“Makan terus! Tapi giliran kasih uang belanja paling sedikit. Benar-benar menantu gak guna!” omel ibuku.
Deg! Ucapan Ibu membuat hatiku teriris, terutama melihat Bang Yuda—suamiku—yang sedang makan di dapur. Kulihat lelaki yang baru menikahiku tiga bulan lalu itu memperlambat kunyahannya. Jelas sekali dia tersinggung. Padahal, Bang Yuda hanya makan sekali sehari di rumah. Pekerjaannya sebagai buruh pabrik dengan UMR rendah membuatnya diperlakukan berbeda dari menantu lainnya. “Bang, sudah selesai makannya?” tanyaku pelan saat dia masuk ke kamar. “Alhamdulillah, sudah, sayang,” jawabnya lembut. “Bang...” aku memanggil, ragu. “Hmm? Kenapa, sayang?” tanyanya, menatapku dengan penuh perhatian. “Perlakuan Ibu itu keterlaluan sama Abang. Kenapa Abang cuma diam aja?” tanyaku sambil memeluk tubuhnya erat. Dia tersenyum tipis. “Gak apa-apa, sayang.” “Gak apa-apa bagaimana? Itu sudah keterlaluan. Abang kan juga menantu di rumah ini,” ujarku gemas dengan sikapnya yang terlalu sabar. Dia hanya tersenyum lagi tanpa menanggapi. “Abang gak akan ninggalin aku, kan?” tanyaku tanpa sadar, membuatnya tertawa kecil. “Mana mungkin Abang ninggalin wanita sebaik Yuhanza Al-azhari,” katanya sambil mengelus kepalaku, membuat hatiku hangat. “Semoga kita segera punya rumah sendiri ya, Bang. Atau kalau perlu ngontrak aja. Aku udah gak tahan lihat sikap Ibu ke Abang,” ujarku penuh harap. “Iya, Abang usahakan kita bisa punya rumah sendiri,” jawabnya, tersenyum penuh arti. Aku mengangguk, mengamini ucapannya sambil menatap wajahnya yang tenang. Tiba-tiba terdengar ketukan keras di pintu, mengganggu ketenangan kami. “Yud! Yuda! Ada di dalam gak?” teriak Bang Andi dari luar, membuat suasana jadi tak nyaman. “Sebentar, sayang,” ucap Bang Yuda sebelum buru-buru membuka pintu. “Ada apa, Bang Andi?” tanyanya sopan. “Sebentar lagi teman-teman kantorku datang. Tolong bersihkan dulu ruang tamu, ya! Sekalian siapkan camilan dan buah-buahan yang udah aku beli, nih!” kata Bang Andi sambil menyerahkan keresek besar berisi makanan. “Oh iya, nanti kalau mereka sudah datang, kamu harus selalu di dekatku, oke?” lanjutnya, dan Bang Yuda hanya mengangguk. Kenapa suamiku harus menuruti dia? Kakak ipar ini benar-benar tidak tahu diri. Masa dia tidak bisa bereskan ruang tamu sendiri? Terus, Mbak Nita ke mana? Kenapa bukan dia yang membantu suaminya? Keterlaluan! Bukankah seharusnya Bang Andi sendiri yang repot? Aku baru mau protes, tapi Bang Yuda sudah mengangguk-angguk tanda setuju. Sementara Bang Andi langsung pergi begitu saja. “Bang, kenapa Abang mau saja?” tanyaku dengan nada ketus. “Gak apa-apa, sayang. Kita lihat saja apa yang akan dilakukan Bang Andi nanti,” jawabnya dengan senyuman misterius. “Terserah!” ucapku jengkel. “Jangan marah, ya. Abang beresin dulu ruang tamunya,” katanya lembut sebelum pergi ke ruang tamu. “Yuda, sekalian lap meja makannya sampai bersih!” terdengar suara Ibu dari kejauhan. Aku segera menghampiri Ibu yang hendak menuju kamarnya. “Bu? Mbak Nita ke mana? Kok jadi Bang Yuda yang repot?” tanyaku tak sabar. “Sudah, kamu diam saja. Suamimu itu kerjanya cuma bolak-balik panti asuhan, kerja di pabriknya juga UMR rendah. Jadi wajar kalau Ibu suruh-suruh dia. Itung-itung bayar numpang di rumah ini,” omel Ibu, benar-benar keterlaluan. Mentang-mentang Bang Yuda bukan orang berada. ** “Hai, selamat datang di rumahku. Mari masuk semuanya!” Bang Andi dan Mbak Nita tampak menyapa tamu-tamu yang baru tiba. Rasanya ingin aku berteriak kalau ini bukan rumahnya. Seenaknya saja ngaku-ngaku. Bang Yuda, kenapa dia mau-maunya lagi ikut sama Bang Andi? Dari balik pintu kamar, aku terus memperhatikan suamiku. Ada yang aneh ketika salah seorang tamu melihat wajah Bang Yuda. Mereka tampak sama-sama terkejut. “T-tuan...?” Lelaki berkemeja biru itu terkejut, menunjuk ke arah Bang Yuda dengan ekspresi tak percaya. Bang Yuda segera memalingkan wajah, tak menghiraukan sapaan itu. “Rendi,” Bang Andi menyadari sesuatu aneh, lalu bertanya, “kamu kenapa?” dengan nada heran. “Oh iya, semuanya, kenalin ini, Nita istriku dan ini adalah asisten rumahanku,” lanjut Bang Andi dengan percaya diri, sambil menunjuk ke arah suamiku. Apa-apaan ini? Dengan percaya dirinya Bang Andi menyebut suamiku asisten rumahannya? “Eh, teman-teman Andi sudah datang rupanya? Saya Ayu, mertuanya Andi. Oh iya, asisten Andi itu, selain jadi asisten, dia juga pembantu di rumah ini. Pembantu kami di sini memang laki-laki,” tiba-tiba Ibu datang dengan ucapan yang ngawur. Ini sudah di luar batas! “Tidak mungkin!” Lelaki berkemeja biru itu tiba-tiba berseru keras. Semua orang langsung menatapnya dengan bingung. Sementara Bang Yuda tampak memberi kode pada pria itu. “Ehm... maaf semuanya, tiba-tiba aku bersikap aneh. Lupakan saja, ayo kita nikmati acara ini,” ucapnya dengan senyum canggung, sambil melirik suamiku sekilas. “Tuan?” gumamku kebingungan di balik pintu kamar. “Ada apa sebenarnya?” tanyaku dalam hati, makin bingung dengan situasi yang terjadi. --“Selamat, Pak. Anak Bapak perempuan. Wajahnya cantik sekali, sehat, tidak ada kurang satu apa pun,” ujar Dokter. Hari ini adalah hari yang ditunggu-tunggu kedua pasangan Yuda dan Hanza. Setelah lamanya menanti selama sembilan bulan, akhirnya Hanza melahirkan seorang anak perempuan. Keluarga besar mereka ikut menemani persalinannya. Tak ada yang tak meneteskan air mata, semua terharu karena dapat menggendong cucu pertama mereka. Kehadirannya disambut begitu bahagia.“Alhamdulillah. Nak gadis. Kamu cantik sekali, Nak. Hidungmu mirip papamu dan wajahmu mirip ibumu. Jadi anak yang shalihah ya, Nak,” tutur Meli sembari menggendong dengan hati-hati bayi mungil itu. “Terima kasih, Dokter. Telah membantu proses persalinan istri saya.”“Sama-sama. Ini semua berkat do’a kalian dan pastinya ada campur tangan Allah yang melancarkan segalanya.” Dua hari kemudian, Hanza sudah berada di rumahnya. Setelah proses melahirkan di rumah sakit. “Ya Allah, gemes banget, Nyonya kecil ini,” Mbak Nani men
Sepanjang perjalanan, Bu Ayu terus saja menepuk-nepuk pelan Sania agar ia tersadar dari pingsannya. Keluarga mereka begitu kacau. Sementara Nita, ia hanya menatap kosong, memikirkan Andi yang dipenjara.“Apa mau ke rumah sakit, Bu?” tanya sopir taksi. Ia melihat iba pada Sania.“Tidak usah, Pak. Kita pulang saja ke alamat tujuan,” ketus Bu Ayu.“Nita! Kamu malah bengong aja dari tadi! Bantu kek, biar Sania cepat sadar!” bentak Ayu membuat Nita terkesiap dari lamunannya.“Ya udah, sih! Nanti juga sadar sendiri!” timpal Nita kesal.“Kamu ini! Sama adik sendiri gak ada tolongnya!” “Ibu tuh! Yang pilih kasih! Si Sania itu udah kurang ajar sama aku sebagai kakaknya tahu gak, Bu? Tapi Ibu selalu saja belain dia walaupun dia salah! Selama ini aku berbaik hati pada dia karena dia adikku! Tapi, kalau ingat kelakuannya sama aku yang suka ngatain gak sopan kalau gak dikasih uang, rasanya aku akan berhenti peduli saja sama dia! Ibu aja yang urus sendiri!” Nita begitu marah. Tak peduli ada sopir
“Semoga, kalian selalu bahagia ya, Nak. Tinggalkan yang membuat kalian tak nyaman.” Ghazi berujar.“Iya, Pa. Mulai hari ini, aku tidak akan membiarkan Hanza dekat dengan mereka. Mereka bukan darah daging Hanza, juga tak pernah mempunyai hutang Budi,” balas Yuda. Sementara Hanza tidak berkomentar apa pun. Sepanjang perjalanan pulang, ia hanya menatap jalanan dengan lalu lalang kendaraan. Yuda dan Ghazi mengerti perasaannya, membiarkan Hanza dengan pikirannya sendiri. “Oh iya, Pa, mau menginap di rumah kami saja?”“Tidak perlu, Nak. Papa banyak pekerjaan juga di kantor.”“Papa tidak perlu bekerja lagi, biar semuanya aku yang handle, Pa.”“Selama badan Papa masih kuat dan sehat, Papa tidak mau mengandalkan hasil keringat anak Papa. Papa masih bisa mencari nafkah, Nak. Papa ingin menambah tabungan Papa untuk hari nanti saat Papa tak mampu untuk bekerja lagi.” Ucapan Ghazi membuat kedua pasangan itu tersentuh. Rasa kagumnya pada orang tuanya begitu dalam. Ghazi memang orang tua yang pa
Hari ini adalah hari pernikahan Sania. Semua orang di rumah Bu Ayu, tampak sibuk dengan acara tersebut. Mereka bersiap-siap menunggu jemputan mobil yang akan membawanya ke gedung pernikahan. Sementara di rumah Alamsyah. Wanita paruh baya bersetelan rapi mengetuk pintu beberapa kali. Setelah pintu terbuka, wanita itu tersenyum begitu puas. “Maaf, ada yang bisa dibantu, Bu?” tanya seorang pembantu.“Saya mau bertemu dengan tuan rumah ini. Ini penting, tolong sampaikan,” ucapnya. Pembantu mengangguk, lalu ia melangkah menuju ruang keluarga. Di mana ada Alamsyah dan ibunya yang juga sedang bersiap. “Permisi, Bu. Pak, ada tamu di luar,” ucapnya.“Suruh ke dalam saja, Bi. Nanti aku ke sana,” ucap Alam. “Baik, Pak.” Pembantu itu segera kembali ke luar mempersilakan masuk tamu wanita itu. Bi Ina, segera menyuguhkan air dan camilan di atas meja. Lalu ia kembali dengan pekerjaannya. Alamsyah dan Bu Sri, menghampiri wanita yang kini sedang menunggu di ruang tamu.“Maaf, Bu. Ada keperluan
“Bang Andi. Besok akan dijemput polisi atas kasus yang telah ia perbuat.” “Syukurlah. Dia memang harus dapat pelajaran. Agar cepat sadar,” timpalku. Kini kami telah sampai di rumah. Para pelayan sepertinya sedang istirahat. Memang aku yang meliburkan mereka untuk hari ini. Begitu memasuki rumah, banyak sekali kado yang berjajar di ruang tamu. “Bang, dari siapa ini? Kok banyak sekali?”Bang Yuda tampak melihat satu persatu kado yang berbagai macam ukuran itu. “Dari karyawan kantor, Sayang. Mungkin mereka sengaja mengantarnya langsung ke rumah. Ada-ada saja mereka.”“Berterima kasihlah, Bang pada mereka,” ucapku. “Iya, Abang foto dulu. Habis itu kita kirim ke grup wa. Kita ucapkan terima kasih pada mereka semua.” Bang Yuda mengambil ponselnya lalu memotret kado-kado. “Ya sudah, Bang. Kita istirahat dulu. Rasanya lelah sekali, walaupun cuman duduk di kursi pelaminan,” ajakku. Kami berdua menaiki anak tangga menuju kamar. Kuhempaskan tubuhku di atas kasur lalu kunyalakan AC. Lelahn
Jujur, hari ini seluruh kebencian dan kekecewaanku pada Ibu lenyap begitu saja. Aku hanya ingin melepas rindu dengan Ibu setelah berapa lamanya kita tak bertemu. Ibu sudah meminta maaf padaku. Aku ikhlas memaafkannya. Aku mengangguk, lalu kembali memeluk erat wanita yang telah melahirkanku. Kini kami menjadi pusat perhatian banyak orang. Bang Yuda, dan Papa mertua begitu terkejut juga. Pak Sony juga tampaknya mengeluarkan air mata haru. “Ya sudah, Nak. Ini Papa sambungmu. Pak Sony namanya.”“Iya, Bu.” Aku mengecup takzim tangan Pak Sony yang kini menjadi Papa sambung. “Nak, kami turun dulu, ya? Kasihan orang lain mengantri,” ucap Ibu. “Iya, silakan, Pak, Bu. Selamat menikmati hidangan di sini,” balasku masih dengan suara bergetar.Mereka berdua turun dari pelaminan. Suasana kembali lagi seperti semula, aku lihat ibu sambungku terus saja memperhatikanku lalu mereka terlihat berbisik-bisik. Entahlah, mungkin mereka juga kaget ternyata Ibu kandungku masih hidup. “Sungguh, Abang masi
***Hari-hari yang ditunggu itu kini telah datang. Pagi ini, aku sudah didandani begitu cantik oleh seorang MUA. Aku begitu pangling melihat diriku dalam pantulan cermin besar. Gaun putih elegan ini dan hijab yang senada tak lupa juga disematkan mahkota di atasnya membuat aku tak kenal dengan diriku sendiri. “Mbak, jago banget riasannya,” seruku.“Bagaimana, Bu Hanza? Suka?”“Suka banget, Mbak. Terima kasih, ya.” “Lihat, Pa. Menantu Papa ini, cantik sekali,” ujar Bang Yuda membuat aku tersenyum malu.“Anak Papa benar-benar lihai dalam memilih pasangan hidup.” Papa memuji Bang Yuda sembari menepuk pundaknya pelan.“Sebagaimana Papa memilih Mami dulu, kan?” “Benar sekali.”Kedua lelaki itu tertawa renyah, aku dan tim MUA pun, ikut tertawa mendengar percakapan mereka itu. “Ya sudah, Papa mau keluar dulu, ya? Teman-teman Papa sepertinya sudah ada yang datang,” pamit Papa. “Siap, Pa.” Aku memandangi kekasih halalku dengan tatapan penuh kekaguman. Hari ini, Bang Yuda begitu tampan se
“Mbak, semua makanan sudah siap?” tanyaku pada Mbak Nani.“Sudah, Nya. Ini aku mau menaruhnya di meja makan dan ruang tamu,” ucap Mbak Nani.“Kok, Mbok gak tahu, kalau Sinta ada yang mau lamar, Nya? Tahu tadi subuh dari Nani,” ucap Mbok Rusli.Mbok Rusli sudah tidur malam itu, jadi dia tidak tahu dengan kejadian semalam. “Gak papa, Mbok. Yang penting sekarang Mbok sudah tahu,” jawabku.“Iya, Mbok malah tidur lebih awal jadinya gak tahu, Nya. Ya sudah, Mbok mau lanjutkan pekerjaan, Nya.” Wanita paruh baya itu begitu cekatan kerjanya meskipun usianya tak muda lagi. Sementara aku mengecek ke kamar Mbak Sinta. Aku memberikan baju baru untuknya agar dipakai di hari penyambutan keluarga Andri. Mbak Sinta tampak cantik sekali, dia memakai make up tipis natural. Meskipun begitu auranya begitu beda hari ini. Gamis berwarna merah marun senada dengan kerudungnya membuat wanita bertubuh sintal itu anggun sekali. “Nyonya, aku bingung, nanti harus bagaimana?” “Jika dia baik, lebih baik terima
Hanza PovMalam ini kami berdua makan malam di kamar kami. Aku merasa geram sekali setelah mendengar kabar kalau Bang Andi hendak membakar kantor milik suamiku. Manusia macam apa dia, tak pernah sekali pun, bersyukur. Aku juga begitu penasaran, siapa malam-malam bertamu kemari untuk menemui Bang Yuda. Makan malam segera kami selesaikan. Karena penasaran, aku ikut ke bawah sembari membawa piring bekas kami makan. “Bang, siapa itu?” bisikku pada Bang Yuda, saat kami menuruni anak tangga.“Abang juga tidak tahu, Sayang. Kita samperin saja,” balas Yuda. Kami telah sampai di lantai bawah. Bang Yuda terlihat heran, siapa lelaki asing ini. Sementara, aku menyimpan piring kotor ke dapur. Lalu aku juga ikut duduk bersama suamiku.“Maaf, Anda siapa? Dan ada perlu apa datang kemari?” tanya Bang Yuda.Pria berhodie biru itu tampak gugup, lalu sedikit berdehem. Mungkin untuk menghilangkan kegugupannya.“Sebenarnya saya ke sini untuk meminta maaf, Pak,” ucapnya membuat kami berdua semakin kebin