Hari berganti hari, bulan berganti bulan dan tahun berganti, tanpa terasa Ririn sudah hampir tiga tahun bekerja di rumah Ibu Mirna. Gadis itu setiap bulan minta tolong ke majikanya untuk mengirimkan uang gajinya ke juragan Halim.
Semenjak ia merantau belum pernah sekali pulang, karena menurutnya daripada uangnya buat ongkos pulang lebih baik dikirim ke orang tuanya! apa lagi sekarang Bapak sedang ingin membangun rumah, karena rumahnya yang dulu dindingnya sudah mulai rapuh.
Rumah di kampung yang dulunya hanya berdinding anyaman bambu, kini Bapak menggantinya dengan papan. Gadis itu juga begitu senang saat juragan dan istrinya berkunjung ke Jakarta. Ibu Hany mengatakan kalau keluarganya di kampung baik-baik saja dan sekarang rumahnya sudah bagus.
Ririn yang mendengar itu, ingin sekali dia pulang, rasa rindu dengan
Tak lama handphone Adam bergetar, pesan dari Mamanya menyuruhnya menjemput Sasa dan membawanya ke rumah sakit tak jauh dari tempatnya berada. Adam tanpa pamit ia langsung membayar makananya, pria itu baru ingat kalau sudah meninggalkan Ririn di sekolah tadi. "Astagfirullah, kok bisa aku tinggalin gadis aneh itu!" kata Adam dengan memukul kemudi dengan keras. Sampai di sekolah Adam melihat putrinya sudah menunggunya, Sasa yang melihat Ayahnya yang datang hanya sendiri merasa sedih. "Maaf. Ayah terlambat, sayang." Kata Adam sambil menggendong putrinya. "Ayah, Bunda mana?" tanya Sasa saat masuk ke mobil Ayahnya. "Bunda, mungkin sudah ada di rumah, Nak." Jawab Adam dengan lembut
Pagi ini tak secerah biasanya, matahari tampak malu-malu menunjukkan sinarnya. Awan hitam menutupi keindahan dari pencerah bumi, pertanda akan segera turun hujan. Di kamar yang besar, Ririn sedang melihat ke arah jendela sambil termenung, entah apa yang dipikirkannya Setelah hampir dua minggu ia istirahat, dia tidak pernah lagi bertemu Adam. Pagi ini semua libur karena hari weekend. Ibu Mirna selalu mengajak cucunya untuk berjalan pagi ke taman. Tadi Ririn hendak ikut, tapi wanita paruh baya itu melarangnya karena luka di kaki dan tangannya belum kering betul. Ririn keluar dari kamar saat jam menunjukan pukul sebelas siang, rumah terlihat sepi. Dia berjalan menuju dapur, dilihatnya Bik Imah sedang membuat sesuatu. Gadis itu mendekati wanita paruh baya itu sambil mengejutkannya. "Dor," teriak Ririn mengejutkan Bik Imah. "Copot-copot, copot!" latah bik Imah sambil melempar spatula dari tangannya. "Ririn!" teriak Bik Ida yang terkena sasaran spat
Setelah satu minggu istirahat, Ririn sudah bisa berjalan normal. Bik Imah benar-benar merawatnya seperti yang diperintahkan oleh Adam. Pria itu tidak main-main semenjak kejadian seminggu yang lalu dia sering menanyakan keadaan kaki gadis aneh itu. Sasa yang melihat Bundanya sudah bisa berjalan lagi begitu senang, gadis kecil itu langsung memeluk Ririn yang berjalan menghampirinya. "Bunda sudah sembuh?" tanya Sasa dengan senyum yang menggemaskan. "Alhamdulillah sudah, sayang. Sasa enggak sekolah, Nak?" tanya Ririn merasa heran karena sudah jam sepuluh anak asuhnya masih ada di rumah. "Hari ini tanggal merah, Bunda,"Jawab Sasa sambil menarik tangan Ririn untuk duduk bersamanya di gazebo. "Oh, maaf Bunda lupa," ujar Ririn s
Adam saat menyadari apa yang dirasakan, tapi sedetik kemudian ia segera menepisnya, enggak mungkin dia memiliki perasaan lebih dengan gadis aneh itu. Adam berkumpul dengan yang lainnya di ruang keluarga, Ada Halim dan istrinya, sedangkan Bagas masih celingak- celinguk melihat ke arah tangga. "Om, Ririn mana? kenapa enggak turun-turun?" tanya Bagas sambil gelisah. Adam menatap ponakannya itu sambil menarik napas panjang, entah mengapa ada rasa tidak suka, saat ada yang menanyakan pengasuh anaknya itu. Jika ia tak mengingat masih ponakannya mungkin akan dimakinya. "Dia capek, jadi istirahat langsung," jawab Adam "Oh," kata Bagas singkat. Adam beranjak dari duduknya, ia m
Siang hari udara begitu terik, Ririn menarik napas saat Ibu Mirna menghubunginya untuk membantu di butik. Sasa yang masih terlelap membuatnya enggan untuk membangunkan gadis kecil itu. Jika nanti dia terbangun masih ada Pak Adam dan bi Imah yang menjaga anak asuhnya. Ririn yang sudah bersiap kini pamit dengan Bik Imah dan Ida, saat ia sedang berjalan mengendap-endap tiba-tiba merasa ada yang menarik kerah bajunya. Dia membalikan badan, seketika matanya membola melihat Adam menatapnya datar. "Mau kemana?" tanya Adam sambil melepaskan tangannya dari kerah baju Ririn. "Eh, itu anu, Pak," Kata Ririn gugup sambil menggaruk kepalanya. "Anu apa, hem?" tanya Adam semakin mengintimidasi gadis di depannya. "Itu,
Pagi ini Ririn sedang membantu Sasa untuk bersiap ke sekolah, anak asuhnya itu selalu ingin mandiri untuk menyiapkan segalanya, tapi setelah itu ia tidak lupa mengeceknya ulang khawatir ada yang tertinggal. Selesai bersiap keduanya berjalan ke arah meja makan, di mana sudah ada Ibu Mirna, Bagas dan Adam. Ririn hanya tersenyum kepada semuanya setelah itu ia pergi ke dapur untuk membantu Bik Imah mencuci peralatan kotor bekas masanya tadi. Bagas sesekali memicingkan matanya ke arah dapur, bukan ini yang dia inginkan. Pria itu rindu akan senyum dan tawa gadis yang selalu menolak perasaannya, baginya ini bukan akhir selama Ririn masih sendiri. Begitu juga dengan pria dingin itu, ia tidak suka saat melihat keponakannya sedang memperhatikan seseorang yang sedang sibuk di dapur yang tak lain Ririn, setelah selesai
Adam yang sedang di kampus belum juga pulang, walau ia sudah tidak ada lagi jadwal mengajar. Pria itu berdiri menghadap ke jendela menatap beberapa mahasiswa yang sebagian belum pulang. Tak lama pintu ruangannya terbuka tanpa di ketuk terlebih dahulu. Muncul wajah sahabatnya sesama dosen yang tak lain Devan, pria itu tersenyum menatap wajah kesal Adam. Kini keduanya duduk di sofa, Devan tahu bagaimana sahabatnya itu dulu berjuang untuk sang istri, tapi sayangnya waktu tak berpihak kepadanya. Berteman dengan Adam dari SMA, membuat Devan tahu sifat sahabatnya itu. Namun, yang membuatnya penasaran sosok wanita yang membuat seorang Adam menjadi sering pulang cepat. "Kapan kamu kenalkan dia kepadaku, Dam?" tanya Devan sambil tersenyum. "Siapa?" tanya Adam singkat.
Hari ini semua berkumpul di rumah, karena bertepatan dengan hari weekend. Ibu Mirna begitu heran setelah selesai sarapan kedua pria di rumahnya itu asik saja di kamarnya, Ririn yang melihat wanita yang sedang duduk di sampingnya itu beberapa kali menghela napas panjang. "Rin, bagaimana Ibu bisa dapat menantu kalau saat libur Adam dan Bagas hanya di rumah saja?" tanya Ibu Mirna sambil fokus melihat Sasa yang sedang menonton film kartun kesukaannya. "Belum saja mungkin, Bu," jawab Ririn sambil tersenyum. "Sampai kapan, Nak. Lihat Sasa tahun ini saja sudah mau masuk SD itu artinya sudah hampir tujuh tahun Adam menduda," ujar wanita paruh baya itu "Mungkin belum bisa melupakan Ibu Fani," kata Ririn sambil tersenyum, tapi ada rasa tidak rela jika Adam kembali lagi dengan