Wira berdiri di luar pagar rumah yang kini ramai oleh tamu. Langkahnya tertahan. Ia mencoba masuk, namun kerumunan membuatnya tak mungkin menerobos ke dalam. Dengan dada sesak, ia melangkah ke sisi jendela, mengintip ke dalam dari balik kaca bening yang sedikit berembun akibat perbedaan suhu.
Dari celah pandangan itu, ia melihat sosok Sekar. Duduk bersimpuh anggun dalam balutan kebaya biru muda yang manis. Wajahnya begitu cantik, memancarkan keanggunan yang menyesakkan dada Wira. Seketika, kenangan masa lalu membanjiri benaknya. Ingatannya melayang ke hari saat ia dan kedua orang tuanya datang melamar Sekar untuk pertama kali. Wajah itu... masih sama. Manis, lembut, dan menyejukkan. Tapi kini, perasaan yang ia simpan jauh lebih dalam dari masa lalu yang penuh keterpaksaan.
Dulu, ia menikahi Sekar karena keinginan orang tuanya. Tapi kini, cinta itu tumbuh murni, membara dengan kesadaran yang menyakitkan.
Sementara itu, di dalam rumah, suasana hening menegangkan.
“Raka! Nak… Raka, bangun, Sayang…!”Sekar panik bukan main. Napasnya tersengal-sengal. Jantungnya seperti akan meledak melihat tubuh mungil putranya terkapar tak sadarkan diri di atas tanah becek, basah kuyup oleh hujan yang belum juga reda. Darah mengucur deras dari kaki Raka yang tertimpa sebuah ranting pohon besar. Sekar terus menepuk pipi putranya, berusaha keras menyadarkan si kecil yang begitu dicintainya.“Ya Allah… tolong… Raka, bangun, Nak. Ini mama, Sayang. Tolong buka matamu, Nak...”Tangis Sekar pecah seketika. Seluruh tubuhnya menggigil, bukan hanya karena dingin, tapi juga karena ketakutan yang tak mampu dijelaskannya dengan kata-kata.Sementara itu, mobil yang mereka tumpangi melaju dengan kecepatan semampunya di tengah hujan deras yang mengguyur tanpa ampun.“Mas, tolong cepat! Anak saya pingsan!” serunya pada pria yang duduk di balik kemudi.“Sabar, Mbak S
“Raka...”Suara itu terdengar lirih namun penuh kerinduan dari balik pagar tempat les tahfidz. Wira berdiri di sana, memegangi jeruji besi yang dingin, wajahnya setengah basah oleh gerimis yang belum juga reda sejak sore tadi. Entah sudah berapa lama ia menunggu di sana, tapi sorot matanya tak pernah lepas dari seorang bocah yang sedang duduk di kursi tunggu.Raka menoleh pelan. Keningnya mengernyit ketika melihat pria asing yang menyebut namanya.“Raka kenal sama om itu?” tanya salah satu guru yang bertugas menjaga gerbang.Anak itu menggeleng cepat, lalu kembali menunduk, menanti jemputan seperti biasa.“Ustazah, maaf… Saya ini ayah kandung Raka,” ucap Wira dengan nada penuh harap. “Coba tanyakan padanya. Mungkin… mungkin dia masih marah karena saya meninggalkannya selama ini.”Guru itu melangkah mendekati Raka, menatap bocah itu dengan lembut. “Raka sayang… Benarkah om itu papa kandungmu? Tapi ingat, Nak, jangan berbohong. Allah tahu apa yang disembunyikan hamba-Nya.”Raka diam sej
Wira berdiri di luar pagar rumah yang kini ramai oleh tamu. Langkahnya tertahan. Ia mencoba masuk, namun kerumunan membuatnya tak mungkin menerobos ke dalam. Dengan dada sesak, ia melangkah ke sisi jendela, mengintip ke dalam dari balik kaca bening yang sedikit berembun akibat perbedaan suhu.Dari celah pandangan itu, ia melihat sosok Sekar. Duduk bersimpuh anggun dalam balutan kebaya biru muda yang manis. Wajahnya begitu cantik, memancarkan keanggunan yang menyesakkan dada Wira. Seketika, kenangan masa lalu membanjiri benaknya. Ingatannya melayang ke hari saat ia dan kedua orang tuanya datang melamar Sekar untuk pertama kali. Wajah itu... masih sama. Manis, lembut, dan menyejukkan. Tapi kini, perasaan yang ia simpan jauh lebih dalam dari masa lalu yang penuh keterpaksaan.Dulu, ia menikahi Sekar karena keinginan orang tuanya. Tapi kini, cinta itu tumbuh murni, membara dengan kesadaran yang menyakitkan.Sementara itu, di dalam rumah, suasana hening menegangkan.
Hari ini rumah Sekar tidak seperti biasanya. Warung ditutup sejak pagi, aroma masakan menyeruak dari dapur, dan beberapa tetangga dekat tampak sibuk membantu menyiapkan hidangan. Mereka datang bukan hanya sebagai tetangga, tapi juga sebagai keluarga yang turut mendukung momen penting dalam hidup Sekar.Ya, hari ini keluarga Ardi akan datang. Lamaran. Sebuah kata yang cukup sederhana, tapi berat maknanya bagi seorang perempuan yang pernah patah hati sekeras itu. Jika lamaran ini diterima, maka siang ini juga akan langsung dilakukan pertunangan sekaligus penentuan tanggal pernikahan.Semua itu adalah permintaan Sekar sendiri. Ia tidak ingin berlama-lama menggantungkan hati dalam ketidakpastian. Semakin hari, Wira semakin nekat. Kemarin saja pria itu kembali muncul, mencoba mendekati Raka dan menyentuh kembali hatinya yang dulu pernah dia abaikan.Namun Sekar tidak lagi sama. Ia menolak pria itu mentah-mentah. Kehadiran Wira tidak diterima, baik oleh hati maupun oleh rumah ini.Pukul dua
“Tante, Raka mana?” tanya Edo—salah satu teman dekat Raka—dengan napas sedikit terengah.Sekar yang sedang sibuk menata barang dagangan di warung, menoleh cepat, keningnya berkerut. “Raka? Bukannya tadi main sama kalian? Tante dari tadi nggak lihat dia. Tante sibuk di warung.”“Raka pulang duluan, Tante. Ini tadi barang-barangnya ketinggalan,” sahut Edo sambil menyerahkan kantong plastik berisi mainan. Seorang temannya menambahkan, “Ini juga bolanya, Tante.”Sekar menerima barang-barang itu dengan bingung. Ia membolak-balik isinya, merasa ada yang janggal. “Ini punya Raka? Kayaknya bukan deh. Tante nggak pernah lihat mainan ini.”“Itu memang punya Raka, Tante. Soalnya tadi Om yang ngasih.”Sekar menatap anak-anak itu dengan tatapan penuh tanya. “Om yang mana? Om Ardi?”“Bukan. Om yang mirip Raka. Katanya sih papanya Raka. Tapi kami nggak tahu juga.”NYESH!Perkataan itu menghantam hati Sekar seperti angin tajam yang menyayat. Sejenak ia membeku. Napasnya tercekat.Sekar benar-benar ti
“Raka …,” panggil Wira pelan, berusaha mendekati bocah empat tahun yang sedang bermain bola bersama teman-temannya di lapangan sore itu.Bocah kecil itu baru saja menendang bola ke arah gawang imajiner, namun suara Wira membuatnya menoleh. Matanya melebar sedikit, lalu wajahnya berubah waspada.“Om lagi?” gumam Raka. Ia mundur satu langkah, menjauh. Tatapannya tak lagi riang seperti beberapa saat sebelumnya.“Nak, jangan takut,” ucap Wira dengan suara selembut mungkin. Ia berjongkok agar sejajar dengan tinggi tubuh Raka. “Om ini bukan orang jahat. Nih … Om bawakan mainan. Banyak, semua buat Raka.” Ia menyodorkan kantong belanja berisi mainan mobil-mobilan, robot, dan beberapa camilan anak-anak.Namun Raka menggeleng cepat. “Om pasti orang jahat. Kalau nggak jahat, kenapa Mama marah banget waktu itu?”Teman-teman Raka yang melihatnya pun ikut mendekat. Mereka berdiri di dekat Raka, seolah bersiap menjaga jika Wira melakukan sesuatu yang mencurigakan.Wira berusaha tersenyum. Meski hati
Wira masih terpaku. Kata-kata ibunya terus terngiang-ngiang di telinganya, membekas seperti cambuk yang menghantam hati sekaligus menyulut semangatnya yang nyaris padam.“Kalau kamu memang mencintai Sekar, perjuangkan. Kamu tahu, dulu kamu sudah melukainya. Jadi wajar kalau sekarang kamu butuh usaha yang lebih besar untuk kembali mendapatkannya. Sebelum janur kuning terkembang, sebelum Sekar sah jadi istri orang, kamu masih punya kesempatan untuk merebutnya kembali.”Begitulah pesan dari Bu Dian, ibunya, sebelum Wira melangkah keluar dari rumah masa kecilnya. Ucapan yang sederhana, namun menyimpan ledakan makna dan dorongan yang dahsyat.Langkah Wira berat, tapi pasti. Ia berjalan sendiri menyusuri lorong rumah, menuju kamar yang selama ini disakralkan dalam diam—kamar Sekar.Sejak kepergian Sekar, tak ada satu pun yang diizinkan menyentuh kamar itu. Bahkan ketika Amara merengek dan memaksa ingin pindah ke kamar utama, Wira tetap tak luluh. Baginya, kamar itu milik Sekar. Dan akan sel
“Mama… Om yang datang tadi sore itu siapa, sih? Kayaknya kenal banget sama Mama. Terus… kenapa Mama marah-marah sama Om itu?”Pertanyaan itu meluncur polos dari bibir kecil Raka usai ia menyantap makan malam. Suaranya ringan, tapi penuh rasa ingin tahu yang mendesak.Sekar menoleh sejenak, jantungnya seolah tercekat. “Bukan siapa-siapa, Sayang…” jawabnya cepat sambil membereskan piring kotor. “Raka udah ngerjain PR belum? Mau Mama bantuin?”“Mama lupa, ya?” Raka mengernyit lucu. “Raka kan lagi liburan. Mana ada PR! Lagi pula, anak PAUD mana ada PR, Ma.”Sekar terdiam. Raka benar. Ia sedang libur sekolah, dan selama ini, gurunya memang tak pernah memberi pekerjaan rumah. Sekar meremas serbet di tangannya, menyadari betapa paniknya ia hingga mengucapkan sesuatu yang tidak masuk akal.“Oiya… Maaf, Sayang. Mama kelepasan.” Sekar memaksakan senyum. “Hhm… Gimana kalau liburan kali ini Raka pergi sama Mama, ya? Kita ke Bandung, main ke rumah Tante Sonya. Raka mau, nggak?”Raka tidak menjawab
Setelah menimbang berkali-kali dalam hati, akhirnya Wira memutuskan untuk bertamu ke rumah Sekar sore ini. Jarum jam sudah menunjukkan pukul lima, dan ia baru saja mengganti pakaian yang ia beli di Depok. Pakaian lamanya sudah kusut dan terasa tidak layak pakai setelah dipakai semalaman penuh pencarian dan kegelisahan.Sembari melajukan mobil menuju kediaman Sekar, pandangan Wira sesekali berpindah ke kantong-kantong belanja yang ia letakkan di kursi penumpang depan. Ada makanan, pakaian untuk Raka, dan beberapa oleh-oleh kecil. Wira tak mau datang dengan tangan kosong. Bukan demi pencitraan, melainkan sebagai bentuk itikad baik.Namun saat mobilnya memasuki halaman rumah, langkah Wira seketika terhenti. Matanya menangkap mobil SUV hitam yang terparkir rapi di depan rumah. Di teras, seorang pria sedang bercanda dengan Raka. Tawa anak itu begitu riang, seperti tak menyisakan sedikit pun luka masa lalu.Bukankah itu... pria yang aku temui di lift waktu itu? Wira membatin, jantungnya ber