Angkasa masih menunggui istrinya di ruang perawatan rumah sakit yang sama tempat Bari dirawat. Kondisi anaknya sudah melewati masa kritis, tetapi belum bisa dibilang pulih sebenarnya. Lalu bagaimana dengan Rumi? Yah, gadis itu seharusnya menjadi menantunya, kini malah sudah resmi menjadi istrinya secara agama. Ia pingsan karena terlalu kaget dengan kabar bahwa Bari sudah kembali bernapas dengan sewajarnya, padahal ia sudah menjadi istri dari ayah pacarnya. Rumit dan memusingkan.
Angkasa berulang kali memijat kepalanya yang terasa berat. Mungkin jika Bari meninggal, akan menjadi lain soal, tetapi anaknya masih Tuhan berikan umur yang panjang dan diberi napas kembali untuk meneruskan hidupnya. Apa yang harus ia lakukan pada Rumi? Apa langsung menceraikannya saja? atau menunggu sampai Bari benar-benar pulih, baru ia menceraikan Rumi.
Pernikahan bukanlah untuk ajang coba-coba. Begitu juga dengan kalimat talak. Jika hari ini di mata Tuhan sudah mengucapkan ijab qabul, maka kalian berdua sudah mempunyai tanggung jawab sebagaimana suami istri yang seharusnya.
Pesan yang diberikan ustadz yang menikahkan dirinya dengan Rumi selalu saja berputar di kepalanya. Tidak mungkin ia mempermainkan agama apalagi pernikahan. Walau dia bukanlah lelaki baik, tapi sangat pantangan bagi seorang Angkasa untuk mempermainkan wanita. Lalu bagaimana dengan Lana? Wanita yang seharusnya menjadi ibu sambung bagi Bari, tetapi kini malah terpaksa ia permiankan perasaannya. Apa yang harus ia katakana pada wanita itu?
“Pa,” suara lemah dari tempat tidur pasien membuat Angkasa yang tengah tepejam, kini membuka matanya. Lelaki empat puluh lima tahun itu langsung bangun dari duduknya, lalu berjalan mendekat pada Rumi.
“Apa kamu haus?” tanya Angkasa. Wanita muda itu mengangguk lemah. Dengan gerakan sangat hati-hati, Angkasa mengambil gelas yang sudah terisi air, lalu dengan menggunakan sedotan, ia memberikan air minum itu untuk Rumi. Gelas kembali ditaruh Angkasa di atas meja, lalu ia kembali menatap Rumi.
“Pa, bagaimana Mas Bari?” tanya Rumi dengan suara serak.
“Sudah lebih baik, tetapi masih lemah dan belum bisa diajak bicara,” jawab Angkasa.
“Lalu, bagaimana dengan kita? Papa dan saya ….”
“Kepala saya sedang berat sekali memikirkan semua ini. Kita bicara nanti saja ya. Kamu tidur saja lagi. Saya sudah minta kakak kamu untuk datang kemari untuk membawa pakaian dan juga menemani kamu di sini.”
“Pa, tapi saya tidak apa-apa,” kata Rumi dengan sedikit penekanan.
“Tekanan darah kamu sangat rendah. Kamu harus istirahat. Paling tidak, malam ini istirahat saja di rumah sakit,” balas Angkasa yang tidak ingin semakin pusing karena memiliki dua orang pasien.
“Apa kamu mau makan?” tanya Angkasa mencoba mengalihkan perhatian yang ada di kepalanya.
“Tidak, saya ingin tidur saja,” jawab Rumi sudah kembali memejamkan mata dengan air bening meluncur dari kedua mata yang telah ia pejamkan. Angkasa kembali duduk di sofa. Ia akan menunggui Rumi sebentar, sambil menunggu Tiara datang.
Ceklek
Suara pintu dibuka dan Angkasa melihat Tiara masuk dengan membawa ransel. Wanita seusia Bari itu pun tersenyum tipis, sambil sedikit mengangguk.
“Bagaimana kabar Rumi, Pak? Apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Tiara penasaran.
“Saya sudah menikahi Rumi dan ….”
“Apa? Bagaimana bisa? Kenapa dadakan? Kenapa saya tidak diberitahu?” cecar Tiara seakan tidak terima. Angkaasa pun akhirnya menjelaskan cerita yang sebenarnya yang terjadi padanya dan Rumi beberapa jam lalu di ruang ICU. Tiara mendengarkan dengan seksama dengan mulut setengah terbuka. Ia pun sangat kaget dengan penuturan Angkasa dan hanya bisa menghela napas berat sambil menoleh pada brangkar Rumi.
“Jadi, setelah Bapak dan Rumi menikah, Bari melewati masa kritisnya? Trus, bagaimana dengan status Bapak dan adik saya. Jangan jadikan pernikahan ajang permainan, Pak. Saya mohon.” Angkasa menggelengkan kepala sambil mengangkat bahunya dengan lemah. Pria dewasa itu sendiri bingung dengan kelanjutan pernikahannya dengan Rumi, bila Bari sembuh dan sehat seperti sediakala.
“Pak, jangan bilang Bapak mau segera menceraikan adik saya begitu Bari sembuh? Ingat, Bapak sudah mengucap ikrar dengan nama Tuhan. Jadi, saya mohon jangan dipermainkan.” Tiara menatap tajam wajah lelaki di depannya yang kini tengah menunduk lesu.
****
Keesokan harinya, Angkasa tengah mengendarai mobilnya menuju rumah Lana—calon istrinya yang akan dia nikahi setelah satu bulan pernikahan Bari dan Rumi. Namun kini, sebagai lelaki dewasa yang bertanggung jawab, tentu ia akan mengatakan yang sebenarnya pada Lana dan juga orang tua Lana, perihal pernikahannya yang terpaksa dengan Rumi.Wanita cantik berusia tiga puluh dua tahun itu sudah berdiri di depan pagar rumah untuk menyambut sang calon suami. Memang Angkasa mengirimkan pesan pada Lana, bahwa ia sedang dalam perjalanan menuju rumah wanita itu. Begitu mobil Angkasa berhenti di depan rumah, Lana memberikan senyum terbaikya, lalu menggeser pagar—membukanya dengan sangat lebar. Angkasa menurunkan spionnya.“Halo, Sayang. Aku rindu sekali,” sapa Lana dengan senyuman hangat. Hati Angkasa pun semakin gusar. Ia tersenyum canggung, lalu mematikan mesin mobil.“Abang dari rumah sakit? Bagaimana kabar Bari? La
Angkasa pulang dengan wajah merah karena disiram air hangat oleh Lana. Ia sama sekali tidak marah, karena hal lebih buruk dari ini ia siap menerimanya. Semua adalah kesalahan dirinya yang tidak bisa bertanggung jawab terhadap keputusan yang diambil. Angkasa tidak sanggup mendengarkan suara teriakan sekaligus tangisan Lana karena kekecewaan dan kemarahan wanita itu pada dirinya. Semua telah terjadi, mulai kemarin ia sudah resmi menjadi suami dari Rumi dan ia akan meneruskan tanggung jawab itu sampai Bari benar-benar sembuh.Gadis yang sudah engkau anggap sebagai anak, bagaimana bisa engkau perlakukan sebagai istri. Sangat aneh dan pastinya tidak nyaman. Berkali-kali Angkasa menghela napas kasar, sambil terus berusaha fokus pada kemudinya. Hari ini ia harus kembali ke kantor untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan yang sudah ham;ir seminggu terbengkalai. Di rumah sakit sudah ada Rumi yang menunggui Bari, sehingga ia bisa meninggalkan sebentar untuk bekerja.Se
“Bibik bisa ceritakan kepada saya, ada apa ini sebenarnya?” tanya Angkasa pada Bik Susi yang tengah duduk melantai sambil memilin ujung bajunya karena gugup. Rumi duduk di seberang Angkasa dengan wajah menunduk malu. suatu kecerobohannya karena tidak mengunci pintu, sehingga Angkasa tanpa sengaja melihat tubuhnya yang hanya memakai bra saja.“Begini, Tuan, tadi siang ada Non Tiara, katanya Kakak dari Non Rumi. Kata Mbak Tiara mulai hari ini Mbak Rumi tinggal di sini karena sudah sah menjadi istri Tuan. Maaf, Tuan, karena saya pun diperlihatkan foto ijab qabul di rumah sakit kemarin, saya jadi mempersilakan Non Rumi untuk menempati kamar Tuan. Mana saya berani membiarkan majikan saya tidur di kamar tamu,” terang Bik Susi mencoba menjelaskan hal yang sebenarnya terjadi.Angkasa hanya bisa menghela napas berat sambil memijat pelipisnya. Tidak mungkin juga dia meminta Rumi untuk pindah ke kamar tamu malam ini. a
Bari masih belum sadarkan diri. Lelaki itu masih memejamkan mata dengan sangat rapat setelah lewat dua hari masa kritisnya. Angkasa dan Rumi bergantian menjaga Bari, sesekali juga Tiara ikut menemani Rumi di rumah sakit. Acara pernikahan yang akan digelar besok di sebuah ballroom hotel, tentu menyita banyak waktu Angkasa dan juga Rumi, sehingga untuk hari ini mereka tidak bisa menunggui Bari di rumah sakit.Semua ikut sibuk, termasuk anggota keluarga Angkasa yang terdiri banyak pasukan. Ada yang menjadi pagar ayu, pagar bagus, pengiring pengantin dan lain sebagainya. Rumah Angkasa sudah ramai orang yang masing-masing memiliki tugas, termasuk dirinya yang kini tengah mencoba beskap yang akan ia pakai besok, ditemani Brittania—bungsunya yang cuti kuliah dari Yogya untuk melihat pernikahan sang kakak. Yah, Angkasa tidak menceritakan perihal kejadian yang menimpanya dan Rumi, sebelum putrinya itu sampai di rumah.“Aku sebenarnya tidak sepenuhn
Sakitnya tidak seberapa, tetapi malunya sungguh luar biasa. Itulah yang dialami Rumi saat ini. Perbuatan Lana yang menyiramkan air ke wajahnya membuat Rumi sukses menjadi tontonan banyak orang dan seketika itu juga menjadi buah bibir. Untung saja make up yang dikenakannya sangat bagus dan tidak mudah luntur, tetapi tetap saja wajahnya dan baju pernikahannya menjadi basah.“Maafkan Lana, Rumi. Saya tidak tahu kalau dia sampai nekat membuat keributan seperti itu,” ujar Angkasa dengan perasaan bersalah sekaligus iba. Karena semua yang terjadi bukanlah salah Rumi ataupun dirinya. Ini semua takdir dan kita tidak bisa menolaknya. Angkasa duduk di samping Rumi yang tengah di betulkan kembali rias wajahnya. Baju resepsinya pun telah diganti dengan yang lebih bagus dan membuat Rumi semakin cantik dan memesona. “Tidak apa-apa, Pa. Jika saya menjadi Tante Lana, mungkin hal lebih nekat dari ini berani saya lakukan. Saya mengerti per
"Pa, boleh saya cium tangan ibu sambung saya?" tanya Bari dengan begitu formal pada Angkasa."Boleh saja, tetapi jangan gunakan perasaanmu," sela Bulan tegas membuat semua mata memandangnya.Wajah Angkasa mendadak membeku begitu pun Rumi. Suasana meja makan yang harusnya hangat, mendadak begini hening dan mencekam. Bari mengambil tangan Rumi, lalu mencium punggung tangan wanita itu dengan begitu hikmat.Rumi gemetar dan bergetar. Tidak bisa ia membohongi hatinya, bahwa hanya Bari yang mampu membuat seluruh saraf di tubuhnya melemah seketika. Bagaikan baru saja tersengat listrik bertegangan tinggi. Bari mencium punggung tangan Rumi bukan dengan hidungnya, melainkan dengan bibirnya. Angkasa tak bisa berbuat banyak, selain memijat pelipisnya yang mendadak sangat sakit."Rumi, ambilkan Angkasa nasi dan ikan. Angkasa suka sekali ikan. Emak rasa kamu tahu itu," titah Bulan mencaikan suasana yang masih saja mencekam."Baik, Mak," jawab R
“Kenapa menangis?” tanya Angkasa bingung. Rumi masih terisak setelah membungkus seluruh tubuhnya dengan selimut tebal. “Bukankah seharusnya saya yang menangis karena hanya bisa melihat tanpa boleh menyentuh?” tanya Angkasa lagi membuat Rumi semakin gemetaran. Pria dewasa itu tertawa pendek, lalu menyentuh kepala Rumi dengan lembut dan pelan. Layaknya seorang ayah yang tengah menenangkan anaknya yang menangis. “Maafkan saya jika membuat kamu takut. Saat di rumah nanti, saya akan pindah kamar, jika kamu tidak nyaman satu ranjang dengan saya,” kata Angkasa lagi dengan bijak. Lalu ia pun kembali berbaring dengan meletakkan guling di tengah-tengah. Ia tidak mau memaksakan Rumi yang saat ini pasti sangat malu dan ketakutan padanya. Angkasa memilih memejamkan matanya kembali dengan posisi telungkup, karena ia terpaksa menidurkan sesuatu yang tadi sempat bangun. Sungguh sua
“Papa sudah menebak akan hal ini. Hm … baiklah, Papa akan mengalah, tetapi tidak sekarang. Kalau kalian menghormati Papa, tolong jaga marwah Papa di depan semua orang, terutama keluarga. Papa akan mengalah kamu tidak mengganggu Papa dan Rumi saat kami masih berstatus sah sebagai suami istri. Jika kamu masih terus menganggu, maka kalimat talak itu tidak akan pernah keluar dari mulut Papa. Rumi, kamu paham’kan? Ayo sekarang ikut Papa,” ujar Angkasa dengan tegas. Bari bungkam, Rumi pun dengan terpaksa mengangguk dan mengikuti langkah Angkasa. Ia juga pasrah saat Angkasa menggandeng tangannya untuk masuk ke dalam lift. Pintu lift tertutup, Angkasa dan Rumi masih saja diam, tetapi Angkasa tidak melepas genggaman tangannya pada Rumi. Wanita itu sudah panas dingin dengan napas terasa sedikit sesak. Ia sangat takut pada ekspresi wajah Angkasa yang menyimpan amarah. “Apakah saya begitu buruk sebagai seorang lelaki sehingga