Pagi ini Aisyah mengepel lantai ruang tamu dan ia tak sengaja melihat suaminya dengan mertuanya di kamar tampak membicarakan hal yang serius.
Bima menghampirinya, “Ya, selesai bersih-bersih kamu ke kamar ya. Ada hal penting yang Mas mau omongin ke kamu.”
“Iya, Mas.”
Aisyah bergegas menyelesaikan pekerjaan rumahnya.
“Mas mau ngomong hal penting apa?” tanya Aisyah penasaran.
“Pagi ini sebentar lagi Mas mau ke kantor, tapi ada hal penting yang Mas nggak bisa lakuin jadi kamu tolong bantu ya.”
Aisyah tampak sumringah karena akhirnya suaminya mengeluarkan kalimat minta tolong lagi padanya setelah sekian lama, “Minta tolong apa, Mas?”
Bima menyodorkan secarik kertas pada Aisyah yang berisikan beberapa catatan di dalamnya, “Tolong kamu siapin barang-barang yang ada di catatan itu, kalau bisa barangnya harus ada sore ini juga,” jelas Bima.
“Mas, kamu nggak salah ngasi aku catatan?” tanya Aisyah kebingungan.
“Kamu pikir saya ini bodoh apa, itu catatan saya yang tulis semuanya mana mungkin saya salah.”
“Tapi, Mas. Catatannya isi listnya pernak-pernik seserahan semua,” sahut Aisyah makin kebingungan.
“Ya, emang itu!”
“Emang pakai apa sih, Mas. Kamu beli yang ginian tumben banget.”
“Banyak tanya kamu ya.”
“Emang siapa yang mau nikah?”
Bima sejenak terdiam dan menatap Aisyah tajam, “Kamu bisa nggak mulutnya tu diem! Aku nggak punya waktu lagi buat layanin pertanyaan-pertanyaan kamu itu, ya. Mas berangkat kerja dulu, pokoknya Mas nggak mau tau semua barang yang ada di list itu, sore ini harus udah ada semuanya,” ucap Bima bernada kesal.
“Iya, Mas. Maaf.” Aisyah hanya bisa pasrah memenuhi kemauan suaminya itu
Aisyah segera bersiap-siap untuk membeli semua barang yang ada di catatan yang diberikan Bima.
“Aisyah, ke sini,” seru wanita tua itu.
“Iya, Ma.”
“Kamu udah dikasi catatan barang apa aja yang mau dibeli sama Bima?”
“Udah, Ma.”
“Bagus, pokoknya jangan sampai ada yang ketinggalan di beli, ya,” tegasnya.
“Maaf, Ma. Kalau boleh tau ini kan catatannya setahu Yaya pernak-pernik yang biasa dipakai seserahan, emang siapa yang mau nikah, Ma?” tanya Aisyah yang berusaha memenuhi rasa penasarannya.
“Kamu kalau lagi dikasi tugas sama suami manut aja lah, nggak usah banyak tanya. Pantes aja Bima nggak betah di rumah,” sahutnya ketus.
“Iya, Ma. Yaya minta maaf,” ucap Aisyah pasrah.
“Aisyah pergi belanja dulu.”
“Ya udah sana cepat pergi!”
Wanita malang itu pergi berbelanja dengan pikiran yang masih bertanya-tanya. Suami dan mertuanya tampak menyembunyikan sesuatu dari dirinya, namun Aisyah tetap berpikir positif bahwa itu untuk hadiah teman kerja suaminya. Aisyah yang hampir tak pernah diberikan waktu untuk ke luar dan hanya sibuk dengan pekerjaan rumahnya pun terlihat menikmati waktunya dengan berbelanja semua barang yang ada di catatan itu, senyum kecil terukir dari sudut bibirnya.
“Assalamualaikum, Ma. Yaya pulang.”
“Gimana dapat semua?”
“Alhamdulilah dapat semua, Ma.”
“Baguslah, sebentar lagi Bima pulang biar dia yang ngecek kembali barangnya.”
“Ma, maaf banget. Mama sama Mas Bima lagi nggak nyembunyiin sesuatu dari Yaya, kan?”
“Kamu masih mau tau jawaban pertanyaan kamu itu?” ucap wanita tua itu membuat Aisyah semakin penasaran.
“Ma,” seru Bima yang sudah ada di hadapan mereka.
“Bima, baguslah kamu sudah datang jadi Mama nggak repot lagi buat jelasin semua ke istri kamu yang bawel ini.”
“Mas, lebih baik jujur deh sama aku. Ada apa sih sebenarnya, Mas?”
“Oke, kalau itu memang mau kamu buat tahu semuanya, aku juga pasti bakalan ngasi tau kamu tentang hal ini tanpa kamu minta, kok.”
“Iya, apa?”
“Sebenarnya semua barang-barang yang kamu beli tadi, itu semua untuk pernikahanku,” jelas Bima tanpa rasa bersalah sedikit pun.
“APA? MENIKAH!” Aisyah terkulai lemas mendengar ucapan suaminya
“Iya, aku mau menikah. Aku pengen bahagiain Mama dengan memberikannya cucu, aku nggak mau jadi anak durhaka karena selama ini nggak mau nurutin apa kata orang tua,” tambahnya.
“Mas, aku ini masih istri kamu! Terus bagaimana dengan perasaan aku, tega ya kamu, Mas. Jadi semua barang yang aku beli dengan tanganku sendiri ini untuk persiapan pernikahan suamiku, ya Allah,” ucap Aisyah gemetar.
Aisyah sudah tak mampu lagi membendung air matanya, ia menangis sejadi-jadinya hingga sesenggukan.
“Keputusanku sudah bulat, lagian di agama kita tidak pernah ada larangan untuk menikah lagi. Jadi kamu nggak usah ikut campur dalam keputusanku ini!”
“Andai saja kamu bisa segera memberikan Mama cucu pasti Mama nggak bakalan menyetujui keputusan Bima ini, selama ini Mama sudah sabar sama kamu sampai bertahun-tahun! Sekarang jangan halang-halangi anakku ini mau membahagianku!"
Wanita malang itu mengelus dada, "Astagfirullahaladzim, ya Allah."
Aisyah dari kemarin tampak murung dan sesekali mengurung diri di kamar, ia bahkan seharian tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Hati wanita malang itu sudah benar-benar hancur sekarang, padahal ia masih mempunyai harapan yang sangat besar bahwa ia akan memiliki anak dari suaminya, namun seketika rasanya harapannya pupus dalam semalam kini suaminya justru memilih untuk menikahi wanita lain yang diharapkan bisa segera memberikan suaminya keturunan.“Bisa-bisanya kamu seharian malas-malasan, ya! Hari pernikahanku udah besok banget ini, bantuin dong,” ucap Bima dengan teganya.Aisyah masih mematung dan mengabaikan perkataan suaminya itu.“Yaya! TULI KAMU YA!” pekik Bima.“Belum puas juga kamu siksa aku, Mas! Setelah apa yang kamu lakukan ke aku selama pernikahan ini dan sekarang kamu masih mau siksa aku, dengan nyuruh aku buat ngurus pernikahan suaminya sendiri yang udah jelas-jelas aku masih hidup!”“Kamu mau jadi istri durhaka ya!” timpal mertua Aisyah.”Ha? Aku istri durhaka Ma? Nggak
Hari ini tibalah hari pernikahan Bima dan Jihan, sampai detik ini pun Aisyah si wanita malang itu masih terus menyembunyikan masalah rumah tangganya dengan kedua orang tuanya, tak sedikit pun ia bercerita tentang semua hal yang sudah terjadi. “Kasian ya Aisyah, padahal dia masih hidup tapi suaminya malah nikah lagi.” “Iya, kasian banget. Amit-amit deh bu, semoga suami-suami kita nggak ada ngelakuin aneh-aneh.” “Katanya sih, denger-denger Bima nikah lagi karena si Aisyah mandul.” Desas-desus sekumpulan ibu-ibu yang datang ke acara pernikahan itu sedang menggosipkan Aisyah tak sengaja terdengar oleh wanita malang itu dan tak terasa air mata Aisyah terjatuh, bukan karena suaminya menikah lagi melainkan karena berita ia belum bisa mempunyai seorang anak sudah sampai ke telinga tetangga. Meskipun demikian, Aisyah tetap menabahkan hatinya hingga hari ini, ia masih tampak tegar membantu persiapan pernikahan suaminya sendiri, padahal bagi seorang istri menerima kenyataan suamin
Satu minggu telah berlalu, setelah ia memutuskan untuk menyewa kontrakan sementara, akhirnya Aisyah menyudahi pikiran keras kepalanya untuk memberanikan diri pulang ke rumah orang tuanya, Aisyah bergegas mengemasi barang dan membulatkan tekad untuk segera beranjak dari Jakarta ke Surabaya. Aisyah lekas berangkat ke stasiun kereta api, sembari menunggu kedatangan kereta ia duduk sejenak dan mulutnya terus komat-kamit seperti sedang menghapalkan sesuatu. “Pak, Bu maafkan Aisyah baru cerita … ah bukan.” “Bu, Yaya tau Ibu pasti kecewa … nggak-nggak gitu!” Aisyah sibuk menghapalkan kata apa yang harus ia ucapkan untuk menjelaskan apa yang terjadi pada kedua orang tuanya. “Huek … huek … huk (segera menutup mulutnya).” Aisyah tiba-tiba mual Wanita malang itu berlari ke toilet, “Duh, kenapa ya (sembari menyentuh keningnya) enggak anget kok, apa karena belum sarapan ya.” Aisyah tak terlalu memikirkan terlalu jauh tentang hal ini, karena ada hal lain yang s
“Alhamdulilah ya, akhirnya perjuanganmu selama hampir 4 tahun dijawab juga sama Allah. Bapak doakan semoga kamu sama bayimu sehat-sehat terus ya.” “Amin. Ow iya Nak, kamu mau ngomongin apa?” “Sebelumnya, Aisyah harap Bapak sama Ibu setelah obrolan ini tidak kecewa sama Aisyah,” ucap Aisyah yang sudah mencoba memberanikan diri. Seketika suasana berubah menjadi senyap. “Maksudmu apa to, Nak?” Aisyah menarik napas dalam, “Hah, sebenarnya…aku sama Mas Bima sudah cerai, Pak Bu.” Gelas teh yang dipegang Ayahnya seketika terjatuh, “Apa? Cerai, astaghfirullah Nak, kamu jangan becanda ya!” ucapnya memastikan. “Ya, ini beneran?” tanya Asih-ibunya. “Iya, Bu. Aisyah nggak becanda.” Aisyah tertunduk lesu “Kalian kenapa bisa memutuskan untuk bercerai? Saat perjuangan kalian berdua dijawab sama Allah.” “Bukan berdua, Bu tapi cuma Aisyah.” “Maksud kamu?” “Aisyah yang meminta cerai dari Mas Bima, karena Mas Bima memutuskan untuk menikah lagi dengan alasan aku tidak segera hami
“Kasihan banget, ya. Nanti kalau anaknya lahir udah jadi anak broken home,” ucap ibu-ibu berdaster merah.“Iya, kasihan banget. Belum lagi sekarang apa-apa serba mahal kalau nggak ada suami gimana caranya ngidupin anak, bisa melarat hidup anaknya nanti,” timpal ibu paruh baya yang sedang memilah sayuran.“Nak, mending kamu istirahat di dalam ya, di sini nanti kamu masuk angin,” bujuk ibu Aisyah. Ibunya khawatir Aisyah akan stres mendengar perkataan tetangga.Aisyah hanya duduk termenung di teras sembari mengelus perutnya, “Bu, Aisyah nggak pantes ya jadi seorang istri? Aisyah masih banyak kurangnya ya, makanya Mas Bima milih perempuan lain.”“Hus … kamu jangan ngomong begitu, bukan kamu yang nggak pantes tapi memang Bima yang nggak bersyukur punya istri baik kayak kamu,” sahutnya menenangkan.“Bu, apa Aisyah bakal sanggup ngebesarin anak ini sendirian nanti?” tanya Aisyah lirih.Tangan ibunya meraih pipi Aisyah dan menyeka air mata anaknya, “Siapa bilang anak Ibu sendirian? Ibu masih
Pandangan Aisyah liar, ia melihat sekelilingnya ramai. Seketika rasa takut menghampiri dirinya, perihal cibiran orang-orang tentangnya yang hamil tanpa didampingi suami sangat membebani dirinya hingga saat ini, tangannya gemetar langkahnya pun ragu.“Kamu kenapa, Nak?”“Nggak papa, Bu,” sahut Aisyah menenangkan ibunya.“Kamu nggak usah takut, di sini kan ada Ibu.”Pandangan Aisyah lurus, kepalanya sedikit di angkat, “Terima kasih ya, Bu.”“Mau gimana pun kondisi kamu sekarang, kan masih ada Ibu di sini. Kita saling menguatkan, Bapak kamu juga masih sehat, kita berjuang sama-sama,” tuturnya lembut.“Permisi, dok.”“Iya, silahkan masuk.”Aisyah menghentikan langkahnya, “Kamu?”“Em … Aisyah kan?” tanyanya meyakinkan, bahwa ia tak salah orang.“Iya, saya Aisyah. Kamu Hendra kan yang wa
“Boleh tapi harus atas persetujuan Mamaku,” ucap Bima tegas.“Aku nggak salah denger, Mas? Ini anak aku loh! Lagian kita kan udah sah suami istri jadi anak aku ya anak kamu juga, gimana sih?” sahut Jihan terheran, atas pendapat Bima yang tak terduga.“Ya itu terserah kamu! Kalau kamu nggak setuju, Mas juga nggak maksa kamu. Lagian kan di rumah ini selain aku yang ngatur masih ada Mama aku yang bertanggung jawab.”“Terus aku di sini kamu anggap apa, Mas? Kok kamu gitu sih?”“Nggak gitu maksud Mas, sayang. Kamu kan tau kalau Mas sayang banget sama Mama, jadi kamu sebagai istri aku mulai sekarang harus mulai belajar menghormati Mama aku. Mas harap kamu paham sampai sini ya, soalnya Mas nggak suka orang bawel.”“Tau deh, Mas. Aku nggak habis pikir aja ternyata kamu bisa bersikap kayak gini sama aku,” ujar Jihan kecewa.&n
“Assalamualaikum.”“Walaikumsalam, eh Hen-dra, kamu ngapain ke sini?” ucapnya terkejut.Lelaki itu mengusap-usap tengkuknya, “E-e anu.”Aisyah mengerinyitkan dahinya, ia bingung dengan sikap Hendra yang gelagapan, “Anu apa?”“Ada yang kurang!” sahutnya lepas.“Ha? Kurang?” Aisyah semakin dibuat bingung“Kemarin, kan saya baru kenalan sama ibu saja alangkah baiknya saya kenalan dengan bapak juga karena saya merasa kurang lengkap rasanya,” ujar Hendra berkilah.Aisyah tertawa, “Astaga Hendra, saya kira kamu kenapa.”“Maaf, saya tiba-tiba datang ke rumah tanpa ngabarin kamu.”“Tidak apa, ngomong-ngomong kamu bisa tau rumah saya di sini dari mana?” tanyanya terheran.“Kamu kan pasien saya, jadi saya tau dari data pasien, sekali lagi maaf kalau saya lancang,” jelas Hendra sungkan.&