Share

Mengingat Kenangan Pahit

🏵️🏵️🏵️

Terus terang, walaupun ibu mertua sering melukai perasaanku, tetapi aku tidak ingin melihatnya berdebat atau adu mulut dengan Bu Dewi hanya karena hal sepele. Aku pun langsung meraih Bagas lalu memberikan isyarat kepada tetanggaku itu agar menjauh.

Akhirnya, Bu Dewi pun memilih berpamitan kepadaku lalu pulang, begitu juga dengan Mbak Rere dan anaknya. Sementara ibu mertua masih saja menunjukkan kekesalannya. Aku pun memilih memasuki rumah daripada mendengar ocehannya yang tidak tahu ujungnya.

Aku langsung menuju ruang TV untuk menyaksikan siaran yang bisa menghibur hati. Kebetulan juga, bapak mertua sedang tidak di rumah. Biasanya, dia yang menguasai ruangan ini dengan asap rokoknya yang sering membuatku pusing.

Sejak kecil, aku alergi mencium asap rokok. Dampaknya bisa membuatku sesak dan sakit kepala hingga mual. Sepertinya, Allah telah mengatur Mas Bimo untuk berjodoh denganku karena dia bukan pria pada umumnya yang gemar mengonsumsi barang bulat panjang itu.

Mas Bimo persis seperti suami Bu Dewi yang mengaku tidak pernah mengisap rokok dari dulu. Dia pernah berbincang dengan beberapa temannya di depan rumahnya tentang rokok. Dia menganggap orang yang merokok itu sama dengan membakar uang.

“Udah capek-capek kerja, akhirnya hasilnya dibakar juga.”Itu pernyataan yang dia ucapkan.

Aku sering tidak habis pikir, kenapa kebiasaan Mas Bimo justru lebih mirip dengan Pak Dimas daripada bapak mertua. Baik wajah, sikap, atau hal apa pun itu, tidak ada yang Mas Bimo warisi dari bapaknya.

Aku pernah beberapa kali iseng menggoda Mas Bimo. Aku pun bertanya, “Kenapa kamu nggak mirip sedikit pun sama Bapak, Mas?”

“Mungkin karena aku menolak mirip beliau.” Jawaban unik itu yang dia ucapkan. Harusnya bapak mertua menulis novel dengan judul “Anakku Mirip Tetangga”.

“Ngapain senyum-senyum?” Ibu mertua ternyata menyusulku ke ruang TV. “Puas dengan hinaan Bu Dewi terhadap cucu-cucu saya?”

Ternyata wanita itu masih membicarakan ucapan Bu Dewi tadi. Dia tampak sangat marah karena menganggap cucu-cucu dari anak perempuannya dihina. Sikapnya sangat berbeda jika terhadap Bagas. Dia seolah-olah tidak pernah menginginkan cucu dari anak laki-lakinya.

“Siapa yang menghina? Ibu selalu saja berpikiran tidak baik tentang Bu Dewi. Selalu nuduh.” Aku memberikan balasan.

“Kau itu menantu saya, tetapi kenapa selalu bela Bu Dewi?” Dia seperti biasa, selalu menunjukkan tatapan tajamnya.

“Saya tidak bermaksud membela, tapi saya perhatikan dari dulu, Ibu paling nggak terima kalau Bu Dewi nyinggung cucu-cucu Ibu. Sementara sama Bagas, Ibu nggak pernah peduli.” Aku pun melontarkan apa yang mengganjal di hati ini.

“Itu karena dia lahir dari menantu tidak tahu diri sepertimu!” Dia selalu saja menyebutku seperti itu.

“Kenapa Ibu selalu menyebut kata itu? Apa yang udah Ibu berikan pada saya? Jika Ibu pernah berbuat baik pada saya, tapi saya membalasnya dengan kejahatan, itu baru namanya tidak tahu diri.” Aku tidak kuasa lagi untuk tetap sabar menghadapi wanita itu.

“Kau bukan menantu yang saya inginkan. Harusnya Bimo itu dapat istri yang lebih dari dirimu. Dia tampan dan punya penghasilan tetap, harusnya bisa berjodoh dengan wanita yang punya harta dan kekayaan.”

Akhirnya, ibu mertua kembali menunjukkan sifat tamaknya. Dia ingin memiliki menantu kaya supaya bisa mengubah kehidupannya. Dia sering mengucapkan harapannya itu kepada anak-anak perempuannya.

Kenapa dia tidak meminta ketiga putrinya mencari pasangan kaya raya? Kenapa harus Mas Bimo yang dituntut seperti itu? Keluarga ini seolah-olah ingin melimpahkan semua beban hidup kepada suamiku.

🏵️🏵️🏵️

Sore ini, wajah Mas Bimo tampak semringah. Setelah membersihkan tubuh, dia mengajakku ke kamar untuk menyampaikan sesuatu. Aku pun mengikuti langkahnya lalu kami duduk di tempat tidur. Dia meraih Bagas yang sejak tadi dalam gendonganku.

“Ada apa, sih, Mas? Kelihatannya bahagia banget.” Aku masih penasaran melihat lengkungan di bibirnya.

“Coba tebak, deh.” Dia makin membuatku penasaran.

“Malas, ah, nebak-nebak.”

“Sayang, aku dapat bonus lumayan hari ini.” Dia tampak bersemangat.

“Berapa, Mas?”

“Tiga juta.” Dia langsung mengeluarkan jumlah uang yang dia sebutkan dari saku celananya lalu memberikannya kepadaku.

Aku terharu melihat sikap Mas Bimo yang menganggap uang senilai tiga juta itu lumayan. Padahal, saat aku bersama orang tua dulu, nominal itu kadang aku gunakan untuk membeli satu helai atasan saja. Aku merasa tertampar saat ini.

“Setelah magrib, kita ke toko emas, ya, Sayang.” Aku terkejut mendengar niat Mas Bimo.

“Ngapain, Mas?” tanyaku bingung.

“Untuk beli kalung kamu.”

“Nggak usah, Mas. Uangnya kamu simpan aja. Kamu tahu kalau aku punya kalung.” Aku menolak keinginannya.

“Aku ingin menghiasi leher istriku dengan uangku sendiri, ya, walaupun nanti dapatnya sangat kecil. Tapi aku baru punya uang segitu. Nanti kalau aku dapat rezeki lagi, kita beli yang besar, ya, Sayang.” Aku tidak tega melihat pancaran kebahagian dari wajahnya.

“Ya udah … aku mau, Mas.” Akhirnya, aku mengiakan Mas Bimo karena tidak ingin melukai hatinya.

Seandainya dia tahu harga kalung berlian kesayanganku, mungkin dia akan terkejut. Kalung itu Mama pesan khusus hanya untuk kami berdua. Aku tidak menyangka kalau kehidupanku yang dulu dan sekarang benar-benar bagaikan bumi dengan langit.

Cinta telah mengubah segalanya. Aku menolak menikah dengan pewaris perusahaan tambang batubara di Samarinda dan justru memilih menjadi istri seorang sales marketing perumahan di Palembang. Apakah aku menyesal? Tidak sama sekali.

Aku tidak tahu apakah aku akan bahagia jika memenuhi permintaan Papa untuk menikah dengan anak partner kerjanya dulu. Kebahagiaan itu aku temukan hanya bersama Mas Bimo walaupun dia memiliki keluarga yang sering membuatku sakit hati.

Akan tetapi, aku tetap mampu berdiri tegak karena cinta Mas Bimo. Semoga pernikahan kami tetap langgeng hingga ke akhir hayat. Aku juga selalu meminta Mas Bimo agar mampu menjaga hatinya untuk tetap mencintaiku.

Aku sangat membenci perselingkuhan karena Papa dan Mama pernah hampir berpisah karena kehadiran orang ketiga. Papa pernah bermain api dengan sekretarisnya di kantor. Aku tidak tahu sejauh mana hubungan mereka. Satu hal yang pasti, aku sering melihat Mama menangis kala itu.

Oleh karena perbuatan Papa yang aku anggap tidak menghargai pernikahan, aku pun dengan berani menentang niatnya yang ingin menjodohkanku. Aku sempat tidak menghargai Papa karena beliau telah menyakiti wanita yang melahirkanku.

Akan tetapi, aku berusaha yakin bahwa masih banyak laki-laki yang setia hanya mencintai satu wanita. Sejak menikah dengan Mas Bimo, aku tidak pernah merasakan hal-hal yang mencurigakan darinya. Semoga cintanya tidak pernah berubah.

“Bim, Ibu boleh masuk?” Aku dikagetkan suara ibu mertua dari balik pintu kamar.

==========

Nova Irene Saputra

Terima kasih sudah mampir. Semoga sehat selalu dan rezeki makin berlimpah.

| Sukai

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status