DESAHAN IBU SAMBUNG
BAB 8
Jam menunjukan angka tiga dini hari. Mata tak bisa terpejam karena masih teringat akan lelaki yang tadi berkeringat bersama wanita lain. Berkali-kali aku menangis tergugu, beristighfar dalam suara sendu.
Di atas hamparan sajadah, aku duduk termenung. Sembari tangan terus saja menangkup pada wajah. Tak mampu berucap maupun berkeluh. Hanya ribuan tetes air mata yang terus saja meluncur dari pelupuk mata. Ya Allah, apakah memang rencanamu demikian adanya? Membuka semua sebelum mengucap janji suci dihadapanmu? Jika ini memang petunjuk yang kau berikan. Terima kasih, sebelum aku jatuh pada jurang teramat dalam.
Aku yakin jika rencanamu jauh lebih baik. Aku hanya manusia biasa, berencana dan juga berharap. Namun kuasa-Mu adalah lebih dari segalanya.
Jika ini suatu tamparan untukku, ampuni aku Ya Tuhan. Berikan hamba kesempatan memperbaiki diri.
*****
Aku menatap mata yang masih sedikit sembab pada pantulan cermin di hadapanku. Air mataku semalam tak mampu aku hentikan. Antara kecewa dan juga sakit hati yang aku rasa.
Tok … tok ...tok
Terdengar pintu kamar yang diketuk dari luar. Seakan enggan membuka namun dengan terpaksa aku melangkah.
"Ayah?" Sosok lelaki tua itu berdiri diambang pintu. Mendekatiku lalu memeluk. Terasa hangat yang membuatku kembali menangis.
"Aku rindu, Ibu." Lelaki itu hanya mengangguk. Mungkin dalam ruang hatinya ada rindu yang ia simpan rapat-rapat.
"Maafkan, Ayah. Semalam Ayah bersikap kasar kepadamu!"
Aku hanya mengangguk lalu merenggangkan pelukan. Jika ingin membicarakan Alma pagi ini. Aku rasa aku tidak berniat.
Aku berjalan lurus lalu duduk di tepi ranjang. Disusul Ayah yang mengikuti duduk disamping. Tangannya meraih tanganku dengan lembut.
"Apa ada masalah?"
Aku menggeleng tak mungkin jika aku mengungkap semua sekarang. Aku takut Ayah akan murka dengan Mas Satria. Meskipun kecewa mendominasi hatiku saat ini, namun rencanaku tetap sama. Mempermalukannya di acara akad nikah nantinya.
"Jika aku meminta sesuatu apakah Ayah akan mengabulkan?" Pertanyaanku membuat Ayah mengerutkan keningnya.
"Apa? Kalau Ayah bisa mengabulkan Pasti akan ayah kabulkan."
"Aku ingin pernikahanku dengan Mas Satria di percepat."
"Kamu serius?" Aku mengangguk.
"Baiklah, nanti Ayah bicara dengan Satria."
"Terima kasih, Ayah."
Setelah cukup lama kami berbincang, Ayah kemudian berpamitan pergi ke Showroom miliknya yang berada di luar kota.
Sedangkan aku berniat mengambil segelas susu untuk sarapan pagi ini. Ada banyak rencana yang ingin aku lakukan hari ini.
"Mbok, kemana perginya wanita itu?" tanyaku membuat Simbok bingung.
"Nyonya Alma?"
"Iya," jawabku singkat.
"Nyonya besar sudah pergi. Setelah bapak pergi, Nyonya menyusul pergi dengan mobil berbeda." Mendengar jawaban Simbok, aku hanya manggut-manggut.
"Ow, ya. Mbak, Kang Udin bagaimana?"
"Pak Udin, udah diurus sama keluarganya. Biaya rumah sakit sudah ditanggung sama ayah. Lagian, Pak Udin setelah sadar dia bilang cuma minum kopi sama roti bikinan Simbok. Simbok nggak ngasih racun kan sama Pak Udin?" tanyaku menelisik. Entah mengapa aku sudah tidak bisa percaya lagi dengan orang rumah. Setelah kejadian kemarin, Alma tahu dimana letak kamera yang dipasang untuk memata-matainya.
"Astagfirullahaladzim, Mbak. Simbok meskipun mau menerima uang Mas Satria buat tutup mulut, tapi Simbok nggak sejahat itu, Mbak."
"Kita kan nggak tahu, Mbok. Hati seseorang, cuma simbok dan Tuhan yang tahu."
"Astagfirullahaladzim, maafkan Simbok. Mbak, jika Simbok salah, tapi sumpah demi Allah bukan Simbok. Lagian kalau Pak Udin bisa meninggal bisa-bisa Simbok masuk penjara!"
"Iya, bisa jadi juga masuk neraka. Mbok, itu bisa dipidanakan lho. Sudah termasuk kategori kriminal, berniat mencelakai orang."
"Tapi sumpah, Mbak. Simbok nggak tahu, Simbok hanya membuatkan kopi saja, sedangkan roti itu oleh-oleh Nyonya besar."
Deg,
Mendengar penuturan Simbok baru saja membuatku terkejut. Apakah Alma juga terlibat? Tapi untuk apa dia mencelakai Pak Udin? Allahu Akbar, Alma kenapa dengan wanita itu. Dia benar-benar mengerikan.
"Assalamualaikum," salam terdengar dari luar. Membuat Simbok bergegas membuka pintu.
Aku kembali meneguk susu dalam gelas hingga tandas. Ingin rasanya makan roti untuk mengganjal perut namun mulut enggan mengunyah. Hingga akhirnya aku mengembalikan roti yang sempat berada di tangan.
"Mbak, ada tamu." Suara Simbok mengagetkanku.
"Siapa, Mbok?"
"Katanya temennya Mbak Tania, mau servis laptop." Mendengar kata servis laptop aku langsung mengetahui kata kunci itu. Kata kunci yang aku gunakan untuk memanggil seseorang.
"Ow, iya. Mbok, tolong belikan aku roti sama susu ya, Mbok. Di warung," pintaku sembari mengeluarkan uang.
"Lho, Mbak. Susu sama rotinya kan masih ada."
"Bukan buat kita tapi buat tukang servisnya. Nanti buat oleh-oleh kalau pulang. Sudah sana belikan, matikan dulu kompornya."
"Baik, Mbak. Saya pergi dulu ya!"
***
POV Juminten.
"Astagfirullahaladzim, ada apa dengan Kang Udin?" gumamku pelan ketika melihat lelaki tua itu dibawa ke dalam mobil oleh Tuan besar bersama Mbak Tania.
Sedangkan Mas Satria dan juga mertuanya terlihat biasa saja. Pandanganku sedikit curiga ketika Nyonya besar mencolek-colek pinggang Mas Satria. Kenapa dengan mereka? Padahal status mertua sebentar lagi di sandang. Apakah mereka main api dibelakang. Allahuakbar, kasihan Mbak Tania. Dikhianati dua orang sekaligus.
Mata kedua pasangan itu melirik ke arahku. Spontan aku pura-pura saja tidak tahu lalu kembali masuk ke dalam rumah membereskan meja makan.
"Mbok, saya mau lanjutin makan. Jangan dibawa ke belakang dulu ya?" pinta wanita yang tak lain tak bukan ibunya Mas Satria.
Dia kembali duduk pada kursi yang tadi sempat ia tinggalkan.
"Iya, Bu."
Sesekali mataku melirik ke arah wanita itu. Seakan tak ada rasa sungkan dan juga khawatir. Karena salah satu orang yang bekerja di sini sedang sakit. Ah, mungkin perasaanku saja.
"Mbok, tolong buatkan kami kopi. Saya mau ke atas dulu mau mindah meja rias."
"Saya bantu, Nyonya." Aku memberi tawaran membantu namun ditolak oleh Nyonya.
"Nggak perlu, ada Satria yang mau bantuin. Sebentar lagi kan dia jadi menantu di sini. Jadi itung-itung dia bantuin calon mertua, iya kan Satria?"
"I-iya, Mbok. Nggak perlu, bikinin aja kopi pake air panas ya?"
"Baik, Mas," jawabku manut saja. Ya iyalah, menyeduh kopi dengan air panas. Memangnya mau apa pakai air ketuban.
Aneh bukan, jika mereka pergi ke kamar hanya berdua. Ditambah Mas Satria melebihi uang untuk tutup mulut. Ah, rasanya ini tidak benar.
"Yu, mau kemana?" tanya Kang Ujang membuyarkan lamunanku. Astaga, hampir saja ponsel jadul milikku jatuh.
"Mau ke warung, ada apa?"
"Kabar Kang Udin gimana?"
"Alhamdulilah, katanya sudah mendingan."
"Eh, hati-hati, Yu. Itu sepertinya diracun, jangan sampai Yu Jum juga diracun ya!"
"Astagfirullahaladzim, kok bicaranya seperti itu, Kang? Kan mbok Jum jadi takut!"
"Makanya, jangan suka ngurusin majikan. Mending pura-pura tuli sama buta. Dah gitu aja," ucapan Kang Ujang baru saja menyadarkan. Apa sebaiknya aku mengatakan yang sejujurnya pada Mbak Tania? Tapi bagaimana dengan nasibku? Apa ada yang mau melindungiku? Ya Tuhan, orang kaya itu ribet amat masalahnya.
'Bikin pusing saja.' Aku bermonolog dalam hati.
Langkahku sengaja kupercepat menuju warung. Membeli semua barang yang tadi di minta oleh Mbak Tania. Setelah selesai membayar aku kembali pulang, lagi-lagi aku berpapasan dengan Kang Ujang. Lelaki itu memang berjualan sayur mangkal di pinggir jalan. Jadi selama sayurnya masih ada dia akan terus berada di sana. Wajah Kang Ujang berubah menjadi serius, sesekali menatapku tajam setajam silet. Sesekali dia mengarahkan pisau di lehernya dan pura-pura memotong leher.
"Hi …." Aku berjalan sedikit berlari. Membuat Kang Ujang tertawa terbahak-bahak. Asem benar, dia memang suka ngerjain orang tua.
Aku langsung masuk ke rumah. Menutup pintu dengan suara sedikit keras.
Jeglek
Tak terlihat Mbak Tania maupun tamunya di ruang tamu. Jangan-jangan mereka juga? Pikiranku malah buruk kepada setiap penghuni di sini. Membawa wanita maupun lelaki masuk kedalam rumah membuatku bergidik ngeri.
"Allahuakbar," ucapku saking kagetnya.
"Apa sih, Mbok. Teriak-teriak?"
"Kaget aku, Mbak. Maaf." Aku menyerahkan sekantong kresek pada Mbak Tania. Lalu dia menyerahkan itu pada lelaki yang ada dihadapannya. Mereka tengah duduk di meja menghadap sebuah laptop. Namun sayang aku tidak bisa melihat apa yang ada di dalam sana. Karena dengan cepat pria itu menutup saat tahu kedatanganku.
Pria itu kemudian pergi, lalu Mbak Tania meraih tas hendak pergi juga. Dengan cepat tanpa menyia-nyiakan kesempatan aku memanggil wanita itu.
"Mbak Tania,"
"Apa, Mbok?" jawab Mbak Tania seketika itu pula dia menoleh.
"Mbak Tania mau kemana?"
"Mau ke butik."
"A-anu, Mbak. I-itu … i-ini …"
"Apa sih, Mbok."
Desahan Ibu SambungBab 44Aku menghirup oksigen sebanyak-banyaknya. Merasa paru-paru maupun napas ini tidak bisa menghirup oksigen sebagaimana mestinya. Entah mimpi apa aku semalam yang pasti hari ini aku akan membuat sebuah keputusan. Keputusan besar yang akan merubah hidupku kelak. Keputusan yang akan aku pertanggungjawabkan pada Tuhan kelak. Keputusan yang harus aku ambil tanpa adanya paksaan maupun belas kasih. Tulus dari dalam hati.Aku menatap nanar Damar maupun Reza, kedua laki-laki itu baik. Mereka memiliki kelebihan masing-masing. Aku memiliki satu nama, nama diantara mereka yang mampu membuat hatiku sedikit terusik. Pandanganku kini berpindah pada Gladis, putri Reza. Parasnya begitu menawan mungkin mirip dengan Ibunya. "Tan, aku nggak mau kamu terbebani. Jika memang dia yang kau pilih. Tak masalah, aku mundur. Kebahagiaanmu jauh lebih penting," ucap Damar ketika mataku terus saja menatap Reza.Aku mengarahkan pandanganku ke arah laki-laki itu. Laki-laki yang pernah membay
Desahan Ibu SambungBab 43"Kenapa nggak bisa, Tania? Uang kamu banyak kan?" Kini wanita itu tidak lagi sungkan meminjam uang. Malah terkesan memaksa.Aku berfikir sejenak, mencerna ucapan wanita itu. Haruskah aku meminjamkan uang dengan alasan kemanusiaan? Atau aku biarkan wanita itu kebingungan, entah apa yang ia katakan itu benar adanya atau tidak aku juga tidak tahu.****"Tania, bagaimana?" Wanita tua itu kembali memastikan bahwa aku akan memberinya pinjaman. "Maaf, Tante. Untuk uang sebesar itu Tania tidak bisa bantu. Lebih baik Tante berurusan dengan Karin. Nanti dia akan bantu. Kalau begitu Tania pergi dulu, Tan. Masih ada urusan, maaf." Aku berpamitan lalu meninggalkan Tante Mia yang masih memegangi gagang sapu. Aku harap wanita itu tidak tersinggung dengan sikapku, aku juga berharap dia mengerti akan sikapku. Aku membereskan semua pekerjaanku yang sudah selesai. Menaruh beberapa lembar kertas ke dalam map. Lembaran kertas ini adalah desain-desain pakaian terbaru yang akan
Desahan ibu SambungBab 42"Kalau kamu gimana Damar?" tanya Tante Mila membuat semua orang mengalihkan pandangannya ke arah Damar.Damar pun melihat ke arahku, mataku sengaja aku lebarkan dan sedikit menggelang, aku harap lelaki itu mengerti akan kode yang aku berikan."Damar …."****"Damar sih terserah gimana Tania nya aja," ucap lelaki itu sembari tersenyum. Entah mengapa membuatku justru ingin menjambak rambutnya yang lebat nan hitam itu. Bagaimana tidak, aku sudah memberinya kode dengan melebarkan mata dan juga gelengan kepala. Dia masih tidak mengerti, dasar laki-laki.Kini semua pandangan tertuju padaku, aku yang masih mengunyah sisa mie dalam mulut hanya bisa nyengir. HahMati aku, sudah aku bilang kan aku tidak mau dijodohkan. Kenapa justru seperti ini."Mereka masih muda, kasihlah kesempatan untuk kenalan. Mengenal lebih dekat satu sama lain, biar keputusan mereka yang ambil. Lagian, menikah itu sekali seumur hidup yang jalani juga mereka. Kita selaku orang tua hanya bisa m
DESAHAN IBU SAMBUNGBab 41Aku duduk di kursi paling ujung bersama Ayah. Malam ini kami memutuskan makan malam di restoran. Sudah cukup lama aku dan juga ayah jarang makan malam berdua, menikmati kebersamaan semenjak kedatangan Alma. Dulu sebelum Ayah menikah dengan wanita itu, kami kerap melakukannya. Karena dengan cara itulah, aku dan juga ayah semakin dekat. Semenjak kepergian Ibu, aku benar-benar merasa kesepian.Ayah selalu pulang larut malam. Menyibukan diri bekerja, agar tidak terlalu mengingat mendiang istrinya. Namun sayang, dia lupa akan diriku. Untuk mengganti semua waktu yang ia habiskan di kantor, ia selalu mengajakku keluar hanya sekedar makan malam. Berbagi cerita dan juga mendengar keluhku.Ayah adalah sosok yang hangat, adanya dia selalu disampingku aku tidak merasakan kesepian lagi. Namun wanita itu datang, merenggut senyum Ayah dariku. Aku kembali kosong, tapi tidak sekarang. Ayah benar-benar sudah kembali seperti dulu, semua hal yang berhubungan dengan Alma sudah
Desahan Ibu SambungBab 40"Kang, temennya Mbak Tania yang kemarin ganteng ya?" ucap Juminten ketika pisau yang ia pegang tengah mengiris wortel.Srutt ah …Udin menyeruput kopi hitam. "Yang mana sih, Yu?" tanya Udin sembari tangannya meletakkan cangkir di atas lepek."Alah, yang nganter Mbak Tania sama Simbok pulang itu lho. Masak Ndak tahu?!""Ow yang itu? Ganteng sih, beda tipis sama Mas Satria.""Halah, sama Mas Satria? Beda jauh Yo, Kang. Mas Satria itu nggak ada apa-apanya dibandingkan Mas Damar, lagian Mas Satria itu tingkahnya nggak bermoral. Coba sekarang gimana kabarnya Mas Satria, Kang Udin tahu tidak?""Ya mana saya tahu tho, Mbok. Wong bukan anakku kok!""Lha iya, Mas Satria itu lembaran buku yang seharusnya ditutup lalu disimpan di gudang. Sudah nggak perlu dicari keberadaanya. Cukup, cari buku baru," tutur Juminten panjang lebar. Membuat Udin tertawa cekikikan. "Bahasamu itu lho, Mbok. Sok puitis, kebanyakan nonton sinetron ini.""Iya, simbok paling suka nonton sinetr
Desahan Ibu SambungBab 39"Minta tolong apa ya, Tan?" tanya Tania. Mona dan juga Susi pun terlihat sikut menyikut. Mona hanya bisa memainkan bibirnya dan kedua alisnya. Membuat Susi yang daya tangkapnya rendah kebingungan."Begini Tania, maksud kedatangan Tante ke sini, mau minta tolong sama kamu buat …."*****"Dam, cantik ya Tania?" Mila bertanya pada Damar setelah meninggalkan kediaman Tania."Cantiklah, Bu. Namanya juga perempuan," jawab Damar benar adanya. Kalau laki-laki tentunya ganteng."Ibu serius, kamu sepertinya juga suka sama dia. Iya kan? Dari cara kamu menatap Tania, Ibu sudah bisa membaca kalau kamu juga suka sama dia.""Ibu bisa aja. Itu cuma perasaan Ibu saja.""Masak?" Bibir Mila mencebik seolah mengejek putra keduanya itu. Ya Mila memiliki dua putra, anak pertama sudah menikah dia bernama Bagas, sedangkan istrinya bernama Sarah, mereka dikaruniai seorang anak laki-laki bernama Revan. Adam Margono adalah suami Karmila. Kini tengah berada di luar negeri. Ada bebera