Part 4
Musik jazz lembut mengalun di panggung belakang, sementara para anggota arisan menikmati hidangan mewah yang tersaji. Dress mewah, tas branded, dan perhiasan berkilauan tampak menghiasi hampir setiap wanita di ruangan itu. Ayu langsung melirik panitia yang bertugas mengecek mutasi rekening. Setelah beberapa detik, panitia mengangguk. "Ya, sudah masuk." Beberapa dari mereka terdiam. Tidak ada yang menyangka Indah bisa membayar dengan begitu mudah. Rinta berdeham kecil, mencoba mencairkan suasana. "Oke, kalau gitu sekarang kita kocok ya, siapa yang pertama dapat arisan?" Mereka semua menunggu dengan penuh harap. Setelah beberapa kali dikocok, akhirnya panitia mengumumkan pemenangnya. "Selamat kepada... Rina!" Rina langsung menjerit kecil, wajahnya berbinar. "Oh my God! Aku yang dapat duluan? Wah, rezeki istri solehah nih!" Yang lain bersorak, meski beberapa di antara mereka merasa sedikit kecewa karena bukan nama mereka yang keluar. Indah masih menyesap minumannya dengan tenang saat obrolan mulai mengarah ke kehidupan pribadi. Fina, yang duduk di sebelahnya, tersenyum lebar sambil menggoyangkan ponselnya. "Aku sama suami habis lebaran mau honeymoon ke Eropa, lho! Udah lama banget rencananya, akhirnya kesampaian juga," katanya bangga. "Ya ampun, honeymoon lagi? Emang nggak bosen?" goda Rina. Fina tertawa kecil. "Ya nggak lah! Justru makin cinta. Apalagi dia udah nyiapin itinerary lengkap, semuanya serba romantis. Paris, Santorini, Swiss ... duh, jadi nggak sabar!" Rinta langsung menimpali, "Ih, enak banget! Suamiku juga sih suka kasih kejutan, kemarin aja tiba-tiba beliin aku tas limited edition. Padahal aku nggak minta, eh, dia tau-tau kasih!" Ayu ikut menyahut, "Suamiku juga gitu. Pulang kerja bawa bunga, terus ngajakin makan malam di tempat favoritku. Romantis banget, kan?" Mereka saling bertukar cerita, berlomba-lomba memamerkan perhatian manis dari suami masing-masing. Setelah beberapa saat, Rina menoleh ke Indah dengan senyum penuh arti. "Kalau kamu sendiri gimana, Ndah? Udah ada yang deketin, belum?" Semua mata langsung tertuju pada Indah. Beberapa menunggu dengan ekspresi penasaran, yang lain tampak sedikit menyelidik. Indah tersenyum kecil, meletakkan gelasnya di meja. "Nggak ada yang spesial. Aku masih menikmati hidupku sendiri dulu." Ayu mengangkat alisnya. "Masa sih? Kamu kan cantik, sukses, pasti banyak yang antri!" Indah hanya tersenyum tipis. "Mungkin aja. Tapi kalau sekadar ada yang deketin, aku nggak mau buru-buru." Fina terkekeh pelan. "Jangan-jangan kamu yang terlalu pilih-pilih?" Beberapa orang tertawa kecil, sementara Indah tetap tenang. "Aku cuma nggak mau buang waktu sama yang nggak serius." Obrolan itu sempat membuat suasana sedikit canggung, tapi segera mencair kembali saat Rinta tiba-tiba berseru, "Eh, abis ini kita ke mana? Kayaknya masih kesorean buat pulang, deh!" Ayu langsung menimpali, "Gimana kalau kita nginep aja di hotel ini? Sekalian staycation, besok pagi kita shopping cantik di mall!" "Setuju banget! Mumpung pada kumpul, kan seru kalau lanjut nginep," tambah Fina. Beberapa langsung mengiyakan, sibuk memesan kamar tambahan. "Indah ikut, kan?" Rina bertanya dengan tatapan penuh arti. "Atau ada yang bakal nyariin?" Indah menatap mereka satu per satu. "Aku nggak ada rencana buat nginep. Lagian, dari awal juga kita nggak ada agenda itu, kan?" Fina mengangkat bahu. "Yaelah, fleksibel aja! Santai, Ndah, ini kan buat seru-seruan." "Kalian nggak takut suami-suami kalian nyariin?" "Hahah santuy, Ndah. Suami kami pengertian banget. Paling kalau kangen mereka bakal nyusulin ke sini. Ya gak?" Ayu terkekeh. "Atau ... kamu mau dipanggilin berondong sewaan buat nemenin? Biar nggak sendirian?" Beberapa orang tertawa mendengar candaan itu, tapi Indah hanya tersenyum tipis. "Maaf ya, aku lebih pilih pulang," jawabnya santai. Rinta meliriknya dengan tatapan mencurigakan. "Yakin nggak mau nginep? Kan kita bisa sekalian bahas rencana arisan selanjutnya. Mungkin nanti kita bisa adain di kapal pesiar?" "Oh iya, atau kita bisa bikin trip ke luar negeri sekalian! Kayak shopping trip ke Paris atau Dubai!" tambah Ayu dengan mata berbinar. "Seru banget sih idenya, tapi pastiin dulu semua bisa bayar arisan tiap bulan, jangan sampai ada yang nunggak, ya?" celetuk Fina sambil melirik Indah dengan tatapan meremehkan. Indah hanya tersenyum kecil. "Kalian rencanain aja dulu, nanti aku lihat situasinya gimana." "Yah, santai banget sih, Ndah. Ini tuh pengalaman sekali seumur hidup loh! Kita bisa foto-foto aesthetic di sana, upload ke I*******m, bikin orang iri!" kata Rina. "Betul, apalagi kalau kita pakai outfit yang bener-bener wah! Aku sih udah siapin koleksi branded buat dipakai nanti," sambung Ayu. Indah masih tetap santai. "Kalian aja dulu yang atur, nanti aku nyusul kalau bisa." Saat ia bangkit dari kursi, beberapa dari mereka bertukar pandang. Fina berbisik pelan ke Rinta, "Kita liat aja dia pulang naik apa." Rinta mengangguk setuju. "Jangan-jangan dia cuma gaya doang di sini." Namun, diam-diam beberapa dari mereka mulai penasaran. "Kalian penasaran nggak sih, dia pulang naik apa?" bisik Ayu. "Jangan-jangan naik ojek online," bisik Fina sambil terkikik. "Aku intip ah!" Rinta berjalan pelan menuju jendela besar yang menghadap ke lobi hotel, diikuti oleh beberapa yang lain. Mereka menahan napas ketika melihat Indah keluar dari pintu hotel. Seorang pria berpakaian rapi sudah menunggu di samping mobil hitam mengkilap. Dengan sigap, pria itu membukakan pintu untuknya, dan Indah masuk dengan tenang, tanpa terlihat ragu sedikit pun. Mobil itu melaju pergi, meninggalkan mereka yang masih melongo di balik kaca. "Loh ... sopir pribadi?" gumam Rina. Ayu menelan ludah. "Kayaknya kita salah sangka deh …"Part 31Setelah menghabiskan waktu ngobrol dengan Pak Sentosa, Galang berdiri sambil tersenyum sopan, membungkukkan badan sedikit sebagai bentuk pamit.“Kalau begitu, saya permisi dulu ya, Pak. Terima kasih sudah menerima saya dengan baik,” ucap Galang dengan nada hangat.Pak Sentosa mengangguk, menepuk bahu Galang pelan. “Hati-hati di jalan. Jangan lupa, kerja keras itu penting.""Siap, Pak, saya akan kerja keras, biar bisa makin diterima di keluarga ini dan bisa jagain Indah."Galang menoleh pada Indah, tersenyum kecil. Indah mencubit pelan lengan Galang begitu mereka sudah berdiri di teras."Berani juga kamu ngomongnua," gumam Indah.Galang mendongak, matanya menatap Indah dengan pandangan hangat yang membuat jantung Indah berdebar lagi."Kalau urusannya tentang kamu, aku harus berani apa aja," bisik Galang ringan.Indah mendengus pelan, berusaha menutupi degup hatinya. "Ih, sok banget."
Pak Sentosa mengangguk pelan. "Iya, itu bener. Anak saya ini memang paling nggak tahan kalau suasana terlalu formal."Galang tersenyum, lalu dengan suara sedikit lebih lembut, ia menambahkan, "Saya juga nggak tahan, Pak, kalau lihat Indah cemberut. Makanya sebisa mungkin saya mau lihat dia tersenyum terus."Indah mengerucutkan bibir, melirik Galang sebal namun tak bisa menyembunyikan rona merah di pipinya.Pak Sentosa tertawa melihat keduanya. Ia bisa merasakan ketulusan dalam kata-kata Galang, meski dibungkus dengan canda."Lanjut ngobrol lagi, Galang," kata Pak Sentosa. "Saya pengen tahu lebih banyak tentang kamu."Galang mengangguk sopan. "Siap, Pak. Apa saja yang mau Bapak tanyakan, saya jawab."Pak Sentosa mengubah posisi duduknya, lebih santai. Ia menatap Galang dengan penuh perhatian."Kerjaan kamu apa sekarang, Galang?"Galang tersenyum. "Saya pekerja lepas, Pak. Lebih banyak di bidang fotografi, videogr
Part 30Pak Sentosa berdiri dari kursinya, merapikan letak kaca matanya."Besok, ajak dia ke sini. Ayah mau ketemu."Indah merasa terkejut mendengar permintaan ayahnya. "Ada apa, Yah, kok tiba-tiba?""Ayah cuma mau ngobrol saja."Indah hanya mengangguk setuju, meski hatinya sedikit gelisah. Setelah makan malam, Indah duduk di balkon kamarnya sambil memegang ponsel. Matanya tertuju pada layar ponsel.[Galang, besok ada waktu? Bisa datang ke rumah?]Setelah beberapa detik, layar ponsel Indah berkedip dan muncul panggilan video dari Galang. Indah menghela napas, lalu menerima panggilan itu.Galang muncul di layar dengan senyuman santainya. "Halo, Ndah," sapanya.Indah sedikit tersenyum, meskipun hatinya terasa berat. "Hai, Galang. Maaf ganggu malam-malam," ucapnya sambil memandangi layar.Galang menggeleng. "Nggak ganggu kok, aku malah senang tiba-tiba kamu tanya kayak gitu. Ada apa nih, hmm?"Indah menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan kata-kata. "Ayah bilang dia mau ketemu k
Indah ragu sejenak, matanya menatap keluar kafe yang semakin sepi, lalu kembali ke arah Galang yang kini berdiri sambil merapikan jaketnya.Setelah beberapa detik berpikir, Indah akhirnya tersenyum kecil dan mengangguk."Ya udah ... makasih ya, Galang. Aku numpang, ya."Galang membalas senyumannya, lalu membuka payung besar yang tadi ia bawa."Ayo. Nanti kamu kedinginan kalau kelamaan di sini."Indah mengambil tasnya, dan dengan langkah cepat, mereka berdua keluar dari kafe, berlari kecil di bawah hujan menuju mobil Galang yang terparkir di halaman cafe.Begitu masuk ke dalam mobil, kehangatan dari heater langsung menyelimuti tubuh mereka yang sempat terkena angin dingin. Indah menggosok-gosokkan tangannya sendiri, mencoba mengusir rasa dingin yang masih tersisa.Galang melirik sekilas, lalu tanpa banyak bicara, menaikkan suhu penghangat mobil sedikit lagi.Mereka melaju perlahan melewati jalanan yang tergenang air. Di luar, lampu-lampu kota tampak mengabur karena hujan yang terus men
Part 29Saat arisan bulan berikutnya tiba, suasana terasa berbeda. Kali ini mereka memilih bertemu di sebuah kafe kecil, lebih santai daripada biasanya di villa.Satu persatu anggota berdatangan, tapi sampai acara hampir dimulai, Rinta tak juga muncul.Ayu melirik sekeliling, lalu bertanya, "Eh, Rinta mana ya? Biasanya dia paling heboh."Fina menghela napas pelan. "Kayaknya dia nggak bakal datang, deh."Farah mengangguk setuju. "Iya, dia mungkin malu gara-gara masalah Alvin."Nora menimpali, "Sejak kejadian itu, gue liat dia juga udah jarang banget aktif di medsos. Biasanya tiap hari update story pamer ini itu, sekarang bener-bener sepi."Indah yang duduk santai sambil meminum es tehnya, hanya berkomentar singkat, "Mungkin dia butuh waktu."Ayu berdecak pelan. "Ya udahlah, biarin aja. Yang penting arisan kita tetap jalan. Kita sekarang fokus sama peraturan baru aja."Fina membuka daftar absen di ponselnya. "Oke, kita tandain aja Rinta absen tanpa kabar hari ini. Kalau tiga kali bertur
Bu Ratna memeluk dirinya sendiri, merasa dunia ini begitu kejam. Rinta, yang duduk di sampingnya, meremas tangan tantenya dengan kuat, namun hatinya terasa hancur. Di luar ruangan, di area pengadilan, tampak beberapa polisi membawa Alvin dan Pak Dimas menuju mobil tahanan. Tatapan Alvin kosong, tak ada kata-kata yang bisa dia ucapkan. Di sisi lain, Pak Dimas hanya bisa menunduk, matanya penuh penyesalan, seperti tak ada harapan lagi.Bu Ratna dan Rinta keluar dari ruang sidang, terisak sambil berpegangan tangan. Mereka berjalan pelan, seakan enggan meninggalkan tempat yang telah mengubah hidup mereka selamanya.Sementara itu, Alvin menundukkan kepala. "Kenapa ini harus terjadi, Pa?" suaranya terdengar hampir putus asa. "Kita punya segalanya. Kenapa kita malah menghancurkannya?"Pak Dimas menghela napas panjang, menatap Alvin dengan tatapan kosong."Terkadang, anakku, kita terlalu terjebak dalam permainan yang kita buat sendiri. Terl