“Papa sama Mama sebentar lagi sampai bu.” “Ibu sudah tidak sabar bertemu mereka. Adik kamu ikut?” “Una lagi kuliah bu, jadi untuk sementara waktu belum bisa ke sini tapi Insya Allah segera menyusul pasti dia bakalan seneng banget ketemu Aisyah dan bayinya.” “Iya. Nak Hendra di sini dulu ya temani Aisyah, ibu mau ke kamar bapak.” “Ibu, mau Hendra antar saja?” “Tidak usah nak, kamu di sini saja temani Aisyah.” “Ya sudah kalau begitu.” Bu Asih lekas ke ruang perawatan pak Ahmad. “Assalamualaikum Pak,” ujarnya mengucap salam pada pak Ahmad yang tengah berbaring. Pak Ahmad belum bisa banyak merespon karena tubuhnya masih belum bisa bebas bergerak. “Pak, Ibu punya kabar bahagia buat Bapak. Selamat ya Pak, sekarang Bapak sudah jadi Kakek anak kesayangan Bapak sudah melahirkan.” Pak Ahmad tampak senang, terlihat dari tatapan matanya yang seketika berbinar. “Aisyah se-sehat Bu?” “Alhamdulilah, Aisyah dan bayinya sehat Pak. Bapak juga cepet sembuh
*** Lowongan Pekerjaan! Fokus pandangan Bima teralihkan, pandangannya mengedar ke arah selebaran pengumuman yang tertempel di batang pohon tepat di depan warung makan yang baru saja ia singgahi. Mata pria itu seketika berbinar memancarkan secerca harapan. “Coba aja dulu!” gumamnya dalam hati. Lantas kaki Bima melangkah tegas, pergi meninggalkan selebaran itu setelah memotretnya. “Permisi,” ucapnya pada satpam yang sedang berjaga. “Iya, pak. Ada yang bisa saya bantu?” “E maaf, saya ke sini mau konfirmasi tentang info ini. Apakah betul di sini sedang mencari pekerja pada lowongan yang tertera di info ini ya?” “Oh iya, betul sekali bapak. Sebentar saya konfirmasi ke dalam dulu!” “Baik, terima kasih.” Pandangan Bima kembali beredar, matanya mengamati seluruh sudut ruangan, sesekali ia mengibas-ngibaskan tangannya ke arah wajah karena merasa kegerahan. “Permisi bapak!” ucap satpam itu, mengagetkan Bima yang tengah asyik clingak-clinguk. “Eh iya, maaf.” “Bapak bisa ik
*** [Halo, assalamualaikum Kak.] [Waalaikumsalam, Una. Kamu apa kabar?] [Aku baik, Kak. Kakak dan kak Aisyah gimana kabarnya?” [Alhamdulilah kita semua baik.] [Oh iya, maaf ya Kak Hend. Una baru bisa hubungin Kakak lagi soalnya Una habis sibuk project kampus dan ini baru kelar, hah … capek banget.] [Iya, nggak papa. Kakak juga ngerti kok, kamu inget jaga kesehatan aja di sana dan kalau ada apa-apa langsung hubungi Kakak atau keluarga di rumah.] [Iya Kak, makasi. Oh iya, ngomong-ngomong Una hari ini ada rencana mau ke Surabaya mau nengok kak Aiyah dan Arka, nggak papa kan?] [Ye, yang ngelarang emangnya siapa? Kamu kalau mau dateng, dateng aja Una selama itu nggak ganggu kesibukan kamu di sana.] [Hehe, iya Kak. Aman kok, Una sekarang udah free.] [Ya udah, baguslah kalau begitu. Kakak tunggu di sini ya, ngomong-ngomong nanti saja sambung ceritanya Kakak lagi nugas ini, kamu nanti hati-hati ya di jalan dan jangan lupa baca doa.] [Siap kak Hen, assalamualaikum.] [Waalaikumsalam.
“Ba-Bapak, cuma mau menyampaikan keinginan Bapak untuk anak satu-satunya yang sangat Bapak sayangi,” jawabnya. “Apa itu Pak?” Pak Ahmad menghela napas panjang, “Hah, Bapak sudah lama lihat perjalanan kamu penuh dengan penderitaan Nak, apa lagi selama kejadian kamu masih diperistri oleh Bima. Hati Bapak sebagai seorang ayah sakit lihat keadaan kamu yang demikian tapi … sekarang Bapak lihat kehidupan kamu jauh lebih baik dan bahkan sekarang anak kesayangan Bapak sudah menjadi seorang ibu, Bapakmu ini sudah pasti turut bahagia melihatnya,” tuturnya. “Terima kasih Pak, ini semua berkat doa Bapak dan Ibu yang selalu berdoa untuk kebaikan Yaya dan alhamdulilah berkat doa dari kalian sekarang kehidupan Yaya berangsur membaik.” “Tapi Nak, ada satu hal yang mungkin akan sulit kamu lalui setelahnya,” ujarnya lesu. “Maksud Bapak?” “Kamu pasti sudah tau kan Nak, kehidupan ini hanya sebuah pinjaman yang sewaktu-waktu bisa diambil oleh-Nya dan tentunya orang tua tidak bisa selamanya mendamping
Aisyah merenung di luar, ia terus saja memegangi kepalanya dan sesekali menyeka air matanya yang terus mengalir. “Gimana caranya aku cerita ke Ibu? Aisyah nggak sanggup ya Allah, Aisyah sayang sama Bapak dan selalu berharap kesembuhan Bapak, hamba-Mu ini tau jika napas ini hanya titipan tapi rasanya masih sesak hati ini jika membayangkan pernyataan Bapak barusan,” keluhnya. Sementara itu bu Asih yang sedang menemani pak Ahmad berusaha menanyakan apa yang terjadi di antara Aisyah dan pak Ahmad terutama topik apa yang sedang dibicarakan ayah dan anak tersebut. “Pak, kenapa Bapak cuma cerita ke Aisyah saja? Memangnya Ibu tidak perlu tau ya?” tanyanya penasaran. “Biar Aisyah saja nanti yang cerita,” jawabnya. “Kenapa begitu Pak?” “Maaf Bu, Bapak cuma nggak mau Ibu salah paham dengan apa yang Bapak sampaikan jadi mungkin lebih baik Bapak sampaikan ke Aisyah dulu biar Aisyah yang jelaskan ke Ibu,” jelasnya berusaha meyakinkan istrinya. “Hah, kalau memang begitu Ibu tunggu
“Terima kasih, Mas.” “Udahan dulu ya sedihnya,” ucapnya sembari menyapu air mata Aisyah dengan tangannya. “Oh iya Mas, Bapak juga mau ketemu dengan Arka.” “Oh ya udah kalau begitu, kita sama-sama sekalian sama Una.” “Assalamualaikum, pak bu,” ucap Hendra memberi salam. “Waalaikumsalam, nak Hendra.” “Pak, yuk kita lihat cucu Bapak!” ucap Aisyah sembari mendorong kursi roda. “Memangnya Bapak sudah bisa ke luar?” “Nggak papa Bu, hanya sekitar rumah sakit saja. Bapak pasti sudah nggak sabar banget pengen lihat cucunya,” jelas Aisyah. Hendra segera membantu memindahkan tubuh pak Ahmad ke kursi roda. “Ayo Pak!” “Pasti Arka lucu banget ya, kapan Arkanya bisa dibawa pulang Kak?” “Insya Allah secepatnya, mungkin seminggu atau dua minggu lagi. Proses pemulihannya perlu waktu yang lama dan kita tentunya harus mengikuti prosedur yang berlaku,” jelasnya. “Kita udah sampai.” Mata pak Ahmad seketika berbinar melihat cucunya yang tengah tertidur pulas di inkubator
*** “Aisyah, semua sudah siap kan?” “Sudah Mas, tinggal tunggu Ibu dan Hilda menuju ke sini saja.” Pandangan Hendra terus saja terpaku pada Aisyah, wanita itu tampak cantik dan anggun mengenakan pakaian pengantin berwarna putih dibalut dengan make up natural menambah aura kecantikannya semakin terpancar dan membuat Hendra semakin jatuh cinta padanya. “Kamu cantik sekali hari ini Aisyah,” ucapnya. Tatapan Hendra masih terpaku pada kekasihnya itu. Aisyah tampak tersipu malu, “Apa sih Mas! Jangan gitu deh,” sahutnya. “Tapi kamu emang beneran cantik Aisyah, aku jadi semakin yakin kalau nggak salah pilih! Udah cantik, baik hati lagi, rasanya Mas adalah orang yang paling beruntung di dunia ini karena bisa memperistri kamu,” ungkapnya bahagia. Pipi Aisyah seketika memerah, ia semakin merasa malu karena Hendra terus saja menggodanya dengan kata-kata manisnya itu. Tangan kanan Aisyah melayang mendorong pundak Hendra pelan, “Apa sih Mas! Stop deh, aku nggak bisa digituin!” uc
“Kita berdua belum berpikiran sampai ke sana Ma,” sahut Hendra. “Oh begitu, lebih baik kalian segera rencanakan mateng-mateng ya!” sarannya. “Iya Ma, ya seperti yang Mama dan Papa lihat sekarang kondisinya seperti ini Hendra hanya bisa mengerti keadaan Aisyah, lagi pula Hendra juga masih punya tugas mengabdi di sini jadi ya rencana kita ke depannya paling hanya di sini-sini dulu dan untuk ke depannya lagi kita berdua belum tau,” jelas Hendra pada kedua orang tuanya. “Yah, intinya kalian berdua harus saling mendukung satu sama lain dan harus saling terbuka satu sama lain itu kunci yang utama serta satu lagi jangan lupakan kewajiban pada Tuhan!” jelas ayah Hendra. “Iya Pa, Insya Allah Hendra akan berusaha menjadi imam yang baik untuk Aisyah dan keluarga kecil Hendra. Saat ini, Hendra juga masih banyak belajar jadi Hendra pastinya masih perlu bimbingan dari orang tua dan orang-orang terdekat yang berkenan mengingatkan Hendra.” “Bagus itu Nak!” *** “Eh, eh kalian sudah denger gosip
***“Nak, semoga kamu nggak dendam sama Ibu ya. Ibu ngelakuin ini demi kebaikan kamu, Ibu nggak mau kamu sampai tahu kelakuan Ayah kandung kamu seperti apa, Ibu takut kamu kecewa berat Nak.” Aisyah berpikir keras. Aisyah masih meratapi nasibnya serta anaknya, ia takut tentang ke depannya akan ada masalah yang datang hingga menyangkutpautkan masa lalunya kembali dengan Bima dan Aisyah tidak akan pernah rela bila Arkanza terlibat di dalamnya. Wanita itu takut jika anaknya akan memiliki ingatan kelam tentang kedua orang tuanya terutama sesosok ayahnya yang begitu keji terhadap ibunya dan dirinya.“Ayo Nak, kita pergi sebelum ayah kamu dateng.” Aisyah tampak berkemas, ia pergi membawa Arkanza.* Jantung Aisyah berdegup kencang, tangannya gemetar, keringat pun membasahi keningnya. Langkahnya tampak berat.“Hahhh, bismilah ya Nak semoga ini sudah memang keputusan yang baik buat kita semua.” Aisyah berusaha meyakinkan dirinya.“Ada yang bisa dibantu ibu?”“
***“Arka sayang, Ibu udah lama sekali nggak lihat wajah kamu ini! Ibu kangen Nak, Ibu khawatir sama kamu sayang. Kamu pasti selama ini haus banget ya Nak,” ucapnya penuh kasih. Setelah sekian lama, akhirnya Aisyah kembali merasakan kehangatan tubuh bayi mungilnya. Ia terpaksa tak menjalankan peran seorang ibu untuk beberapa waktu yang lumayan menyiksanya, wanita itu tampak sudah sangat lelah dengan kejadian yang telah terjadi. Sangat menguras emosi dan perasaan seorang ibu.“Nanti tunggu Ayah pulang ya Nak, kita jalan-jalan ke rumah Nenek semuanya sudah nungguin kamu di sana, mereka kangen sekali dengan kesayangan mereka. Kamu anak yang kuat sayang, terima kasih ya sudah bertahan sejauh ini, anak Ibu pintar sekali.”“Assalamualaikum,” ucap seseorang dibalik pintu.“Waalaikumsalam, eh Mas. Kamu udah pulang rupanya.”“Iya, Ya. Halo anak Ayah, Ayah kangen Nak!” ucapnya lembut.“Ganti pakaian dulu Mas, makanan udah aku siapin di meja.”“Iya sayang, makasi ya.” Akh
***“Innalillahi wa inna ilaihi raji’un, kasian sekali. Di mana keluarganya Ya Allah?”“Sudah berumur, seharusnya dijaga dengan baik! Anak-anaknya ke mana?”“Sepertinya ibu ini sudah bingung karena faktor umur, kasian sekali!” Di ujung jalan besar tampak terjadi insiden yang menggegerkan orang sekitar hingga menimbulkan kerumunan. Bercak darah berlumuran di jalan, sepertinya terjadi kecelakaan. Mobil ambulance dan polisi segera datang, kondisi korban sudah sangat memprihatinkan dilihat dari kondisi badannya sepertinya sudah tak bernyawa. Kepalanya terus mengeluarkan darah dan terdapat beberapa luka dibagian kaki serta tangannya, ia sudah tak sadarkan diri. Petugas segera melarikannya ke rumah sakit.“Ih, serem banget!” tukas orang yang lalu lalang.*“Apakah korban telah berhasil di identifikasi?”“Belum berhasil pak, kami cukup kesulitan karena tanda pengenal korban tidak ditemukan saat di lokasi kejadian. Namun, karena korban saat ditemukan mengenakan pakaian pasien kemu
“Bima!” Lelaki itu lekas memalingkan pandangannya, Aisyah menghampiri Bima-mantan suaminya.“Tega kamu Bima! Kamu pikir apa yang kamu lakukan ini sudah akan menguntungkan kamu? Sampai segitunya kamu terobsesi ingin memiliki dia, Arka itu darah daging kamu bisa-bisanya kamu nyakitin dia,” tukasnya kesal.“Gua nggak pernah nyakitin dia, lu yang rebut Arka dari gua Aisyah! Mungkin kalau lu nggak misahin gua dengan dia gua nggak bakalan berbuat nekat kayak gini!” bantahnya.“Apa? Aku nggak salah denger Bima? Bukan aku yang jauhin kamu tapi kamu yang nggak pernah mau nganggep dia sebagai anak kamu, kamu lupa ya gimana biadabnya kamu ngusir aku sama almarhum ayah aku saat itu … saat itu aku ngemis dihadapan kamu Bima! Tapi apa kata kamu dan keluarga kamu justru malah nuduh aku dan menghina aku, dan kamu malah memilih menikah dengan perempuan lain yang kamu anggap bakalan bisa ngasi kamu keturunan karena kamu nuduh aku mandul kan!” ucapnya geram.“Ya itu kan dulu! Karena aku mema
*“Jadi di sini kamu sembunyikan anak saya!” ucap Aisyah geram.“Sabar ya.” Hendra berusaha menenangkan. Polisi mengerahkan seluruh pasukannya untuk mengepung tempat persembunyian Bima, tentunya ini menjadi bagian yang sangat menegangkan mengingat lelaki bejat itu bisa saja nekat melakukan sesuatu yang bisa membahayakan nyawa Arkanza.TOK! TOK! TOK! Polisi berusaha mengetuk pintu rumah, mereka berharap Bima bisa ditangkap dengan mudah.“Permisi! Bapak Bima, kami ada urusan penting dengan anda!” Tampak seperti tak ada siapa pun di dalam rumah. Tidak ada suara sahutan seorang pun.“Permisi!” Polisi masih terus mencoba. Sementara itu di dalam rumah, Bima, Jihan dan Kiara tengah makan bersama di meja makan. Mereka rupanya mendengar suara sayup-sayup dari luar.“Siapa Mas? Perasaan seperti manggil nama kamu!” ucapnya penasaran.“Mana aku tau!”“Kamu buat masalah lagi ya? Atau kamu ada ngutang lagi? Jangan-jangan itu debt collector yang waktu
***“Gimana Mas?” tanya Aisyah penuh harap. Hendra terkulai, ia tampak lemas. Napasnya terengah-engah dengan keringat mengucur dari dahinya. Dokter itu kelelahan.“Nggak ketemu Ya, maafin Mas ya. Mas juga udah usaha keras buat nemuin anak kita,” jelasnya lesu.Aisyah menarik napas dalam, “Hah, gimana ya Mas? Aku juga bingung harus gimana lagi, aku tau kok Mas, Papa sama Mama juga udah usaha keras buat nemuin anak kita tapi aku juga nggak bisa bohong tentang perasaan aku.”Hendra meraih tubuh istrinya, ia memeluk tubuh Aisyah erat. Mereka berdua berakhir menangis bersama.Drrttt! Drrrttt! Drrrrt! [gawai Hendra berdering]Hendra gegas mengusap air matanya dan segera meraih gawainya.“Ha-halo,” jawabnya terbata.“Halo, selamat siang. Dengan bapak Hendra?”“Siang, iya dengan saya sendiri. Ada apa ya Pak?”“Baik, bapak Hendra kami dari kepolisian maksud menelpon bapak izin memberitahukan informasi terkait pencarian putra bapak!” jelasnya.DEG!!! Dada Hendra terasa b
***“HAH! BERISIK!” pekik Jihan keras. Wanita itu merasa muak mendengar tangis Arkanza tanpa henti. “Bisa diam nggak sih! Gua itu udah pusing mikirin urusan rumah sama bapak lu yang sampai sekarang nggak pulang-pulang, lu nggak usah lagi nambahin beban gua ya!” Jihan tampak stress, penampilannya awut-awutan. Seharian dia hanya menaruh perhatian penuh pada Arkanza karena takut dengan ancaman Bima jika ia pulang ke rumah.“Ma, aku lapar! Aku mau makan, Ma!” rengeknya.“Sabar sayang, Mama lagi sibuk ini!” sahutnya sembari sibuk menenangkan Arkanza yang tangisnya makin keras.“Mama nggak sayang sama aku lagi! Katanya adik itu bukan adik aku tapi Mama lebih sayang sama dia, dari tadi sama adik itu mulu!” keluhnya merasa tak dipedulikan. Jihan yang mendengar perkataan anaknya yang demikian lantas tertegun, ia tak menyangka jika ia harus menempatkan anaknya mengalami perasaan demikian. Tubuhnya melemas, wanita itu tak berdaya.“Sayang, maafin Mama Nak. Ini semua salah
***“Mas, aku udah nggak berdaya lagi. Ini sudah delapan hari berlalu tapi Arka anak kesayangan aku nggak ketemu-ketemu. Apa Arka baik-baik aja Mas?” Aisyah tampak sedikit putus asa.“Aisyah, Mas tau kalau kamu khawatir dan juga rindu dengan Arka … kita semua juga merasakan hal yang sama. Kita usaha kuat dan sabar dulu ya, Mas yakin Arka pasti ketemu dan baik-baik aja sekarang.”“Mas, kok kamu bisa setenang ini sih Mas?” tanyanya. Sepertinya Aisyah sedikit kesal dengan suaminya itu karena Hendra tampak begitu tenang di tengah keresahan Aisyah yang sudah memuncak.“Aisyah sayang, meskipun kamu lihat Mas tenang itu semua tidak seperti apa yang kamu pikirkan. Mas hanya sedang berusaha kuat untuk kamu dan tentunya buat anak kita juga … seperti yang Mas bilang tadi kita semua sedang merasakan hal yang sama. Kamu percaya kuasa Allah kan? Kita serahkan semuanya sama yang di atas, kita mohon petunjuk dan memohon agar Arkanza segera ditemukan,” ucap Hendra berusaha menenangkan. Dalam kondisi in
“Terus aja kamu ungkit-ungkit!”“Ya kan emang kenyataannya kayak gitu! Kenapa kamu mau nyangkal yang jelas-jelas udah faktanya?” Bima pergi ke kamar begitu saja, ia tampak seperti orang yang kalah berdebat.**TOK! TOK! TOK! Jihan menggedor pintu kamar dengan keras.“Kenapa sih kamu berisik banget dari tadi? Kalau Arka bangun gimana? Aku udah susah payah nidurin dia!” Bima tampak kesal.“Enak banget ya kamu Mas, kerjaannya cuma leyeh-leyeh doang di rumah. Kerja enggak, bantu beres-beresin rumah juga enggak!”“Jaga ya mulut kamu Jihan, aku kan lagi ngerawat anak aku!”“Alasan kamu itu aja ya Mas, kayak nggak ada yang lain, perasaan kalau anak kamu itu nangis juga ujung-ujungnya kamu manggil aku kan. Mending besok kamu kerja deh Mas, ini beras udah mau habis! Kalau kita kayak gini terus lama-lama bisa mati kepalaran di sini. Mending kita balik aja ke rumah yang dulu, setidaknya kalau kita mati masih mati dengan tenang di rumah mewah bukan di kontrakan kumuh ini!”