannya yang kena tampar. “Pulang, ga?”tanya Jena dengan pelototannya. Bola matanya bisa saja menggelinding. “Serius, lho! Pulang sana.” Jena kembali pada posisinya. Dia menyangga dagu dengan satu tangan dan satu tangan lainnya bermain di papan ketik, juga sesekali bermain di kursor. Jena pikir, lelaki itu akan menyerah. Dia akan bangkit, berjalan, dan meninggalkan Jena sendirian. Ternyata, tidak. Lelaki itu malah lebih mendekatkan kursinya. Kepalanya diletakkan di atas meja. Bersisian dengan laptop Jena. Hanya beralaskan dengan satu tangannya. Dan wajahnya menoleh, menatap setiap sudut wajah Jena. Keadaan itu entah mengapa membuat atmosfer ruangan terkesan berbeda. Ada hawa lain yang tiba-tiba mengguncang seluruh isi pikiran Jena. Dia sesekali melirik Brian yang masih memandangnya. Jena berdehem, “Pulang sana. Kamu nggak bakal dapat apapun.” Dia kembali melirik Brian yang tersenyum. Lengkungan senyum itu seakan diberikan tulus untuk Jena. “Aku nggak menginginkan apapun kok. Hanya ingin menemani,”jawab Brian dengan senyumannya. “Halah. Halah.” Jena kembali memutar bola matanya. Sesaat kemudian, keheningan mulai melanda. Hanya terdengar bising yang berasal dari papan ketik. Meski dilanda kantuk, Jena berusaha untuk tetap melanjutkan pekerjaannya. Seharusnya, Jena bangkit dan berjalan ke arah pantry, lalu membuat secangkir kopi. Namun, sayangnya, Jena bukan pecinta minuman berkafein itu. Jena kembali meraih botol air mineralnya. Dia menghembuskan nafas panjang saat melihat pekerjaannya baru selesai lima puluh persen di jam dua belas malam. Setelah meletakkan botol airnya, Jena kembali fokus pada layar. Sejenak pandangan Jena teralihkan pada samping laptop. Dia pikir lelaki itu masih memandanginya. Ternyata sudah tidur. Jena berdecak. “Halah. Katanya mau temenin. Eh, malah tidur. Mendengkur pula,”gumamnya. Matanya kembali menatap layar. Namun, sesuatu menarik pandangannya lagi. Dia melihat setiap inci wajah lelaki yang tengah tertidur itu. Benar-benar tidak ada kegagalan di dalam wajahnya. Jena akui itu. Lelaki itu benar-benar mencerminkan sosok tampan yang dipuja-puja oleh kaum hawa. “Aku ganteng, kan?”gumaman Brian membuat Jena terkesiap. Jena kembali pada posisinya semula. Tidak berani melirik Brian yang membuka mata dan mengerjap pelan. “Mimpi.” “Apa? Apa kamu bilang?” Suara parau khas baru bangun itu terdengar menarik di telinga Jena. Brian berdehem, lalu bangkit dari duduknya. Langkahnya yang menjauh membuat pandangan Jena kembali padanya. Embusan nafas Jena terdengar lagi. Dia larut dalam pekerjaannya. Mencoba fokus dan kembali melihat draft yang baru dibuatnya. Matanya menyipit. Memastikan bahwa datanya tidak salah. Dia kembali mengetik. Menghabiskan waktu selama setengah jam setelah kepergian Brian. Jena pikir, lelaki itu sudah sadar dan pulang ke rumahnya. Namun, “Hai! Tuh, kan! Aku tahu kamu pasti belum pulang.” Brian mendekat dengan satu kantung yang dijinjing. “Aku bawain makanan sama teh.” Tangannya bergerak bebas menyiapkan semua isi kantung itu di atas meja. Ada dua nasi kotak, beberapa roti dan cemilan. Juga minuman dingin dan segelas teh. Kening Jena berkerut, memastikan bahwa lelaki itu sadar dengan apa yang dibelinya. “Kamu beli ini semua?” Telunjuknya terarah pada semua hidangan itu. Brian menjawab, “Iya lah. Kamu pikir aku ngerampok?” Dan jawabannya itu membuat Jena tertawa-tawa. Dia mengambil satu kaleng minuman dingin yang diberikan Brian. “Makasih.” “My pleasure…” Keduanya mengobrol selama beberapa saat sebelum Jena akhirnya kembali pada layar laptopnya. Dia sesekali masih menimpali atau membalas perkataan Brian. Keduanya menghabiskan waktu yang sudah melewati dini hari. Bahkan, Jena sempat melirik arlojinya beberapa kali. Dan hal itu tentu saja menarik bagi Brian. Jadi, “Kamu mau pulang? Ayo! Biar aku antar!” Namun, “Yan, aku harus selesaikan semuanya dan langsung kirim file nya ke Pak Mungga. Karena besok akan ada meeting lagi.” Jena menoleh, “Dan aku harap, semuanya berjalan lancar. Tanpa ada makian.” Brian tidak menjawab. Dia hanya mengangguk. Membiarkan Jena kembali fokus pada pekerjaannya. Tangan Brian terulur, mengambil satu kotak nasi goreng yang dia pesan. Membukanya. Lalu, menyendoknya. “Buka mulut, Je. Aaa!” Jena menggeleng pelan dengan kekehannya. Namun, dia bersedia membuka mulut dan menerima suapan dari Brian. “Enak, ngga?”tanya Brian. Dan langsung mendapat jempol Jena. Brian tersenyum. “Iya lah. Siapa dulu dong yang bikin? Duren nih bos. Senggol dong.” “Uhuk! Uhuk!” Brian panik dan segera mengambil botol mineral milik Jena. Mengangsurkannya sampai perempuan itu meminumnya hingga tandas. “Kamu nggak apa-apa, Je?” Jena menggeleng. Dia menatap Brian lama. Memastikan bahwa omongan lelaki itu barusan adalah candaan. Namun, keduanya hanya bersitatap. Brian benar-benar tidak mengutarakan bahwa omongannya tadi adalah candaan. Jadi, “Serius? Jadi, selama setengah jam tadi, kamu pulang buat bikin nasi goreng buat aku?” Dan, “Ya. Tapi, bukan cuma buat kamu. Aku bikinin buat aku juga,”jawab Brian. Jawaban itu tidak membuat Jena menampar tangannya lagi. Melainkan hanya terdiam, menerawang jauh. Dia sempat berpikir bahwa Aran tidak pernah melakukan itu untuknya. Selama empat tahun dia berhubungan dengan Aran, lelaki itu tidak pernah membawakan bekal. Atau sekedar menemaninya di kala lembur. Hanya mengirimkan pesan teks berupa, ‘Jangan telat makan’ atau ‘Jangan begadang’. Begitu saja. Lalu, pandangan Jena kembali memandang Brian. Pada seorang duda yang selalu bersikap baik. Meski Jena akui bukan hanya padanya lelaki itu bersikap baik. Namun, dia benar-benar mencontohkan sikap lelaki yang benar-benar laki. Tapi, tetap saja ada yang masih mengganjal di pikiran Jena. Matanya kembali fokus pada layar yang menampilkan file nya yang sudah selesai. Dia hanya menggerakkan tangannya di kursor. Seolah sedang memeriksa ulang isi file nya. Brian kembali menyodorkan sendok yang dipenuhi oleh nasi goreng. “Satu lagi.” Dan Jena kembali menerima suapan itu. Berkali-kali Brian melakukan itu sampai nasi gorengnya habis. Padahal, bisa saja Jena memakannya sendiri. Toh, pekerjaannya sudah selesai. Jena menghabiskan minuman kalengnya. Dia melirik Brian yang mulai memakan nasi kotaknya. Sebenarnya dari arah manapun, Brian itu ganteng. Jena akui itu. Sikapnya juga terbilang baik. Namun, “Yan? Apa yang membuat kamu menjadi duda?” Bukannya menjawab dengan serius, Brian malah tertawa kecil. Dia hampir saja tersedak. Setelah meminum minumannya, dia menjawab, “Aku sebenarnya belum pernah menjawab pertanyaan ini, sih. Tapi, buat kamu … it’s okay.” “Halah. Halah.” Jena kembali memutar bola matanya. Tangannya bergerak di papan kursor untuk menyimpan file yang baru dikerjakannya. Menyalinnya juga agar tidak terjadi kecerobohan lagi. “Serius dong, Yan.” Brian belum menjawab. Dia melanjutkan makannya dengan nikmat sampai selesai. Meminum air banyak-banyak, lalu, “Kamu mau dengar dari mana? Dari atas atau dari bawah?” Jena spontan menoleh. Keningnya berkerut seiring kening Brian yang terangkat. Mata Jena menyipit. Memastikan bukan pikirannya yang kotor. “Itu nggak bermakna ambigu, kan?” Dan, ya. Sudah pasti Brian tertawa lagi. Dia berdehem sebentar sebelum melanjutkan omongannya. “Simpel, sih. Mungkin karena nggak ada kecocokan?” Kepalanya meneleng melihat ekspresi Jena. “Hah? Nggak ada kecocokan? Terus ngapain nikah?” Mungkin kurang lebih begitulah yang akan orang-orang lontarkan ketika mendengar jawaban Brian barusan. “Begini, Je. Aku sama mantan istri aku itu, kami dijodohkan. Ya alasannya ada lah ... Aku belum bisa menjelaskannya secara rinci.” Dan Brian lega karena Jena mengangguk, “ Bulan-bulan awal aku banyak tahu soal sikapnya yang dominan. Tidak membiarkan aku ikut andil dalam aspek apapun. Maunya harus dituruti terus, kalau enggak ya … marah. Bulan-bulan awal pernikahan kami, aku berusaha sabar, banyak mengalah. Tapi, sampai di suatu titik. Aku capek.” Suaranya merendah dengan helaan nafas panjang. “Apa kamu nggak tanyain dulu sama dia? Alasan dari sikapnya kayak kamu itu? Coba ngobrol baik-baik?” Jena rupanya hanyut dalam cerita Brian. “Udah, Je. Tapi, dia nggak mau jawab. Dia cuma bilang ada alasannya, tapi nggak mau ngasih tau.” Brian menyilang kedua tangannya di atas desk. Duduknya agak menyerong. Sehingga Jena bisa melihat raut wajah sendunya. “Dia biarkan aku menerka-nerka. Tanpa harus menjelaskannya. Kayak … apa, ya? Kayak aku tuh nggak bisa diandalkan.” Terdengar menyakitkan juga. Sampai Jena bisa merasakan sakitnya jika di posisi itu. Atau mungkin … dia merasa sakit saat mengetahui bahwa Brian menjelaskannya dengan cinta? “Berarti … masalah kalian belum benar-benar tuntas?” Entah mengapa, Jena menginginkan sebuah sangkalan dari Brian. Dia ingin lelaki itu mengatakan hal yang berlainan dari pikirannya. Namun, “Ya. Kami selesai dalam masalah yang belum benar-benar tuntas.” Jena termangu. Dia menatap Brian yang juga menatapnya. Penerangan di kubikel Jena menjadi satu-satunya yang menyirami wajah keduanya. Membuat wajah Brian separuhnya dalam gelap. Jena tidak bersuara lagi. Dia hanya menggumam lama. Matanya kembali dia alihkan ke laptop yang sudah redup. Tangannya segera membereskan isi desk. Brian juga membantunya, mengemas hidangan yang dibawanya tadi ke dalam kantung. Suara derap langkah dari luar partisi terdengar. Ketukan stiletto nya membuat Jena tahu bahwa ada seorang wanita yang akan masuk ke sini. Namun, suara pantofel yang terdengar dari kejauhan juga menarik perhatian keduanya. Jena dan Brian saling berpandangan. Jena panik sendiri. Dia ingin cepat-cepat meninggalkan kubikelnya. Namun, laptopnya masih di sana. Dia segera memasukkannya ke dalam tas laptop. Seiring suara langkah itu mendekat, semakin kencang degup jantung Jena. Dia tidak ingin tertangkap basah di sini, berduaan dengan Brian. Namun, baru saja Jena akan melewati Brian, kakinya menginjak botol mineral. Dan itu membuat kakinya terpeleset. Tubuhnya hampir jatuh ke belakang. Kalau saja, tidak ada tangan yang menyangga pinggangnya. Kalau saja. Karena kini, Jena bisa melihat dengan jelas wajah tampan Brian yang menatapnya. Dan tanpa sadar, kedua tangan Jena memegangi leher kemeja Brian. Keduanya nyaris berciuman saat seseorang baru saja sampai. “Je, gue baru ingat kalau Lo pasti—” Suara itu berhenti dengan mata membulat. “Ya ampun! Sori. Gue nggak sengaja. Gue balik, ya? Lanjutin aja, Je.”Jena menelan salivanya, dia menyentuh tangan ayahnya. “Ayah, ayah harus dioperasi untuk pengangkatan tumor. Aku janji, besok ayah akan langsung dioperasi dan setelah itu kita akan pulang. Ya?” Padahal Jena belum mendapatkan uang tiga ratus juta. Tapi, berjanji dengan begitu yakin di hadapan ayahnya? Ayah menatap Jena iba, beliau sebenarnya tahu bahwa mana mungkin putrinya memiliki uang sebanyak itu. Jadi, “Je … kematian itu sudah kodratnya manusia. Bagaimana pun cara kamu menghalangi, tidak akan bisa memengaruhinya.”Jena merasakan matanya kembali memanas. Namun, dia berusaha menahannya. “Ayah, ngomong apa, sih? Kok ngomongnya gitu?”“Je—”Jena terisak. “Ayah, nggak mau lihat Jena bahagia dulu? Ayah, nggak mau lihat Jena menikah dengan siapa gitu?” Jena berbicara dengan suara tertahan. “Kalau ayah pergi sekarang, terus Jena temukan pria yang salah, apa ayah senang?”Ayah tersenyum, namun satu air matanya lolos. Tangannya membelai rambut anaknya. “Nggak, ayah nggak akan meninggalkan J
Namun, di sela-sela lamunannya, perawat segera bertanya, “Bagaimana, Mbak? Sudah ditandatangani?”Jena menggeleng pelan. “Sus, emangnya nggak bisa dilakukan operasinya dulu? Saya janji bakal bayar semuanya, yang penting segera lakukan tindakan secepatnya.” Dia menggigit bibir bawahnya sambil meremas kuat berkas yang tengah digenggamnya saat beberapa orang di sana menatapnya iba.Perawat menghela nafasnya. “Maaf, Mbak. Kita hanya mengikuti prosedur.” Bahu Jena merosot, dia segera memberikan berkas itu kembali di atas meja. Lalu, melangkah pergi yang tujuannya pun dia tidak tahu. Kakinya berjalan di atas koridor panjang dengan lemas. Kemana lagi dia harus mencari uang tiga ratus juta itu? Pelupuk mata Jena kian memanas. Dia menutup wajahnya saat melewati beberapa orang. Dia tidak boleh menjual tangisnya. Sesusah apapun itu.Langkahnya telah sampai di sebuah kursi panjang dekat taman rumah sakit. Dia terduduk sambil menatap layar ponselnya. Siapakah yang bisa dia hubungi saat ini?Ibu.
Seseorang dengan jas putih andalannya, seorang dokter muda itu segera duduk di kursinya. “Dengan keluarga Pak Robi?”Jena segera bangkit dari tempatnya dan duduk di kursi yang berhadapan dengan dokter itu. “Iya, Dok. Saya anaknya.” Jena menoleh sebentar, menatap ayahnya yang tengah menahan sakit sambil memegangi lehernya. “Ayah saya sakit apa, Dok?”Dokter berdehem sebentar, meletakkan kedua tangannya di atas meja. Dia mendekatkan wajahnya dan menatap Jena lurus. “Belum. Saya belum bisa memberikan jawaban pastinya, karena kami belum melakukan pengecekan secara keseluruhan. Namun …” Dokter membenarkan sebentar kacamatanya. “Kenapa, Dok?” Jena merasakan degup jantungnya semakin cepat. Apalagi, saat raut wajah dokter berubah.“Namun, dari riwayat batuk yang lama, benjolan di lehernya, kesusahan menelan, itu suatu gejala … tumor tenggorokan.”Deg!Jena menahan nafasnya. Mulutnya terbuka dengan mata yang terbelalak. Dia menoleh sebentar pada ayahnya, sebelum kembali menatap Dokter dengan
Jena mengangguk pelan. Dia mengerti sekarang. Jadi, Brian cemburu, kan? Yang artinya … lelaki itu masih mengejarnya seperti kemarin-kemarin, kan? Jena menahan senyum sambil mengangkat wajahnya tinggi. “Memangnya kenapa? Suka-suka ak—”Seharusnya Jena tidak menantang lelaki itu. Jena menyesalinya, tapi juga menikmatinya mungkin? Dia merutuki dirinya yang diam saja saat bibir itu melumat habis bibirnya. Dia memaki dirinya tatkala permen karetnya sudah direbut oleh lidah lelaki itu. Dia juga terdiam saja saat wajah itu sudah menjauh sambil mengunyah permen karet sisanya.“Sudah aku peringatkan, tapi kamu malah menantang. Jadi, terima akibatnya.” Perkataan itu beriringan dengan langkah Brian yang mulai berjalan mendekati pintu. Dia menghentikan langkahnya sebelum akhirnya memutuskan untuk keluar. “Pulangnya aku anter, ya.” Bukan pertanyaan, melainkan ucapan yang tidak bisa ditawar. Jadi, Jena hanya menghembuskan nafas gusarnya. Namun, matanya melotot seketika saat daun pintu yang belum d
Dian. Menggerakkan kursinya hingga membentur kursi Jena. Dian tersentak kaget saat melihat Jena tersedak dan minuman jeruknya menumpahi kemeja bagian dada. “Ya ampun! Maafin gue, Je.”Jena meraih air mineral yang diberikan oleh seseorang di belakangnya. Setelah merasa tenggorokannya sudah membaik, Jena menoleh ke belakang. “Makasih, ya …” Dia tersenyum pada Azka yang membalas senyumnya.“Je, maafin gue, ya …” Dian menggigit bibirnya dengan perasaan bersalah.Jena mengangguk sambil berdiri. “Nggak apa-apa. Gue bawa baju ganti kok.” Perkataannya itu bersamaan dengan langkahnya yang menjauh dan segera hilang dari balik pintu.Tangannya mengibas-ngibas sisa-sisa bulir jeruk yang melekat di bagian dada kemejanya. Saat berpapasan dengan karyawan laki-laki, Jena segera merapatkan kedua tangannya dan berjalan tergesa untuk segera masuk ke dalam toilet.Jena menghembuskan nafasnya tatkala telah berada di dalam toilet wanita. Langkahnya mendekat, menatap dirinya sendiri di cermin itu. Dia meng
Dia celingak-celinguk untuk mengetahui siapakah yang berjalan ke arah mereka sekarang, namun seseorang yang tengah berjalan itu belum nampak sama sekali.“Lepasin.” Jena berusaha melepaskan dirinya. Namun, Brian tetap menahan kedua pergelangan tangannya dengan erat.“Kasih aku kesempatan. Okey?”Jena melotot. “Bisa lepasin dulu, nggak?!” Dia kembali memberontak, namun tetap saja tenaganya tidak lebih besar dari Brian. “Brian.”“Kasih aku kesempatan. Baru aku lepasin.” Brian memasang wajah datarnya. Dia tidak peduli dengan seseorang yang kini langkahnya akan menemukan keduanya.Jena menggigit bibirnya kuat. “Okey! Aku kasih kesempatan.” Dan saat itu, saat seorang perempuan terlihat berjalan ke arah mereka, tangan Jena sudah terlepas.Dian, tersenyum aneh sambil mengerutkan keningnya memandangi Jena dan Brian yang menatapnya aneh. “Eh, kalian belum ke ruang rapat? Jadwalnya tinggal lima menit, lho.” Perempuan itu melanjutkan jalannya saat Jena menjawab sebentar lagi.Tatkala Dian sudah