Mobil fortuner milik Dion terus membelah keramaian. Aku duduk dengan jantung yang berdgub-degub. Tak bisa dipungkiri jika keberadaannya mampu membuka lembaran memori yang sudah kulipat rapat-rapat. “Hmmm, mau makan dulu, gak?” Suaranya terdengar lembut bertanya. “Makan?” Bimbang, antara mengiyakan dan tidak. Bukan apa-apa, aku hanya takut jika rasa ini semakin subur saja dan akan berakhir kecewa. “Aku sudah lama gak makan menu angkringan dekat alun-alun kota! Di sana ada bubur ayam yang enak banget, loh!” Aku masih berpikir, kadang lemot emang. Di dalam sini ribut berperang antara hati dan logika. Masih teringat kata-kata ibu padaku.“Neng, kita harus bisa ngukur diri. Kita bukan orang kaya. Jadi kalau mau cari jodoh yang sepadan saja. Gak perlu kaya, cukup dia baik, dewasa, sayang sama kamu dan memiliki penghasilan tetap. Ibu pernah punya pengalaman pahit dulu, jadi Ibu gak mau hinaan yang dulu Ibu terima, kamu alami juga.” Aku memejamkan mata, entah kenapa kriteria yang Ibu uca
“Ayu, masuk dan kamu, Dion, tolong jauhi Ayu! Dia akan segera menikah!” Kalimat singkat yang membuat aku seketika tercekat. Ada apa dengan ibu? Kenapa sikapnya berubah menjadi sinis dan dingin seperti itu? “Bu! Dion hanya nganter Ayu pulang, kok! Kenapa Ibu bahas nikah-nikah segala?” Aku menatap manik hitam yang tampak terhalang kristal bening itu. “Ibu sudah bilang sama kamu, Ayu! Jangan pernah berhubungan dengan orang-orang yang berbeda kasta!” Suaranya terdengar bergetar. Sepertinya ada kesedihan yang menggelayut di dalam hatinya. “Ahm, Bu, Ayu … maaf kalau kedatangan saya mengganggu. Saya hanya berniat mengantar Ayu pulang, tak lebih dari itu. Saya juga tak ada niatan untuk mengganggu hubungan Ayu dengan calon suaminya!” Dion tampak bersikap tenang dan berusaha menjelaskan pada Ibu. Aku menggeleng perlahan, tetapi tak tahu harus atau tidak menjelaskan pada Dion. Sampai saat ini, bahkan belum ada satu pun lelaki yang datang ke rumah untuk meminang. Kenapa tiba-tiba Ibu mengata
Baru saja aku memanaskan motor matic kesayangan, beat warna hitam ini ketika terdengar klakson dari arah jalan. Ketikaku menoleh, ada sebuah mobil brio berwarna putih yang berhenti. Aku menautkan alis karena merasa tak familiar dengan mobil yang berhenti itu, hingga pintu mobilnya terbuka dan menampakkan sosok yang membuat aku terkesiap luar biasa. “P--Pak Faqih?” Aku mematung beberapa saat, menetralkan degub jantung yang berirama. Kekisruhan yang terjadi kemarin begitu mengganggu pikiranku. Aku bahkan lupa, ada janji yang belum selesai. Aku belum memberikan jawaban untuk Beliau. “Assalamu’alaikum!” Lelaki dengan kemeja lengan panjang warna maroon yang dipadu padankan dengan dasi hitam dan celana bahan itu turun. Sepatunya tampak mengkilap dan melenggang dengan ringan.“Wa’alaikumsalam!”Aku menghampirinya lalu mengangguk dan tersenyum. Biasanya aku meraih tangannya dan mencium punggung tangannya, bagaimanapun aku menghormatinya sebagai seseorang yang berjasa memberikan ilmu pengeta
Dua orang perempuan dengan pakaian glamour sudah berdiri di ambang pintu. Aku tahu siapa mereka, Dewi dan Tante Lani---mamanya Dion. Helaan napas kuhembuskan peralahan ketika melihat sorot mata penuh kebencian itu terpancar dari dua pasang mata yang berada di ambang pintu sekarang.“Rupanya … anak sama ibu sama saja. Sama-sama gak punya malu. Gak sadar diri kalau mereka pungguk, bermimpi merindukan rembulan!” Tante Lani langsung bicara dengan wajah judes dan nada merendahkan. Lalu apa tadi? Ibu dan anak? Apakah dia orang yang membuat Ibu menangis kemarin? Aku berjanji, andai iya, maka aku sendiri yang akan membuatnya menyesal sudah membuat perempuan yang kucintai, kembali menumpahkan air mata. Perempuan yang mati-matian perasaannya kujaga. “Ahmm … selamat siang, Tante! Maaf tolong jaga bicaranya! Tante boleh merendahkanku, tetapi jangan sampai menghina Ibu.” Aku menatap tajam perempuan dengan bibir merah itu yang masih berdiri di ambang pintu. Aku dan dia sejenak beradu pandang, te
Pov Dewi Aku tersenyum, bahagia sekali rasanya melihat wajah Ayu yang tampak terpukul sekali oleh ucapan Tante Lani. Dia melangkah pergi meninggalkan rumah Dion seperti pecundang yang kalah perang. Beruntung, Tante Lani belum tahu jika Ayu sudah menjadi penulis terkenal. Bagi Tante Lani yang urusannya setiap hari berkecimpung dengan keuangan perusahaan, dia tak tak terlalu paham dunia entertain. Baginya, Ayu masih seorang remahan yang tak patut diperhitungkan. Namun, sialnya kenapa Om Subekti seperti mendukung hubungan Dion dengan Ayu. “Sudah! Sudah, Mam! Apa salahnya sih kalau anak kita dekat dengan Ayu! Papa lihat dia anak baik, bahkan dia sedang mulai belajar berwirausaha juga! Biasanya kalau orang punya kemauan seperti Ayu, dia akan telaten dengan keluarga dan sukses dengan karirnya!” Ck, kesal sekali aku. Dari awal, memang Om Subekti bahkan tak terlalu mempedulikan keberadaanku. Bahkan dia tak memuji ketika tahu aku menjadi bintang iklan. “Papa! Sudah deh, diam! Apa Papa pi
Pov Lani “Hmmm … menurut Dewi, Tan! Talkshow itu harusnya bintang tamunya satu saja! Jadi misal dia dipanggil ya gak apa, tapi Tante mintanya jangan bareng sama dia! Apalagi novel dia baru difilmkan katanya ‘kan? Jadi takutnya nanti fokus audience terpecah!” ucap Dewi padaku. Sepertinya ucapannya dia ada benarnya juga. Gimana kalau penonton malah fokus pada Peri Aksara dan bukan pada prestasiku yang membanggakan? Katanya novel dan filmnya tengah booming sekarang. Walau aku gak terlalu ngikutin, tapi dengar-dengar sih seperti itu. “Tante belum pernah sih kayak gini, dulu pernah diundang talk show juga memang Tante sama Om saja, gak ada bintang tamu lain! Bisa kepecah fokus audience, ya?” tukasku pun, setuju dengan pendapat Dewi. “Iya, Tante! Mending minta sama kru mereka buat ganti jadwal saja, Tante! Jadi jangan sampai ada dua bintang dalam satu panggung! Jadi nanti jatohnya gak fokus audiencenya!” Dewi kembali meyakinkanku. Dia memang selalu begitu, perhatian dan bisa diandalkan
Pov Lani Aku dan Dewi lekas keluar, Dion yang akan menyetir untuk kami. Dia tampak tengah berdiri di samping mobil dan menelpon seseorang. “Maaf ya, aku jadi gak bisa nganter! Kamu hati-hati, ya! Sampai ketemu di sana!” tukasnya. Namun gegas dia mematikan panggilan dan menatap ke arahku dan tersenyum penuh arti. “Nelpon siapa, Yon?” tanyaku. “Kejutan untuk Mama!” tukasnya singkat seraya tersenyum, sontak kedua alisku saling bertaut. Apa yang dia maksud kejutan untuk Mama? Sepanjang perjalanan, Dion lebih banyak diam. Dia tampak seperti tengah memikirkan sesuatu. Sedangkan aku yang duduk di belakang pun tak leluasa mengajak ngobrol Dewi yang memilih duduk di depan, di samping Dion. Hanya sesekali Dewi membahas terkait pekerjaannya dan kesibukannya saat ini. Suasana menjadi sedikit tak menyenangkan karena sikap Dion yang tampak setengah enggan. Fortuner putih yang dikendarai Dion sudah mulai memasuki jalanan bebas hambatan. Dipacunya kendaraan yang ditumpanginya dengan kecepatan m
Hari di mana jadwal talkshow pun akhirnya tiba. Awalnya Dion berjanji akan mengantarku, hanya saja tiba-tiba dia mengabarkan jika harus mengantar ibunya juga. Aku, pastinya harus paham dan mengerti. Aku dan Dion bukan siapa-siapa. Linggaku masih milik ibunya. Ah, kadang kangen manggil dia seperti dulu, Lingga. Hanya aku yang sering menyebutnya seperti itu. Padahal semua teman memanggilnya Dion.“Kamu jadinya pergi naik apa?” tanyanya dari seberang telepon. “Paling naik mobil online, Yon!” jawabku yang sudah rapi mengenakan pakaian terbaikku. Bukan yang mahal, hanya saja mengenakan yang memang pantas dipakai. “Maaf ya, aku jadi gak bisa nganter! Kamu hati-hati, ya! Sampai ketemu di sana!” tukasnya. “Oke, Yon! Makasih.” Aku menjawab dan tetap menenangkan hati. Pertama kalinya akan tampil di acara televisi membuat aku nervous luar biasa. Sebuah mobil sigra warna putih sesuai applikasi pun mendekat. Aku memastikan nomor polisinya sama dengan yang tertera pada applikasi. “Mbak Ayu?” K