Rumi hanya bisa menangis saat mendapat kabar bahwa Bari—calon suaminya yang tiga hari lagi akan menikah dengannya, tengah kritis di rumah sakit. Kakinya masih terlalu gemetar dengan dadanya bak tertimpa batu karang yang sangat besar. Di depannya ada Angkasa—calon ayah mertuanya yang duduk sambil menunduk dan menyembunyikan air matanya.
“Minum dulu, Pak Angkasa,” suara Tiara—kakak dari Rumi meletakkan dua cangkir teh di atas meja. Angkasa hanya bisa tersenyum tipis, sambil mengangguk, tetapi tangannya tidak cukup kuat untuk mengangkat cangkir teh yang dihidangkan di depannya.
“Pa, saya ingin bertemu Mas Bari. Tolong antarkan saya ke rumah sakit,” ujar Rumi sambil menahan isak tangisnya.
"Biarkan Pade ikut ya. Pade ingin melihat keadaan Bari," sela seorang lelaki paruh baya, yang tidak lain adalah saudara laki-laki dari almarhum ayah Rumi. Rumah Pade Supri berada persis di samping rumah yang Rumi tinggali saat ini. Angkasa mengangguk pelan.
“Mbak sangat mengerti permintaan Bari, Mbak harap kamu mau memikirkannya Rumi,” kata Tiara sambil menyentuh pundak adiknya. Rumi masih terisak sambil menggelengkan kepalanya dengan kuat. “Saya sudah menganggap Papa Angkasa sebagai papa sendiri. Bagaimana bisa tiba-tiba menjadi istri dari calon mertua sendiri? Papa juga akan menikah dengan Tante Lana bulan depan. Tidak, Pa. Mas Bari tidak mungkin melakukan ini pada kita. Saya harus ke rumah sakit sekarang.” Rumi sudah berdiri dengan cepat, lalu berjalan masuk ke dalam kamarnya.
Pade Supri menghela napas berat, sambil berkata, “kenapa menjadi rumit seperti ini?” Angkasa menoleh dengan lemah, lelaki itu pun ikut menggeleng tidak paham.
“Saya tidak peduli apakah Bapak, atau Bari yang akan menikahi adik saya. Yang jelas, salah satu di antara kalian berdua harus bertanggung jawab, karena acara pernikahan sebentar lagi akan tiba dan juga adik saya sudah dirusak oleh anak Bapak. Walau mereka melakukannya atas dasar suka sama suka, tetapi saya harap Bapak cukup gentle untuk mempertanggung jawabkan semua ini.”
Rumi sesekali masih terisak menarik air hidungnya. Sepanjang perjalanan, gadis yang usianya berbeda dua tahun dari Bari itu tidak mengeluarkan suara apapun selain isakan yang terdengar amatlah pedih. Fokus Angkasa pada kemudinya sedikit terganggu karena ia merasa sangat iba dengan Rumi yang sebenarnya juga sudah ia sayangi layaknya anak sendiri.
Sejak duduk di bangku SMA keduanya sudah menjalin asmara. Bari kakak kelas tiga dan Rumi adik kelas satu. Hubungan keduanya berlanjut hingga Bari kuliah, begitu pun juga dengan Rumi. Tentu saja Angkasa mengenal baik pacar anaknya yang sering berkunjung ke rumah. Sekarang, keduanya dihadapkan pada permintaan Bari yang tidak masuk akal dan sangat berat.
“Pa, apa Mas Bari tidak bisa disembuhkan?” akhirnya Rumi membuka suara. Angkasa menoleh dengan tatapan hangatnya.
“Umur adalah rahasia Tuhan. Saya sudah berusaha melakukan yang terbaik untuk Bari. Perawatan juga saya sudah pindahkan demi Bari mendapat dokter terbaik di Jakarta. Semoga saja Tuhan melihat usaha saya yang menginginkan kesembuhan untuk Bari yang ingin melihat kalian menikah. Saya tidak tahu harus berkata apa pada Lana jika—“ Angkasa tak sanggup meneruskan ucapannya. Air matanya kembali tumpah. Keduanya menangis di dalam mobil hingga tiba di parkiran rumah sakit.
“Ya ampun, Pak Angkasa darimana saja? Anaknya kritis, Pak. Cepat!” seru seorang perawat yang menghampiri Angkasa dan Rumi begitu ketiganya keluar dari lift. Perawat mendorong kembali Angkasa ke dalam lift yang diikuti oleh Rumi dan Pade Supri Wajah keduanya tegang dan napas mereka seakan ikut terasa sesak.
“Itu di ruang ICU. Cepat, Pak!” Angkasa dan Rumi berlari masuk ke dalam ruang ICU. Keduanya memakai seragam khusus pengunjung pasien ICu dengan asal. Terlihat seorang dokter tengah memeriksa Bari yang hampir tak sadarkan diri dengan napas yang masih terengah-engah.
“Dok, anak saya ….”
“Bapak berdoa dan kami akan berjuang. Semoga ada mukjizat dari Tuhan,” jawab dokter itu dengan optimis.
“Mas, ya Allah. Mas yang kuat, ada aku di sini, Mas. Mas, jangan tinggalkan aku,” isak Rumi dengan begitu sedihnya. Angkasa pun tidak bisa menahan air matanya untuk tidak tumpah kembali.
“Rumi, menikahlah dengan Papa. Aku mohon.” Rumi menggeleng, tetapi jemari lemah Bari menyentuh tangan wanita yang paling ia cintai.
“K-kalau k-amu mencintaiku, me … menikahlah dengan papa.”
“Pa, di sa … ku baju ini, ada cincin yang kita beli untuk Rumi. Pakailah!” seorang perawaat membantu mengeluarkan cincin sangat cantik dari saku Bari, lalu ia berikan pada Angkasa.
Rumi dan Angkasa tidak punya pilihan lain selain melaksanakan permintaan terakhir Bari. Seorang ustadz masjid terdekat dari rumah sakit dipanggil oleh salah seorang satpam untuk membantu menikahkan Rumi dan Angkasa di rumah sakit. Di depan dokter dan satpam, juga dua orang perawat, serta tubuh lemas Bari yang terbaring dengan banyak alat terpasang di tubuhnya. Pade Supri pun bertindak sebagai wali dari Rumi yang sangat kebetulan sekali ikut hari ini.
“Saya terima nikah dan kawinnya Rumi Syakia binti Hendro Purnomo dengan mas kawin cincin sepulug gram dibayar tunai.”
“Alhamdulillah sah.”
“Dok, pasien!” seru perawat panik dengan keadaan Bari yang semakin terengah-engah. Rumi berteriak histeris melihat keadaan bari yang sangat menyedihkan. Dokter sibuk mengaktifkan kembali alat pacu jantung dan berusaha untuk menyembuhkan pasiennya.
Bugh
Bugh
Bugh
Suara alat pacu yang menekan dada Bari membuat Rumi menutup telinganya.
“Allahu Akbar, ini mukjizat. Mas Bari sudah lewat masa kritisnya, Pak, Mbak. Alhamdulillah, t-tapi … Bapak dan Nona ini sudah menikah, lalu ….”
Bersambung
Nah loh, gimana itu? Pasti kalian menebak Bari meninggalkan? Itu sudah biasa. Mari kita bikin sedikit berbeda. Setuju?? Jangan lupa tekan bintangnya ya. Terima kasih
Angkasa masih menunggui istrinya di ruang perawatan rumah sakit yang sama tempat Bari dirawat. Kondisi anaknya sudah melewati masa kritis, tetapi belum bisa dibilang pulih sebenarnya. Lalu bagaimana dengan Rumi? Yah, gadis itu seharusnya menjadi menantunya, kini malah sudah resmi menjadi istrinya secara agama. Ia pingsan karena terlalu kaget dengan kabar bahwa Bari sudah kembali bernapas dengan sewajarnya, padahal ia sudah menjadi istri dari ayah pacarnya. Rumit dan memusingkan.Angkasa berulang kali memijat kepalanya yang terasa berat. Mungkin jika Bari meninggal, akan menjadi lain soal, tetapi anaknya masih Tuhan berikan umur yang panjang dan diberi napas kembali untuk meneruskan hidupnya. Apa yang harus ia lakukan pada Rumi? Apa langsung menceraikannya saja? atau menunggu sampai Bari benar-benar pulih, baru ia menceraikan Rumi.Pernikahan bukanlah untuk ajang coba-coba. Begitu juga dengan kalimat talak. Jika hari ini di mata Tuhan sudah mengu
Keesokan harinya, Angkasa tengah mengendarai mobilnya menuju rumah Lana—calon istrinya yang akan dia nikahi setelah satu bulan pernikahan Bari dan Rumi. Namun kini, sebagai lelaki dewasa yang bertanggung jawab, tentu ia akan mengatakan yang sebenarnya pada Lana dan juga orang tua Lana, perihal pernikahannya yang terpaksa dengan Rumi.Wanita cantik berusia tiga puluh dua tahun itu sudah berdiri di depan pagar rumah untuk menyambut sang calon suami. Memang Angkasa mengirimkan pesan pada Lana, bahwa ia sedang dalam perjalanan menuju rumah wanita itu. Begitu mobil Angkasa berhenti di depan rumah, Lana memberikan senyum terbaikya, lalu menggeser pagar—membukanya dengan sangat lebar. Angkasa menurunkan spionnya.“Halo, Sayang. Aku rindu sekali,” sapa Lana dengan senyuman hangat. Hati Angkasa pun semakin gusar. Ia tersenyum canggung, lalu mematikan mesin mobil.“Abang dari rumah sakit? Bagaimana kabar Bari? La
Angkasa pulang dengan wajah merah karena disiram air hangat oleh Lana. Ia sama sekali tidak marah, karena hal lebih buruk dari ini ia siap menerimanya. Semua adalah kesalahan dirinya yang tidak bisa bertanggung jawab terhadap keputusan yang diambil. Angkasa tidak sanggup mendengarkan suara teriakan sekaligus tangisan Lana karena kekecewaan dan kemarahan wanita itu pada dirinya. Semua telah terjadi, mulai kemarin ia sudah resmi menjadi suami dari Rumi dan ia akan meneruskan tanggung jawab itu sampai Bari benar-benar sembuh.Gadis yang sudah engkau anggap sebagai anak, bagaimana bisa engkau perlakukan sebagai istri. Sangat aneh dan pastinya tidak nyaman. Berkali-kali Angkasa menghela napas kasar, sambil terus berusaha fokus pada kemudinya. Hari ini ia harus kembali ke kantor untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan yang sudah ham;ir seminggu terbengkalai. Di rumah sakit sudah ada Rumi yang menunggui Bari, sehingga ia bisa meninggalkan sebentar untuk bekerja.Se
“Bibik bisa ceritakan kepada saya, ada apa ini sebenarnya?” tanya Angkasa pada Bik Susi yang tengah duduk melantai sambil memilin ujung bajunya karena gugup. Rumi duduk di seberang Angkasa dengan wajah menunduk malu. suatu kecerobohannya karena tidak mengunci pintu, sehingga Angkasa tanpa sengaja melihat tubuhnya yang hanya memakai bra saja.“Begini, Tuan, tadi siang ada Non Tiara, katanya Kakak dari Non Rumi. Kata Mbak Tiara mulai hari ini Mbak Rumi tinggal di sini karena sudah sah menjadi istri Tuan. Maaf, Tuan, karena saya pun diperlihatkan foto ijab qabul di rumah sakit kemarin, saya jadi mempersilakan Non Rumi untuk menempati kamar Tuan. Mana saya berani membiarkan majikan saya tidur di kamar tamu,” terang Bik Susi mencoba menjelaskan hal yang sebenarnya terjadi.Angkasa hanya bisa menghela napas berat sambil memijat pelipisnya. Tidak mungkin juga dia meminta Rumi untuk pindah ke kamar tamu malam ini. a
Bari masih belum sadarkan diri. Lelaki itu masih memejamkan mata dengan sangat rapat setelah lewat dua hari masa kritisnya. Angkasa dan Rumi bergantian menjaga Bari, sesekali juga Tiara ikut menemani Rumi di rumah sakit. Acara pernikahan yang akan digelar besok di sebuah ballroom hotel, tentu menyita banyak waktu Angkasa dan juga Rumi, sehingga untuk hari ini mereka tidak bisa menunggui Bari di rumah sakit.Semua ikut sibuk, termasuk anggota keluarga Angkasa yang terdiri banyak pasukan. Ada yang menjadi pagar ayu, pagar bagus, pengiring pengantin dan lain sebagainya. Rumah Angkasa sudah ramai orang yang masing-masing memiliki tugas, termasuk dirinya yang kini tengah mencoba beskap yang akan ia pakai besok, ditemani Brittania—bungsunya yang cuti kuliah dari Yogya untuk melihat pernikahan sang kakak. Yah, Angkasa tidak menceritakan perihal kejadian yang menimpanya dan Rumi, sebelum putrinya itu sampai di rumah.“Aku sebenarnya tidak sepenuhn
Sakitnya tidak seberapa, tetapi malunya sungguh luar biasa. Itulah yang dialami Rumi saat ini. Perbuatan Lana yang menyiramkan air ke wajahnya membuat Rumi sukses menjadi tontonan banyak orang dan seketika itu juga menjadi buah bibir. Untung saja make up yang dikenakannya sangat bagus dan tidak mudah luntur, tetapi tetap saja wajahnya dan baju pernikahannya menjadi basah.“Maafkan Lana, Rumi. Saya tidak tahu kalau dia sampai nekat membuat keributan seperti itu,” ujar Angkasa dengan perasaan bersalah sekaligus iba. Karena semua yang terjadi bukanlah salah Rumi ataupun dirinya. Ini semua takdir dan kita tidak bisa menolaknya. Angkasa duduk di samping Rumi yang tengah di betulkan kembali rias wajahnya. Baju resepsinya pun telah diganti dengan yang lebih bagus dan membuat Rumi semakin cantik dan memesona. “Tidak apa-apa, Pa. Jika saya menjadi Tante Lana, mungkin hal lebih nekat dari ini berani saya lakukan. Saya mengerti per
"Pa, boleh saya cium tangan ibu sambung saya?" tanya Bari dengan begitu formal pada Angkasa."Boleh saja, tetapi jangan gunakan perasaanmu," sela Bulan tegas membuat semua mata memandangnya.Wajah Angkasa mendadak membeku begitu pun Rumi. Suasana meja makan yang harusnya hangat, mendadak begini hening dan mencekam. Bari mengambil tangan Rumi, lalu mencium punggung tangan wanita itu dengan begitu hikmat.Rumi gemetar dan bergetar. Tidak bisa ia membohongi hatinya, bahwa hanya Bari yang mampu membuat seluruh saraf di tubuhnya melemah seketika. Bagaikan baru saja tersengat listrik bertegangan tinggi. Bari mencium punggung tangan Rumi bukan dengan hidungnya, melainkan dengan bibirnya. Angkasa tak bisa berbuat banyak, selain memijat pelipisnya yang mendadak sangat sakit."Rumi, ambilkan Angkasa nasi dan ikan. Angkasa suka sekali ikan. Emak rasa kamu tahu itu," titah Bulan mencaikan suasana yang masih saja mencekam."Baik, Mak," jawab R
“Kenapa menangis?” tanya Angkasa bingung. Rumi masih terisak setelah membungkus seluruh tubuhnya dengan selimut tebal. “Bukankah seharusnya saya yang menangis karena hanya bisa melihat tanpa boleh menyentuh?” tanya Angkasa lagi membuat Rumi semakin gemetaran. Pria dewasa itu tertawa pendek, lalu menyentuh kepala Rumi dengan lembut dan pelan. Layaknya seorang ayah yang tengah menenangkan anaknya yang menangis. “Maafkan saya jika membuat kamu takut. Saat di rumah nanti, saya akan pindah kamar, jika kamu tidak nyaman satu ranjang dengan saya,” kata Angkasa lagi dengan bijak. Lalu ia pun kembali berbaring dengan meletakkan guling di tengah-tengah. Ia tidak mau memaksakan Rumi yang saat ini pasti sangat malu dan ketakutan padanya. Angkasa memilih memejamkan matanya kembali dengan posisi telungkup, karena ia terpaksa menidurkan sesuatu yang tadi sempat bangun. Sungguh sua