🏵️🏵️🏵️
Aku pikir Mas Bimo telah melupakan tentang kalung berlian tadi sore. Ternyata dugaanku salah. Apa yang harus aku katakan kepadanya? Waktunya belum tepat untuk mengetahui statusku yang sebenarnya. Aku masih ingin melihat sejauh mana kesetiaan dan tanggung jawabnya.
Aku beberapa kali melihat acara di televisi tentang suami yang tampak sangat romantis di depan istrinya. Namun kenyataannya, tetap bermain api di belakang. Aku tidak bermaksud untuk mencurigai Mas Bimo. Aku hanya ingin tetap waspada. Lagi pun, usia pernikahan kami baru seumur jagung.
Aku juga masih menunggu maaf dari orang tua dan keluargaku. Aku tidak ingin Mas Bimo tahu siapa aku sebenarnya saat ini. Walaupun dia selalu menunjukkan perhatian dan rasa peduli, juga pembelaan terhadap diriku, tetapi dia kadang membuatku kesal. Dia tidak memenuhi keinginanku untuk keluar dari rumah ini.
Awal kami menikah, aku sempat berpikir kalau Mas Bimo tidak ingin melihatku bahagia. Dia tahu kalau keluarganya sangat membenciku, tetapi kenapa masih membiarkanku tinggal seatap dengan mereka? Dia mengaku selalu yakin kalau aku istri yang kuat dan tegar.
Dia tidak tahu bahwa keadaanlah yang memaksaku menjadi terlihat tidak lemah, padahal saat bersama orang tua, aku sangat dimanja sebagai anak perempuan satu-satunya. Apa pun yang aku inginkan, pasti langsung dipeuhi.
“Sayang ….” Aku terkejut mendengar suara Mas Bimo. Aku baru saja ingin mengingat kehidupanku bersama orang tua, tetapi dia berhasil membuyarkannya.
“Iya, Mas.”
“Akhir-akhir ini kamu sering bengong, ada apa?” Ternyata Mas Bimo mengetahui kebiasaanku dalam beberapa hari ini.
“Nggak ada apa-apa, Mas. Itu perasaan kamu aja. Aku tetap seperti biasa, kok.” Aku berusaha mengelak dan meyakinkan dirinya.
“Kenapa kamu belum jawab pertanyaanku? Sejak kapan kamu punya kalung itu?” Kenapa dia masih melontarkan pertanyaan yang sama?
“Udah beberapa tahun.” Aku tidak memberikan jawaban secara detail.
“Kenapa aku tidak boleh tahu tentang keluargamu?” Itu pertanyaan yang Mas Bimo lontarkan saat awal kami akan menikah.
“Aku udah pernah jelasin ini ke kamu, Mas. Kenapa kamu tanya lagi sekerang? Apa kamu nyesal nikahin aku? Apa kamu nggak percaya padaku?”
Dulu, aku telah mengatakan yang sebenarnya kepada Mas Bimo kenapa aku sampai berada di kota ini. Kurang lebih empat tahun yang lalu ketika aku baru lulus SMA, Papa menjodohkan aku dengan Andrew—anak partner kerjanya. Saat itu, pernikahan belum terpikirkan olehku dan lagi pun, aku tidak memiliki perasaan lebih terhadap pemuda itu.
“Cla nggak mau nikah muda, Pah.” Aku berharap agar Papa membatalkan niatnya kala itu.
“Andrew nggak maksa kamu untuk segera punya anak, yang penting nikah aja dulu. Lagi pun, dia juga baru lulus sekolah, sama seperti kamu. Setelah nikah, kamu dan Andrew tetap bisa melanjutkan kuliah.” Ternyata Papa tetap bersikeras agar aku menikah dengan Andrew.
“Apa pun alasannya, Cla tetap nggak mau, Pah.” Aku dengan sadar tetap menolak rencana dan keinginan Papa.
“Jangan bantah Papa!” Papa menaikkan suaranya.
Oleh karena aku menolak keinginannya, beliau pun mengurungku di kamar. Akhirnya, aku meminta tolong kepada Mama untuk membujuk Papa, tetapi wanita itu mengaku tidak mampu menentang keputusan suaminya itu.
“Sayang, kenapa kamu bengong lagi?” Mas Bimo kembali berhasil mengagetkanku. “Kenapa kamu berpikiran kalau aku nyesal menikahimu? Itu nggak benar. Aku udah bilang saat awal kita pacaran, siapa pun kamu dan bagaimana pun keadaanmu, rasa cintaku tidak akan berubah.”
“Terus, kenapa kamu kembali bertanya tentang keluargaku?” Aku ingin tahu jawabannya.
“Aku bertanya karena kamu tidak memberitahukan aku tentang kalung pemberian orang tuamu.” Ternyata dia masih tetap membahas tentang kalung.
“Udahlah, Mas … aku ngantuk.”
Aku pun memilih merebahkan tubuh lalu menutup tubuh dengan selimut. Aku tidak bermaksud untuk menjadi istri yang tidak jujur kepada Mas Bimo, tetapi aku punya alasan untuk merahasiakan identitasku. Aku ingin memberikan pelajaran terhadap keluarganya.
🏵️🏵️🏵️
Pagi ini, Bagas tidak rewel lagi. Sariawan di langit-langit mulutnya telah mulai mengering. Dia sudah mulai bermain seperti biasanya. Sebenarnya, aku merasa kasihan melihat anakku itu. Walaupun dia memiliki kakek dan nenek, juga tante dari papanya, tetapi dia bermain hanya bersama mamanya saja saat di rumah.
Untung saja kalau kami sedang duduk di teras depan, tidak jarang tetangga yang masih memiliki anak seusia Bagas, datang berkunjung. Mereka mengaku agar anak mereka dapat bermain bersama anakku. Mereka membuatku bersemangat.
“Bu Dewi cariin Kakak, tuh!” Terdengar suara Ratih dari balik pintu kamar. Terus terang, aku lebih sering menghabiskan waktu di kamar jika telah menyelesaikan pekerjaan rumah
“Iya,” jawabku singkat. Aku pun segera menggendong Bagas lalu keluar kamar. Ternyata Bu Dewi bersama tetangga lain sedang duduk di teras.
“Gimana keadaan Bagas?” tanya Bu Dewi setelah aku duduk di sampingnya.
“Alhamdulillah, udah baikan, Bu.” Aku selalu terharu melihat kebaikan wanita itu. Aku pernah berpikir, seandainya Mas Bimo lahir dari rahimnya, aku akan menjadi menantu paling bahagia karena memilki mertua seperti dirinya.
Mungkin karena tidak ada rasa peduli keluarga Mas Bimo terhadapku dan Bagas, kadang membuatku berpikiran tidak masuk akal. Aku bahkan menganggap Mas Bimo lebih mirip dengan Rizal—anak Bu Dewi daripada ketiga saudarinya.
Aku akui kalau kulit Mas Bimo mengikuti ibu mertua. Namun, sifat dan perilaku mereka bagaikan bumi dengan langit. Awal aku tertarik melihat Mas Bimo kala itu karena pembawaannya yang tenang, persis seperti Pak Dimas—suami Bu Dewi.
“Semalam kayaknya nggak rewel, ya? Ibu nggak dengar suaranya nangis.” Bu Dewi kembali membuka suara. Beliau tidak tahu kalau aku baru saja membayangkan dirinya menjadi mertuaku.
“Iya, Bu. Pokoknya obat dari Bidan Rina benar-benar ampuh banget.” Aku pun semangat menceritakan khasiat dari obat yang Bagas minum.
Hari ini, aku kembali merasa memiliki keluarga baru. Bagas pun bermain dengan anak Mbak Rere, tentangga yang rumahnya bersebelahan dengan Bu Dewi. Aku membayangkan, seandainya Mama juga di sini bersamaku dan Bagas, pasti rasanya sangat menyenangkan.
“Nggak ada kerjaan lain, ya, selain ngerumpi?” Ibu mertua kini berdiri di depan pintu.
“Saya hanya ingin tahu keadaan Bagas, Buk.” Bu Dewi memberikan balasan.
“Hanya tetangga aja, tapi sok peduli.” Ibu mertua mengangkat sedikit bibir atasnya.
“Bukannya sesama tetangga harusnya saling peduli? Apalagi saya sudah menganggap Bagas seperti cucu sendiri. Udah tampan, kulitnya bersih, dan manis juga. Nurun banget dari kedua orang tuanya. Cucu Ibu satu ini memang beda dari cucu-cucu yang lain.”
Aku tidak heran mendengar jawaban Bu Dewi. Setiap beliau berbicara dengan ibu mertua, pasti ada saja yang diperdebatkan. Wanita itu juga sering membelaku jika ibu mertua bertindak di luar batas menurutnya. Kebaikan Bu Dewi yang selalu membuatku membayangkan ingin memiliki mertua seperti dirinya.
“Maksud Ibu apa?” Ibu mertua langsung bertolak pinggang sambil melangkah ke arahku dan Bu Dewi.
Apa yang akan ibu mertua Clara lakukan terhadap Bu Dewi?
🏵️🏵️🏵️ Terus terang, walaupun ibu mertua sering melukai perasaanku, tetapi aku tidak ingin melihatnya berdebat atau adu mulut dengan Bu Dewi hanya karena hal sepele. Aku pun langsung meraih Bagas lalu memberikan isyarat kepada tetanggaku itu agar menjauh. Akhirnya, Bu Dewi pun memilih berpamitan kepadaku lalu pulang, begitu juga dengan Mbak Rere dan anaknya. Sementara ibu mertua masih saja menunjukkan kekesalannya. Aku pun memilih memasuki rumah daripada mendengar ocehannya yang tidak tahu ujungnya. Aku langsung menuju ruang TV untuk menyaksikan siaran yang bisa menghibur hati. Kebetulan juga, bapak mertua sedang tidak di rumah. Biasanya, dia yang menguasai ruangan ini dengan asap rokoknya yang sering membuatku pusing. Sejak kecil, aku alergi mencium asap rokok. Dampaknya bisa membuatku sesak dan sakit kepala hingga mual. Sepertinya, Allah telah mengatur Mas Bimo untuk berjodoh denganku karena dia bukan pria pada umumnya yang gemar mengonsumsi barang bulat panjang itu. Mas Bimo
🏵️🏵️🏵️ “Iya, Buk, masuk aja.” Mas Bimo mempersilakan wanita itu masuk. “Ibu mau minta tolong sama kamu.” Ibu mertua langsung duduk di samping anaknya. “Minta tolong apa, Buk?” “Ibu kasihan lihat Kakak kamu.” “Memangnya ada apa, Buk?” “Kak Mira sekarang lagi kesusahan. Untuk makan aja kadang bingung harus cari duit dari mana.” Wanita itu selalu saja sangat menunjukkan perhatiannya terhadap anak perempuannya walaupun telah memiliki keluarga. “Jadi, maksud Ibu gimana?” tanya Mas Bimo. “Bantulah keponakan kamu untuk beli beras.” “Kan, ada Mas Fajar, Buk.” “Fajar sekarang nggak bisa diharapkan.” “Kenapa jadi Ibu yang bingung? Kak Mira, kan, udah punya keluarga. Suaminya harusnya usaha untuk memenuhi kebutuhan istri dan anaknya.” Sepertinya Mas Bimo tidak setuju dengan sikap ibunya yang terlalu mencampuri rumah tangga Kak Mira. “Jangan pelit sama kakak sendiri. Tuh, istri kamu pegang duit banyak.” Ibu mertua melihat uang dalam genggamanku yang belum sempat aku simpan. 🏵️🏵️?
🏵️🏵️🏵️ “Mau nambah, Sayang?” tanya Mas Bimo. Dia berhasil membuyarkan lamunanku. “Nggak, dong, Mas. Ini aja udah kenyang banget.” Aku pun menyeruput air lemon kesukaanku. “Oh, ya, Mas … jangan lupa bungkusin untuk Bapak, Ibu, dan Ratih.” Aku tidak ingin dianggap sebagai menantu yang lupa keluarga suami ketika sedang makan di luar. “Lain kali aja, Sayang. Sekarang timing-nya lagi nggak pas. Kamu tahu sendiri tadi sikap Ibu. Bisa-bisa nanti makanan yang kita bawa, nggak dimakan. Aku udah hafal banget sifat Ibu.” Mas Bimo justru memberikan penjelasan panjang lebar dan tidak bersedia membeli makanan untuk orang tua dan adiknya. “Ya udah, terserah kamu aja.” Aku tidak ingin berdebat. Lagi pun, Mas Bimo pasti lebih tahu sifat keluarganya. Kami pun segera keluar dari tempat makan tersebut menuju parkiran. Ternyata Bagas sudah tidur di pangkuan Mas Bimo sejak tadi. Aku pun menggendongnya lalu menaiki kendaraan roda dua milik Mas Bimo, kemudian mulai membelah jalanan. Sepuluh menit kem
🏵️🏵️🏵️ Malam ini setelah selesai makan bersama, Mas Bimo meminta kedua orang tuanya, juga adiknya agar tetap duduk. Dia mengaku ingin menyampaikan hal yang sangat penting. Aku sangat tahu, apa yang akan dia sampaikan. Kami akan segera meninggalkan rumah ini. “Ada apa?” tanya Bapak mertua dengan nada ketus. Sepertinya dia tidak memiliki rasa malu, padahal baru saja menikmati makanan dari hasil jerih payah anaknya. Untuk bicara saja, tidak bisa lebih lembut. “Besok sore, kami akan pindah dari rumah ini.” Mas Bimo pun langsung menyampaikan niatnya tanpa basa-basi. “Apa? Kamu nggak sayang lagi sama keluargamu?” Ibu mertua membuka suara. “Seorang anak pasti akan tetap menyayangi orang tuanya. Tapi, aku beserta istri dan anakku ingin hidup mandiri. Sampai kapan kami akan tetap tinggal di rumah ini?” Mas Bimo memberikan jawaban dengan bijak. “Bagaimana dengan hidup kami?” Ibu mertua menunjukkan wajah teduh. Aku ingin tertawa melihat aktingnya. “Ibu tenang aja, jatah yang biasa Ibu t
🏵️🏵️🏵️ Aku juga ingin membuktikan kepada Papa dan Mama kalau aku tidak salah memilih pendamping hidup. Walaupun Mas Bimo tidak memiliki kekayaan seperti yang orang tuaku harapkan, tetapi dia mampu memberiku kebahagiaan dengan cinta tulusnya. Aku sangat berharap agar Mas Bimo tidak berubah supaya aku berani dan bangga mengakui dirinya yang terbaik di depan Papa dan Mama nanti. Jika sampai dia terpengaruh dengan maraknya pengkhianatan di luar sana, aku akan bertindak tegas atau mungkin pulang ke rumah orang tuaku. Sebenarnya, aku tidak ingin berpikir terlalu jauh karena saat aku dan Mas Bimo baru resmi menjadi suami istri, kami telah berjanji dan bersumpah untuk saling setia hingga maut memisahkan. Aku juga tidak memiliki niat sedikit pun untuk menggantikan posisi Mas Bimo dengan lelaki mana pun. “Kalau kamu sampai berkhianat, kita cerai,” ucapku kala itu. “Aku nggak pernah memikirkan hal itu sedikit pun. Hanya kamu yang kucintai.” Dia meyakinkanku. Aku tetap percaya dengan cint
🏵️🏵️🏵️ Mas Bimo tidak boleh tahu tentang ini. Aku harus segera memblokir nomor Andrew. Jangan sampai statusku terbongkar sekarang. Lagi pun, aku tidak mau bertemu dengan laki-laki itu. Walaupun dulu, dia tidak marah waktu aku menolak perjodohan kami, tetapi aku harus tetap waspada. Aku sangat tahu kalau Andrew mencintaiku sebelum perjodohan itu diputuskan. Namun, entah kenapa aku tetap tidak memiliki perasaan lebih untuknya. Aku bahkan pernah memintanya menikah dengan Flora—sahabatku, yang telah lama mencintainya. Akan tetapi, Andrew justru menolak Flora dengan kasar karena dia mengaku hanya mencintaiku. Sejak kejadian itu, persahabatanku dengan Flora akhirnya renggang. Dia menganggapku tidak serius menyatukan dirinya dengan Andrew. Arrrggghhh! Kenapa aku harus memikirkan masa lalu setelah tiba di rumah ini? Padahal, aku berharap akan menemukan ketenangan setelah tinggal terpisah dengan keluarga Mas Bimo. Namun kenyataannya sekarang, aku justru menghadapi masalah baru. Mungkin
🏵️🏵️🏵️ “Besok, kan, bisa aku tanyain, Mas.” Aku tetap berusaha agar Mas Bimo tidak bersikeras memintaku mencari tahu nomor yang menelepon. “Ya udah, terserah kamu aja. Kita istirahat sekarang.” Kami pun merebahkan tubuh. Seperti biasa, dia selalu memelukku dari belakang. “Oh, ya, Sayang … aku boleh nanya?” Ya ampun, apa lagi yang akan dia tanyakan? “Harus sekarang, ya, Mas? Kamu, kan, capek hari ini. Besok juga harus kerja.” Aku berharap agar Mas Bimo mengurungkan niatnya untuk bertanya. “Aku belum ngantuk. Aku masih pengen ngobrol.” Ternyata usahaku seolah-olah sia-sia. “Kamu mau nanya apa, Mas?” Aku pun pasrah. “Sejak kapan kamu punya kalung berlian yang ada di koper kamu? Tadi aku nggak sengaja lihat lagi. Sepertinya harganya nggak murah. Itu barang mewah.” Ternyata walaupun kami telah pindah dari rumah mertua, Mas Bimo tetap masih melontarkan pertanyaan yang sama tentang kalung berlian prmberian Mama. Sepertinya aku lebih baik memberitahukan kapan menerima kalung itu. Sem
🏵️🏵️🏵️ Tidak terasa waktu berlalu sangat cepat. Hari ini, kami telah seminggu tinggal di rumah ini. Aku baru ingat kalau rencana untuk membentuk grup tetangga lama, belum aku sampaikan kepada Bu Dewi. Aku juga ingin tahu kabar keluarga Mas Bimo. Aku segera meraih ponsel untuk menghubungi Bu Dewi. Ternyata ada pesan masuk dari Andrew. Laki-laki itu seolah-olah pantang menyerah untuk mengetahui info tentangku. Beberapa nomornya telah aku blokir, tetapi dia masih tetap bersikeras menggantinya dengan nomor lain hingga membuatku lelah. Nomor dia yang sekarang, tidak aku blokir lagi, tetapi tetap tidak aku simpan ke daftar kontak. Aku takut jika Mas Bimo melihat namanya nanti. Dia mengaku telah kembali ke Samarinda. Namun, dalam waktu dekat ini, dia akan berkunjung lagi ke kota ini. [Tolong temui aku nanti setelah aku tiba di Palembang.] Aku tidak memberikan respons, hanya membacanya saja. Aku malas berdebat dengan laki-laki yang gagal jadi jodohku itu. Entah kenapa dia masih menghub