“Bari, kamu jangan berkata yang tidak-tidak. Kenapa kamu tidak bisa menikahi Rumi? Kalian saling mencintai dan berpacaran sejak SMA. Sekarang, hanya karena kamu sakit, kamu menyerah. Papa tidak mau kamu seperti ini. Papa akan bayar dokter terbaik untuk menyembuhkanmu. Percayalah, umur, jodoh, rejeki, itu sudah diatur oleh Tuhan.” Angkasa mengusap sayang rambut anak sulungnya yang terbaring lemah karena sakit kelenjar getah bening yang cukup parah.
Air mata menetes di kedua pipi Bari. Wajah pemuda berusia dua puluh lima tahun itu sangat pucat dan nampak tidak berdaya. Tubuhnya sangat lemas walau sudah ratusan obat masuk ke dalam tenggorokannya. Tidak mungkin ia bisa menikahi Rumi, umurnya tidak akan lama lagi dan Bari tahu hal itu.
“Pa, maafin Bari. Rumi saya rusak. Saya berdosa, Pa. Tolong jangan buat saya semakin berdosa dengan meninggalkannya begitu saja tanpa ada yang bertanggung jawab. Bagaimana jika dia hamil? Bagaimana jika tidak ada yang mau dengannya? Pa, Bari mohon,” suara Bari semakin serak dan terengah-engah. Melihat anaknya semakin payah, Angkasa menekan tombol yang ada di sisi kanan tempat tidur.
Wajahnya mendadak sangat khawatir dengan kedua mata yang berkaca-kaca. Ingin sekali pria dewasa berusia empat puluh lima tahun itu menangis melihat keadaan Bari yang semakin payah, tetapi ia harus terlihat kuat, agar Bari tidak semakin down.
Dua orang perawat datang dan memeriksa keadaan Bari. Salah seorang dari mereka memasang selang oksigen pada hidung Bari karena tiba-tiba saja Bari sesak napas. Padahal sejak tiga hari dirawat, ia tidak mengalami sesak napas sama sekali. “Kami akan panggilkan dokter segera. Tunggu ya, Pak,” kata salah seorang perawat pada Angkasa.
“Pa, tolong. Nikahi Rumi,” suara Bari semakin pelan saja. Bintang membuang pandangan, untuk menyembunyikan air matanya yang jatuh. Pria dewasa itu meremas rambutnya dengan sangat kuat, karena diminta untuk memilih pilihan yang sangat berat untuknya.
“Sampaikan maaf Bari pada Tante Lana,” kata Bari lagi sambil meneteskan air mata.
“Tolong kabulkan permintaan terakhir Bari, Pa,” ujar Bari lagi dengan napas masih terengah-engah. Angkasa yang menunduk karena ingin menyembunyikan air matanya, dengan sangat terpaksa mengangguk.
Bersambung
Rumi hanya bisa menangis saat mendapat kabar bahwa Bari—calon suaminya yang tiga hari lagi akan menikah dengannya, tengah kritis di rumah sakit. Kakinya masih terlalu gemetar dengan dadanya bak tertimpa batu karang yang sangat besar. Di depannya ada Angkasa—calon ayah mertuanya yang duduk sambil menunduk dan menyembunyikan air matanya.“Minum dulu, Pak Angkasa,” suara Tiara—kakak dari Rumi meletakkan dua cangkir teh di atas meja. Angkasa hanya bisa tersenyum tipis, sambil mengangguk, tetapi tangannya tidak cukup kuat untuk mengangkat cangkir teh yang dihidangkan di depannya.“Pa, saya ingin bertemu Mas Bari. Tolong antarkan saya ke rumah sakit,” ujar Rumi sambil menahan isak tangisnya."Biarkan Pade ikut ya. Pade ingin melihat keadaan Bari," sela seorang lelaki paruh baya, yang tidak lain adalah saudara laki-laki dari almarhum ayah Rumi. Rumah Pade Supri berada persis di sampin
Angkasa masih menunggui istrinya di ruang perawatan rumah sakit yang sama tempat Bari dirawat. Kondisi anaknya sudah melewati masa kritis, tetapi belum bisa dibilang pulih sebenarnya. Lalu bagaimana dengan Rumi? Yah, gadis itu seharusnya menjadi menantunya, kini malah sudah resmi menjadi istrinya secara agama. Ia pingsan karena terlalu kaget dengan kabar bahwa Bari sudah kembali bernapas dengan sewajarnya, padahal ia sudah menjadi istri dari ayah pacarnya. Rumit dan memusingkan.Angkasa berulang kali memijat kepalanya yang terasa berat. Mungkin jika Bari meninggal, akan menjadi lain soal, tetapi anaknya masih Tuhan berikan umur yang panjang dan diberi napas kembali untuk meneruskan hidupnya. Apa yang harus ia lakukan pada Rumi? Apa langsung menceraikannya saja? atau menunggu sampai Bari benar-benar pulih, baru ia menceraikan Rumi.Pernikahan bukanlah untuk ajang coba-coba. Begitu juga dengan kalimat talak. Jika hari ini di mata Tuhan sudah mengu
Keesokan harinya, Angkasa tengah mengendarai mobilnya menuju rumah Lana—calon istrinya yang akan dia nikahi setelah satu bulan pernikahan Bari dan Rumi. Namun kini, sebagai lelaki dewasa yang bertanggung jawab, tentu ia akan mengatakan yang sebenarnya pada Lana dan juga orang tua Lana, perihal pernikahannya yang terpaksa dengan Rumi.Wanita cantik berusia tiga puluh dua tahun itu sudah berdiri di depan pagar rumah untuk menyambut sang calon suami. Memang Angkasa mengirimkan pesan pada Lana, bahwa ia sedang dalam perjalanan menuju rumah wanita itu. Begitu mobil Angkasa berhenti di depan rumah, Lana memberikan senyum terbaikya, lalu menggeser pagar—membukanya dengan sangat lebar. Angkasa menurunkan spionnya.“Halo, Sayang. Aku rindu sekali,” sapa Lana dengan senyuman hangat. Hati Angkasa pun semakin gusar. Ia tersenyum canggung, lalu mematikan mesin mobil.“Abang dari rumah sakit? Bagaimana kabar Bari? La
Angkasa pulang dengan wajah merah karena disiram air hangat oleh Lana. Ia sama sekali tidak marah, karena hal lebih buruk dari ini ia siap menerimanya. Semua adalah kesalahan dirinya yang tidak bisa bertanggung jawab terhadap keputusan yang diambil. Angkasa tidak sanggup mendengarkan suara teriakan sekaligus tangisan Lana karena kekecewaan dan kemarahan wanita itu pada dirinya. Semua telah terjadi, mulai kemarin ia sudah resmi menjadi suami dari Rumi dan ia akan meneruskan tanggung jawab itu sampai Bari benar-benar sembuh.Gadis yang sudah engkau anggap sebagai anak, bagaimana bisa engkau perlakukan sebagai istri. Sangat aneh dan pastinya tidak nyaman. Berkali-kali Angkasa menghela napas kasar, sambil terus berusaha fokus pada kemudinya. Hari ini ia harus kembali ke kantor untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan yang sudah ham;ir seminggu terbengkalai. Di rumah sakit sudah ada Rumi yang menunggui Bari, sehingga ia bisa meninggalkan sebentar untuk bekerja.Se
“Bibik bisa ceritakan kepada saya, ada apa ini sebenarnya?” tanya Angkasa pada Bik Susi yang tengah duduk melantai sambil memilin ujung bajunya karena gugup. Rumi duduk di seberang Angkasa dengan wajah menunduk malu. suatu kecerobohannya karena tidak mengunci pintu, sehingga Angkasa tanpa sengaja melihat tubuhnya yang hanya memakai bra saja.“Begini, Tuan, tadi siang ada Non Tiara, katanya Kakak dari Non Rumi. Kata Mbak Tiara mulai hari ini Mbak Rumi tinggal di sini karena sudah sah menjadi istri Tuan. Maaf, Tuan, karena saya pun diperlihatkan foto ijab qabul di rumah sakit kemarin, saya jadi mempersilakan Non Rumi untuk menempati kamar Tuan. Mana saya berani membiarkan majikan saya tidur di kamar tamu,” terang Bik Susi mencoba menjelaskan hal yang sebenarnya terjadi.Angkasa hanya bisa menghela napas berat sambil memijat pelipisnya. Tidak mungkin juga dia meminta Rumi untuk pindah ke kamar tamu malam ini. a
Bari masih belum sadarkan diri. Lelaki itu masih memejamkan mata dengan sangat rapat setelah lewat dua hari masa kritisnya. Angkasa dan Rumi bergantian menjaga Bari, sesekali juga Tiara ikut menemani Rumi di rumah sakit. Acara pernikahan yang akan digelar besok di sebuah ballroom hotel, tentu menyita banyak waktu Angkasa dan juga Rumi, sehingga untuk hari ini mereka tidak bisa menunggui Bari di rumah sakit.Semua ikut sibuk, termasuk anggota keluarga Angkasa yang terdiri banyak pasukan. Ada yang menjadi pagar ayu, pagar bagus, pengiring pengantin dan lain sebagainya. Rumah Angkasa sudah ramai orang yang masing-masing memiliki tugas, termasuk dirinya yang kini tengah mencoba beskap yang akan ia pakai besok, ditemani Brittania—bungsunya yang cuti kuliah dari Yogya untuk melihat pernikahan sang kakak. Yah, Angkasa tidak menceritakan perihal kejadian yang menimpanya dan Rumi, sebelum putrinya itu sampai di rumah.“Aku sebenarnya tidak sepenuhn
Sakitnya tidak seberapa, tetapi malunya sungguh luar biasa. Itulah yang dialami Rumi saat ini. Perbuatan Lana yang menyiramkan air ke wajahnya membuat Rumi sukses menjadi tontonan banyak orang dan seketika itu juga menjadi buah bibir. Untung saja make up yang dikenakannya sangat bagus dan tidak mudah luntur, tetapi tetap saja wajahnya dan baju pernikahannya menjadi basah.“Maafkan Lana, Rumi. Saya tidak tahu kalau dia sampai nekat membuat keributan seperti itu,” ujar Angkasa dengan perasaan bersalah sekaligus iba. Karena semua yang terjadi bukanlah salah Rumi ataupun dirinya. Ini semua takdir dan kita tidak bisa menolaknya. Angkasa duduk di samping Rumi yang tengah di betulkan kembali rias wajahnya. Baju resepsinya pun telah diganti dengan yang lebih bagus dan membuat Rumi semakin cantik dan memesona. “Tidak apa-apa, Pa. Jika saya menjadi Tante Lana, mungkin hal lebih nekat dari ini berani saya lakukan. Saya mengerti per
"Pa, boleh saya cium tangan ibu sambung saya?" tanya Bari dengan begitu formal pada Angkasa."Boleh saja, tetapi jangan gunakan perasaanmu," sela Bulan tegas membuat semua mata memandangnya.Wajah Angkasa mendadak membeku begitu pun Rumi. Suasana meja makan yang harusnya hangat, mendadak begini hening dan mencekam. Bari mengambil tangan Rumi, lalu mencium punggung tangan wanita itu dengan begitu hikmat.Rumi gemetar dan bergetar. Tidak bisa ia membohongi hatinya, bahwa hanya Bari yang mampu membuat seluruh saraf di tubuhnya melemah seketika. Bagaikan baru saja tersengat listrik bertegangan tinggi. Bari mencium punggung tangan Rumi bukan dengan hidungnya, melainkan dengan bibirnya. Angkasa tak bisa berbuat banyak, selain memijat pelipisnya yang mendadak sangat sakit."Rumi, ambilkan Angkasa nasi dan ikan. Angkasa suka sekali ikan. Emak rasa kamu tahu itu," titah Bulan mencaikan suasana yang masih saja mencekam."Baik, Mak," jawab R