Hari itu, wajah Raka berseri-seri penuh suka cita. Ia tampak begitu bahagia, memancarkan aura yang jarang terlihat. Tawa kecilnya melengking di antara keramaian anak-anak seusianya yang ikut serta dalam pesta ulang tahun sederhana itu. Balon warna-warni, kue kecil dengan lilin mungil di atasnya, dan suara tawa yang memecah keheningan sore—semuanya menjadi saksi betapa berarti momen itu bagi seorang bocah empat tahun yang belum pernah merayakan ulang tahun dengan teman-temannya sebelumnya.Acara pun perlahan usai. Satu per satu anak-anak berpamitan.“Raka, makasih ya atas pestanya,” ucap Mutia, teman dekat Raka dengan rambut dikepang dua.“Iya, tapi kalian suka kan pestanya?” tanya Raka penuh semangat. “Oiya, besok kita main ya. Aku udah punya mainan truk besar, lho. Om Ardi yang beliin.”Ia menunjuk ke arah Ardi yang tengah duduk santai di bangku teras, mengobrol hangat dengan Rozak.“Om itu baik, ya. Kamu suka dibeliin ini dan itu,” celetuk Mutia sembari memeluk bingkisan kecilnya. “
Malam itu, Sekar berdiri di depan meja makan yang telah ia susun dengan sempurna. Hidangan kesukaan suaminya, mulai dari ayam panggang hingga sup sayuran segar, sudah tertata rapi.“Akhirnya, malam ini dia pulang,” gumamnya penuh harap.Bel pintu berbunyi. Sekar buru-buru menuju pintu dengan langkah penuh semangat. Namun begitu pintu terbuka, senyumnya langsung memudar.Berdiri di depannya, Wira tidak sendirian. Di sampingnya, seorang wanita cantik dengan rambut panjang lurus berdiri dengan senyum tipis.“Sekar...” suara Wira terdengar tenang, tanpa ragu. “Ini Amara,” katanya. “Dia hamil. Kami sudah menikah secara siri.”Sekar mematung. Dunia seakan berhenti berputar. Matanya menatap tak percaya ke arah Wira, lalu ke Amara, dan kembali ke Wira.“Mas… apa maksudnya ini?” tanyanya dengan suara bergetar.“Aku sudah menikahinya, Sekar. Anak yang dia kandung adalah anakku, dan aku akan bertanggung jawab.”Sekar merasa dadanya sesak. Ia menatap Wira dengan air mata yang mulai menggenang.“A
Dada Sekar bergemuruh hebat. Tapi ia tahu tidak ada yang bisa ia lakukan saat ini.Ia lantas masuk kembali ke dalam rumah dengan napas memburu.Dengan kasar, ia membanting pintu kamar hingga bergetar, lalu menguncinya dari dalam. Ia bersandar di pintu, air matanya jatuh tanpa bisa ia tahan.Sepanjang malam itu, Sekar sama sekali tidak bisa tidur. Hatinya terlalu sakit.Ia akhirnya memutuskan untuk mengambil air wudhu, mengenakan mukena, lalu berdiri di atas sajadah—menegakkan shalat tahajud dalam kesunyian malam.Tangisnya kembali pecah saat ia bersujud.Sekar menengadahkan tangan, berdoa dengan segenap hati. Ia percaya, Allah tidak akan memberikan cobaan melebihi batas kemampuan hamba-Nya.Usai berdoa, ia masih duduk bersimpuh di atas sajadah. Hatinya sedikit lebih tenang, meskipun pedih itu belum sepenuhnya hilang.Lelah karena air mata yang terus mengalir, Sekar akhirnya tertidur begitu saja di atas sajadahnya, dengan mukena masih membalut tubuhnya.Malam yang terasa panjang itu ak
Pukul sembilan pagi.Sinar matahari menembus celah jendela, menyinari lantai yang masih dingin. Sekar melangkah keluar dari kamarnya dengan raut wajah tanpa ekspresi.Ia sudah mandi, berusaha menyegarkan tubuhnya yang lelah, tapi tak ada air yang mampu membersihkan luka batinnya.Langkahnya terhenti di tengah ruangan. Matanya menyapu seluruh isi rumah. Berantakan. Sama seperti hatinya.Piring-piring kotor masih berserakan di meja makan. Pemandangan yang masih sama seperti yang ia lihat subuh tadi.Sekar menghela napas panjang.“Ini rumahku. Aku yang membangun rumah ini, aku yang membersihkannya, aku yang menjaga kenyamanannya,” lirih Sekar.Tapi kenapa ia merasa seperti orang asing di rumahnya sendiri?Sekar menutup matanya sejenak. Ia mengingat pesan ibunya dulu.“Jangan biarkan rumahmu kotor, Nak. Jangan biarkan suamimu kelaparan. Jangan biarkan suamimu menunggu jika ia membutuhkan kehangatan.”Sekar menggigit bibirnya.Ia ingin mengabaikan semuanya. Ingin membiarkan rumah ini dalam
“Mas, aku lapar. Mau makan nasi goreng. Tapi kepalaku masih sakit, belum kuat untuk masak,” ucap Amara dengan nada lembut, mendayu sepeninggal Sekar.Wira menghela napas. “Ya sudah, kita delivery saja. Kamu istirahat saja di kamar. Aku akan pesankan makanan untuk kita. Sekalian nanti aku mau bawa kamu ke dokter.”Mendengar kata “dokter”, raut wajah Amara langsung berubah.“Ke dokter? Nggak usah, Mas. Aku masih punya obat yang diberikan dokter kandungan tempat aku memeriksakan diri beberapa hari yang lalu. Kata dokter, kondisi seperti ini wajar terjadi. Di awal kehamilan, ibu memang lebih sering mual, muntah dan sakit kepala. Aku hanya butuh vitamin, istirahat dan perhatian.”Amara terlihat manja. Ia rekatkan tubuhnya pada Wira, lalu ia daratkan sebuah ciuman manis ke bibir pria itu.Sayangnya, Sekar harus menyaksikan semua itu dari balik daun pintu. Rasa penasaran dan sakit hati, membuat rasa keingintahuannya memuncak.Sekar segera merapatkan kembali pintu kamar, membalik tubuhnya dan
Keesokan paginya, Sekar terjaga dan tidak mendapati suaminya di dalam kamar. Yang ia ingat, semalam ia masih tidur dengan Wira.Setelah puas melampiaskan hasratnya, Wira terlelap begitu saja. Sementara Sekar berusaha mengais hatinya yang hancur berkeping-keping, hingga jatuh tertidur karena lelah.Sekar awalnya ingin mencari. Namun urung karena ia yakin kalau Wira pasti ada di kamar Amara.Dengan kondisi tubuh yang masih lemah, Sekar tetap berupaya untuk bangun membereskan kamar itu sebelum ia berangkat ke sekolah—untuk mengabdikan ilmunya kepada anak-anak SD yang sangat ia cintai.Jam sudah menunjukkan pukul enam pagi saat Sekar keluar dari kamar. Masih ada waktu untuk menyiapkan sarapan untuknya dan suaminya, seperti yang biasa ia lakukan sebelum berangkat bekerja.Namun, lagi-lagi kedua matanya terbelalak melihat dapur dan ruang makan yang sangat kotor, dengan sisa kantong belanjaan dan bekas makanan siap saji yang tergeletak begitu saja.Sekar tidak akan pernah terbiasa dengan pem
“Assalamu’alaikum…,” ucap Sekar dengan senyum yang terlihat sangat dipaksakan di depan semua anak-anak didiknya.“Wa’alaikumussalam, Bu,” jawab mereka serentak.Sekar tersenyum. Rasa lelah di hatinya seolah sirna di depan anak-anak didik yang sangat ia cintai. Dua puluh anak kelas tiga yang ada di hadapannya kini, tersenyum manis tanpa beban. Ia pun harus bisa mengimbangi sikap dan senyuman itu tanpa peduli hatinya yang saat ini sedang tercabik-cabik.Detik-demi detik pun terus berlalu, hingga pagi yang cerah kini berubah menjadi sore yang cerah. Cahaya matahari yang tadinya bersinar di ufuk timur, kini mulai turun.Sekar melirik jam tangannya, sudah menunjukkan pukul tiga sore. Tugasnya sebagai tenaga pendidik hari ini sudah selesai. Saatnya ia pulang dan Kembali dengan rutinitasnya sebagai ibu rumah tangga.Namun hari ini terasa sangat berbeda. Untuk pertama kalinya Sekar enggan melangkahkan kakinya meninggalkan ruang guru. Untuk pertama kalinya ruang guru itu lebih nyaman disbandin
Sekar masih terpana. Air matanya nyaris membanjiri wajah cantik alami itu, namun Sekar susah payah menahannya. Ia memang rapuh, tapi tidak ingin terlihat lemah di depan Wira dan Amara.“Sekar, aku lelah. Segera bereskan dapur itu dan siapkan makanan. Atau aku akan mencari makanan di luar bersama Amara.”“Kenapa mas tidak mencari pembantu saja, Mas? Bukankah mas Wira mampu menafkahi dua istri. Jadi pasti mas Wira juga mampu membayar pembantu di rumah ini,” jawab Sekar, masih dengan nada sopan.Kedua bola mata Wira menatap tajam istrinya itu. Tidak pernah selama ini Sekar melihat pandangan tajam seperti itu dari kedua mata suaminya.“Apa kamu mulai membantah perintah suamimu, ha? Kamu lupa pesan-pesan mendiang ibu?”Ibu?Ya, ibu Sekar sebelum meninggal memang banyak memberikan wejangan hidup kepada wanita itu. Wejangan-wejangan baik khususnya untuk suami.Ibu Sekar dulunya adalah pribadi yang sangat taat pada agama. Ia juga sangat taat pada suaminya. Tapi untungnya, mendiang ayahnya Seka
Hari itu, wajah Raka berseri-seri penuh suka cita. Ia tampak begitu bahagia, memancarkan aura yang jarang terlihat. Tawa kecilnya melengking di antara keramaian anak-anak seusianya yang ikut serta dalam pesta ulang tahun sederhana itu. Balon warna-warni, kue kecil dengan lilin mungil di atasnya, dan suara tawa yang memecah keheningan sore—semuanya menjadi saksi betapa berarti momen itu bagi seorang bocah empat tahun yang belum pernah merayakan ulang tahun dengan teman-temannya sebelumnya.Acara pun perlahan usai. Satu per satu anak-anak berpamitan.“Raka, makasih ya atas pestanya,” ucap Mutia, teman dekat Raka dengan rambut dikepang dua.“Iya, tapi kalian suka kan pestanya?” tanya Raka penuh semangat. “Oiya, besok kita main ya. Aku udah punya mainan truk besar, lho. Om Ardi yang beliin.”Ia menunjuk ke arah Ardi yang tengah duduk santai di bangku teras, mengobrol hangat dengan Rozak.“Om itu baik, ya. Kamu suka dibeliin ini dan itu,” celetuk Mutia sembari memeluk bingkisan kecilnya. “
Beberapa tahun kemudian…Hari-hari berlalu bagai hembusan angin—kadang terasa, kadang tak disadari telah lewat. Begitu pula hidup Sekar. Luka-luka masa lalu yang dulu menganga, kini telah mengering. Sekar perlahan melangkah dari kelamnya kisah cinta, menata harapan baru bersama cahaya kecil yang kini menjadi pusat semestanya: Raka.Anak itu adalah jantung hidupnya, denyut di setiap napasnya. Sejak Raka hadir, dunia Sekar tak lagi sama. Tangis berganti tawa, sunyi berganti riuh celoteh. Raka telah membawa warna dalam hidup yang dulu hanya diwarnai hitam dan abu-abu.Raka kini genap empat tahun. Wajahnya tampan, matanya cemerlang seperti bintang pagi, dan keceriaannya mampu mencairkan segala beku di hati siapa pun yang melihatnya. Menjelang ulang tahunnya, Sekar telah menyiapkan pesta kecil. Sederhana, namun penuh cinta.“Mama, Mama nggak lupa undang Neni, Rudi, Angga, sama Mutia, kan? Mereka sahabatnya Raka. Pokoknya mereka harus datang, ya!” Raka menyambut hari istimewanya dengan antu
“Ada apa, Bu? Apa Sekar baik-baik saja?” tanya Nunung dengan wajah penuh kecemasan. Nadanya gentar, sementara matanya tak lepas dari raut pucat Sekar yang duduk memegangi perutnya.Bidan Ratna mendekat, lalu menyerahkan sebuah benda pipih kepada Sekar. Tangannya hangat, lembut seperti biasa, tapi kali ini ada getaran haru yang menyelip di suaranya.“Sekar... selamat, ya,” ucapnya pelan, namun jelas. “Sakit yang kamu rasakan bukan sekadar sakit biasa. Itu adalah awal dari kebahagiaan dalam rumah tanggamu. Kamu hamil, Sekar.”Senyuman mengembang di bibir sang bidan, menenangkan dan menghangatkan.Sekar terdiam. Dunia seakan berhenti berputar untuk sesaat. Kedua matanya memandang tak percaya pada testpack di tangannya—tangan yang gemetar hebat. Ia memeriksa hasilnya dengan cermat, berharap matanya keliru. Tapi tidak… dua garis merah itu sangat jelas. Tidak samar. Nyata.“Bu... apakah ini benar?” tanyanya lirih, suaranya nyaris patah oleh isak yang tertahan.“Kapan terakhir kamu haid?” ta
Langit Depok mendung sore itu, seolah menyambut langkah berat seorang wanita muda yang baru saja menanggalkan statusnya sebagai istri. Sekar berdiri di depan rumah milik ke dua orang tuanya dengan pandangan kosong. Tangannya menggenggam erat pegangan koper, meski tubuhnya terasa ringan, hatinya penuh beban.Nunung dan Rozak segera keluar menyambut, menyembunyikan duka yang mereka rasakan dalam senyum tipis dan tatapan penuh kasih. Mereka sudah mendengar kabar tentang perpisahan itu dari Sekar sendiri, tapi tetap saja pertemuan ini menyisakan getir.“Kamu pasti kuat, Nak,” ucap Nunung, memeluk Sekar erat. Suaranya serak, namun hangat, seperti pelukan seorang ibu yang ingin meredakan badai dalam dada anaknya.Sekar membalas pelukan itu dengan lemah. Ia mengangguk, berusaha mati-matian menahan air mata yang sudah memenuhi pelupuk. Menjadi janda bukan hanya status, tapi juga luka yang harus disembunyikan. Ini adalah keputusan paling nekat yang pernah ia ambil, dan sekarang, ia harus beran
Pukul satu dini hari.Kediaman Sekar sunyi, hanya suara jangkrik yang bersahut-sahutan di luar jendela. Namun ketenangan malam itu mendadak pecah oleh suara mobil yang berhenti mendadak di halaman.Deru mesin terdengar keras, seperti kendaraan yang dikemudikan tanpa kendali. Pintu mobil terbuka, dan sesosok tubuh tinggi turun dengan langkah yang limbung. Wira. Suami Sekar. Suami sahnya. Dan juga suami siri Amara.Dengan langkah tertatih, Wira mendekati pintu rumah. Tangannya terangkat, mengetuk pelan namun tak berirama. Tak ada jawaban dari dalam. Ia lalu memencet bel, berkali-kali. Hampir seperti orang panik.Tak lama, pintu terbuka cepat. Sekar muncul dari balik pintu dengan wajah terkejut.“Mas? Kamu mabuk?” serunya, nyaris tak percaya melihat kondisi pria yang dulu ia cintai tanpa syarat. Rambut Wira acak-acakan, wajahnya merah padam, dan tubuhnya berbau alkohol menyengat.Tanpa menjawab, Wira masuk dengan sempoyongan. Senyum tipis menggantung di bibirnya, entah karena rindu, atau
“Mas…”Amara mengejar Wira yang sudah lebih dulu meninggalkan ruang poli kebidanan. Wira pergi dalam keadaan marah, sementara Dian masih mematung di depan pintu, wajahnya tampak kosong, terkejut.“Mas, tunggu aku!” seru Amara, lalu menggenggam lengan Wira dengan kuat. Tindakannya menarik perhatian beberapa orang yang melintas di lorong rumah sakit. Tapi Amara tak peduli.Wira berhenti sejenak, menoleh pelan. “Aku tidak menyangka kalau kamu berbohong sejauh ini, Amara.” Suaranya rendah, tapi tajam dan dingin, seperti es yang membekukan hati. Ia menjaga nada suaranya agar tidak membuat keributan. Hasil lab memperkuat diagnose kalau sebenarnya Amara sama sekali tidak pernah hamil, apalagi keguguran.Tanpa menunggu jawaban, Wira melangkah cepat menuju parkiran. Amara mengejarnya, mencoba menyamakan langkah.Begitu sampai, Wira langsung masuk ke dalam mobilnya. Namun Amara dengan sigap ikut masuk ke kursi penumpang depan, tanpa diundang.Wira menghela napas panjang. “Turun,” ucapnya lirih
“Apa Ibu baik-baik saja?” Suara Wira menggema di lorong rumah sakit. Napasnya menderu, terdengar seperti orang yang habis berlari. Matanya cemas, menyapu wajah-wajah di sekitarnya hingga berhenti pada sosok Amara.Amara langsung menoleh, terkejut melihat kehadiran Wira. “Mas? Bukannya Mas kerja?” tanyanya, bingung sekaligus gugup.Namun sebelum Wira sempat menjawab, suara petugas rumah sakit terdengar lewat pengeras suara, memanggil nama Amara. Kini gilirannya masuk ke ruang poli kebidanan, tempat pertemuan dengan dokter spesialis kandungan.“Nanti saja bicaranya. Kita masuk dulu,” ucap Dian tegas. Ia berdiri dari bangku tunggu dan menggenggam tangan Amara dengan lembut namun mantap.Wira yang masih kebingungan akhirnya hanya bisa mengikuti langkah ibunya. Ia berjalan masuk ke ruang periksa, didampingi dua wanita yang wajahnya menyiratkan kegelisahan masing-masing.Seorang dokter kandungan menyambut mereka dengan
"Ibu, apa kabar?" sapa Amara dengan suara lembut dan senyum ramah saat melihat Dian berdiri di depan pintu rumah."Baik, Amara. Wira ada?" tanya Dian dengan nada bersahabat, meski matanya tajam mengamati wajah menantu yang mulai berhasil merebut hati anaknya itu."Mas Wira lagi kerja, Bu. Ibu masuk dulu, ya. Aku buatkan minum sebentar." Ucapan Amara terdengar sangat tulus, senyum manisnya seolah ingin mengatakan bahwa dirinya pantas menggantikan posisi Sekar.Namun Dian menolak halus. "Tak usah, Amara. Ibu ke sini bukan untuk bertamu. Ibu mau minta tolong. Boleh?"Amara langsung menghentikan langkahnya menuju dapur dan kembali mendekat. "Minta tolong apa, Bu?""Hari ini ibu ada jadwal kontrol rutin. Ibu ada gejala stroke ringan, jadi harus kontrol setiap bulan. Bapak nggak bisa temani karena sedang ada urusan pekerjaan di luar kota. Wira juga nggak bisa karena kerja. Dulu biasanya Sekar yang suka menemani ibu ke rumah sakit, tapi sekarang… y
Jakarta, Kediaman Orang Tua WiraSuryo dan Dian tampak terpaku di ruang tamu. Mereka saling berpandangan, tidak percaya dengan apa yang baru saja dijelaskan oleh Sekar. Kata-katanya mengguncang hati mereka, menyisakan rasa kecewa yang mendalam terhadap putra mereka, Wira, yang begitu mudah mempercayai Amara tanpa menyelidiki lebih jauh.“Jadi... selama ini kehamilan Amara itu palsu?” tanya Dian dengan suara pelan, nyaris berbisik, seolah berharap jawabannya tidak seperti yang ia duga.Sekar mengangguk perlahan. Matanya menatap lurus, suaranya tenang namun tegas. “Yang pasti, Amara tidak pernah memeriksakan diri di klinik tempat dia mengaku berobat. Kedua surat keterangan yang ia berikan terbukti palsu. Soal dia pernah hamil atau tidak, satu-satunya cara untuk mengetahuinya adalah dengan memeriksakannya langsung ke dokter kandungan.”Dian mengernyitkan dahi. “Tapi bagaimana caranya, Nak? Selama ini dia tidak pernah mau dibawa