Home / Romansa / DIKEJAR DUDA KEREN / MASA LALU BRIAN

Share

MASA LALU BRIAN

Author: Bastiankers
last update Last Updated: 2025-03-16 13:41:45

“Je? Kamu belum pulang?” Suara khas dari seseorang yang Jena kenali terdengar seiring langkahnya mendekat. “Je?” Suara itu terdengar lagi saat dia sudah sampai di kubikel Jena. 

Pandangan mereka bertemu beberapa saat, namun Jena menjadi yang pertama memutus tatap itu. Dia melepas nafas berat dengan menyangga dagu beralaskan satu tangan. Tangan lainnya bermain di papan ketik. “Belum.”

Lelaki itu yang tidak lain adalah Brian, mulai menarik kursi di desk sebelah dan duduk berdekatan dengan Jena. Memakai kacamata bulat yang dia genggam sedari tadi. Ikut meneliti isi file yang sedang dibuat Jena.

“Ngapain?”ketus Jena tanpa merubah posisi. Dia hanya menoleh singkat dengan kernyitan di dahinya. 

“Lihat file yang—lho? Bukannya ini pernah kamu buat, ya? Bukannya minggu lalu? Iya, kan? Yang waktu kamu kerjain di rooftop?”cecar Brian dengan menoleh kan seluruh wajahnya pada Jena.

Dan, “Iya.”

“Kenapa? Apa Pak Mungga nggak suka?” Brian masih menatap wajah Jena yang tidak menoleh itu. 

Pertanyaan itu tidak langsung dijawab Jena. Dia masih berpikir bahwa semua kecerobohannya mungkin saja karena ketidakprofesionalan dirinya. Helaan nafasnya terdengar. “Dilihat aja belum.” Menoleh sekilas, lalu, “File nya tiba-tiba hilang. Flashdisk nya juga.”

Dan, “Hah? Serius?” Brian meneleng untuk melihat wajah Jena yang kembali menatap laptop. Jena hanya mengangguk. “Aku temani?” Sontak dia terkekeh saat Jena menatapnya dengan horor, “Malam ini? Nggak apa-apa kok. Kasihan ada cewek sendirian di kantor.”

Jena memutar bola matanya, “Halah. Modus.” Jawaban itu langsung disambut oleh tawa Brian. Rupanya Jena saat ini sedang tidak mood, jadi, “Udah sana. Pulang. Nggak usah gangguin aku. Aku mau fokus kerjain ini.” Tangannya mendorong pelan lengan Brian yang dekat dengannya.

“Aku serius, Je. Masa mau ninggalin cewek cantik, seksi, bahenol—aduh!” Brian kembali tertawa, namun kali ini sambil mengusap tangannya yang kena tampar.

“Pulang, ga?”tanya Jena dengan pelototannya. Bola matanya bisa saja menggelinding. “Serius, lho! Pulang sana.” 

Jena kembali pada posisinya. Dia menyangga dagu dengan satu tangan dan satu tangan lainnya bermain di papan ketik, juga sesekali bermain di kursor. 

Jena pikir, lelaki itu akan menyerah. Dia akan bangkit, berjalan, dan meninggalkan Jena sendirian. Ternyata, tidak. Lelaki itu malah lebih mendekatkan kursinya. 

Kepalanya diletakkan di atas meja. Bersisian dengan laptop Jena. Hanya beralaskan dengan satu tangannya. Dan wajahnya menoleh, menatap setiap sudut wajah Jena. 

Keadaan itu entah mengapa membuat atmosfer ruangan terkesan berbeda. Ada hawa lain yang tiba-tiba mengguncang seluruh isi pikiran Jena. Dia sesekali melirik Brian yang masih memandangnya. 

Jena berdehem, “Pulang sana. Kamu nggak bakal dapat apapun.” Dia kembali melirik Brian yang tersenyum. Lengkungan senyum itu seakan diberikan tulus untuk Jena. 

“Aku nggak menginginkan apapun kok. Hanya ingin menemani,”jawab Brian dengan senyumannya.

“Halah. Halah.” Jena kembali memutar bola matanya. 

Sesaat kemudian, keheningan mulai melanda. Hanya terdengar bising yang berasal dari papan ketik. Meski dilanda kantuk, Jena berusaha untuk tetap melanjutkan pekerjaannya.

Seharusnya, Jena bangkit dan berjalan ke arah pantry, lalu membuat secangkir kopi. Namun, sayangnya, Jena bukan pecinta minuman berkafein itu. 

Jena kembali meraih botol air mineralnya. Dia menghembuskan nafas panjang saat melihat pekerjaannya baru selesai lima puluh persen di jam dua belas malam. Setelah meletakkan botol airnya, Jena kembali fokus pada layar.

Sejenak pandangan Jena teralihkan pada samping laptop. Dia pikir lelaki itu masih memandanginya. Ternyata sudah tidur. 

Jena berdecak. “Halah. Katanya mau temenin. Eh, malah tidur. Mendengkur pula,”gumamnya. Matanya kembali menatap layar. Namun, sesuatu menarik pandangannya lagi.

Dia melihat setiap inci wajah lelaki yang tengah tertidur itu. Benar-benar tidak ada kegagalan di dalam wajahnya. Jena akui itu. Lelaki itu benar-benar mencerminkan sosok tampan yang dipuja-puja oleh kaum hawa.

“Aku ganteng, kan?”gumaman Brian membuat Jena terkesiap.

Jena kembali pada posisinya semula. Tidak berani melirik Brian yang membuka mata dan mengerjap pelan. “Mimpi.”

“Apa? Apa kamu bilang?” Suara parau khas baru bangun itu terdengar menarik di telinga Jena. Brian berdehem, lalu bangkit dari duduknya. Langkahnya yang menjauh membuat pandangan Jena kembali padanya.

Embusan nafas Jena terdengar lagi. Dia larut dalam pekerjaannya. Mencoba fokus dan kembali melihat draft yang baru dibuatnya. 

Matanya menyipit. Memastikan bahwa datanya tidak salah. Dia kembali mengetik. Menghabiskan waktu selama setengah jam setelah kepergian Brian.

Jena pikir, lelaki itu sudah sadar dan pulang ke rumahnya. Namun, “Hai! Tuh, kan! Aku tahu kamu pasti belum pulang.” Brian mendekat dengan satu kantung yang dijinjing. “Aku bawain makanan sama teh.” 

Tangannya bergerak bebas menyiapkan semua isi kantung itu di atas meja. Ada dua nasi kotak, beberapa roti dan cemilan. Juga minuman dingin dan segelas teh. 

Kening Jena berkerut, memastikan bahwa lelaki itu sadar dengan apa yang dibelinya. “Kamu beli ini semua?” Telunjuknya terarah pada semua hidangan itu.

Brian menjawab, “Iya lah. Kamu pikir aku ngerampok?” 

Dan jawabannya itu membuat Jena tertawa-tawa. Dia mengambil satu kaleng minuman dingin yang diberikan Brian. “Makasih.”

“My pleasure…”

Keduanya mengobrol selama beberapa saat sebelum Jena akhirnya kembali pada layar laptopnya. Dia sesekali masih menimpali atau membalas perkataan Brian. 

Keduanya menghabiskan waktu yang sudah melewati dini hari. Bahkan, Jena sempat melirik arlojinya beberapa kali. Dan hal itu tentu saja menarik bagi Brian. Jadi, “Kamu mau pulang? Ayo! Biar aku antar!”

Namun, “Yan, aku harus selesaikan semuanya dan langsung kirim file nya ke Pak Mungga. Karena besok akan ada meeting lagi.” Jena menoleh, “Dan aku harap, semuanya berjalan lancar. Tanpa ada makian.”

Brian tidak menjawab. Dia hanya mengangguk. Membiarkan Jena kembali fokus pada pekerjaannya. 

Tangan Brian terulur, mengambil satu kotak nasi goreng yang dia pesan. Membukanya. Lalu, menyendoknya. “Buka mulut, Je. Aaa!”

Jena menggeleng pelan dengan kekehannya. Namun, dia bersedia membuka mulut dan menerima suapan dari Brian.

“Enak, ngga?”tanya Brian. Dan langsung mendapat jempol Jena. Brian tersenyum. “Iya lah. Siapa dulu dong yang bikin? Duren nih bos. Senggol dong.” 

“Uhuk! Uhuk!”

Brian panik dan segera mengambil botol mineral milik Jena. Mengangsurkannya sampai perempuan itu meminumnya hingga tandas. “Kamu nggak apa-apa, Je?”

Jena menggeleng. Dia menatap Brian lama. Memastikan bahwa omongan lelaki itu barusan adalah candaan. Namun, keduanya hanya bersitatap. Brian benar-benar tidak mengutarakan bahwa omongannya tadi adalah candaan. Jadi, “Serius? Jadi, selama setengah jam tadi, kamu pulang buat bikin nasi goreng buat aku?”

Dan, “Ya. Tapi, bukan cuma buat kamu. Aku bikinin buat aku juga,”jawab Brian. 

Jawaban itu tidak membuat Jena menampar tangannya lagi. Melainkan hanya terdiam, menerawang jauh. 

Dia sempat berpikir bahwa Aran tidak pernah melakukan itu untuknya. Selama empat tahun dia berhubungan dengan Aran, lelaki itu tidak pernah membawakan bekal. Atau sekedar menemaninya di kala lembur.

Hanya mengirimkan pesan teks berupa, ‘Jangan telat makan’ atau ‘Jangan begadang’. Begitu saja. Lalu, pandangan Jena kembali memandang Brian. 

Pada seorang duda yang selalu bersikap baik. Meski Jena akui bukan hanya padanya lelaki itu bersikap baik. Namun, dia benar-benar mencontohkan sikap lelaki yang benar-benar laki.

Tapi, tetap saja ada yang masih mengganjal di pikiran Jena. Matanya kembali fokus pada layar yang menampilkan file nya yang sudah selesai. Dia hanya menggerakkan tangannya di kursor. Seolah sedang memeriksa ulang isi file nya. 

Brian kembali menyodorkan sendok yang dipenuhi oleh nasi goreng. “Satu lagi.” Dan Jena kembali menerima suapan itu. 

Berkali-kali Brian melakukan itu sampai nasi gorengnya habis. Padahal, bisa saja Jena memakannya sendiri. Toh, pekerjaannya sudah selesai. 

Jena menghabiskan minuman kalengnya. Dia melirik Brian yang mulai memakan nasi kotaknya. Sebenarnya dari arah manapun, Brian itu ganteng. Jena akui itu. Sikapnya juga terbilang baik. Namun, “Yan? Apa yang membuat kamu menjadi duda?”

Bukannya menjawab dengan serius, Brian malah tertawa kecil. Dia hampir saja tersedak. Setelah meminum minumannya, dia menjawab, “Aku sebenarnya belum pernah menjawab pertanyaan ini, sih. Tapi, buat kamu … it’s okay.”

“Halah. Halah.” Jena kembali memutar bola matanya. Tangannya bergerak di papan kursor untuk menyimpan file yang baru dikerjakannya. Menyalinnya juga agar tidak terjadi kecerobohan lagi. “Serius dong, Yan.”

Brian belum menjawab. Dia melanjutkan makannya dengan nikmat sampai selesai. Meminum air banyak-banyak, lalu, “Kamu mau dengar dari mana? Dari atas atau dari bawah?”

Jena spontan menoleh. Keningnya berkerut seiring kening Brian yang terangkat. Mata Jena menyipit. Memastikan bukan pikirannya yang kotor. “Itu nggak bermakna ambigu, kan?”

Dan, ya. Sudah pasti Brian tertawa lagi. Dia berdehem sebentar sebelum melanjutkan omongannya. “Simpel, sih. Mungkin karena nggak ada kecocokan?” Kepalanya meneleng melihat ekspresi Jena. 

“Hah? Nggak ada kecocokan? Terus ngapain nikah?” Mungkin kurang lebih begitulah yang akan orang-orang lontarkan ketika mendengar jawaban Brian barusan.

“Begini, Je. Aku sama mantan istri aku itu, kami dijodohkan. Ya alasannya ada lah ... Aku belum bisa menjelaskannya secara rinci.” Dan Brian lega karena Jena mengangguk, “ Bulan-bulan awal aku banyak tahu soal sikapnya yang dominan. Tidak membiarkan aku ikut andil dalam aspek apapun. Maunya harus dituruti terus, kalau enggak ya … marah. Bulan-bulan awal pernikahan kami, aku berusaha sabar, banyak mengalah. Tapi, sampai di suatu titik. Aku capek.” Suaranya merendah dengan helaan nafas panjang.

“Apa kamu nggak tanyain dulu sama dia? Alasan dari sikapnya kayak kamu itu? Coba ngobrol baik-baik?” Jena rupanya hanyut dalam cerita Brian.

“Udah, Je. Tapi, dia nggak mau jawab. Dia cuma bilang ada alasannya, tapi nggak mau ngasih tau.” Brian menyilang kedua tangannya di atas desk. Duduknya agak menyerong. Sehingga Jena bisa melihat raut wajah sendunya. “Dia biarkan aku menerka-nerka. Tanpa harus menjelaskannya. Kayak … apa, ya? Kayak aku tuh nggak bisa diandalkan.”

Terdengar menyakitkan juga. Sampai Jena bisa merasakan sakitnya jika di posisi itu. Atau mungkin … dia merasa sakit saat mengetahui bahwa Brian menjelaskannya dengan cinta? “Berarti … masalah kalian belum benar-benar tuntas?” 

Entah mengapa, Jena menginginkan sebuah sangkalan dari Brian. Dia ingin lelaki itu mengatakan hal yang berlainan dari pikirannya. Namun, “Ya. Kami selesai dalam masalah yang belum benar-benar tuntas.”

Jena termangu. Dia menatap Brian yang juga menatapnya. Penerangan di kubikel Jena menjadi satu-satunya yang menyirami wajah keduanya. Membuat wajah Brian separuhnya dalam gelap.

Jena tidak bersuara lagi. Dia hanya menggumam lama. Matanya kembali dia alihkan ke laptop yang sudah redup. Tangannya segera membereskan isi desk. Brian juga membantunya, mengemas hidangan yang dibawanya tadi ke dalam kantung. 

Suara derap langkah dari luar partisi terdengar. Ketukan stiletto nya membuat Jena tahu bahwa ada seorang wanita yang akan masuk ke sini. Namun, suara pantofel yang terdengar dari kejauhan juga menarik perhatian keduanya.

Jena dan Brian saling berpandangan. Jena panik sendiri. Dia ingin cepat-cepat meninggalkan kubikelnya. Namun, laptopnya masih di sana. Dia segera memasukkannya ke dalam tas laptop. 

Seiring suara langkah itu mendekat, semakin kencang degup jantung Jena. Dia tidak ingin tertangkap basah di sini, berduaan dengan Brian. Namun, baru saja Jena akan melewati Brian, kakinya menginjak botol mineral. 

Dan itu membuat kakinya terpeleset. Tubuhnya hampir jatuh ke belakang. Kalau saja, tidak ada tangan yang menyangga pinggangnya. Kalau saja. Karena kini, Jena bisa melihat dengan jelas wajah tampan Brian yang menatapnya. Dan tanpa sadar, kedua tangan Jena memegangi leher kemeja Brian. Keduanya nyaris berciuman saat seseorang baru saja sampai. “Je, gue baru ingat kalau Lo pasti—” Suara itu berhenti dengan mata membulat. “Ya ampun! Sori. Gue nggak sengaja. Gue balik, ya? Lanjutin aja, Je.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • DIKEJAR DUDA KEREN   Dianterin makanan

    Namun, ternyata Dian bisa mendengarnya. Alhasil, dia kembali mendekatkan kursinya. “Bisa kok. Daripada Lo simpan sendiri terus depresi berat?” Seketika Dian mendapatkan tatapan tajam darinya. “Hayo? Mau yang mana? Mending sharing.” “Iya. Iya! Balik sono!” Dengan kedua tangannya, Jena berhasil mendorong kursi Dian hingga perempuan itu sudah kembali di kubikelnya.Dian melayangkan telunjuknya. “Beneran, ya? Gue tunggu sampai Lo mau cerita.”Jena tidak menggubris peringatan itu. Dia sudah larut dalam monitor yang menampilkan beberapa data. Belum lama setelahnya, Aran memasuki partisinya dan langsung menerobos kubikel Jena. “Je? Gimana kabar kamu?”tanya lelaki itu. Dia tengah meletakkan kedua tangannya di atas kubikel Jena.Jena menoleh singkat, “Baik. Emangnya ada apa?” Jarinya kembali menari di atas papan ketik. “Aku prihatin atas apa yang menimpa kamu.” Dan saat itu, Jena menghentikan aktivitasnya. Lalu, Aran kembali melanjutkan. “Ibuku yang menyampaikannya. Beliau mendengar langsun

  • DIKEJAR DUDA KEREN   Waktu yang tersisa

    Waktu yang dimiliki Jena tersisa sedikit. Tidak sampai satu bulan acara pertunangan paksa itu akan terjadi. Jena dengan segala yang telah dicobanya, hanya terduduk di tepi ranjang setelah memakai kemejanya.Nafas yang berhembus kencang dengan sangat berat. Pasrah. Juga, kecewa. Namun, Jena tidak ada pilihan lain. Dia sudah menghabiskan banyak waktu untuk berunding dengan ibunya, namun semua itu sama sekali tidak membuat keputusan ibunya goyah.Ayahnya apalagi. Jena tidak mungkin mengharapkan bantuan ayahnya yang tidak punya power itu. Dia sudah banyak sekali menyusahkan ayahnya. Jadi, saat pintu kamarnya terbuka. Dia segera berdiri, menghampiri sosok itu. “Ayah, jadi ke luar kotanya?”Ayahnya tersenyum. Matanya berkaca-kaca dibalik kaca mata besarnya. Kepalanya menggeleng pelan. “Nggak jadi. Teman ayah sudah duluan. Lagian ‘kan ayah harus jagain kamu. Kalau ayah pergi, siapa yang jagain kamu? Iya, kan?”Jena mengangguk. Keduanya berjalan beriringan menuruni anak tangga. Dan ayahnya,

  • DIKEJAR DUDA KEREN   Ayah Jena

    Brian mengambil ponselnya. Tangannya dengan cepat mengotak-atik kontak dan melakukan panggilan. Panggilan itu tersambung, namun seseorang di sana memutuskan panggilan. Brian melakukannya berulang kali. Namun, berulang kali itu juga panggilannya ditolak. Tidak ada pilihan lain, selain untuk turun dari mobil. Dan hal itulah yang membuat Brian telah sampai di pintu utama. Pintu yang masih tertutup rapat itu sesekali membuat Brian menghela nafas. Tangannya terangkat, dan dia mengetuknya dengan keberanian yang tersisa sedikit.Ceklek!Seorang wanita paruh baya yang cantiknya mirip dengan Jena, sudah Brian yakini itu ibunya. Wanita itu mengernyitkan dahi sambil memerhatikan penampilan Brian. “Ada keperluan apa?”Brian tersenyum tipis. Dia mengangsurkan tangannya untuk bersalaman. “Saya temannya Jena.” Belum sempat salam itu bersambut, pintu rumah kembali ditutup. Kepala Brian bahkan hampir saja terpentok pintu. Brian mengangkat kepalanya. Memandang heran pada wanita paruh baya itu.“Pulan

  • DIKEJAR DUDA KEREN   KUALAT

    Di sela perdebatan yang tidak penting itu, Pak Ari muncul. Di tangannya ada beberapa dokumen dan tas laptop. “Kita langsung meeting. Panggil yang lain.” Dan Riski langsung mengangguk dan mengabarkan lewat ponselnya.Pak Ari masih berdiri di sana, memerhatikan Brian dengan tatap lama. “Kamu kurang komunikasi, Yan. Kalau mau dekati cewek itu harus gunakan semua yang ada. Telpon dong, kabari, gitu!” Pak Ari melanjutkan saat Brian hendak menyela. “Saya dengar dari Pak Satpam. Jangan salah paham, ya, kamu.” Riski tertawa kecil sambil melihat ponselnya. “Denger, ga? Saran saya sih, kalau mau dekati cewek ubah pola pikir kamu. Jadikan dia satu-satunya pusat dunia yang kamu miliki.” Pak Ari menepuk pundak Brian, lalu melanjutkan jalannya.Riski kembali tertawa dan Brian hanya tersenyum kecut. “Tuh dengerin! Pak Ari lebih pro dari pada Lo!”“Pak Ari ‘kan berpengalaman,”sahut Brian.“Lo juga, dongo! Udah pernah nikah emangnya nggak berpengalaman?” Riski memberikan cup kopi yang dipegangnya ta

  • DIKEJAR DUDA KEREN   Jena kemana?

    Siang itu, setelah makan siang di kantin, Brian berdiri lama di ujung koridor hanya untuk menunggu seseorang. Sejak pagi tadi, Brian tidak melihatnya. Brian hanya cemas bahwa pesan yang dikirimnya semalam mengganggu perempuan itu. Jadi, dia memutuskan untuk berdiri di sana dengan satu tangan yang memegang cup kopi dan tangan lainnya dimasukkan ke dalam saku celana.Dia melirik penampilannya di depan jendela kaca divisi Humas. Kemeja coklat dan celana khaki itu rupanya sangat pas untuk dipakainya hari ini. Tangannya terulur hanya untuk melihat sisi dirinya yang lain. Dia melakukan beberapa gestur dengan wajah datar, sok cuek lah menurutnya, namun tingkahnya itu membuat semua karyawan divisi humas tertawa.Seseorang keluar dari sana. Dia menghampiri Brian sambil tersenyum lebar. “Ngapain, Yan?” Sisa tawanya terdengar lepas.Brian berdehem, lalu memperbaiki posturnya. “Oh ini, lagi menikmati waktu luang aja, sih.” Dia menjawab, tapi matanya tertuju di sebuah pintu bagian ujung lain dari

  • DIKEJAR DUDA KEREN   Mengetahui rencana ibu

    Isak tangis itu memburu dan berlalu dalam waktu yang lama. Isakannya masih terdengar saat dia menghapus jejak air matanya. Jena mulai bangkit, dia memilih untuk segera pergi dari sana. Tanpa membawa kedua es kopi yang sudah tidak dingin lagi. Jena, sama sekali tidak mempedulikan apapun lagi.Dia berjalan di bawah lampu jalan. Rintik hujan yang membasahi sedikit-demi sedikit tubuhnya, sudah tidak dia hiraukan. Kakinya bergerak lunglai. Tangannya memeluk tubuh yang dadanya saja masih sesak. Brian, lelaki itu mampu membuat Jena seperti perempuan paling bodoh malam itu. Tangan Jena melambai, menghentikan sebuah taksi yang akan melewatinya. Setelahnya, Jena masuk dan menyebutkan alamatnya. Dia membisu saat taksi sudah melaju. Tatapnya terpaku pada jalanan yang masih ramai oleh pedagang dan lalu lalang kendaraan. Jena, menyeka air matanya yang keluar tanpa suara. Dia merutuki sikapnya yang terlalu mudah percaya. Dia tidak lagi mempedulikan apapun, meski ponselnya bergetar beberapa kali.

  • DIKEJAR DUDA KEREN   Dua es kopi

    “Mbak, masuk aja. Saya kebetulan udah selesai, tinggal pulang,”ucap Pak Satpam. Dia meraih jaketnya yang berada digantungan. Setelah berpamitan, Pak Satpam pun berlalu pergi.Mata Jena berpendar. Dia melihat ke arah satu-satunya kursi yang berada di ruangan sempit itu. Lalu, memilih duduk di sana. Saat ada sebuah mobil melintas, dengan cepat kepalanya melongok. Dia pikir, pemilik mobil hitam itu adalah Brian, ternyata jemputan untuk karyawan lain.Embusan nafas pelannya tidak terdengar. Tergantikan oleh suara hujan yang ribut di atas genting. Matanya menerawang, namun sesekali dia mengikuti beberapa mobil yang datang dan pergi.Berharap seseorang yang menjanjikannya malam itu segera muncul.Bertepatan dengan itu, sebuah mobil hitam datang dan berhenti di depan kantor. Jena kembali melongokkan wajahnya. Dia pikir, lelaki yang keluar dari mobil itu adalah Brian. Ternyata bukan. Jena menghela nafas. Pandangannya menunduk. Dia melihat tentengan yang masih berada di jemarinya. Mengeluark

  • DIKEJAR DUDA KEREN   Kalung untuk Jena

    Brian mengecek arlojinya beberapa kali. Sesekali dia mengecek ponselnya, sesekali juga dia menoleh saat Pak Ajri meminta jawaban darinya. Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Jena juga tidak menjawab pesan yang dikiriminya sore tadi. Jadi, Brian berpikir untuk menunda rencananya malam ini. Pandangannya tertuju pada dinding kaca yang membatasi setiap sudut restoran. Dari sini, Brian bisa melihat dengan jelas pemandangan Kota Metropolitan dari luar. Begitu macetnya. Lalu lalang kendaraan membuatnya menghela nafas. Rencananya akan ditunda. Ya, malam ini, Brian berencana untuk mengutarakan perasaannya. Dia tidak ingin menunda lagi. Perempuan itu, seperti mempunyai magnet yang kuat. Apalagi, Brian sudah menantikan waktu ini. Namun, apalah daya, semua hanya bisa direncanakan. “Brian, apa kamu punya janji dengan seseorang?”tanya Pak Ajri. Rupanya beliau menyadari sikap Brian yang tidak se-antusias tadi. Tidak semangat seperti tadi. Brian menggeleng. “Tidak, Pak.” Bohong. Ta

  • DIKEJAR DUDA KEREN   Brian kembali

    Notes : Ada part tentang malam yang dilalui Jena dan Brian di apartemennya. Buat yang penasaran, bisa buka di Karya Karsa. Cari. Kreator : Bastiankers Seri : Dikejar Duda Keren Ada part terkunci yang menceritakan soal malam itu. Bagi yang penasaran aja. Keep reading! ***“Presentasi kamu sangat bagus,”puji Pak Mungga. Beliau bertepuk tangan kecil, lalu yang lain mengikuti. Jena tersenyum senang. “Terimakasih, Pak.” Pak Mungga mengangguk. Lalu, Doni berdiri dan mengakhiri rapat di siang ini. Setelahnya, satu persatu mulai keluar ruangan. Sementara Jena, harus merapihkan laptop dan barang-barangnya yang berada di atas meja. Memasukkannya satu persatu, tentu saja sambil mendengar ocehan Mbak Nurul.“Lo denger, kan?”tanya Mbak Nurul. “Gue butuh banget bantuan seseorang untuk gantiin gue Minggu depan, Je. Lo bisa, kan?”Jena menggeleng cepat. Lalu, menenteng tasnya. “Enggak, Mbak. Lo tahu, kan, pekerjaan gue harus numpuk karena P

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status