Share

AKU MERASA BINGUNG

"Zahra, bangun, Nak!" Suara Bunda membangunkanku yang terlelap di atas sajadah.

"Bentar lagi subuh, kamu mandi! Kita solat berjamaah!" lanjut Bunda mengusap lembut kepalaku.

Kami pun sholat, seperti biasanya semenjak dua tahun lalu Ayah meninggal dunia, Bunda yang menjadi imam. Kami memang hanya tinggal berdua karena aku anak semata wayang.

"Bun, apa Bunda menginginkan aku menikah dengan Kak Alvin?" lirihku setelah usai berdoa dan sungkem.

"Bunda hanya ingin kamu bahagia," jawab bunda menatap mataku yang setengah menunduk.

"Apa bunda bahagia?" tanya aku lagi.

"Bunda sudah bahagia memiliki kamu, Zahra. Apalagi setelah kamu memutuskan berhijrah. Bunda merasa Bidadari syurga ada di samping, bunda. Ada bekal kelak untuk bunda, saat Allah datang menjemput."

"Bun..." Kupeluk tubuh Bunda dengan begitu erat.

Hangat dan menenangkan. Tidak, ketika tangan kekar kak Alvin memelukku saat aku berusaha mendorong tubuhnya yang dengan lahap memangsaku. Menciumi setiap jengkal raga yang rapuh ini.

"Bunda yakin apapun keputusanmu adalah yang terbaik buatmu. ."

Kalau dengan mendapat musibah sepahit ini, Allah memberiku kesempatan berhijrah. Lalu kenapa Allah mempertemukanku dengan pemerkosa itu lagi? Sebagai calon suami. Sesulit inikah ujian hijrah ku ya Allah

"Jalan Hijrah memang tidak mudah, Nak"

"Sesulit inikah ujian hijrah ku ya Allah"

"Namun, kalau kamu mengikuti skenario Allah, pasti akan indah diwaktu yang tepat, karena sejatinya Allah lebih tahu apa yang hambanya butuhkan bukan yang kita inginkan."

****

Selesai membersihkan rumah dan membantu Bunda memasak. Aku pergi ke tempatku mengajar, kegiatanku saat ini memang menjadi guru PAUD.

Mengajak bermain sambil belajar anak-anak lugu tak berdosa membuatku melupakan kenangan pahit itu, walau sesekali terlintas ketika kak Alvin memainkan tubuhku seperti boneka yang dengan bebas digerakan sesukanya, terlentang, tengkurap bahkan menyilangkan tanganku di antara ranting semak berduri lembut, namun tajam bila tertusuk.

Setelah selesai mengerjakan tugasku sebagai seorang pengajar. Aku pun pulang. Membantu Bunda menyetrika jahitan baju pesanan pelanggannya.

Waktu berjalan begitu singkat, ba'da Ashar telah berlalu, kak Alvin datang tapi kali ini bersama seorang perempuan paruh baya, karena sebelumnya Ustadz Danu memberi tahu kalau beliau tidak bisa datang.

"Ini Bi Sari, asisten rumah tangga dirumahku. Namun, semenjak kedua orang tuaku meninggal, beliau sudah seperti ibu buatku," tutur kak Alvin memperkenalkan Bi Sari padaku.

Aku mengajaknya bersalaman mencium punggung tangan bi Sari.

"Zahra, Aku mau memberikan ini." Ditaruhnya sebuah gelang bermanik bintang milikku yang hilang malam itu. Malam kesucianku terenggut.

Aku yang setengah sadar berusaha menarik sweeter milik pemerkosa itu untuk terhindar dari cumbuannya, tangan lemah ini berhasil menggapai ujung kantung dari sweeter. Namun, sekali lagi aku terkulai lemas karena tenaga telah habis setelah darah keperawananku mulai keluar meninggal kan rasa sakit hingga menembus palung hati.

"Permisi!" Aku berdiri meninggalkan kak Alvin dan Bi Sari, karena Bunda memang tidak ada bersama kami, beliau sedang membeli gula yang kebetulan habis.

Aku berlari kecil menuju kamar, duduk didepan meja rias. Menatap pantulan wajahku dicermin yang mulai meneteskan airmata. Kubuka laci dan kuambil amplop berwarna coklat yang sudah tersimpan sejak 5 tahun lalu.

Ku usap semua airmata yang menempel di pipiku hingga setengah kering. Dengan kaki sedikit gemetar, aku kembali ke ruang tamu.

"Ini, Kak!" Aku memberikan amplop itu pada kak Alvin. Ia pun membuka amplop itu, terlihat wajahnya terkejut melihat isi di dalamnya.

"Satu juta limaratus ribu. Masih uang yang sama," lirihku sedikit menundukan pandangan.

Berusaha menahan agar airmata ini tidak jatuh lagi.

Malam itu aku sudah menjatuhkan airmata terlalu banyak, aku harus bisa melewati jalan yang Allah berikan padaku. Tidak mau terlihat lemah di depan kak Alvin.

"Zahra, malam itu aku gak bermaksud menghinamu. A-aku.... "

"Assalamu'alaikum, Zahra!" terdengar dari balik pintu seseorang memanggilku, kak Alvin tidak sempat melanjutkan ucapannya.

Ternyata Pak RT yang datang, beliau membawa kabar kalau Bunda tergeletak lemas hampir pingsan didepan warung Bu Marni. Aku pun panik, berlari keluar. Kak Alvin juga Bi Sari mengikutiku.

Kami langsung membawa Bunda ke rumah sakit, setelah diperiksa asam lambung Bunda kambuh, kebetulan hari ini Bunda sedang berpuasa di bulan muharam.

Dokter memintaku untuk menebus obat di apotek, kak Alvin dan Bi Sari yang masih berada disana menawarkan diri menjaga Bunda sementara aku pergi.

Andai tawaran ini berlaku lima tahun lalu, kak Alvin menjaga kesucianku mungkin mata para tetangga tidak memandang hina keluarga kami.

Setelah menebus obat aku berjalan kembali menuju ruangan Bunda, Namun ku lihat Bi Sari keluar sendirian dari ruangan itu.

"Mau kemana, Bi?" tanyaku saat berpapasan dengannya.

"Den Alvin menyuruh bibi membeli makanan, Nak!" jawab Bi Sari.

Begitu peduli kah kamu terhadap keluargaku, Kak !. Saat dulu kamu tanpa memikirkan keburukan apa setelah perbuatan keji mu kepadaku. Ya Allah, mampukah aku menepis trauma dalam diri ini?

Adzan magrib sudah mulai berkumandang, aku percepat langkahku karena Bunda pasti ingin menunaikan sholat. Namun, betapa terkejutnya aku, melihat Bunda sedang sholat di atas ranjangnya dengan di imami seorang Alvin.

Perlahan Aku masuk dan menaruh obat Bunda dinakas samping ranjang.

"Kamu sholat dulu, Nak!" ucap Bunda, selesai membuka mukenahnya.

Kak Alvin meminta izin menunggu diluar.

"Sehabis sholat kamu harus memenuhi janjimu, Zahra!"

"Janji apa, Bun?" tanyaku sembari menerima mukenah yang diulurkan Bunda.

"Janji memberi jawaban tentang kelanjutan ta'aruf ini pada Alvin"

Aku tertunduk.

"Sebagai seorang muslim, kamu harus menepati janjimu, Nak! nanti sekalian kamu suruh pulang saja, kasihan kalau harus menunggu Bunda disini"

Aku hanya menjawab dengan mengangguk.

"Yakinkan hatimu, Nak! Bunda tidak memintamu menerima Alvin, tapi Bunda juga tidak mengharapkan kamu menolaknya. Semua keputusan ada ditanganmu."

Aku pun melanjutkan sholat. Begitu khusyuk sampai di ujung doa airmata ini menetes begitu saja.

"Ya Rabb, jika aku harus menerima jalan takdirku yang ternyata calon suamiku adalah kenangan pahitku. Lumpuhkan lah ingatan akan malam itu, biarkan aku menerimanya dengan ikhlas sebagai suamiku. Namun, apabila aku menolaknya, yakin kan hati ini, kalau penolakan ini bukan dendam, karena aku sudah berusaha memaafkannya.Bismillah...."

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status