Ivan dibawa ke kerumunan para penyintas. Di sana ada banyak umat muslim yang berusaha menyelamatkan diri ke Negeri Syam. Ya, meski pemerintahan Balrus mengharamkan penduduknya untuk memeluk agama Islam. Namun, tetap ada yang menganutnya meski tak mudah. Sama halnya dengan hidayah. Tidak ada yang bisa menghalangi ketika sudah tiba masanya untuk singgah di hati anak cucu Adam. Dua tenda berdiri di sana. Digunakan untuk tempat beristirahat wanita dan anak-anak. Ivan mengingat bahwa ia baru saja membunuh tiga orang tentara Balrus. Sesuai dengan pengalamannya. Tidak lama lagi akan ada anjing pelacak disertai satu pasukan yang akan menyusuri wilayah sampai ke kedalaman. Tak lupa pula dukungan drone dalam memantau situasi. “Sebaiknya kita cepat pergi dari sini. Aku khawatir persembunyian kita akan diketahui,” ucap Ivan. Ia duduk bersandar di dekat pohon pinus. Tangannya meraba kantong celana bekas yang ia beli. Ada sebatang rokok yang ia temukan. Ia meminta api untuk menghidupkan rokok ter
Ali bersembunyi di antara pepohonan. Saat tiga ekor anjing pelacak datang ke arahnya, ia lesatkan peluru dari senapan panjang. Satu ekor binatang bergigi tajam itu mati, disusul dua lainnya yang ciut nyali kemudian kabur begitu saja melihat temannya meregang nyawa. Tak banyak lagi peluru persediaan Ali, hanya beberapa saja, tapi lawannya pun tak banyak. “Empat orang tentara berpangkat rendah. Pengalaman kalian masih jauh di bawahku.” Ali menarik napas panjang. Ia, bagaimanapun caranya harus bisa sampai ke Negeri Syam, sebab ingin mencari ibunya yang mungkin sudah ada di sana. Ali melempar sebatang kayu ke arah pepohonan lain. Dua orang tentara menuju ke arah sana. Pergerakan lelaki bermata keabuan itu licin bak belut. Saat dua lainnya menuju arah pergerakan pohon. Ia lesatkan dua buah peluru. Meski tak mengenai titik vital setidaknya bisa membuat mereka kesakitan. Lekas saja dua tentara yang masih selamat meminta bantuan, tak lupa pula drone kecil melintas. Peralatan yang bisa mela
Bagian 15 Negeri Baru Sangat panjang terowongan tersebut dilewati. Tak jarang pula ciut nyali mereka semua di dalam sana, getaran terasa dari atas bumi. Pertanda ada mobil atau kendaraan lain tengah melintas. Waswas saja jika sewaktu-waktu terowongan runtuh. Terutama anak-anak, mereka sudah tak tahan pengap, berkeringat dan mulai kesulitan bernapas.“Sudah beberapa jam kita di dalam terowongan. Lama sekali sampainya. Tak kusangka pula ada yang niat sekali membangun semua ini,” ucap Ali. Ia pun tak kalah berpeluh hingga baju kausnya basah, begitu juga dengan firdaus. Beruntung mereka membawa cadangan oksigen yang diirit saja pemakaiannya. “Sudah cukup lama. Tak jauh lagi kita sampai, semoga saja di luar baik-baik saja.” Firdaus menyeka peluh di dahinya. Lelah, lapar, dan haus melanda semua di dalam sana, demi harapan baru. Kehidupan yang lebih baik. Lalu, akhirnya yang dinanti pun tiba. Dari atas terowongan terdengar sama-samar suara beberapa lelaki dengan bahasa Arab. Tersenyum le
Tubuh Gu terus terombang-ambing setelah dihempaskan ke dalam air sungai. Beberapa kali ia nyaris terlepas dari sebatang kayu yang ia pegang. Namun, tekadnya untuk membalas semua yang telah terjadi pada diri dan keluarganya membuat wanita berambut keriting itu terus bertahan hidup. Dingin air tersebut ia tahan, tak lupa pula doa terus dipanjatkan dalam hatinya. Agar Allah memberinya kesempatan hidup kedua. Semua semata-mata demi melihat kehancuran orang yang telah menyebabkan semua penderitaan untuknya. Gigil di bibir Gu semakin menjadi, sehelelai selimut yang menutupi tubuhnya telah robek sebagian karena tersangkut di akar pepohonan. Kulit wanita itu juga tergores bebatuan yang terkadang ia lewati. Sungai yang terlihat tenang di atasnya belum tentu di bagian bawah tidak menyimpan badai. Sampai mata biru wanita itu telah lelah. Segala upaya telah ia keluarkan untuk bertahan hidup. Ia pasrahkan saja semuanya pada penggenggam hidup. Kalau pun mati sekarang, ia bisa bertemu dengan kedua
Gu masuk ke kamar mandi, di sana ia membersihkan dirinya. Air tersebut pun terasa sangat dingin ketika menyentuh tubuhnya, sebab hari sebentar lagi akan musim salju. Saat gadis Khazakh itu menyentuh kulitnya sendiri, seketika ia teringat bagaimana Ivan menggerayanginya. Memejam mata biru tersebut, ia berusaha melawan rasa takut dan trauma dalam dirinya sendiri, sebab ia merupakan petugas medis. Namun, sekuat apa pun ia mencoba, bayangan kelam itu terus saja menghantuinya. Setiap embusan napas Ivan masih terasa di sekujur tubuhnya. Gu menjadi jijik dengan tubuhnya sendiri. “Sudah tak suci lagi. Aku kotor.” Ia mengacak-acak rambut keritingnya. Napasnya langsung cepat naik turun seperti ditekan perasan bersalah. Berbagai macam pengandaian menari-nari di dalam kepalanya.“Andai aku bunuh diri saja, atau andai aku membunuhnya terlebih dahulu. Aggghhh!” jerit gadis itu di dalam kamar mandi. Ia tak tahan lagi setiap kali memejamkan mata selalu saja wajah bengis itu yang terlihat. Seolah-ola
Terhitung sudah tiga hari Gu berbaring di rumah sakit. Sarah bolak-balik membawa baju ganti juga makanan. Tak apa baginya sedikit repot walau pinggang wanita berusia setengah abad lebih itu sakit. Ia senang, akhirnya ada yang membutuhkan bantuannya. Sedangkan Gu masih berputus asa di ranjang pesakitan. Merenungi semua yang telah menimpanya. Pikiran manusia yang luar biasa lemah menyebabkan apa yang menimpa dirinya tidaklah adil. Apalagi jika Gu melihat jika Ivan hidup bahagia bergelimang harta bersama istri dan keturunannya. Akan semakin menjadi penyakit di hatinya. “Ayo, buka mulutmu, kau perlu makan,” pinta Sarah. Gu menurut saja, ia bagaikan seonggok kayu yang diberikan nyawa, tak ingin melakukan apa-apa lagi. “Katakanlah sesuatu, Nak. Apa saja yang bisa membuatmu bahagia,” ucap Sarah. Ia membersihkan bibir Gu yang remahan rotinya jatuh. “Dulu, aku memeriksa pasien yang terbaring lemah di ranjang. Sekarang akulah yang lemah. Miris sekali,” ujar Gu perlahan saja. Namun, cukup jel
Pagi harinya Sarah benar-benar mengawasi Gu untuk sholat. Agak malas sebenarnya gadis itu. Namun, ia tak punya pilihan lain sebab menumpang di rumah orang. Usai menunaikan ibadah wajib dua orang itu sama-sama memasak olahan kentang lagi. Gadis berambut keriting itu tahu apa yang dibuat oleh istri Hamis. Ditambah pasokan umbi tersebut sangat banyak ada di dapur, terlihat baru saja selesai dipanen. “Sepertinya Ibu sangat suka dengan kentang, ya?” tanya Gu ketika ia memotong-motong tipis bahan makanan tersebut. Ia harus terus berbincang dan berbagi agar tak terus-menerus memikirkan peristiwa beberapa hari silam. Tadi malam ia berpikir keras, sangat rugi memang jika Gu bunuh diri, sebab ancamannya begitu jelas berakhir di jahanam. Sementara itu Ivan hidup bahagia bergelimang harta bersama istri dan anaknya. Jadi keputusan yang diambil oleh Gu ialah mencoba untuk meneruskan hidup dan mulai melepaskan rasa sakit dalam dadanya. Beruntung ia bertemu Sarah, wanita yang juga punya luka dan mam
“Apa yang kau lihat, Gu?” Sarah membuyarkan lamunan gadis itu. Mata biru Gu tertuju pada senapan usang milik wanita paruh baya tersebut. “Bagaimana caranya Ibu memiliki senapan itu. Apa di desa ini memang lumrah orang punya senjata.”“Tidak. Bisa dihitung jari, sebab membelinya pun setara dengan harga tiga box besar kentang. Mahal, lebih baik untuk makan saja uangnya.” Sarah kembali ke teras rumahnya, lalu menyusun sisa terong yang ada. Gu mengikuti dari belakang. Ketika ada warga desa yang menginginkan hasil kebun Sarah, pembicaraan senjata tajam itu terhenti sejenak. “Lalu, kenapa engkau membelinya?” Sarah melirik benda yang ditukar dengan terong. Menarik, beberapa buah bawang merah juga putih untuk kebutuhan masak. “Berjaga-jaga. Demi keamanan, sebagai seorang dokter kau tentu paham bagaimana caranya menyikapi trauma. Entah dengan menghindar dari peristiwa yang sama atau memilih mempersiapkan diri lebih kuat dengan bekal yang lebih matang.” “Ajari aku, Bu. Aku juga ingin lebih