"Rizal?" Lirihku saat melihat laki-laki itu melangkah mendekat. Dia pun mengangguk cepat. Terlihat cukup girang saat aku masih mengingat namanya.
"Senangnya kamu masih ingat aku, Lan!" ujarnya seketika. Aku hanya tersenyum tipis menatap laki-laki itu duduk di kursi teras meski belum sempat kuminta. "Tadi Riana chat kalau kamu ada di sini. Kebetulan aku ke rumah paman di blok sebelah, Lan. Makanya langsung meluncur ke sini daripada nanti kamu kabur lagi." Mendengar ucapannya aku kembali mengingat kejadian beberapa bulan lalu saat aku dan dia tak sengaja bertemu di mall. Aku buru-buru meninggalkannya saat laki-laki itu menoleh sebentar ke arah teman-temannya. Saat itu aku benar-benar belum siap keluar dari persembunyian yang selama ini cukup membuatku nyaman. Ketakutan terbesarku saat itu jika dia akan mengorek banyak informasi tentangku lalu menyebarkan keberadaan dan pertemuannya ke teman-teman yang lain. Saat itu aku belum siap bertemu mereka setelah sekian tahun tak bersua. Namun, kini aku tak bisa mengelak lagi sebab dia sudah berada di hadapanku bahkan di rumahku sendiri. "Riana sudah menceritakan semua tentangmu, Lan. Jangan malu atau merasa tak enak hati, aku justru salut dengan semua perjuanganmu. Kamu mandiri dan cocok untuk dijadikan istri," ujarnya lagi sembari terkekeh. Selalu begitu. Rizal seolah tak berubah. Sejak zaman sekolah dia memang jago merayu perempuan, pintar menggombal dan terkenal dengan slengeannya. Tiga kali dia menyatakan cinta padaku di depan kelas, membuat wajahku memerah seperti udang rebus, tapi tiap itu juga aku hanya menggeleng lalu meninggalkannya. Sayangnya, Rizal bukan tipe laki-laki yang mudah menyerah begitu saja apalagi sudah ditolak tiga kali. Dia masih sering menanyakan kabarku pada Ike saat itu. Namun, sejak Ike sibuk kuliah dan pindah ke Solo, sepertinya Rizal tak lagi memupuk cintanya padaku. Apalagi saat Ike ganti nomor, dia tak lagi mendapatkan teror Rizal tiap waktu. Ike bilang merasa lebih aman dan tenang tanpa gangguan Rizal. "Oh, Riana cerita apa memangnya, Riz?" tanyaku penasaran meski kuyakin jika Riana tetap pada dugaannya. Dia yang mengira hidupku begitu menderita sejak kepergian kedua orang tuaku. Dia pikir aku tinggal di rumah ini sebagai pembantu untuk membiayai sekolah adikku dan jualan nasi kuning untuk menyambung hidup. Riana tak pernah tahu jika semua dugaannya itu keliru dan aku belum ada keberanian untuk menegurnya. "Riana cerita semua tentangmu, Lan. Aku benar-benar salut sama kamu. Sejak SMA kamu memang berbeda. Pantas jika banyak yang ingin dekat denganmu dan mengenalmu lebih jauh." "Sebenarnya tak ada yang spesial, Riz. Banyak orang-orang yang kurang beruntung sepertiku saat itu. Hanya saja karena teman-teman kita banyak dari golongan berada, termasuk kamu, jadi melihatku dengan kondisi seperti itu cukup mengagetkan. Mungkin tak menyangka juga jika ada teman mereka yang cukup memprihatinkan sepertiku." Aku kembali menghela napas. Rasa sesak itu tiba-tiba menjalar dalam dada tiap kali nostalgia. Tiap mengingat kisah penuh luka dan air mata itu. Kisah yang membuatku semakin bersyukur berada di titik ini hingga membuatku begitu takut jika orang-orang tahu bagaimana kehidupanku sekarang. Aku takut ada banyak pujian dan tepuk tangan untukku, hingga membuat hati yang rapuh ini jumawa dan merasa bangga pada pencapaian yang ada. Aku takut jika ada ain di antara mereka. Oleh karena itulah aku cukup nyaman di dalam persembunyian. Sibuk dan fokus pada mimpi-mimpiku sendiri yang ingin kugenggam. "Nggak, Lan. Kamu memang berbeda. Tahu sendirilah, aku cukup banyak mengenal perempuan. Mendekati mereka lalu memacarinya. Namun, semua perempuan itu rasanya tak ada yang sepertimu. Tetap saja sosokmu tak pernah lekang dalam ingatan." Aku hanya meliriknya sekilas lalu kembali tenggelam dalam diam. Tiap kali laki-laki itu bicara, tiap itu pula aku seakan diajak mengingat semua kisah di kampus abu-abu itu. "Kenapa bengong, Lan? Apa ucapanku ada yang salah dan menyinggungmu?" tanyanya sedikit salah tingkah. "Ah, nggak, Riz. Biasa saja." Aku pun meringis kecil menatap matanya yang menyipit saat menatapku. "Nggak karena kamu nggak mendengarkan ceritaku atau nggak karena apa nih! Btw, makin lama kuperhatikan kamu makin cantik ya, Lan. Sudah bau skincare sih ya!" Tawa itu kembali terdengar. Rizal memang seslengean itu. Namun karena itu pula pertemuanku dengannya tak terasa kaku. Banyak obrolan yang dia buka hingga mau tak mau aku pun menjawabnya. "Dikta gimana?" Pertanyaan itu cukup mengagetkan. Aku meliriknya sekilas. Entah mengapa Rizal ikut mempertanyakan tentangnya. Padahal sejak lulus sekolah hingga detik ini aku juga belum pernah bertemu dengannya. Dikta yang kuliah ke luar kota dan nomor lamaku yang sengaja kubuang, semakin memberi jarak antara aku dan dia. "Kenapa? Apa dia menyakitimu? Dia menyelingkuhimu atau gimana?" cecarnya lagi semakin membuatku bertanya-tanya kenapa dia bisa seyakin itu aku dekat dengan Dikta selepas SMA? Apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka berdua? Apa ada sesuatu yang mereka bicarakan setelah kelulusan itu? ***"Cantik." Suara itu terdengar di ambang pintu kamar saat Mbak Agnes fokus merapikan kebaya berwarna salem dengan taburan swarovski yang membuatnya semakin terlihat elegan.Mbak Agnes ikut menoleh lalu tersenyum lebar."Siapa dulu calon suaminya," ujarnya memuji. Kulihat sosok itu dari cermin yang kini memantulkan bayanganku dengan balutan kebaya yang kupilih, senada dengan jas dan celana panjangnya. Dikta, lelaki itu terlihat semakin tampan dengan penampilannya sekarang. Dia masih bersedekap sembari menatapku lekat."Ngapain ke sini, Dikta? Harusnya kamu di luar menyambut tamu, sebentar lagi penghulu juga datang," ujarku sedikit gugup. Aku mendadak salah tingkah saat ditatap begitu lekat olehnya. Mbak Agnes pun tak henti menggodaku, membuat wajah ini mulai memerah seperti tomat matang."Nggak apa-apa, Lana. Calon suami mau lihat calon istrinya masa nggak boleh. Takut diculik mungkin." Mbak Agnes kembali terkekeh."Jangan digoda lagi, Mbak. Calon istriku itu memang pemalu. Takutnya ng
Aku dan Dikta berjalan beriringan keluar bioskop, sementara Denada dan teman-teman yang lain sepertinya sudah pulang sejak beberapa menit lalu. Kulihat jarum jam menunjuk angka setengah sembilan malam. Weekend begini jalanan masih ramai bahkan padat di beberapa tempat. "Kita ke taman Bianglala dulu, Lan. Mau?" tanya Dikta tiba-tiba setelah menghentikan mobilnya perlahan karena terjebak lampu merah. "Jadi kangen taman itu ya setelah nonton film kita." Aku dan Dikta bersitatap lalu sama-sama tersenyum. "Ternyata kamu seromantis itu, Lan. Mengingat semua momen kebersamaan kita dulu. Novelmu cukup detail menceritakan kisah kita dan ternyata ending yang kamu tulis nyaris sama dengan kejadian aslinya. Hanya saja kita belum menikah, sementara dalam novelmu Dikta dan Lana sudah menikah dan hidup bahagia." Dikta menatapku sekilas lalu kembali fokus dengan stirnya. "Iya, Dik. Kita sudah lamaran dan sebentar lagi kamu akan menikahiku bukan? Itu artinya imajinasiku dulu akan menjadi kenyataan
"Mbak Lana!" Aku dan Dikta yang masih duduk santai di lantai atas menoleh seketika. Di samping tangga kulihat gadis cantik dengan hijab cokelatnya tersenyum lebar ke arahku. Aku menatap Dikta beberapa saat lalu kembali pada perempuan modis itu."Denada," ujar Dikta membuatku kembali tersenyum. Baru kali ini aku melihat adik Dikta yang cantik itu. Usianya menginjak dua puluh satu tahun. Beda empat tahun dibandingkan kakaknya. Meski jarak usia mereka tak terlalu dekat, tapi kulihat keduanya cukup akrab. Denada datang dengan wajah cerianya lalu menyalamiku dan Dikta. "Buat calon kakak iparku yang cantik sekaligus penulis favoritku." Denada sedikit berteriak sembari memberikan sebuah kado untukku. Dikta tersentak melihatku yang sudah akrab dan terlihat cocok dengan adiknya. Dia pasti bingung dan tak menyangka kami seakrab ini. "Kalian akrab banget kaya sudah kenal lama." Dikta mulai curiga. Dia menatapku dan Denada bergantian. "Memang sudah kenal lama kakakku sayang." Denada merangkul
"You are mine." Lagi kudengar kalimat spesial darinya, membuatku semakin berbunga. "Iya, iya. Semoga saja prosesnya tak membutuhkan waktu yang lama. Nanti kamu ikut aku buat urus ini itu kan?" Aku menoleh ke arahnya yang masih menyandarkan punggung ke sofa sembari menatapku lekat. Senyum tulusnya kembali terukir di bibir. Dia mengangguk lalu mengedipkan kedua matanya yang bening itu. "Tentu aku akan selalu dampingi kamu, Lana. Aku benar-benar bangga memiliki kamu. Perempuan hebat, mandiri dan istimewa." Lagi, pujiannya membuat hidungku kembang kempis. Gegas mengalihkan pandangan sebab tak ingin dia tahu jika wajahku kali ini pasti sudah memerah seperti tomat karena pujiannya yang berlebihan. "Kita nonton bareng saat gala premiere." Dikta berucap yakin sembari mengangguk pelan saat aku menoleh. "Makasih banyak ya, Dik. Kamu selalu menjadi pendukung pertama selain Ryan di setiap hal yang kulakukan." Aku berkaca. Tiap kali mengingat momen-momen membahagiakan kami di masa lalu maupun
Kebahagiaan mulai datang silih berganti. Setelah Dikta kembali dan restu dari mamanya kugenggam, muncul kabar lain yang tak kalah membahagiakan. Novel berjudul Bianglala yang mengisahkan tentang perjalanan cintaku sendiri dengan Dikta ternyata dipinang sebuah rumah produksi ternama. Production House yang biasa meminang novel-novel terbaik menurutnya. Kulihat ekspresi bangga di wajah Dikta saat aku menjelaskan kabar bahagia yang kudengar dari Pak Abdullah. Tante Delima dan Om Erwin pun terlihat bangga sembari mengucapkan selamat untukku. Akhirnya kini aku bisa membuktikan pada mereka jika aku bisa mandiri dan sukses dengan caraku sendiri. Setidaknya sekarang aku merasa lebih layak bersanding dengan Dikta dan tak merasa terus rendah diri saat bersamanya. Meski Dikta tetap menerimaku apa adanya dan tak pernah memandang dari segi karir yang kupunya, tapi aku ingin membuatnya bangga dan merasa lebih bersyukur memilikiku sebagai calon pendamping hidupnya. "Tante bangga sama kamu, Lana. I
"Aku bawa nampannya. Kamu pasti masih shock dengan kabar bahagia ini." Dikta mengambil alih tugasku membawa nampan berisi empat cangkir teh hangat dan camilan itu. Aku pun mengikutinya kembali ke ruang tamu. "Maaf menunggu lama, Om, Tante." Aku kembali tersenyum lalu menata cangkir dan piring berisi camilan itu ke atas meja dan menyimpan nampan di bawah mejanya. "Nggak apa-apa, Lana. Justru kami yang minta maaf karena sudah mengganggumu pagi-pagi begini." Om Erwin tersenyum tipis lalu menoleh ke arah istrinya yang ikut mengangguk pelan."Nggak masalah kok, Om, Tante. Lagipula saya nggak ada kerjaan. Saya merasa beruntung sekali pagi ini karena mendapatkan tamu spesial." Aku tersenyum tipis lalu melirik Dikta yang ikut manggut-manggut dengan senyumnya yang menawan. "Langsung saja ya, Lana. Kedatangan Om dan Tante ke sini selian untuk silaturahmi, Tante juga mau minta maaf sama kamu atas sikap buruk Tante selama ini. Kepergian Dikta lima hari belakangan karena penculikan itu membuat