[Nanti aku kabar lagi ya, Dik. Ike juga masih di Solo. Sepertinya dia belum bisa pulang ke Jakarta]
Balasan itu akhirnya kuketik dan kukirimkan padanya. Sebenarnya aku memang ingin bertemu, hanya saja terlalu takut jika pertemuan itu justru membuat rasa ini semakin kuat. Terlalu banyak perbedaan antara aku dan dia. Selain strata sosial yang tak sama, pertentangan ibu saat itu pun memaksaku berpikir ulang. Mungkinkah dia jodoh yang dikirimkan Allah untukku? Tak peduli dengan ocehan di grup yang masih terus membahas tentangku, aku kembali sibuk dengan kegiatan rutinku. Menulis dua cerita on going yang harus aku update setiap hari. Setelah menyelesaikan dua bab novel, aku mulai memasak untuk makan siang. Sebentar lagi Ryan pulang dan wajib ada masakan di meja makan. Kadang jika cukup sibuk dengan urusan pernovelan, aku memang memesan makanan via online. Hanya saja, Ryan lebih senang makan masakanku sebab mirip dengan masakan almarhum ibu, katanya. Sekalian nostalgia dan merasa ibu masih tetap mendampingi kita. Soto, tempe mendoan dan ayam goreng sudah terhidang di meja saat adzan dzuhur berkumandang dengan merdunya. Gegas kuambil wudhu untuk shalat dzuhur lalu seperti biasa duduk santai di ruang tengah sembari menanti Ryan pulang sebab nanti aku akan pergi ke tempat laundry untuk memeriksa orderan dan pemasukan hari ini. "Assalamualaikum. Neng Lana ...." Suara seorang perempuan terdengar di teras rumah. Aku pun membalas salamnya sembari melangkah ke luar. "Wa'alaikumsalam. Eh Bi Lastri, ada apa?" tanyaku sembari mempersilakannya masuk ke ruang tamu. "Maaf kalau kedatangan bibi mengganggu istirahat Mbak Lana siang-siang begini," balasnya lirih dengan sikap gelisah. "Nggak kok, Bi. Sama sekali nggak mengganggu. Lana belum istirahat, masih duduk di ruang tengah saja sembari nunggu Ryan pulang. Ada apa, Bi? Ada yang bisa Lana bantu?" ujarku tanpa basa-basi. Bi Lastri tinggal di kampung sebelah. Kampung pertama yang berbatasan dengan perumahan ini. Ada jalan pintas di belakang untuk menuju perkampungannya. Aku dan Ryan pun sering ke sana. Sekadar bersenda gurau dengan keluarga Bi Lastri dan tetangganya yang cukup ramah. Dengan begitu, aku dan Ryan merasa memiliki keluarga dan tak merasa sebatang kara di sini. Bi Lastri tinggal di rumah sederhana bersama dua orang anak perempuannya yang masih duduk di bangku menengah pertama dan sekolah dasar. Dia bekerja sebagai tukang buruh cuci di perumahan ini, sementara suaminya bekerja sebagai buruh bangunan. Namun, sebulan terakhir terpaksa menganggur setelah kakinya cidera di tempatnya bekerja. "Mbak, maafkan bibi kalau sering mengganggu dan minta bantuan Mbak Lana. Bibi bingung mau minta tolong sama siapa. Tetangga bibi juga nggak bisa bantu. Mbak Lana tahu sendiri bagaimana keadaan mereka," ujarnya sembari menyeka kedua pipi yang basah. Aku paham arah pembicaraan Bi Lastri kali ini. Mungkin dia ingin pinjam uang lagi untuk menutup kebutuhan rumah tangganya. Kadang pinjam buat bayar sekolah kedua anaknya, bayar buku, berobat suaminya atau bayar hutang di bank keliling sebab jika telat, bunganya akan semakin membengkak. "Nggak apa, Bi. Bibi sudah Lana anggap seperti ibu sendiri. Bibi butuh uang berapa?" tebakku kemudian sembari mengusap punggung tangannya yang gemetaran. Kedua matanya menatapku dengan berkaca. Sungguh, aku teringat almarhum ibu tiap kali menatap kedua matanya yang teduh itu. Dulu kehidupan keluargaku juga nyaris sama seperti kehidupan Bi Lastri. Semua serba kekurangan semenjak bapak pergi. Ibu harus banting tulang dengan jualan nasi uduk tiap pagi dan nasi pecel di sore hari. Kadang sampai malam baru pulang. Mungkin karena tenaganya terforsir itulah yang membuat tubuhnya semakin sakit-sakitan. Hingga akhirnya pergi meninggalkan anak-anaknya sendirian. Aku dan Ryan yang kini tak punya siapa-siapa untuk tempat berkeluh kesah selain Allah. Kehidupanku dan Ryan dulu memang tak seperti anak-anak lainnya. Sering dikucilkan dan diremehkan karena kemiskinan kami. Namun, kini Allah membolak-balikkan keadaan. Aku bisa memberikan kehidupan yang layak untuk Ryan hingga dia tak lagi dikucilkan sepertiku dulu saat duduk di sekolah menengah atas. "Bibi butuh dua juta, Mbak." Tangisnya kembali terdengar. Kupeluk tubuh ringkihnya perlahan sembari mengusap punggungnya yang sedikit basah, mungkin oleh keringat yang menembus dasternya. "Sebentar ya, Bi. Lana ambilkan." Bi Lastri hanya mengangguk pelan saat aku pamit ke kamar. Tak tahu untuk apa uang sebanyak itu, tapi aku tahu saat ini Bi Lastri memang sangat membutuhkannya. Dua juta lima ratus ribu rupiah kuambil dari simpanan lalu memasukkannya ke dalam amplop yang memang sudah kusediakan di meja rias. "Bi, yang lima ratus ribu buat beli sembako ya?" ujarku saat memberikan amplop putih itu padanya. Tangan keriput itu gemetar menerima amplop yang kuberikan. Berulang kali mengucapkan terima kasih karena aku tak pernah menolak saat dimintai pertolongan. "Semoga rezeki Mbak Lana semakin melimpah dan berkah ya. Maafkan bibi yang hanya bisa membantu doa dan belum bisa membalas apa-apa.""Doa bibi itu lebih dari cukup buat Lana dan Ryan. Terima kasih juga bibi sudah menganggap kami seperti anak sendiri." Lagi, kupeluk tubuh ringkih itu lalu membantunya beranjak dari sofa. "Lama banget sih! Ngapain aja di dalam? Mau kabur ya?!" teriak seseorang tiba-tiba. Dadaku berdebar tak karuan saat mendengar teriakan itu dari arah gerbang. Bi Lastri pun terlihat shock dan gugup. Dia buru-buru melepaskan pelukanku lalu setengah berlari ke luar rumah. Seorang perempuan muda dengan pakaian modisnya berdiri di garasiku yang terbuka sembari berkacak pinggang. Dia menatap nyalang Bi Lastri yang tergopoh menghampirinya. "Kamu?!" teriak perempuan itu lagi saat melihatku keluar dari pintu. Aku dan dia sama-sama kaget dengan pertemuan kedua yang tak disengaja ini. Riana. Mau ngapain dia di sini? Apa yang sebenarnya terjadi, menapa Bi Lastri memberikan amplop itu padanya? ***"Cantik." Suara itu terdengar di ambang pintu kamar saat Mbak Agnes fokus merapikan kebaya berwarna salem dengan taburan swarovski yang membuatnya semakin terlihat elegan.Mbak Agnes ikut menoleh lalu tersenyum lebar."Siapa dulu calon suaminya," ujarnya memuji. Kulihat sosok itu dari cermin yang kini memantulkan bayanganku dengan balutan kebaya yang kupilih, senada dengan jas dan celana panjangnya. Dikta, lelaki itu terlihat semakin tampan dengan penampilannya sekarang. Dia masih bersedekap sembari menatapku lekat."Ngapain ke sini, Dikta? Harusnya kamu di luar menyambut tamu, sebentar lagi penghulu juga datang," ujarku sedikit gugup. Aku mendadak salah tingkah saat ditatap begitu lekat olehnya. Mbak Agnes pun tak henti menggodaku, membuat wajah ini mulai memerah seperti tomat matang."Nggak apa-apa, Lana. Calon suami mau lihat calon istrinya masa nggak boleh. Takut diculik mungkin." Mbak Agnes kembali terkekeh."Jangan digoda lagi, Mbak. Calon istriku itu memang pemalu. Takutnya ng
Aku dan Dikta berjalan beriringan keluar bioskop, sementara Denada dan teman-teman yang lain sepertinya sudah pulang sejak beberapa menit lalu. Kulihat jarum jam menunjuk angka setengah sembilan malam. Weekend begini jalanan masih ramai bahkan padat di beberapa tempat. "Kita ke taman Bianglala dulu, Lan. Mau?" tanya Dikta tiba-tiba setelah menghentikan mobilnya perlahan karena terjebak lampu merah. "Jadi kangen taman itu ya setelah nonton film kita." Aku dan Dikta bersitatap lalu sama-sama tersenyum. "Ternyata kamu seromantis itu, Lan. Mengingat semua momen kebersamaan kita dulu. Novelmu cukup detail menceritakan kisah kita dan ternyata ending yang kamu tulis nyaris sama dengan kejadian aslinya. Hanya saja kita belum menikah, sementara dalam novelmu Dikta dan Lana sudah menikah dan hidup bahagia." Dikta menatapku sekilas lalu kembali fokus dengan stirnya. "Iya, Dik. Kita sudah lamaran dan sebentar lagi kamu akan menikahiku bukan? Itu artinya imajinasiku dulu akan menjadi kenyataan
"Mbak Lana!" Aku dan Dikta yang masih duduk santai di lantai atas menoleh seketika. Di samping tangga kulihat gadis cantik dengan hijab cokelatnya tersenyum lebar ke arahku. Aku menatap Dikta beberapa saat lalu kembali pada perempuan modis itu."Denada," ujar Dikta membuatku kembali tersenyum. Baru kali ini aku melihat adik Dikta yang cantik itu. Usianya menginjak dua puluh satu tahun. Beda empat tahun dibandingkan kakaknya. Meski jarak usia mereka tak terlalu dekat, tapi kulihat keduanya cukup akrab. Denada datang dengan wajah cerianya lalu menyalamiku dan Dikta. "Buat calon kakak iparku yang cantik sekaligus penulis favoritku." Denada sedikit berteriak sembari memberikan sebuah kado untukku. Dikta tersentak melihatku yang sudah akrab dan terlihat cocok dengan adiknya. Dia pasti bingung dan tak menyangka kami seakrab ini. "Kalian akrab banget kaya sudah kenal lama." Dikta mulai curiga. Dia menatapku dan Denada bergantian. "Memang sudah kenal lama kakakku sayang." Denada merangkul
"You are mine." Lagi kudengar kalimat spesial darinya, membuatku semakin berbunga. "Iya, iya. Semoga saja prosesnya tak membutuhkan waktu yang lama. Nanti kamu ikut aku buat urus ini itu kan?" Aku menoleh ke arahnya yang masih menyandarkan punggung ke sofa sembari menatapku lekat. Senyum tulusnya kembali terukir di bibir. Dia mengangguk lalu mengedipkan kedua matanya yang bening itu. "Tentu aku akan selalu dampingi kamu, Lana. Aku benar-benar bangga memiliki kamu. Perempuan hebat, mandiri dan istimewa." Lagi, pujiannya membuat hidungku kembang kempis. Gegas mengalihkan pandangan sebab tak ingin dia tahu jika wajahku kali ini pasti sudah memerah seperti tomat karena pujiannya yang berlebihan. "Kita nonton bareng saat gala premiere." Dikta berucap yakin sembari mengangguk pelan saat aku menoleh. "Makasih banyak ya, Dik. Kamu selalu menjadi pendukung pertama selain Ryan di setiap hal yang kulakukan." Aku berkaca. Tiap kali mengingat momen-momen membahagiakan kami di masa lalu maupun
Kebahagiaan mulai datang silih berganti. Setelah Dikta kembali dan restu dari mamanya kugenggam, muncul kabar lain yang tak kalah membahagiakan. Novel berjudul Bianglala yang mengisahkan tentang perjalanan cintaku sendiri dengan Dikta ternyata dipinang sebuah rumah produksi ternama. Production House yang biasa meminang novel-novel terbaik menurutnya. Kulihat ekspresi bangga di wajah Dikta saat aku menjelaskan kabar bahagia yang kudengar dari Pak Abdullah. Tante Delima dan Om Erwin pun terlihat bangga sembari mengucapkan selamat untukku. Akhirnya kini aku bisa membuktikan pada mereka jika aku bisa mandiri dan sukses dengan caraku sendiri. Setidaknya sekarang aku merasa lebih layak bersanding dengan Dikta dan tak merasa terus rendah diri saat bersamanya. Meski Dikta tetap menerimaku apa adanya dan tak pernah memandang dari segi karir yang kupunya, tapi aku ingin membuatnya bangga dan merasa lebih bersyukur memilikiku sebagai calon pendamping hidupnya. "Tante bangga sama kamu, Lana. I
"Aku bawa nampannya. Kamu pasti masih shock dengan kabar bahagia ini." Dikta mengambil alih tugasku membawa nampan berisi empat cangkir teh hangat dan camilan itu. Aku pun mengikutinya kembali ke ruang tamu. "Maaf menunggu lama, Om, Tante." Aku kembali tersenyum lalu menata cangkir dan piring berisi camilan itu ke atas meja dan menyimpan nampan di bawah mejanya. "Nggak apa-apa, Lana. Justru kami yang minta maaf karena sudah mengganggumu pagi-pagi begini." Om Erwin tersenyum tipis lalu menoleh ke arah istrinya yang ikut mengangguk pelan."Nggak masalah kok, Om, Tante. Lagipula saya nggak ada kerjaan. Saya merasa beruntung sekali pagi ini karena mendapatkan tamu spesial." Aku tersenyum tipis lalu melirik Dikta yang ikut manggut-manggut dengan senyumnya yang menawan. "Langsung saja ya, Lana. Kedatangan Om dan Tante ke sini selian untuk silaturahmi, Tante juga mau minta maaf sama kamu atas sikap buruk Tante selama ini. Kepergian Dikta lima hari belakangan karena penculikan itu membuat