Share

6 - Ejekan Dari Wira

Aвтор: NHOVIE EN
last update Последнее обновление: 2025-03-22 12:39:30

“Assalamu’alaikum…,” ucap Sekar dengan senyum yang terlihat sangat dipaksakan di depan semua anak-anak didiknya.

“Wa’alaikumussalam, Bu,” jawab mereka serentak.

Sekar tersenyum. Rasa lelah di hatinya seolah sirna di depan anak-anak didik yang sangat ia cintai. Dua puluh anak kelas tiga yang ada di hadapannya kini, tersenyum manis tanpa beban. Ia pun harus bisa mengimbangi sikap dan senyuman itu tanpa peduli hatinya yang saat ini sedang tercabik-cabik.

Detik-demi detik pun terus berlalu, hingga pagi yang cerah kini berubah menjadi sore yang cerah. Cahaya matahari yang tadinya bersinar di ufuk timur, kini mulai turun.

Sekar melirik jam tangannya, sudah menunjukkan pukul tiga sore. Tugasnya sebagai tenaga pendidik hari ini sudah selesai. Saatnya ia pulang dan Kembali dengan rutinitasnya sebagai ibu rumah tangga.

Namun hari ini terasa sangat berbeda. Untuk pertama kalinya Sekar enggan melangkahkan kakinya meninggalkan ruang guru. Untuk pertama kalinya ruang guru itu lebih nyaman disbanding dengan rumahnya sendiri.

“Sekar, kamu belum pulang?” tanya bu Lastri, rekan sesama guru.

“Iya, Bu. Sebentar lagi. Ini masih ada yang aku kerjakan,” ucap Sekar, lalu membalik-balik sebuah buku.

Lastri mendekat. “Sekar, kamu baik-baik sajakan? Ibu lihat hari ini kamu sedikit pucat dan mata kamu sembab. Kamu juga tidak sesemangat biasanya.”

Sekar menggeleng, berusaha mengukir senyum. “Aku baik-baik saja kok, Bu. Lagi malas saja pulang, soalnya di rumah sepi,” bohong Sekar.

“Suami kamu masih di luar kota?”

Sekar mengangguk lemah, tapi wajahnya tertunduk.

“Ya sudah, ibu duluan ya. Kalau kamu butuh teman cerita, ibu siap jadi teman cerita kamu,” ucap Lastri, mencoba menawarkan diri.

Sekar hanya membalas dengan anggukan.

Lastri pun keluar dari ruang guru itu, meninggalkan Sekar sendirian di sana.

Disaat ruangan itu benar-benar sudah sepi, Sekar pun berpikir, Buat apa aku terus-terusan di sini? Hidup terus berjalan, bukan? Jadi semuanya harus aku hadapi. Menghindar tidak akan menyelesaikan semuanya.

Sekar segera mengemasi barang-barangnya, masuk ke dalam citycar kecil miliknya dan segera meninggalkan area sekolah menuju rumahnya.

“Assalamu’alaikum…,” ucap Sekar sesampai di rumah.

Namun wanita itu tidak mendapati jawaban apa pun dari dalam.

Sekar menarik gagang pintu, dan pintu terbuka. Perlahan Sekar pun masuk ke rumahnya. Rumah itu terlihat sepi, seolah tidak ada siapa-siapa di sana.

Sekar terus berjalan menuju kamarnya. Namun sebelum kakinya melangkah masuk, matanya tertuju pada ruang makan yang memang berada tepat di samping kamarnya.

Keadaan meja makan, sama berantakannya seperti ia tinggalkan tadi pagi. Mata Sekar tertuju pada cangkir kopi yang ia siapkan untuk Wira. Ia pun mendekati cangkir itu, membuka tutupnya dan melihat isinya masih utuh. Sekar juga membuka wadah berisi sandwich yang sudah ia siapkan. Sama, masih utuh tak tersentuh.

Sekar mendesah, ia kecewa. Wira sama sekali tidak menyentuh sarapan yang sudah susah payah ia siapkan.

“Eh, mbak Sekar sudah pulang? Maaf ya, aku tidak sempat membereskan dapur. Mbak tahu sediri kalau aku sedang hamil. Jadi aku sangat lelah.”

Sebuah suara tiba-tiba saja muncul dari arah belakang Sekar.

Sekar membalik tubuhnya. “Mas Wira sarapan di mana?”

“Aku nggak tahu. Tadi dia terlambat bangun. Gimana nggak terlambat, mainnya sampai pagi gitu. Mas Wira memang punya nafsu yang tinggi. Pantas saja nggak cukup sama satu istri.” Kata-kata yang keluar dari bibir Amara seolah memanas-manasi Sekar.

Sekar tidak menjawab. Ia segera menekan Langkah menuju kamarnya.

“Mbak, aku mau makan. Tolong siapkan!” perintah Amara.

Tanpa menoleh, Sekar menjawab, “Kamu bisa siapkan sendiri. Kalau tidak bisa, kamu bisa membelinya. Ingat, aku istri pertama di sini, bukan pembantu.”

Amara mendekat. “Jadi kamu tidak mau menyiapkannya untukku? Mau aku adukan pada mas Wira? Apa kamu mau ditendang dari rumah ini?”

Sekar emosi, tapi ia berusaha mengendalikan diri. Ia memutar tubuhnya, menatap tajam wajah Amara.

“Aku lelah. Seharian aku bekerja mengajar anak-anak di sekolah dasar. Aku tidak punya waktu melayani orang yang sudah menghancurkan rumah tanggaku,” tegas Sekar. Segera ia balikkan badannya dan masuk ke dalam kamar.

Lagi-lagi, Sekar hanya bisa menangis dari balik pintu. Ingin rasanya ia membakar rumah ini agar Amara dan Wira bisa merasakan sakitnya terbakar keadaan.

Di luar, Amara berdecak kesal. Ia Kembali masuk ke dalam kamar dan merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Ia ambil ponselnya lalu ia ketikkan sesuatu untuk Wira.

***

Pukul lima sore.

Mobil Innova hitam sudah terparkir di depan rumah Sekar. Itu adalah mobil Wira—suaminya. Biasanya, Sekar dengan senyum merona akan menunggu kepulangan sang suami. Tapi kali ini tidak, Sekar sama sekali tidak keluar kamar sejak ia pulang mengajar.

Wira turun dan masuk ke dalam rumah itu.

“Selamat sore, Mas,” ucap Amara, menyambut dengan wajah segar dan pakaian mini.

Wira tersenyum, mencium bibir wanita itu sesaat lalu menebar pandang ke sekeliling rumah.

“Sekar mana?”

“Di kamarnya. Dia tidak keluar sejak pulang kerja. Mas, kenapa sih mbak Sekar itu jahat sama aku? Kamu lihat ini.” Amara memperlihatkan siku kirinya pada Wira.

“Kenapa ini?” tanya Wira.

“Tadi aku minta tolong sama mbak Sekar buatin aku nasi goreng, karena aku memang ngidam nasi goreng buatan mbak Sekar. Kata kamu nasi goreng buatan mbak Sekar sangat enak. Tapi mbak Sekar malah marah dan melempar wajan ke arah aku. Aku mencoba mengelak tapi malah kena siku. Terus mbak Sekar juga memaksa aku membereskan dapur.” Amara menyentuh sikunya dan pura-pura meringis.

Wira berjalan mendekat ke arah kamar Sekar. Sebelum mendekati pintu kamar, ia alihkan pandangannya ke arah dapur. Kondisi dapur itu sama berantakannya seperti tadi pagi sebelum ia berangkat kerja.

“Mas, maafkan aku. Bukannya aku nggak mau beresin, tapi kamu tahu sendiri kalau aku lagi sakit, Mas. Aku ini lagi hamil muda. Tadi aku sudah coba bereskan sedikit, tiba-tiba aku pusing.” Amara memberi alasan.

Wira mendekati pintu kamar Sekar, mengetuknya pelan.

“Sekar, keluar.”

Tidak butuh waktu lama, pintu itu pun terbuka. Kini Sekar berdiri di hadapan Wira.

“Ada apa, Mas?” tanya Sekar.

“Apa benar kamu sudah melempar wajan ke tangan Amara?”

Sekar menghela napas. Ia alihkan pandangannya ke arah Amara, mengerti kalau ia baru saja dihasut oleh wanita itu.

“Sekar, jawab pertanyaanku,” tegas Wira.

“Apa kamu masih percaya sama aku, Mas?” balas Sekar.

“Sekar, aku mohon. Bisa nggak di rumah ini kita hidup dengan tenang dan damai. Kamu tahu kalau Amara sedang hamil. Dia hamil muda dan kamu tahu sendiri kalau orang hamil itu banyak pantangannya.”

Sekar hanya diam, mencoba menelaah wajah suaminya.

“Oiya, kamu mana mengerti. Kamukan tidak pernah hamil,” lanjut Wira.

DHUAR!!

Sekar merasakan hatinya disambar petir yang dahsyat saat ini. Suaminya, orang yang sangat ia cintai dan hormati, kini seakan mengejek dirinya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • DIMADU TANPA RESTU   59 – Kecelakaan

    “Raka! Nak… Raka, bangun, Sayang…!”Sekar panik bukan main. Napasnya tersengal-sengal. Jantungnya seperti akan meledak melihat tubuh mungil putranya terkapar tak sadarkan diri di atas tanah becek, basah kuyup oleh hujan yang belum juga reda. Darah mengucur deras dari kaki Raka yang tertimpa sebuah ranting pohon besar. Sekar terus menepuk pipi putranya, berusaha keras menyadarkan si kecil yang begitu dicintainya.“Ya Allah… tolong… Raka, bangun, Nak. Ini mama, Sayang. Tolong buka matamu, Nak...”Tangis Sekar pecah seketika. Seluruh tubuhnya menggigil, bukan hanya karena dingin, tapi juga karena ketakutan yang tak mampu dijelaskannya dengan kata-kata.Sementara itu, mobil yang mereka tumpangi melaju dengan kecepatan semampunya di tengah hujan deras yang mengguyur tanpa ampun.“Mas, tolong cepat! Anak saya pingsan!” serunya pada pria yang duduk di balik kemudi.“Sabar, Mbak S

  • DIMADU TANPA RESTU   58 – RAKAAA...

    “Raka...”Suara itu terdengar lirih namun penuh kerinduan dari balik pagar tempat les tahfidz. Wira berdiri di sana, memegangi jeruji besi yang dingin, wajahnya setengah basah oleh gerimis yang belum juga reda sejak sore tadi. Entah sudah berapa lama ia menunggu di sana, tapi sorot matanya tak pernah lepas dari seorang bocah yang sedang duduk di kursi tunggu.Raka menoleh pelan. Keningnya mengernyit ketika melihat pria asing yang menyebut namanya.“Raka kenal sama om itu?” tanya salah satu guru yang bertugas menjaga gerbang.Anak itu menggeleng cepat, lalu kembali menunduk, menanti jemputan seperti biasa.“Ustazah, maaf… Saya ini ayah kandung Raka,” ucap Wira dengan nada penuh harap. “Coba tanyakan padanya. Mungkin… mungkin dia masih marah karena saya meninggalkannya selama ini.”Guru itu melangkah mendekati Raka, menatap bocah itu dengan lembut. “Raka sayang… Benarkah om itu papa kandungmu? Tapi ingat, Nak, jangan berbohong. Allah tahu apa yang disembunyikan hamba-Nya.”Raka diam sej

  • DIMADU TANPA RESTU   57 – Harus Tetap Berjuang

    Wira berdiri di luar pagar rumah yang kini ramai oleh tamu. Langkahnya tertahan. Ia mencoba masuk, namun kerumunan membuatnya tak mungkin menerobos ke dalam. Dengan dada sesak, ia melangkah ke sisi jendela, mengintip ke dalam dari balik kaca bening yang sedikit berembun akibat perbedaan suhu.Dari celah pandangan itu, ia melihat sosok Sekar. Duduk bersimpuh anggun dalam balutan kebaya biru muda yang manis. Wajahnya begitu cantik, memancarkan keanggunan yang menyesakkan dada Wira. Seketika, kenangan masa lalu membanjiri benaknya. Ingatannya melayang ke hari saat ia dan kedua orang tuanya datang melamar Sekar untuk pertama kali. Wajah itu... masih sama. Manis, lembut, dan menyejukkan. Tapi kini, perasaan yang ia simpan jauh lebih dalam dari masa lalu yang penuh keterpaksaan.Dulu, ia menikahi Sekar karena keinginan orang tuanya. Tapi kini, cinta itu tumbuh murni, membara dengan kesadaran yang menyakitkan.Sementara itu, di dalam rumah, suasana hening menegangkan.

  • DIMADU TANPA RESTU   56 – Lamaran

    Hari ini rumah Sekar tidak seperti biasanya. Warung ditutup sejak pagi, aroma masakan menyeruak dari dapur, dan beberapa tetangga dekat tampak sibuk membantu menyiapkan hidangan. Mereka datang bukan hanya sebagai tetangga, tapi juga sebagai keluarga yang turut mendukung momen penting dalam hidup Sekar.Ya, hari ini keluarga Ardi akan datang. Lamaran. Sebuah kata yang cukup sederhana, tapi berat maknanya bagi seorang perempuan yang pernah patah hati sekeras itu. Jika lamaran ini diterima, maka siang ini juga akan langsung dilakukan pertunangan sekaligus penentuan tanggal pernikahan.Semua itu adalah permintaan Sekar sendiri. Ia tidak ingin berlama-lama menggantungkan hati dalam ketidakpastian. Semakin hari, Wira semakin nekat. Kemarin saja pria itu kembali muncul, mencoba mendekati Raka dan menyentuh kembali hatinya yang dulu pernah dia abaikan.Namun Sekar tidak lagi sama. Ia menolak pria itu mentah-mentah. Kehadiran Wira tidak diterima, baik oleh hati maupun oleh rumah ini.Pukul dua

  • DIMADU TANPA RESTU   55 – Permintaan Sekar

    “Tante, Raka mana?” tanya Edo—salah satu teman dekat Raka—dengan napas sedikit terengah.Sekar yang sedang sibuk menata barang dagangan di warung, menoleh cepat, keningnya berkerut. “Raka? Bukannya tadi main sama kalian? Tante dari tadi nggak lihat dia. Tante sibuk di warung.”“Raka pulang duluan, Tante. Ini tadi barang-barangnya ketinggalan,” sahut Edo sambil menyerahkan kantong plastik berisi mainan. Seorang temannya menambahkan, “Ini juga bolanya, Tante.”Sekar menerima barang-barang itu dengan bingung. Ia membolak-balik isinya, merasa ada yang janggal. “Ini punya Raka? Kayaknya bukan deh. Tante nggak pernah lihat mainan ini.”“Itu memang punya Raka, Tante. Soalnya tadi Om yang ngasih.”Sekar menatap anak-anak itu dengan tatapan penuh tanya. “Om yang mana? Om Ardi?”“Bukan. Om yang mirip Raka. Katanya sih papanya Raka. Tapi kami nggak tahu juga.”NYESH!Perkataan itu menghantam hati Sekar seperti angin tajam yang menyayat. Sejenak ia membeku. Napasnya tercekat.Sekar benar-benar ti

  • DIMADU TANPA RESTU   54 – Melarikan Diri

    “Raka …,” panggil Wira pelan, berusaha mendekati bocah empat tahun yang sedang bermain bola bersama teman-temannya di lapangan sore itu.Bocah kecil itu baru saja menendang bola ke arah gawang imajiner, namun suara Wira membuatnya menoleh. Matanya melebar sedikit, lalu wajahnya berubah waspada.“Om lagi?” gumam Raka. Ia mundur satu langkah, menjauh. Tatapannya tak lagi riang seperti beberapa saat sebelumnya.“Nak, jangan takut,” ucap Wira dengan suara selembut mungkin. Ia berjongkok agar sejajar dengan tinggi tubuh Raka. “Om ini bukan orang jahat. Nih … Om bawakan mainan. Banyak, semua buat Raka.” Ia menyodorkan kantong belanja berisi mainan mobil-mobilan, robot, dan beberapa camilan anak-anak.Namun Raka menggeleng cepat. “Om pasti orang jahat. Kalau nggak jahat, kenapa Mama marah banget waktu itu?”Teman-teman Raka yang melihatnya pun ikut mendekat. Mereka berdiri di dekat Raka, seolah bersiap menjaga jika Wira melakukan sesuatu yang mencurigakan.Wira berusaha tersenyum. Meski hati

  • DIMADU TANPA RESTU   53 – Harus Berjuang

    Wira masih terpaku. Kata-kata ibunya terus terngiang-ngiang di telinganya, membekas seperti cambuk yang menghantam hati sekaligus menyulut semangatnya yang nyaris padam.“Kalau kamu memang mencintai Sekar, perjuangkan. Kamu tahu, dulu kamu sudah melukainya. Jadi wajar kalau sekarang kamu butuh usaha yang lebih besar untuk kembali mendapatkannya. Sebelum janur kuning terkembang, sebelum Sekar sah jadi istri orang, kamu masih punya kesempatan untuk merebutnya kembali.”Begitulah pesan dari Bu Dian, ibunya, sebelum Wira melangkah keluar dari rumah masa kecilnya. Ucapan yang sederhana, namun menyimpan ledakan makna dan dorongan yang dahsyat.Langkah Wira berat, tapi pasti. Ia berjalan sendiri menyusuri lorong rumah, menuju kamar yang selama ini disakralkan dalam diam—kamar Sekar.Sejak kepergian Sekar, tak ada satu pun yang diizinkan menyentuh kamar itu. Bahkan ketika Amara merengek dan memaksa ingin pindah ke kamar utama, Wira tetap tak luluh. Baginya, kamar itu milik Sekar. Dan akan sel

  • DIMADU TANPA RESTU   52 – Ingin Segera Menikah

    “Mama… Om yang datang tadi sore itu siapa, sih? Kayaknya kenal banget sama Mama. Terus… kenapa Mama marah-marah sama Om itu?”Pertanyaan itu meluncur polos dari bibir kecil Raka usai ia menyantap makan malam. Suaranya ringan, tapi penuh rasa ingin tahu yang mendesak.Sekar menoleh sejenak, jantungnya seolah tercekat. “Bukan siapa-siapa, Sayang…” jawabnya cepat sambil membereskan piring kotor. “Raka udah ngerjain PR belum? Mau Mama bantuin?”“Mama lupa, ya?” Raka mengernyit lucu. “Raka kan lagi liburan. Mana ada PR! Lagi pula, anak PAUD mana ada PR, Ma.”Sekar terdiam. Raka benar. Ia sedang libur sekolah, dan selama ini, gurunya memang tak pernah memberi pekerjaan rumah. Sekar meremas serbet di tangannya, menyadari betapa paniknya ia hingga mengucapkan sesuatu yang tidak masuk akal.“Oiya… Maaf, Sayang. Mama kelepasan.” Sekar memaksakan senyum. “Hhm… Gimana kalau liburan kali ini Raka pergi sama Mama, ya? Kita ke Bandung, main ke rumah Tante Sonya. Raka mau, nggak?”Raka tidak menjawab

  • DIMADU TANPA RESTU   51 – Diusir Sekar

    Setelah menimbang berkali-kali dalam hati, akhirnya Wira memutuskan untuk bertamu ke rumah Sekar sore ini. Jarum jam sudah menunjukkan pukul lima, dan ia baru saja mengganti pakaian yang ia beli di Depok. Pakaian lamanya sudah kusut dan terasa tidak layak pakai setelah dipakai semalaman penuh pencarian dan kegelisahan.Sembari melajukan mobil menuju kediaman Sekar, pandangan Wira sesekali berpindah ke kantong-kantong belanja yang ia letakkan di kursi penumpang depan. Ada makanan, pakaian untuk Raka, dan beberapa oleh-oleh kecil. Wira tak mau datang dengan tangan kosong. Bukan demi pencitraan, melainkan sebagai bentuk itikad baik.Namun saat mobilnya memasuki halaman rumah, langkah Wira seketika terhenti. Matanya menangkap mobil SUV hitam yang terparkir rapi di depan rumah. Di teras, seorang pria sedang bercanda dengan Raka. Tawa anak itu begitu riang, seperti tak menyisakan sedikit pun luka masa lalu.Bukankah itu... pria yang aku temui di lift waktu itu? Wira membatin, jantungnya ber

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status