Share

Bab 2

Penulis: Putri Sabrina
last update Terakhir Diperbarui: 2024-08-31 15:46:57

“Sayang?” panggil suamiku, menatap penuh pertanyaan.

“Kenapa sih, Abang gak lawan aja mereka? Kenapa Abang diam saja? Abang juga punya harga diri! Apa menghargai seseorang itu harus dilihat dari hartanya?” tanyaku, merasa tak bisa lagi menahan emosiku.

“Sabar, sayang. Sabar ...,” jawabnya dengan lembut, berusaha menenangkan.

“Sudah, ayo bantu aku mengemasi barang-barang kita, Bang!” Aku mulai membuka lemari dan menarik baju-baju yang ada di sana dengan tergesa.

“Sayang, jangan membuat keputusan saat sedang emosi. Kamu sabar dulu, ada sesuatu yang belum Abang selesaikan di sini,” ujarnya menatapku lekat, seakan ada sesuatu yang penting yang belum diungkapkan.

“Sesuatu apa itu, Bang?” tanyaku, penasaran dan sedikit khawatir.

“Nanti kamu juga tahu kebenarannya, kita tidak boleh dulu meninggalkan rumah ini.” Lelakiku itu tersenyum penuh arti, membuatku semakin bingung.

Aku yang begitu penasaran mengangguk dengan perasaan campur aduk. Lagi pula, aku juga belum menyelidiki kode yang suamiku tunjukkan pada orang tadi, dan kata ‘Tuan’? Kenapa orang itu refleks memanggil sebutan itu kala melihat suamiku?

“Andi! Kamu keterlaluan banget ya! Kamu tidak tahu sebenarnya dia itu siapa, hah?” Suara marah tiba-tiba terdengar dari ruang tamu.

“Apa maksudmu, Rendi? Dia siapa maksudmu?” tanya Bang Andi dengan nada heran dan sedikit bingung.

“Laki-laki yang kalian semua hina!” teriak Rendi, penuh kemarahan.

Aku segera membuka sedikit pintu kamar, menyaksikan apa yang sedang terjadi di ruang tamu dengan jantung berdebar.

“Siapa dia? Dia itu cuma lelaki yatim piatu kere yang tinggal di panti asuhan, kan? Hahaha ...!” Bang Andi tertawa terbahak-bahak, membuat perutku terasa mual.

“Hei Andi! Kamu jangan sok tahu ya! Dan kalian semua yang baru keterima kerja di kantor saja sudah sombong ikut menertawakan dia. Asal kalian tahu, kalau Tuan Yuda adalah pemilik perusahaan itu!” Suara Rendi terdengar penuh amarah dan keyakinan, membuat suasana berubah tegang.

“Rendi! Kamu jangan kebanyakan ngarang deh! Kita semua gak percaya sama omongan kamu itu, iya gak teman-teman? Perlu kamu tahu, Rendi, dia itu kerjanya di pabrik. Mana mungkin laki-laki kere dan dekil seperti dia mengelola perusahaan sebesar itu. Ckckck, jangan halu!” Bang Andi membalas dengan nada mengejek.

“Iya, Ibu juga gak percaya, dia itu lelaki miskin yang kerjanya cuma nyusahin di sini,” ketus Ibu, tanpa sedikit pun perasaan bersalah.

Aku terkejut mendengar percakapan itu. Refleks, aku menoleh ke arah Bang Yuda yang sedang terduduk di atas kasur, terlihat tenang meski situasinya begitu kacau. Aku tidak percaya, apakah ini semua hanya mimpi?

“Sudah deh, daripada kamu bicara ngelantur, mendingan kita semua sudahi perkumpulan ini, oke? Besok kita bertemu di kantor lagi, teman-teman!” ucap Bang Andi, yang segera diikuti oleh pamitan dari semua orang yang ada di sana. Sementara Rendi masih berdiri mematung di ruang tamu, menatap Bang Andi dengan penuh kemarahan.

“Pulang, Ren. Kamu mau ngapain di sini?” usir Bang Andi dengan nada tak sabar.

Lelaki itu kemudian pergi, sepertinya dengan amarah yang bergemuruh di dadanya. Aku masih tak mengerti, apakah benar ucapan Rendi tadi bahwa Bang Yuda adalah pemilik perusahaan?

“Bang? Abang dengar perkataan lelaki tadi? Apa Abang kenal sama dia?” tanyaku bertubi-tubi, tak mampu menahan rasa ingin tahuku.

Suamiku hanya bergeming, tidak memberikan jawaban apa pun.

“Bang? Jawab!” pintaku dengan nada mendesak, merasa gemas sekali.

“Sayang, mana mungkin aku mempunyai perusahaan besar? Benar kata Bang Andi, mana mungkin lelaki kere dan dekil ini mengelola perusahaan,” ujarnya sambil tersenyum miring, menyiratkan sesuatu yang tidak kumengerti.

“Terus tadi tangan Abang nunjukin kode diam. Kenapa, Bang? Aku tahu karena dari tadi memperhatikan Abang. Gerak-gerik Abang, mimik wajah Abang, semuanya deh. Di sana aku menemukan sesuatu,” ucapku, mencoba memahami situasi yang semakin rumit.

Lelaki berhidung mancung itu tersenyum tipis padaku, lalu mengambil ponsel di dalam tasnya. Sejak kapan dia mempunyai ponsel dua? Bahkan ponselnya itu sejenis iPhone.

“Sayang, kamu boleh lihat ini,” ucapnya, sembari meletakkan ponsel mahal itu di telapak tanganku dengan ekspresi tenang.

"Maksud Abang? Ini punya siapa, Bang?" tanyaku kebingungan.

"Nyalakan saja. Itu tidak dikunci kok," jawabnya, mengabaikan pertanyaanku.

Aku melirik sekilas pada suamiku, lalu perlahan menyalakan ponsel yang kini kupegang.

"Aku harus lihat bagian mana dulu?" Aku benar-benar bingung melihat layar ponsel yang begitu asing ini.

"Yang mana saja yang kamu mau, sayang," jawabnya.

Karena jawabannya seperti itu, aku membuka bagian album. Namun, ketika aku klik, tidak ada gambar apa pun di sana. Sebenarnya, apa maksudnya menyuruhku melihat ini?

"Apaan sih, Bang? Gak ada apa-apanya kok," kataku sambil mengembalikan ponsel mahal itu ke tangannya.

"Ini hadiah buat kamu," ucapnya sambil menyodorkan kembali ponsel itu padaku.

"Hadiah? Kenapa Abang belikan ponsel semahal ini? Kan sayang uangnya. Lagi pula, Abang dapat uang dari mana untuk membeli ponsel sebagus ini?"

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • DIKIRA MENANTU MISKIN    Bab 35

    “Selamat, Pak. Anak Bapak perempuan. Wajahnya cantik sekali, sehat, tidak ada kurang satu apa pun,” ujar Dokter. Hari ini adalah hari yang ditunggu-tunggu kedua pasangan Yuda dan Hanza. Setelah lamanya menanti selama sembilan bulan, akhirnya Hanza melahirkan seorang anak perempuan. Keluarga besar mereka ikut menemani persalinannya. Tak ada yang tak meneteskan air mata, semua terharu karena dapat menggendong cucu pertama mereka. Kehadirannya disambut begitu bahagia.“Alhamdulillah. Nak gadis. Kamu cantik sekali, Nak. Hidungmu mirip papamu dan wajahmu mirip ibumu. Jadi anak yang shalihah ya, Nak,” tutur Meli sembari menggendong dengan hati-hati bayi mungil itu. “Terima kasih, Dokter. Telah membantu proses persalinan istri saya.”“Sama-sama. Ini semua berkat do’a kalian dan pastinya ada campur tangan Allah yang melancarkan segalanya.” Dua hari kemudian, Hanza sudah berada di rumahnya. Setelah proses melahirkan di rumah sakit. “Ya Allah, gemes banget, Nyonya kecil ini,” Mbak Nani men

  • DIKIRA MENANTU MISKIN    Bab 34

    Sepanjang perjalanan, Bu Ayu terus saja menepuk-nepuk pelan Sania agar ia tersadar dari pingsannya. Keluarga mereka begitu kacau. Sementara Nita, ia hanya menatap kosong, memikirkan Andi yang dipenjara.“Apa mau ke rumah sakit, Bu?” tanya sopir taksi. Ia melihat iba pada Sania.“Tidak usah, Pak. Kita pulang saja ke alamat tujuan,” ketus Bu Ayu.“Nita! Kamu malah bengong aja dari tadi! Bantu kek, biar Sania cepat sadar!” bentak Ayu membuat Nita terkesiap dari lamunannya.“Ya udah, sih! Nanti juga sadar sendiri!” timpal Nita kesal.“Kamu ini! Sama adik sendiri gak ada tolongnya!” “Ibu tuh! Yang pilih kasih! Si Sania itu udah kurang ajar sama aku sebagai kakaknya tahu gak, Bu? Tapi Ibu selalu saja belain dia walaupun dia salah! Selama ini aku berbaik hati pada dia karena dia adikku! Tapi, kalau ingat kelakuannya sama aku yang suka ngatain gak sopan kalau gak dikasih uang, rasanya aku akan berhenti peduli saja sama dia! Ibu aja yang urus sendiri!” Nita begitu marah. Tak peduli ada sopir

  • DIKIRA MENANTU MISKIN    Bab 33

    “Semoga, kalian selalu bahagia ya, Nak. Tinggalkan yang membuat kalian tak nyaman.” Ghazi berujar.“Iya, Pa. Mulai hari ini, aku tidak akan membiarkan Hanza dekat dengan mereka. Mereka bukan darah daging Hanza, juga tak pernah mempunyai hutang Budi,” balas Yuda. Sementara Hanza tidak berkomentar apa pun. Sepanjang perjalanan pulang, ia hanya menatap jalanan dengan lalu lalang kendaraan. Yuda dan Ghazi mengerti perasaannya, membiarkan Hanza dengan pikirannya sendiri. “Oh iya, Pa, mau menginap di rumah kami saja?”“Tidak perlu, Nak. Papa banyak pekerjaan juga di kantor.”“Papa tidak perlu bekerja lagi, biar semuanya aku yang handle, Pa.”“Selama badan Papa masih kuat dan sehat, Papa tidak mau mengandalkan hasil keringat anak Papa. Papa masih bisa mencari nafkah, Nak. Papa ingin menambah tabungan Papa untuk hari nanti saat Papa tak mampu untuk bekerja lagi.” Ucapan Ghazi membuat kedua pasangan itu tersentuh. Rasa kagumnya pada orang tuanya begitu dalam. Ghazi memang orang tua yang pa

  • DIKIRA MENANTU MISKIN    Bab 32

    Hari ini adalah hari pernikahan Sania. Semua orang di rumah Bu Ayu, tampak sibuk dengan acara tersebut. Mereka bersiap-siap menunggu jemputan mobil yang akan membawanya ke gedung pernikahan. Sementara di rumah Alamsyah. Wanita paruh baya bersetelan rapi mengetuk pintu beberapa kali. Setelah pintu terbuka, wanita itu tersenyum begitu puas. “Maaf, ada yang bisa dibantu, Bu?” tanya seorang pembantu.“Saya mau bertemu dengan tuan rumah ini. Ini penting, tolong sampaikan,” ucapnya. Pembantu mengangguk, lalu ia melangkah menuju ruang keluarga. Di mana ada Alamsyah dan ibunya yang juga sedang bersiap. “Permisi, Bu. Pak, ada tamu di luar,” ucapnya.“Suruh ke dalam saja, Bi. Nanti aku ke sana,” ucap Alam. “Baik, Pak.” Pembantu itu segera kembali ke luar mempersilakan masuk tamu wanita itu. Bi Ina, segera menyuguhkan air dan camilan di atas meja. Lalu ia kembali dengan pekerjaannya. Alamsyah dan Bu Sri, menghampiri wanita yang kini sedang menunggu di ruang tamu.“Maaf, Bu. Ada keperluan

  • DIKIRA MENANTU MISKIN    Bab 31

    “Bang Andi. Besok akan dijemput polisi atas kasus yang telah ia perbuat.” “Syukurlah. Dia memang harus dapat pelajaran. Agar cepat sadar,” timpalku. Kini kami telah sampai di rumah. Para pelayan sepertinya sedang istirahat. Memang aku yang meliburkan mereka untuk hari ini. Begitu memasuki rumah, banyak sekali kado yang berjajar di ruang tamu. “Bang, dari siapa ini? Kok banyak sekali?”Bang Yuda tampak melihat satu persatu kado yang berbagai macam ukuran itu. “Dari karyawan kantor, Sayang. Mungkin mereka sengaja mengantarnya langsung ke rumah. Ada-ada saja mereka.”“Berterima kasihlah, Bang pada mereka,” ucapku. “Iya, Abang foto dulu. Habis itu kita kirim ke grup wa. Kita ucapkan terima kasih pada mereka semua.” Bang Yuda mengambil ponselnya lalu memotret kado-kado. “Ya sudah, Bang. Kita istirahat dulu. Rasanya lelah sekali, walaupun cuman duduk di kursi pelaminan,” ajakku. Kami berdua menaiki anak tangga menuju kamar. Kuhempaskan tubuhku di atas kasur lalu kunyalakan AC. Lelahn

  • DIKIRA MENANTU MISKIN    Bab 30

    Jujur, hari ini seluruh kebencian dan kekecewaanku pada Ibu lenyap begitu saja. Aku hanya ingin melepas rindu dengan Ibu setelah berapa lamanya kita tak bertemu. Ibu sudah meminta maaf padaku. Aku ikhlas memaafkannya. Aku mengangguk, lalu kembali memeluk erat wanita yang telah melahirkanku. Kini kami menjadi pusat perhatian banyak orang. Bang Yuda, dan Papa mertua begitu terkejut juga. Pak Sony juga tampaknya mengeluarkan air mata haru. “Ya sudah, Nak. Ini Papa sambungmu. Pak Sony namanya.”“Iya, Bu.” Aku mengecup takzim tangan Pak Sony yang kini menjadi Papa sambung. “Nak, kami turun dulu, ya? Kasihan orang lain mengantri,” ucap Ibu. “Iya, silakan, Pak, Bu. Selamat menikmati hidangan di sini,” balasku masih dengan suara bergetar.Mereka berdua turun dari pelaminan. Suasana kembali lagi seperti semula, aku lihat ibu sambungku terus saja memperhatikanku lalu mereka terlihat berbisik-bisik. Entahlah, mungkin mereka juga kaget ternyata Ibu kandungku masih hidup. “Sungguh, Abang masi

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status