"Terkadang, Cinta Harus Menemui Titik Balik" Sekar hidup dalam kebahagiaan yang sempurna bersama suaminya, Wiratama. Namun, kehidupan yang tampak sempurna itu runtuh dalam sekejap ketika sebuah pengakuan mengejutkan datang dari suaminya—sebuah rahasia yang tak hanya mengubah segalanya, tetapi juga memaksa Sekar untuk menghadapi kenyataan yang lebih pahit dari yang bisa ia bayangkan. Dengan hati yang hancur, Sekar harus membuat pilihan besar: bertahan dengan cinta yang terkhianati, atau mencari kedamaian dalam hidup yang baru. Ketika masa lalu kembali mengintai, sebuah pertanyaan besar muncul: Apakah kita bisa memaafkan seseorang yang telah menghancurkan kepercayaan kita, atau harus berani melepaskan segalanya untuk menemukan kebahagiaan yang sejati?
Lihat lebih banyakMalam itu, Sekar berdiri di depan meja makan yang telah ia susun dengan sempurna. Hidangan kesukaan suaminya, mulai dari ayam panggang hingga sup sayuran segar, sudah tertata rapi.
“Akhirnya, malam ini dia pulang,” gumamnya penuh harap.
Bel pintu berbunyi. Sekar buru-buru menuju pintu dengan langkah penuh semangat. Namun begitu pintu terbuka, senyumnya langsung memudar.
Berdiri di depannya, Wira tidak sendirian. Di sampingnya, seorang wanita cantik dengan rambut panjang lurus berdiri dengan senyum tipis.
“Sekar...” suara Wira terdengar tenang, tanpa ragu. “Ini Amara,” katanya. “Dia hamil. Kami sudah menikah secara siri.”
Sekar mematung. Dunia seakan berhenti berputar. Matanya menatap tak percaya ke arah Wira, lalu ke Amara, dan kembali ke Wira.
“Mas… apa maksudnya ini?” tanyanya dengan suara bergetar.
“Aku sudah menikahinya, Sekar. Anak yang dia kandung adalah anakku, dan aku akan bertanggung jawab.”
Sekar merasa dadanya sesak. Ia menatap Wira dengan air mata yang mulai menggenang.
“Apa? Kamu menikah lagi tanpa memberitahuku, Mas?”
Amara, yang sejak tadi diam, akhirnya buka suara. “Mbak Sekar, saya minta maaf. Tapi saya juga punya hak atas Mas Wira. Kami ingin hidup bersama.”
Sekar mengalihkan pandangannya ke Amara. Sorot matanya tajam, penuh dengan kemarahan yang membuncah.
“Hak? Kau pikir aku akan menerima kalian setelah semua ini?”
Wira mendengus pelan. “Sekar, jangan berlebihan. Ini bukan akhir dunia. Kau masih istriku.”
Sekar tertawa getir. Seluruh tubuhnya terasa kebas. Bagaimana bisa, suaminya berkata semudah itu?
“Mas, kamu pikir aku akan berbagi suami? Kamu pikir aku akan menyambut wanita lain yang kamu bawa ke rumah ini dengan senang hati?”
“Kau harus menerima ini,” Wira berkata tegas. Raut wajahnya tampak begitu dingin. Sekar nyaris tidak mengenali pria yang berdiri di hadapannya ini.
“Aku ingin kalian hidup berdampingan. Aku akan adil.”
Sekar menatapnya tak percaya. Dadanya seolah terhimpit oleh beban berat mendengar ucapan Wira.
“Mas, kamu sudah memutuskan segalanya tanpa memberitahuku! Dan sekarang kamu masih bicara soal adil?”
Wira menghela napas, seolah lelah dengan sikap Sekar. Seolah-olah apa yang dirasakan Sekar bukan hal penting.
“Aku tidak punya waktu untuk ini. Aku dan Amara akan tinggal di sini mulai sekarang.”
Darah Sekar berdesir. Ia menatap Wira lekat. “Tidak. Kalian tidak akan bisa tinggal di sini. Ini rumah warisan orang tuaku!”
“Kamu lupa?” sahut Wira mulai kesal. “Rumah ini sudah dipindahkan atas namaku. Jadi aku berhak atas rumah ini!”
Sekar terdiam, ia merasakan dadanya membara.
Setelah menikah dengan Wira, hak kepemilikan atas rumah itu memang tercatat atas nama suaminya. Itulah bukti betapa Sekar sangat cinta dan percaya pada suaminya.
Namun, ia tidak menyangka hal seperti ini akan terjadi.
Amara kemudian melangkah maju, menatap Sekar dengan tatapan penuh perhitungan.
“Mbak Sekar, kalau boleh jujur, saya kasihan melihat Mbak seperti ini. Menolak kenyataan hanya akan membuat hidup Mbak semakin sulit. Mas Wira mencintai saya. Kami akan punya anak bersama. Bukankah lebih baik Mbak menerima kami?”
Sekar mengepalkan tangan. “Kalau dia mencintaimu, kenapa dia tetap tinggal bersamaku selama ini?”
Amara tersenyum miring. “Mbak tahu jawabannya. Mas Wira tetap di sini karena rasa tanggung jawab. Lagi pula bukankah selama ini Mbak belum bisa memberinya anak? Masih untung lho aku mau berbagi suami. Aku yakin kalau Mas Wira akan bersikap adil untuk kita. Lagi pula anakku nanti akan jadi anak Mbak juga kan? Harusnya Mbak berterima kasih sama aku karena sekarang aku sedang mengandung anaknya Mas Wira.”
Wira hanya diam, membiarkan Amara mengambil alih kendali. Sekar menatap pria yang selama ini ia cintai dengan penuh kebencian.
“Kamu bahkan tidak bisa berbicara untuk dirimu sendiri, Mas? Atau memang kamu memang lebih memilih wanita ini?”
Amara menggenggam lengan Wira lebih erat, seolah ingin memastikan dominasi dirinya.
“Mas Wira sudah memilih saya, Mbak. Dan sebaiknya Mbak menerimanya, karena saya tidak akan pergi.”
Sekar menatapnya tajam. “Kau pikir aku sudi membiarkanmu tinggal di rumah ini?”
Amara tersenyum puas. “Mas Wira yang memutuskan, bukan Mbak.”
Sekar merasakan kepalanya berdenyut hebat. Napasnya memburu. Ini terlalu sakit. Amara tahu betul cara menusuknya di tempat yang paling dalam.
Wira akhirnya buka suara. “Sekar, aku ingin kita membicarakan ini dengan baik.”
“Setelah kamu menghancurkan semuanya, Mas?” Sekar menatap suaminya nanar. Raut wajahnya menyiratkan luka dan kecewa mendalam.
Namun, Amara menghela napas panjang, lalu berbisik pelan, meski cukup tajam untuk melukai.
“Mbak Sekar, saya hanya ingin yang terbaik untuk semua. Mas Wira adalah ayah dari anak saya. Kami keluarga sekarang.”
“Kau benar-benar tidak tahu malu ya? Kau mencuri suamiku. Beraninya kau bicara soal keluarga?”
Amara tersenyum tipis. “Cinta datang dengan cara yang tidak terduga, Mbak. Lagi pula kami sudah saling mencintai jauh sebelum Mas Wira mengenal Mbak.”
Kesabaran Sekar habis. Ia meraih gelas di meja dan melemparkannya ke arah Amara. Amara terkejut, mundur selangkah, tapi tetap menampilkan senyum kemenangan.
“Sudah cukup!” bentak Sekar. “Kalian tidak akan tinggal di sini! Pergi sekarang!”
Wira belum sempat melakukan apapun, tapi Amara dengan wajah basah dan dagu terangkat, mendorong tubuh Sekar yang tidak siaga hingga ia terhuyung menjauh dari pintu.
Wanita hamil itu berjalan dengan gemulai memasuki rumah. “Ayo, Mas. Ini juga rumah kita,” katanya.
Sekar terlalu terkejut untuk bereaksi saat Amara dan Wira masuk ke dalam rumah seolah tidak terjadi apa-apa.
Langit Jakarta mulai memerah saat mobil yang ditumpangi Wira, Raka, dan Suryo memasuki halaman rumah. Jam baru menunjukkan pukul tiga sore, namun suasana rumah sudah tampak hidup. Bau cat menyambut dari balik pagar, bercampur dengan semilir angin sore yang membelai lembut wajah mereka. Beberapa pekerja tukang tampak sibuk merampungkan bagian luar rumah yang masih dalam proses pengecatan, menambahkan nuansa rumah yang sedang dibenahi demi menyambut lembaran baru dalam kehidupan mereka.Sekar membuka pintu lebih dulu, disusul Dian yang melambaikan tangan dari ruang tamu."Assalamualaikum!" seru Raka antusias, berlari kecil sambil membawa miniatur katalog ranjang dari toko perabotan."Waalaikumsalam, Sayang!" Sekar menyambut dengan pelukan hangat, menunduk dan mengecup kening putranya yang kini terlihat sangat semangat. "Seru ya, hari ini?""Seruuuu banget, Ma! Tadi Raka pilih sendiri ranjang buat kamar Raka. Papa sempat enggak setuju, tapi akhirnya Raka menang!" jawabnya penuh semangat.
Usai menikmati sarapan lezat yang disiapkan dengan penuh cinta, Wira pun bersiap pergi ke toko perabotan bersama Raka dan ayahnya—Suryo. Raka terlihat sangat antusian. Ia sudah mengenakan setelan kaos warna maroon bergambar dinosaurus kesukaannya."Papa, hari ini kita jadi beli kasur dan lemari, kan?" tanyanya sambil memasang tali sepatu.Wira tertawa pelan. "Jadi dong. Udah rapikan. Kalau sepatunya sudah terpasang dengan benar, kita langsung berangkat."Setelah semuanya siap, Wira, Raka dan Suryo pun duduk manis di dalam mobil, melaju menuju pusat toko perabotan dan properti ternama di bilangan Jakarta Selatan. Raka duduk di kursi belakang, menempelkan wajahnya ke jendela, menatap gedung-gedung tinggi yang menjulang. Hari itu ia terlihat lebih dewasa dari biasanya, mungkin karena ia merasa akan memiliki ruang pribadinya sendiri untuk pertama kalinya.Sesampainya di toko, Raka langsung menarik tangan papanya. "Papa, lihat! Yang ini keren banget! Ranjangnya ada lampu di bawahnya. Keren
Aroma tumisan bawang putih dan lada hitam menyeruak ke seluruh penjuru rumah. Sekar berdiri di depan kompor, mengenakan apron biru muda yang dulu sempat dibelikan Wira tapi tak pernah sempat ia pakai. Di sampingnya, Wira tengah sibuk mengaduk kuah sup udang sambil sesekali mencuri pandang ke wajah istrinya yang terlihat begitu tenang pagi ini."Kamu yakin ini garam, bukan gula?" tanya Wira sambil mengangkat sendok kecil dan mencicipi kuah sup.Sekar menoleh dengan senyum menggoda. "Itu garam, Pak Koki. Tapi kalau kamu mau sup udang rasa kue ulang tahun, silakan tambahkan gula sekalian. Kalau perlu tambahkan keju dan cokelat."Wira tertawa. Tawanya ringan dan jujur, seperti laki-laki yang sedang menikmati kebahagiaan kecil yang selama ini dirindukannya."Lucu ya," ucap Sekar sambil membalik stik daging di atas wajan. "Dulu, waktu aku bangun pagi buat masak, kamu masih meringkuk di kasur. Kadang aku udah selesai masak pun kamu masih belum bangun."Wira terkekeh, lalu melirik ke arah jam
Langit pagi di Depok tampak cerah. Matahari baru saja muncul dari balik pepohonan, menyebarkan cahaya keemasan yang hangat. Di halaman rumah kecil itu, suara koper yang digeser dan tawa ringan Raka mengiringi keheningan pagi. Hari ini, Wira mengajak Sekar dan Raka untuk kembali ke Jakarta. Menempati kembali rumah yang dulu pernah mereka tinggali, sebelum semuanya runtuh karena pengkhianatan dan luka.Wira berdiri di depan pintu, memandangi aktivitas kecil keluarganya. Sekar tengah melipat pakaian terakhir, memastikan tak ada yang tertinggal. Sementara Raka sibuk memeriksa mainan-mainan yang akan dibawa. Matanya berbinar, meskipun raut wajahnya tampak menyimpan haru."Kita beneran pindah ke Jakarta, Ma?" tanya Raka lirih, memeluk boneka dinosaurusnya erat.Sekar menunduk, mengusap kepala anak itu lembut. "Iya, Sayang. Kita akan tinggal di rumah Raka lagi. Rumah yang dulu pernah mama tinggali berdua sama papa, sebelum Raka lahir ke dunia. Tapi sekarang, kita mulai dari awal. Dengan hati
Fajar belum menyingsing sempurna ketika Raka terbangun dari tidurnya. Kamar itu masih gelap, hanya diterangi cahaya samar dari lampu malam di sudut ruangan. Namun, matanya langsung terbuka lebar, tidak karena mimpi buruk atau suara gaduh, melainkan karena kehangatan yang luar biasa menyelubunginya. Di sisi kanan tidurnya, ada Mama Sekar. Di sisi kiri, ada Papa Wira. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Raka terbangun di antara dua orang yang paling ia cintai dalam satu ranjang yang sama.Ia menatap wajah Wira dengan mata berbinar, lalu menoleh pelan ke arah Sekar. Mulut mungilnya tersenyum kecil. Tangannya yang kecil terulur, menyentuh pipi Wira, lalu pipi Sekar. Gerakan lembut itu membuat keduanya menggeliat pelan dan membuka mata."Mama... Papa... Raka sayang banget sama Mama dan Papa..." bisiknya lirih namun penuh makna.Sekar tersenyum mengantuk, matanya masih setengah terbuka. "Sayang Mama juga, Nak..."Wira yang mulai sadar, menoleh dan menatap ana
Beberapa hari setelah Wira menyampaikan niatnya kepada orang tua dan melamar Sekar untuk kedua kalinya kala itu, segalanya bergerak cepat, namun dalam suasana yang tenang dan penuh pertimbangan. Bukan lagi seperti dua orang muda yang terburu-buru oleh nafsu dan ego, kali ini Wira dan Sekar melangkah dengan kepala dingin dan hati yang terlatih oleh luka.Mereka sepakat: tidak perlu pesta besar. Tak perlu gaun pengantin mewah, panggung pelaminan, apalagi daftar undangan panjang. Mereka hanya ingin saksi, doa, dan keberkahan. Pernikahan kali ini bukan untuk dunia, tapi untuk memperbaiki takdir yang sempat retak. Ijab kabul akan dilangsungkan di ruang tamu rumah Sekar di Depok, sederhana, hangat, dan sakral.Selama beberapa hari, mereka sibuk mengurus dokumen. KTP, KK, surat pengantar RT/RW, hingga surat rekomendasi dari KUA. Sekar sempat merasa gugup saat mendatangi kantor kelurahan. Petugas mengenalnya dan menatapnya penuh tanya. Tapi ia sudah siap. Ia tidak merasa harus menjelaskan apa
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen