Gu terpekur di depan makam Sarah. Wanita itu dikubur di ladang tempat mereka biasa menanam kentang atau tanaman lainnya. Penyesalan gadis itu tiada terkira, andai saja permintaan untuk pergi ke Negeri Syam bisa ia jangkau, akan ia penuhi. Sayangnya, untuk ke sana pun tidak mudah. Apalagi untuk ibu tanpa suami dan anak tanpa ayah seperti mereka berdua. Tidak ada yang melindungi. Beruntung saja penyelenggaraan jenazah itu dibantu oleh Hela serta beberapa tetangga. Semampunya Gu ikuti sesuai tata cara islam. Masih ingat gadis bermata biru itu dengan perkatan Sarah beberapa minggu lalu. “Gu, aku sudah membeli kain kafan, memang di sini harganya mahal sekali. Tapi aku menggunakan uangku sendiri,” ujar Sarah ketika Gu baru saja pulang kerja. “Untuk apa, Bu?” Terkejut gadis itu, serasa ia akan ditinggal mati dalam waktu dekat. “Jaga-jaga andai aku mati. Apa kau tak kasihan denganku, Gu, sedikit saja.” Menghiba wanita paruh baya itu. “Maksud Ibu, apa? Adakah yang ingin Ibu beli?” tanya Gu
Hela tak bisa tidur beberapa malam. Ia tahu cepat atau lambat suaminya akan mengetuk pintu rumah itu. Lalu masuk dan entah apa yang akan terjadi pada dirinya. Wanita berambut pirang tersebut sudah sangat paham perangai lelaki yang sudah tak terhitung berapa banyak perempuan yang telah disakiti. Suara decit mobil direm terdengar di telinga Hela. Wanita itu duduk dengan tenang sambil menenggak segelas anggur merah, ia tahu ini merupakan detik-detik kematiannya. Atau jika tidak mati ia pun tak ubahnya seperti mayat hidup saja diperbudak lelak bengis itu. Sebelum semua itu terjadi, ia mengambil ponselnya menghubungi seorang gadis yang ia khawatirkan akan terjadi sesuatu juga padanya juga sang putri, sebab identitas mereka yang begitu kentara sebagai muslim. Beruntung Sarah telah berpulang terlebih dahulu. Panggilan itu akhirnya diangkat juga. “Gu, ini pesan terakhirku untukmu. Pergilah, sekarang juga, yang jauh, jangan pernah berpikir untuk kembali. Selamatkan hidupmu juga putrimu,” uca
“Kau yang gila! Bagaimana kalau mobil ini menabrak pembatas jalan dan kita mati, ha!” bentak Ed. Ia terkejut dengan tindakan nekat Gu. “Lebih baik kita mati bertiga dariapada kau membawaku ke Cina. Kau gila? Cina itu jauh dari sini, ras kita juga berbeda dengan mereka. Pikirkan dua kali Ed. Pakai otakmu jangan hanya nafsu saja yang kau utamakan.” “Ya, kau pikir kita harus ke mana. Hanya ada dua pilihan. Ada dua wilayah yang masih dekat dengan Balrus tapi tak akan pernah mereka berani mengusiknya. Satu Cina, satu lagi Negeri Syam. Aku tak mau ke Syam, di sana kaku dan tak boleh minum dan main judi dan main perempuan. Apa enaknya hidup kaku seperti itu.” “Ke mana? Negeri Syam. Iya aku pilih ke sana saja. Antar aku ke sana. Aku tak mau ke Cina titik!” “Aku tak mau, titik.” Tak kalah Ed berargumentasi. Maira hanya melihat bergantian dua orang dewasa itu saling adu mulut. Sampai akhirnya … “Aku tak suka main kasar sebenarnya, Ed. Tapi kalau kau tak mengantarku ke Syam. Aku tembak kepa
Ali dan Firdaus sejak sampai di Negeri Syam telah menjadi sahabat yang begitu dekat satu sama lain. Mereka saling memberi manfaat. Ali mengajarkan ragam ilmu pengetahuan tentang senjata, cara membangun ketahanan fisik, strategi perang, hingga lambat laun Firdaus tubuhnya menjadi semakin kekar dan tegap. Akhirnya lelaki berambut ikal itu mengajarkan pada yang lain juga. Ali sesekali turun tangan jika memang diperlukan. Dibawah pengawasan dua orang pria itu terbentuklah suatu kesatuan yang cukup kuat. Sudah banyak wilayah yang berhasil dibebaskan. Bahkan tak menutup kemungkinan untuk menguasai armada angkatan udara milik musuh. Hanya saja usaha lebih keras tetap dibutuhkan. Sedangkan Firdaus sendiri mengajarkan ilmu agama pada Ali. Tak jarang pula keduanya pergi ke majelis ilmu bersama-sama. Ragam pengetahuan baru Ali dapatkan. Di tahun pertama ia intens belajar membaca Al Qur’an, sholat dan tetap turun perang. Lalu dengan memantapkan hati di tahun itu juga ia menunaikan ibadah puasa s
“Silakan ikut dengan kami. Ada beberapa pertanyaan yang harus engkau jawab terlebih dahulu, Ukhti,” ucap Firdaus pada Gu. Lelaki berambut ikal itu mempersilakan gadis pendatang baru untuk jalan. Namun, yang diminta malah lebih fokus memandang seorang pria yang memeluk putrinya. Gu memanggil Maira, gadis itu turun dan membawa lari kaca mata milik Ali, walau terjatuh di jalan. Sejenak Gu menatap lelaki asing yang mengenakan tutup kain di wajahnya. Tinggi badan itu dan cara berjalannya, sepertinya tidak asing. Mata biru dan keabuan itu sempat saling menatap sejenak. Kemudian Ali segera saja berpaling. Ia memang sejak serius hijrah tak mau menatap mata wanita lama-lama. Takut hanyut dalam keindahan sesaat dan sesat juga semu. Tidak bagi Gu, ia seolah-olah tak berkedip dibuatnya. “Ah, tidak mungkin, iblis itu tak masuk akal ada di sini. Dia pasti ada di Balrus dan sedang merencanakan penyerangan lain.” Gu menggendong Maira lalu berjalan ke pos yang dimaksud Firdaus. Ada beberapa pertanya
Firdaus duduk di sebelah Ali, lelaki berkepala plontos itu yang gantian menyetir mobil. Firdaus sendiri tiap sebentar menyunggingkan senyum, lalu istighfar lagi, lalu senyum lagi persis seperti orang yang kehilangan sedikit akalnya. Ali sampai ikut tersenyum sendiri dibuatnya. “Kelihatannya, dia sanggup mencuri hatimu yang beberapa bulan ini terkurung rapat di ruang rahasia,” ucap Ali. Namun, Firdaus tak mempedulikan saudara angkatnya itu. Ia masih memikirkan perkataan Gu barusan, tentang istirahat, makan teratur dan jangan terlalu banyak pikiran. Ah, seperti perlakuan istri yang penuh perhatian pada suaminya. Padahal memang demikianlah tugas dokter. Entah karena hati Firdaus saja yang sudah lama merindukan perhatian lawan jenis. “Teruslah tersenyum sendiri seperti itu, aku suka melihatnya,” lanjut Ali lagi. Jika Firdaus memikirkan Gu lain dengannya, ia memikirkan gadis kecil yang tadi ia ajak bermain selama setengah jam. “Iya, kenapa tadi?” tanya Firdaus, ia seperti mendengar Ali
Ali mengajak Maira berjalan tak jauh dari masjid. Pagi-pagi sekali di sana sudah ada gerai makanan yang menjual sarapan cepat saji. Sebenarnya ia juga sungkan membawa anak gadis orang pergi jauh. Namun, perut Maira terus saja keroncongan, sebab tak ada makan apa pun dari sejak sampai di perbatasan, bahkan minum susu saja tidak. Tak sampai hati melihat anak kecil kelaparan, maka Ali memutuskan untuk membawanya sebentar saja setelah itu dipulangkan pada ibunya.Maira yang berada dalam gendongan Ali, mencium bau kentang goreng yang baru saja matang. Makanan kesukaan mereka berdua, tentu ada alasan yang sangat kuat. Duduk sebentar lelaki berkepala plontos itu, lalu ia memesan dua porsi kentang goreng itu tak lupa pula kopi untuk dirinya dan susu untuk Maira. Keduanya makan dengan lahap, bahkan putri Gu menghabiskan makanan itu dengan cepat, Ali saja masih bersisa setengah piring. Ia menyodorkan miliknya pada Maira. Kembali Ali memandang wajah gadis kecil itu, rasanya mirip dengan seseoran
“Hah, kenapa warnanya gelap semua?” Gu menggerutu ketika membuka paket baju pemberian Maida. Semuanya panjang sampai menutupi mata kaki. Ada warna hitam, biru tua dan cokelat yang sudah gelap menjadi bertambah gelap. “Kenapa tidak ada warna-warna cerah atau pastel. Pink, biru muda, hijau tosca begitu. Bagaimana bisa terlihat menarik sebagai wanita kalau dikurung seperti ini.” Gu melempar baju itu. Ia tak mau memakainya. Gadis tersebut melirik kepingan emas dan perak pemberian pemerintah setempat. Akan ia pakai untuk membeli baju yang lebih menarik hati. Setidaknya bisa seperti di rumah Sarah. Dan ia juga harus memberi kebutuhan makan juga minum dirinya bersama Maira. Anak gadis yang masih betah bermain di luar tanpa mau masuk lagi. Gadis bermata biru itu mengetuk pintu kamar Maida. Hari sebentar lagi siang, tak lama Maira akan lapar dan meminta makan. Gu bermaksud minta ditemani belanja oleh penjaga asrama itu, sebab ia tak tahu sama sekali tentang wilayah yang baru satu malam ia dat