Hari berganti hari, bulan berganti bulan dan tahun berganti tahun, tanpa terasa sekarang Sasa sudah berumur tiga tahun, bocah kecil itu sedang berlari-lari di taman belakang rumah Neneknya. Adam yang baru pulang langsung mencari putri kecilnya di kamar hingga ia bertemu dengan Bik Imah.
"Bik, Sasa mana?" tanya Adam sambil melihat sekeliling ruang keluarga.
"Sedang di taman sama Ibu, Den." Jawab bik Imah sambil tersenyum.
Adam dengan langkah cepat menuju taman belakang, melihat Ayahnya datang gadis kecil itu berlari ke arah Adam.
"Hoe ... hoe.... Ayah sudah pulang!" teriak Sasa sambil berlari.
Adam langsung berjongkok mensejajarkan dengan tubuh putrinya. Pria itu begitu games langsung mencium kedua pipi gembul Sasa.
"Ayah ampun," kata Sasa sambil tertawa kegelian karena ulah Ayahnya.
Ibu Mirna melihat itu tersenyum entah mengapa hatinya begitu lega saat itu, Adam tidak pernah berubah kepada cucunya terlihat begitu menyayangi Sasa saat ini.
"Nak apa kamu tak ingin mencari ibu sambung buat Sasa?" tanya Ibu Mirna.
"Ma, aku sudah nyaman dengan begini saja," jawab Adam sambil memperhatikan Sasa yang sedang berlarian.
"Mama sudah semakin tua, Dam. Enggak selamanya bisa menjaga Sasa," ucap MIrna dengan mata berkaca-kaca.
Adam terdiam, selama ini dia belum memikirkan untuk menikah lagi. Ditatapnya wanita yang kini meneteskan air matanya.
"Ma, Adam belum dapat yang cocok, nanti kalau ada pasti akan secepatnya," ucpa Adam
"Kapan, Dam! ini sudah hampir empat tahun kamu sendiri. Mama tidak akan tenang kalau kamu masih sendiri, Nak," ujar Mirna
"Maafkan Adam, Ma. Namun, percayalah untuk sekarang belum terpikir ke arah situ," kata Adam lembut
Melihat mamanya beranjak dari tempat duduknya, Adam mengusap wajahnya dengan kasar. Bagaimana dia akan mencari ibu sambung untuk Sasa kalau kebanyakan wanita hanya menginginkan dirinya bukan anaknya.
Adam tak ingin salah dalam memilih, yang akan berimbas kepada putri semata wayangnya. Di panggilnya Sasa untuk masuk rumah karena hari sudah semakin sore. Bik Imah melihat Sasa masuk langsung mengajaknya untuk bersih-bersih.
Adam berjalan menuju kamar Mamanya, dilihatnya wanita itu sedang menangis. Ibu Mirna melihat anaknya datang segera mengusap air matanya.
"Mama, maafkan Adam yang selalu merepotkan selama ini. Mulai besok biar Sasa Adam ajak ke kampus biar Mama bisa istirahat ya," kata Adam
"Bukan itu maksud mama, Dam. Sasa itu membutuhkan sosok seorang Ibu yang akan menjadi panutannya nanti," jelas Mirna
Adam menarik napas dalam, ia juga bingung dimana mendapatkan wanita yang baik seperti itu yang mau menerimanya, dia duda beranak satu.
"Nanti Adam pikirkan ya, Ma," kata Adam lembut sambil memeluk tubuh yang semakin lemah itu.
Adam pamit untuk melihat Sasa, dia menutup pintu kamar Mamanya dengan pelan, kemudian dia naik ke lantai. Pria itu tersenyum saat melihat putrinya sudah terlihat cantik dan harum.
"Ayah, Sasa sudah cantik, kata Nenek kalau enggak nakal Unda akan pulang," ucap Sasa polos
Adam hanya tersenyum tipis mendengar penuturan putrinya, dadanya terasa sesak. Namun, dia akan tetap tersenyum untuk buah hatinya.
*****
Sementara itu di salah satu desa yang terpencil. Pagi ini, Ririn masih asik gulang-guling di atas dipan kayu yang beralaskan tikar pandan. Dari dapur Mamak sudah teriak-teriak memanggil namanya, terkadang digedornya dinding yang terbuat dari anyaman bambu tepat di atas kepala Ririn.
Suatu saat pasti ia kangen dibangunkan seperti ini, Mamak kalau belum lihat dirinya ke dapur pasti alarm alaminya terus bersenandung.
"Mak," panggil Ririn sambil duduk di depan Pawon(dapur).
"Kata Siti hari ini ada cap tiga jari," ucap Wati sambil membuat kopi buat Bapak.
"Iya Mak, tapi nanti jam 9,"kata Ririn kemudian ia mengambil alih gelas kopi untuk membawa ke depan.
Saat Ririn datang Bapak menatapnya, kemudian ia melihat keluar ada Rini, Reno dan Reyhan yang sedang bermain di halaman depan.
"Rin, bapak mau ngomong," kata bapak serius.
"Iya Pak," jawab Ririn sambil menyuguhkan kopi hitam yang masih mengepul asapnya.
"Maafin bapak ya, hanya sanggup biayain kamu sampai SMP saja," kata bapak dengan wajah sendunya.
Deg, Ririn begitu terkejut mendengarnya, padahal baru saja mau bicara sama Bapak. sepertinya beliau bisa membaca pikirannya.
"Iya Pak, enggak apa-apa," jawab Ririn sambil tersenyum untuk menyembunyikan kesedihannya.
"Kamu lihat adikmu masih ada tiga lagi yang sekolah," kata Bapak.
Ririn menarik nafas panjang ia paham maksud Bapak, tapi ini sudah deal keputusan Bapak. Berarti hanya dia yang tidak lanjut SMA diantar ketiga teman-temannya.
Siti, Lani dan Mila mereka sahabat Ririn dari SD, ketiganya anak tunggal. Namun, gadis itu berpikir nanti mau ngapain kalau tidak sekolah lagi.
Setelah Bapak siap ngomong tadi segera pergi ke sawah, sedangkan Ririn ke dapur mencari Mamak. Namun, ia tidak menemukan wanita paruh baya itu.
Mamak rupanya ada di belakang rumah, dia sedang menampi beras. Sambil berteduh di bawah pohon rambutan, gadis kecil itu menangkap anak ayam yang lucu sambil diletakkan di telapak tangannya.
Ririn duduk sambil melihat Mamak yang sedang fokus, tapi ada rasa ragu untuk meminta izin ikut bekerja sama bibinya di kota.
"Mak, kalau Ririn tidak sekolah lagi, apa boleh nanti ikut bekerja dengan Bibi?" tanya Ririn
"Apa kamu bisa, Rin?" tanya Mamak sambil menatap anaknya sebentar.
"Kalau hanya cuci piring dan rebus air bisa, Mak," ujar Ririn sambil tertawa.
Mamak hanya tersenyum, ia juga sepertinya bingung harus bagaimana. Namun, Ririn yakin bisa ikut bekerja.
"Sudah sana mandi, nanti terlambat ke sekolah," kata Mamak.
"Mak..," panggil Ririn sambil mengulurkan tangannya.
Mamak tahu betul kalau ia sudah memanggilnya seperti itu, wanita paruh baya itu mengambil uang tiga ribu dari kantong bajunya.
"Ini kalau sisa belikan merica sebungkus," kata Mamak sambil memberikan uang ke anak gadisnya.
"Iya Mak," jawab Ririn sambil tersenyum
Ririn segera ke kamar mandi di samping rumahnya, mereka mandi pakai air sumur warnanya seperti air teh, kalau kata bapak karena tanah gambut.
Air yang buat masak pakai air tadah hujan, kalau sebulan tidak turun hujan memakai air sumur. Saat malam rumah mereka hanya menggunakan lampu ublik, karena listrik belum masuk di desanya.
Saat parit pasang Ririn suka menampung air untuk mencuci baju, karena di belakang rumah ada seperti parit kecil, tetapi airnya asin karena kalau pasang air dari sungai Musi sampai di wilayah desanya.
Kalau pagi hari suasana di desa udaranya sangat sejuk, tetapi kalau siang hari panasnya luar biasa.
Setelah selesai mandi Ririn segera bersiap memakai seragam putih birunya, gadis itu merapikan baju sambil menatap cermin yang sudah buram di kamarnya. Ia menarik napas dalam setelah itu memantapkan hatinya untuk pergi ke sekolah dengan ketiga sahabatnya.
Dari jendela ia melihat ketiga teman datang, seperti biasa akan masuk kamar terlebih dahulu untuk meminta bedak.
"Rin, minta bedak ya," pinta Mila sambil mengambil bedak yang ada di atas meja.
"Mau terlihat cantik di depan pak Sugeng ya!" ledek Ririn sambil mengedipkan matanya ke arah sahabatnya yang bernama Mila.
"Iya, setidaknya dia bisa jadi vitamin mata nanti," jawabnya sambil cengengesan."Ingat Mila, sekolah saja yang benar baru memikirkan cowok."
"Njeh Mbok," ucapnya sambil terkekeh melihat Ririn yang cemberut saat dipanggil mbok.
Melihat ketiga temannya Ririn hanya tersenyum, ia sendiri juga tak habis pikir dengan sahabatnya itu hanya ingin cap tiga cari saja banyak gaya.
Saat melihat teman-temannya yang sudah siap, Ririn segera pamit. Mereka berangkat ke sekolah naik sepeda.
Gadis itu mengayunkan sepedanya menuju tempat di mana ia menimba ilmu selama tiga tahun ini, banyak kenangan indah di dalamnya.
Kini gilirannya untuk cap tiga jari, Pak Sugeng menatap gadis kecil itu sambil tersenyum. ia sudah tahu kalau hanya Ririn yang tidak melanjutkan ke jenjang selanjutnya waktu bertemu bapaknya di pasar kemarin.
"Rin, jangan berhenti untuk belajar," ucapnya dengan tatapan yang berbeda.
Ini yang tidak disukai Ririn, entah mengapa dia tidak suka dikasihani. Walau sebenarnya ingin melanjutkan sekolah apalagi hasil nilainya termasuk bagus.
Setelah selesai mereka berkumpul, saat beberapa temannya ada yang bertanya mau lanjut ke mana? Ririn hanya tersenyum menanggapinya.
Karena tidak ingin terlalu sedih, Ririn pamit kepada ketiga sahabatnya untuk pulang duluan. Melewati persawahan diayunkan sepedanya sambil bersenandung kecil.
Sampai di rumah ia segera menyandarkan sepedanya di samping kandang kambing, saat hendak masuk rumah terlihat sepi mungkin Mamak belum pulang memetik cabe di sawah.
Saat Ririn mau mengambil minum, dia melihat Rini melamun di depan tungku sambil menunggu air mendidih.
"Dek, ada apa?" tanya Ririn sambil tersenyum menatap adiknya.
"Mbak…Bapak sudah ada uang belum ya?" tanya Rini balik.
Ririn hanya bisa menarik nafas panjang, bisa ditebak pasti tadi adiknya ditagih uang SPP lagi.
Ririn ingat masih ada uang ditempat mbak Minah lima puluh ribu, bayaran saat ia membantu menanam padi dua hari yang lalu.
"Berapa bulan belum bayar SPP, Dek?" tanya Ririn
"Empat bulan Mbak," jawab Rini sambil menatap penuh harap.
"Ya sudah Dek, kamu nanti siapkan air di termos ya ... biar kalau bapak dan mamak pulang sudah ada air panas," ucap Ririn sambil keluar rumah.
"Mbak mau kemana?" tanya Rini sambil mengejar Ririn ke kandang kambing.
"Mau tempat mbak Minah minta uang upah kerja kemarin," jawab Ririn sambil pergi naik sepeda.
Di desanya rata-rata kendaraannya sepeda yang mempunyai motor ada, tapi bagi mereka yang orang berada.
Sesampainya Ririn di rumah mbak Minah, wanita itu tengah menjemur kopra( kelapa yang dijemur kering).
"Mbak Minah," kata Ririn
"Eh ... kamu, Nduk. Dari kemarin mbak tunggu-tunggu," kata Minah sambil mengusap kepala Ririn.
"Iya, maaf ya Mbak," ucapnya sambil tersenyum.
"Ini upah kamu kemarin. Oh, iya Rin lusa ada borongan tempat Wak menanam padi apa kamu mau ikut," tawar Minah
Mbak Minah tahu kerja Ririn yang cekatan, tidak akan mengecewakan.
"Nanti tanya Mamak dulu ya, Mbak," jawab Ririn
"Lah ... Makmu kemarin ke rumah mbak, katanya kalau ada borongan suruh ajak kamu. Begini loh Rin, Mamakmu cerita dia juga sedih kamu nggak bisa melanjutkan sekolah lagi, makanya dengan ikut kerja borongan sementara kamu nggak akan ke pikiran," ujar Minah
Ririn hanya bisa menunduk, ingin rasanya ia menangis tapi gadis itu tak ingin terlihat cengeng di depan orang lain.
"Adik-adikku harus sekolah lebih tinggi dariku!" tekadnya dalam hati.
Jangan lupa subscribe dan dukung dengan cara komen dan tekan bintang lima ya. Insyaallah up setiap hari. Aa zigant.
Ririn memejamkan matanya, perasaannya entah kenapa merasa tidak enak, ada sesuatu yang akan terjadi. Namun ia bingung itu apa. Gadis itu menatap ke arah jendela, apa Adam akan mencarinya atau membiarkan dirinya pergi. Ririn memukul dadanya yang terasa sesak saat bayangan di mana Adam membentak dan memarahinya. Diambilnya lagi ponselnya, ia menghidupkan lagi dan ada pesan lagi masuk dari Adam yang menanyakan apa sudah sampai Palembang. Ririn membalas pesan pria itu ia mengatakan kalau tertinggal pesawat. Adam langsung minta share lokasi di mana Ririn sekarang berada. Namun, Ririn hanya menarik napas panjang. Gadis itu meletakkan ponselnya di atas kasur dan membaringkan tubuhnya karena merasa begitu lelah. Adam yang berada di rumah mengusap wajahnya dengan kasar karena
Mobil yang dikemudikan oleh Devan sampai di depan rumah Adam, keduanya turun dengan Sasa yang berada digendongkan Ayahnya."Assalamualaikum," kata keduanya serempak."Waalaikumsalam," jawab Mama Mirna sambil tersenyum menatap wajah putranya."Sayang kamu sama nenek sebentar, Ayah akan melihat Bunda," ucap Adam bergegas menuju ke arah tangga. Namun, langkahnya terhenti karena ucapan Mamanya."Ririn sudah pulang kampung," katanya lirih sambil mengusap kepala cucunya."Apa maksud, Mama?" tanya Adam berjalan menghampiri wanita yang begitu ia sayangi itu."Ririn sudah pulang, Dam. Dia katanya Rindu kedua orang tuanya," kata Mirna dengan wajah sendu.Adam langsung terduduk lemas dilantai, apa secepatnya itu wanita yang dicintainya pergi meninggalkan dirinya di saat akan membuka lembaran baru bersama.Devan membisikkan sesuatu kepada Mama Mirna membuat wanita itu terkejut, perlahan dibukanya baju sekolah Sasa."Astagfirullah, s
Pagi Ini Ririn izin kepada Ibu Mirna untuk menunggu Sasa sampai keluar sekolah, hal itu membuat Bagas dan Adam merasa heran."Kamu nanti lama menunggu di sana, Rin!" kata Adam sambil menatap kekasihnya itu."Tidak apa-apa, Pak," jawab Ririn sambil tersenyum.Setelah Sasa selesai sarapan, Ririn mengajak anaknya berangkat yang diantar oleh Adam. Melihat gadis di sampingnya terlihat gelisah."Bunda kenapa?" tanya Adam membuat Ririn terkejut."Pak kok panggil bunda sih!" kata Ririn dengan wajah bersemu merah.Adam terkekeh melihat wajah Ririn yang merona, karena dipanggil Bunda oleh Adam. Sasa hanya diam gadis kecil itu ingat kalau hari ini dia harus mengajak Ayahnya untuk ke rumah Mama Fani, jika sampai tidak ancaman mamanya itu membuatnya takut.Ririn memeluk erat tubuh Sasa, ia merasakan perubahan dari anak asuhnya itu. Ingin rasanya dia melindunginya, tapi karena statusnya hanya sebagai pengasuh tidak bisa seenaknya sendiri.Se
Deg Adam dan Ririn terkejut mendengar apa yang dikatakan Sasa, gadis itu perlahan mendekati anak asuhnya itu. Kini keduanya sudah berada dekat mobil Adam. "Sasa, kapan Mama Fani marahnya?" tanya Ririn sambil mengusap kepala Sasa. "Tadi, waktu di kamar, katanya kalau Sasa tidak mau menurut Mama akan marah, Bunda," kata Sasa dengan polos. "Kenapa Sasa enggak mau menurut sama Mama Fani, Nak?" tanya Adam ikut berjongkok untuk menyamakan tingginya dengan balita umur enam tahun itu. "Sasa harus bilang, kalau Ayah dan Mama bersatu lagi," jawab Sasa. Adam mengepalkan kedua tangannya, wajahnya terlihat memerah menahan marah. Ririn yang menyadari itu langsung berdiri dan berbisik, "Kalau mau marah jangan depan saya dan Sasa,
"Sasa sama Mama yuk, Nak" ajak Fani. "Enggak mau, mau sama Bunda saja," kata Sasa sambil menangis. Fani terlihat sedih saat anak yang ia lahirkan tidak mau diajaknya saat melihat putrinya terluka, Ririn yang melihat itu merasa tidak enak hati. "Sasa sama Mama dulu ya, Nak," bujuk Ririn. "Mau sama Bunda saja," jawab Sasa sambil memeluk leher Ririn. "Maaf Bu," kata Ririn. Fani hanya diam, kini Ririn membawa Sasa masuk ke rumah di ikuti oleh Fani dari belakang. Adam yang melihat itu menghampiri putrinya yang kini sedang di ruang keluarga. "Kenapa Anak Ayah ini," kata Adam sambil duduk di samping Ririn. "Ayah tadi Sasa jatuh, tapi Bunda cepat tangkap tubuh Sasa," ujar Sasa "Wah, Bunda hebat. Bilang apa coba sama Bunda!" Adam sambil mengambil alih Sasa dari pangkuan Ririn. "Terimakasih Bunda," ucap Sasa sambil mengusap air matanya. "Iya sama-sama," jawab Ririn yang sudah merasa tidak
Adam terkejut saat melihat Fani mantan istrinya sedang mengobrol dengan Mamanya, kedua tangannya mengepal saat wanita itu bersujud di depan Ibu Mirna. "Ma." Adam menatap Mama Mirna "Adam," kata keduanya bersamaan. Ibu Mirna yang melihat raut dingin di wajah putranya hanya bisa tersenyum getir, sedangkan Fani kini berdiri menatap mantan suaminya yang masih begitu dingin kepadanya. "Dam, biarkan Fani bertemu Sasa, Nak. Bagaimanapun dia wanita yang sudah melahirkannya." Ibu Mirna mencoba memberikan pengertian kepada putranya. "Ma!" seru Adam yang tidak setuju. "Dam, mama juga perempuan seperti dia, Nak!" Mama Mirna menatap putranya dan berganti menatap Fani Adam hanya diam, ia menatap mantan istrinya yang sudah menangis di depannya. Dulu dia tidak akan membiarkan wanita yang dicintainya sampai meneteskan air mata, tetapi semua itu tak dirasakan lagi. Adam menganggukan kepalanya, ia menyetujui permintaan mamanya saat ini. N
Adam menatap sekeliling untuk mencari meja kosong, tapi ia harus menelan kekecewaan saat seseorang sudah mengambil salah satu meja yang akan ia datangi. Ririn yang melihat itu hanya terkekeh, tapi sedetik kemudian ia terkejut saat tangannya digenggam seseorang. "Cari tempat lain saja," ucapnya datar sambil menggenggam tangan Ririn untuk keluar kafe. "Pak, disana saja," ajaknya sambil menunjuk salah satu cafe di seberang jalan. "Di sana parkiran penuh," jawab Adam "Jalan kaki saja kalau gitu, anggap saja olahraga sore," kekeh Ririn Adam hanya mendengus kesal, tapi tak urung ia berjalan tanpa melepaskan genggaman tangannya. Ririn yang menyadari itu hanya mengulum senyum, hal itu membuat Adam menghentikan langkahnya.
Bagas masih tidak percaya dengan apa yang kini ia lihat, Ririn benar-benar akan pergi dengan Devan. Dadanya terasa sesak, banyak yang ingin ia tanyakan kepada wanita yang sudah lama bertahta di hatinya itu. "Rin," panggil Bagas dengan tatapan yang susah diartikan saat mata keduanya saling pandang. Devan melihat itu benar-benar ingin tertawa, tapi sebisa mungkin ia tahan. Sedangkan Bagas masih menatap gadis yang hanya tampil sederhana jika akan bertemu dengan Oma Resa, Dia merasa curiga seharusnya gadis itu mengenakan gaun bukan celana jeans seperti sekarang. "Apa kamu yakin mau pergi?" tanya Bagas menatap sendu mata gadis yang menatapnya sambil tersenyum. "Iya Mas." jawab Ririn singkat. Bagas menatap Devan dengan tajam,
Hari ini semua berkumpul di rumah, karena bertepatan dengan hari weekend. Ibu Mirna begitu heran setelah selesai sarapan kedua pria di rumahnya itu asik saja di kamarnya, Ririn yang melihat wanita yang sedang duduk di sampingnya itu beberapa kali menghela napas panjang. "Rin, bagaimana Ibu bisa dapat menantu kalau saat libur Adam dan Bagas hanya di rumah saja?" tanya Ibu Mirna sambil fokus melihat Sasa yang sedang menonton film kartun kesukaannya. "Belum saja mungkin, Bu," jawab Ririn sambil tersenyum. "Sampai kapan, Nak. Lihat Sasa tahun ini saja sudah mau masuk SD itu artinya sudah hampir tujuh tahun Adam menduda," ujar wanita paruh baya itu "Mungkin belum bisa melupakan Ibu Fani," kata Ririn sambil tersenyum, tapi ada rasa tidak rela jika Adam kembali lagi dengan