Home / Romansa / DIMADU TANPA RESTU / 7 – Terpaksa

Share

7 – Terpaksa

Author: NHOVIE EN
last update Last Updated: 2025-04-03 00:48:58

Sekar masih terpana. Air matanya nyaris membanjiri wajah cantik alami itu, namun Sekar susah payah menahannya. Ia memang rapuh, tapi tidak ingin terlihat lemah di depan Wira dan Amara.

“Sekar, aku lelah. Segera bereskan dapur itu dan siapkan makanan. Atau aku akan mencari makanan di luar bersama Amara.”

“Kenapa mas tidak mencari pembantu saja, Mas? Bukankah mas Wira mampu menafkahi dua istri. Jadi pasti mas Wira juga mampu membayar pembantu di rumah ini,” jawab Sekar, masih dengan nada sopan.

Kedua bola mata Wira menatap tajam istrinya itu. Tidak pernah selama ini Sekar melihat pandangan tajam seperti itu dari kedua mata suaminya.

“Apa kamu mulai membantah perintah suamimu, ha? Kamu lupa pesan-pesan mendiang ibu?”

Ibu?

Ya, ibu Sekar sebelum meninggal memang banyak memberikan wejangan hidup kepada wanita itu. Wejangan-wejangan baik khususnya untuk suami.

Ibu Sekar dulunya adalah pribadi yang sangat taat pada agama. Ia juga sangat taat pada suaminya. Tapi untungnya, mendiang ayahnya Sekar tidak seperti Wira saat ini. Pria itu dulunya sangat setia dan sangat mengayomi keluarga kecilnya hingga maut menjemputnya ketika Sekar baru saja menikah dengan Wira.

Kali ini Sekar tidak mampu menahan air matanya. Masih segar dalam ingatannya ketika sang ayah dengan kursi roda dan selang infus di tangan, datang ke masjid tempat acara pernikahan digelar dan jadi wali nikah putri semata wayangnya.

“Cepat siapkan dan jangan membantah!” perintah Wira seraya berlalu dari pintu kamar Sekar menuju kamar Amara.

Amara bersedekap, tersenyum sinis seolah mengejek wanita yang ada di hadapannya.

“Ingat, Sekar! Jangan membantah perkataan mas Wira,” lirih Amara dengan nada penuh kesombongan, sebelum berlalu menyusul Wira.

Sekar menghela napas. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Hatinya enggan untuk mengerjakan semua pekerjaan rumah karena ada Amara yang bersikap seolah nyonya besar di rumah itu. Padahal ia adalah istri pertama.

Tapi lagi-lagi Sekar melemah. Wejangan dari mendiang ibunya, kembali terngiang di benaknya. Akhirnya, Sekar pun keluar kamar, mengerjakan pekerjaan rumah seperti biasa ia kerjakan. Bukan demi Wira apalagi Amara, tapi demi mendiang ibunya.

Satu jam berselang, aroma wangi bumbu masakan mulai tercium di rumah itu. Sembari membersihkan area dapur serta piring-piring, Sekar sekaligus menggoreng ikan tuna kesukaan suaminya yang memang sudah ia persiapkan di lemari pembeku.

Sesekali matanya melirik ke arah pintu kamar Amara. Ada rasa sakit yang terasa, apalagi ketika membayangkan suaminya sedang bermesraan dengan orang lain di rumahnya, sementara dirinya bekerja di dapur bak pembantu.

Ya, sejak Wira pulang kantor dan masuk ke dalam kamar Amara, pria itu tidak kunjung keluar lagi.

Seraya mengusap air matanya, Sekar terus mengerjakan pekerjaannya. Hingga beberapa menit kemudian, dapur sudah bersih dan makanan pun sudah terhidang di atas meja makan.

Sekar melepas celemek, kemudian berjalan menuju kamar Amara. Dengan perasaan berat, ia tetap mengetuk pintu kamar itu dengan lembut sebanyak tiga kali.

Pintu terbuka, Amara dengan piyama seksinya muncul dari balik daun pintu.

“Ssstt... Jangan berisik. Mas Wira sedang tidur. Maklum, nggak dapat makanan dari kamu, akhirnya aku yang ngasih makan sampai ia lemas. Lihat tuh.” Kedua mata Amara melirik ke arah Wira yang terlelap tanpa busana di atas ranjang.

Sekar emosi, tapi berusaha ia kendalikan. Matanya berkaca-kaca, tapi berusaha tidak ia tumpahkan.

“Aku hanya ingin bilang ke mas Wira, kalau makanannya sudah siap. Itu saja,” ucap Sekar seraya berlalu dari hadapan Amara.

Amara berdecak, lalu menutup pintu kamarnya perlahan. Ia mendekat ke arah ranjang, duduk di tepinya lalu mengelus lembut rambut Wira.

Amara mencium telinga Wira, menggigitnya pelan. Ke dua tangannya kembali mengelus kulit tubuh pria itu. Lembut, perlahan, mulai dari leher, dada hingga alat vital milik Wira.

“Amara...” Terdengar erangan lembut dari bibir Wira.

“Bangun, Sayang... Makanan sudah siap,” ucap Amara

“Hhmm... Siapa yang siapkan?”

Amara berdecak sedikit, tidak senang dengan jawaban Wira.

“Memang kamu maunya siapa yang menyiapkan, Mas? Kamu tahu sendiri kondisi aku bagaimana saat ini? Apa lagi tadi kamu main terus sama aku. Jadi apa yang bisa kamu harapkan, Mas?” Ucap Amara.

Wira duduk, lalu meraih celana pendek yang ada di lantai. Ia mengenakan celana itu seketika.

“Aku tahu pasti Sekar yang menyiapkan. Dia memang bisa diandalkan kalau urusan dapur. Tapi kalau urusan ranjang, tetap kamu pemenangnya,” jawab Wira lalu mencium bibir Amara dengan lembut.

Amara tersenyum manja. Senang diperlakukan seperti itu oleh suaminya.

Tapi tanpa mereka sadari, sepasang mata kembali melihat adegan itu dan sepasang telinga mendengar perkataan menyakitkan Wira. Siapa lagi kalau bukan Sekar.

Sekar yang awalnya berniat menunggu Wira, segera meninggalkan tempat itu dan masuk ke dalam kamarnya.

Sekar menutup pintu, menguncinya dari dalam, lalu menyandarkan punggungnya ke daun pintu. Perlahan, tubuhnya merosot ke lantai, tidak tahan memuntahkan semua sesak yang sedari tadi ia tahan.

Kenapa, Mas? Kenapa? Dulu kamu mengatakan kalau aku yang pertama dan utama. Dulu katamu aku adalah surga. Dulu katamu kamu sangat puas bersamaku. Tapi sekarang kenapa seperti ini? Batin Sekar.

Namun tangisnya segera terhenti oleh ketukan pintu. Ketukan pintu itu menggema di tubuhnya karena ia memang masih menyandarkan punggungnya di sana.

NHOVIE EN

Terimakasih sudah membaca. Salam Sayang Penuh Cinta, KISS ^_^

| Like
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • DIMADU TANPA RESTU   8 – Bergelora

    “Sekar, buka pintunya!” gema suara terdengar. Suara yang sangat khas yang selama ini begitu dirindukan oleh Sekar. Namun kini pemilik suara itu balik menyakitinya.Sekar segera bangkit, menyeka air matanya dan kini berdiri di depan daun pintu. Sekar menghela napas sejenak sebelum tangan kanannya benar-benar menekan gagang pintu lalu menariknya.“Mas Wira, ada apa?” tanya Sekar.“Kamu sudah makan?” tanya Wira.Sekar menggeleng.“Ayo makan bareng.”Sekar mengangguk. Kali ini ia benar-benar tidak ingin ribut, jadi ia tidak membantah perintah Wira.Terlihat Amara menggandeng Wira dengan manja menuju meja makan.Lagi-lagi, Sekar hanya bisa menghela napas.“Silakan duduk, Mas,” ucap Amara, memundurkan sebuah kursi makan untuk Wira.“Terima kasih,” balas Wira.Amara duduk tepat di samping Wira sementara Sekar duduk di depan suaminya. Tidak ada

    Last Updated : 2025-04-07
  • DIMADU TANPA RESTU   9 – Tuduhan Baru

    “Malam ini aku ingin bersama Sekar,” ucap Wira.Amara tidak senang, namun ia berusaha sembunyikan perasaan itu dari Wira.“Tentu saja, Mas. Bukankah Sekar adalah istri pertama kamu dan wajar saja kalau kamu juga menginginkannya. Aku tidak keberatan,” balas Amara.Wira keluar dari kamar. Langkah kakinya membawanya ke ruang dapur, di mana saat ini Sekar sedang membereskan bekas makanan dirinya dan Amara. Sementara Sekar? Ia tidak makan malam sama sekali.Diam-diam, Amara mengintip aktivitas suaminya dengan Sekar di ruang dapur. Ada yang membara di hatinya. Terlebih ketika melihat Wira memperlakukan Sekar dengan sangat lembut.Melihat Wira mencumbu Sekar dengan penuh nafsu, Amara pun tidak tahan. Ia tidak ingin membiarkan Sekar menikmati malam ini dengan Wira. Bagaimanapun juga, ia harus menguasai hati, jiwa, tubuh dan harta Wira. Itulah tujuan utamanya.“AUCH!!” Amara berteriak. Kakinya memijak pecahan kaca yang sudah ia siapkan sendiri hingga berdarah.Suara teriakan itu seketika membua

    Last Updated : 2025-04-07
  • DIMADU TANPA RESTU   10 – Kedatangan Yang Mendadak

    Pukul sepuluh pagi, di kediaman Sekar.Sebuah mobil minibus berhenti perlahan di halaman rumah sederhana itu. Dari dalamnya turun sepasang paruh baya—berpakaian rapi dan membawa sebuah bungkusan kecil. Wajah mereka tampak cerah, menyimpan senyum lebar seolah membawa kabar bahagia. Mereka berjalan perlahan menuju pintu rumah, langkah mereka penuh semangat.Sementara itu, Sekar baru saja kembali dari halaman belakang. Di tangannya tergenggam sebuah gembor kosong yang hendak ia isi ulang, karena belum semua tanaman yang ia siram.Saat pandangannya jatuh pada sepasang paruh baya yang sangat ia kenali itu, Sekar langsung menghentikan langkah. Ia meletakkan gembor di pinggir teras dan segera berjalan cepat menghampiri mereka.“Ibu, Bapak, kenapa nggak ngabarin dulu kalau mau datang?” sapanya dengan suara penuh kehangatan, seraya mengulurkan tangan. Ia menyalami keduanya dengan takzim dan penuh hormat.“Kamu apa kabar, Nduk?” sang Ibu membuka suara, masih dengan senyum lebar. “Ibu dan Bapak

    Last Updated : 2025-04-08
  • DIMADU TANPA RESTU   11 – Ketahuan Juga

    Wira duduk di kursi samping ayahnya. Matanya tak henti melirik ke arah kamar tempat Amara bersembunyi. Gelas teh yang sejak tadi ia pegang sudah dingin, tapi belum juga disentuh. Di hadapannya, Sekar duduk berseberangan, pura-pura sibuk menyusun camilan di meja. Ia menyadari kegelisahan suaminya, namun memilih bungkam. Ia tahu, badai bisa datang sewaktu-waktu.“Ibu lihat kamu kok agak aneh, Wira?” tanya sang Ibu tiba-tiba, memecah keheningan yang menggantung di udara.Refleks, Wira menegakkan punggung. “Aneh gimana, Bu?”“Kelihatan tegang. Biasanya kalau kami datang, kamu santai. Tapi ini dari tadi kayak orang ketakutan.”Wira terkekeh kecil, meski terasa kaku. “Wira cuma kaget aja, Bu. Nggak nyangka Bapak dan Ibu datang mendadak. Padahal akhir pekan ini rencananya Wira mau beresin beberapa kerjaan.”“Kerjaan bisa diatur, Wira. Tapi keluarga itu tetap nomor satu,” ujar sang Ayah dengan nada lembut, sembari menepuk bahu anaknya.Sekar berdiri dengan senyum canggung. “Sekar ambilkan bua

    Last Updated : 2025-04-10
  • DIMADU TANPA RESTU   12 – Kemarahan Suryo

    Sekar masih terpaku di sudut kamarnya. Matanya menatap kosong ke dinding, tubuhnya terasa berat untuk sekadar berdiri. Ia tidak tahu apa yang sedang dibicarakan kedua orang tua Wira di ruang tamu. Namun yang pasti, hatinya semakin rapuh, nyaris tak mampu menanggung beban kenyataan yang menghimpit.Tiba-tiba, terdengar ketukan di pintu. Jantung Sekar berdetak kencang, menimbulkan dentuman cemas di dadanya. Ia enggan beranjak, tapi suara ketukan kembali terdengar, kali ini disertai dengan suara yang ia kenali: Dian, ibunda Wira.Dengan langkah pelan dan berat, Sekar mendekat. Ia menarik engsel pengunci pintu, lalu memutar gagangnya perlahan hingga pintu terbuka.“Ibu ingin bicara,” ucap Dian tanpa basa-basi.Sekar mengangguk, memberikan jalan agar wanita paruh baya itu bisa masuk ke dalam kamarnya.“Silakan duduk, Bu,” katanya pelan, seraya menarik sebuah kursi kayu mendekati ranjang.Dian duduk di kursi, sementara Sekar memilih duduk di tepi ranjang, menjaga jarak yang tetap terasa meny

    Last Updated : 2025-04-11
  • DIMADU TANPA RESTU   13 – Tersudut

    Malam ini terasa asing. Ruang makan yang dulu penuh kehangatan, kini dingin sedingin es. Baru kali ini Sekar duduk di meja makan yang sama dengan Wira dan Amara. Bahkan Dian dan Suryo pun ada di sana. Atmosfernya kaku, seolah ada sesuatu yang menggantung di udara—tajam, menusuk.Makanan tersaji di atas meja, aromanya menggoda. Siapa lagi yang memasak kalau bukan Sekar?Ya, selain karena tanggung jawabnya sebagai istri, Sekar memang jago masak. Tidak pernah sekalipun Wira mengeluh soal masakannya. Apa pun yang ia buat, selalu cocok di lidah Wira. Selalu.“Tunggu apa lagi? Ayo makan,” ucap Suryo memecah keheningan yang mencekam.Sekar yang sedari tadi termenung, tersentak. Ia duduk di samping Wira, mengambil piring, dan seperti biasa menuang nasi secukupnya lalu menyerahkannya kepada suaminya. Gerakan yang telah ia lakukan ratusan kali selama bertahun-tahun. Dian pun melakukan hal serupa untuk Suryo.Sementara Amara? Ia terlihat canggung, seperti orang yang salah kostum di pesta resmi.

    Last Updated : 2025-04-12
  • DIMADU TANPA RESTU   14 – Keinginan Sekar

    Usai mencuci piring, Amara meninggalkan dapur dan berjalan menuju kamarnya dengan langkah ringan. Namun, langkah itu terhenti seketika saat suara Dian memanggilnya dari ruang keluarga.“Amara, ke sini. Kami ingin bicara,” ucap Dian, tegas namun masih terdengar tenang.Amara menoleh, menahan napas sejenak, lalu melangkah mendekati Dian, Suryo, Sekar, dan Wira yang telah menunggunya di ruang keluarga. Suasana di ruangan itu terasa berat, seperti ada kabut tak kasatmata yang membebani udara.“Ada apa, Bu?” tanyanya ramah, meski sorot matanya menyiratkan kewaspadaan.“Duduk. Kami ingin berbicara baik-baik,” balas Dian.Tanpa banyak komentar, Amara menuruti. Ia duduk bersimpuh di atas karpet tebal yang empuk, bergabung dengan yang lain. Tatapan Wira sesekali mencuri pandang ke arah Sekar, lalu kembali menatap Amara dengan gelisah.“Amara, kamu tahu kalau rumah ini adalah milik Sekar,” Suryo memulai pembicaraan dengan nada datar namun tajam.Amara mengangguk lemah, menunduk dalam.“Rumah in

    Last Updated : 2025-04-12
  • DIMADU TANPA RESTU   15 – Mengungkap Alasan

    Malam ini, seperti biasa, Wira tidur di kamar Amara. Ia membiarkan Sekar sendiri, terkurung dalam sepi dan luka yang kian dalam di relung hatinya.“Mas, aku nggak peduli. Pokoknya aku nggak mau pergi dari rumah ini,” kata Amara lirih, tapi nada suaranya penuh ketegasan. Di dalam kamarnya, matanya menatap tajam pada Wira.“Kenapa kamu begitu keras kepala, Amara? Bukankah kamu sendiri yang bilang, kamu rela tinggal terpisah dari Sekar asal aku bersamamu? Aku penuhi itu. Lalu, kenapa kamu berubah pikiran sekarang?” Wira mencoba bersikap tenang, meski hatinya mulai panas.“Enggak, Mas. Aku tetap mau tinggal di sini. Lagi pula, apa salahnya aku dan Sekar tinggal satu atap? Kamu nggak akan ada terus untuk aku dua puluh empat jam, Mas. Bagaimana kalau kamu kerja? Atau harus dinas ke luar kota? Nanti aku sama siapa?” Amara kini terlihat seperti anak kecil yang menolak kenyataan.“Sekar juga mengajar siang hari. Jadi, kamu akan tetap sendiri di rumah ini.” Wira berusaha menjelaskan dengan suar

    Last Updated : 2025-04-13

Latest chapter

  • DIMADU TANPA RESTU   39 –Tetap Memihak Amara

    “Mas…”Amara mengejar Wira yang sudah lebih dulu meninggalkan ruang poli kebidanan. Wira pergi dalam keadaan marah, sementara Dian masih mematung di depan pintu, wajahnya tampak kosong, terkejut.“Mas, tunggu aku!” seru Amara, lalu menggenggam lengan Wira dengan kuat. Tindakannya menarik perhatian beberapa orang yang melintas di lorong rumah sakit. Tapi Amara tak peduli.Wira berhenti sejenak, menoleh pelan. “Aku tidak menyangka kalau kamu berbohong sejauh ini, Amara.” Suaranya rendah, tapi tajam dan dingin, seperti es yang membekukan hati. Ia menjaga nada suaranya agar tidak membuat keributan. Hasil lab memperkuat diagnose kalau sebenarnya Amara sama sekali tidak pernah hamil, apalagi keguguran.Tanpa menunggu jawaban, Wira melangkah cepat menuju parkiran. Amara mengejarnya, mencoba menyamakan langkah.Begitu sampai, Wira langsung masuk ke dalam mobilnya. Namun Amara dengan sigap ikut masuk ke kursi penumpang depan, tanpa diundang.Wira menghela napas panjang. “Turun,” ucapnya lirih

  • DIMADU TANPA RESTU   38 –Akhirnya Terkuak

    “Apa Ibu baik-baik saja?” Suara Wira menggema di lorong rumah sakit. Napasnya menderu, terdengar seperti orang yang habis berlari. Matanya cemas, menyapu wajah-wajah di sekitarnya hingga berhenti pada sosok Amara.Amara langsung menoleh, terkejut melihat kehadiran Wira. “Mas? Bukannya Mas kerja?” tanyanya, bingung sekaligus gugup.Namun sebelum Wira sempat menjawab, suara petugas rumah sakit terdengar lewat pengeras suara, memanggil nama Amara. Kini gilirannya masuk ke ruang poli kebidanan, tempat pertemuan dengan dokter spesialis kandungan.“Nanti saja bicaranya. Kita masuk dulu,” ucap Dian tegas. Ia berdiri dari bangku tunggu dan menggenggam tangan Amara dengan lembut namun mantap.Wira yang masih kebingungan akhirnya hanya bisa mengikuti langkah ibunya. Ia berjalan masuk ke ruang periksa, didampingi dua wanita yang wajahnya menyiratkan kegelisahan masing-masing.Seorang dokter kandungan menyambut mereka dengan

  • DIMADU TANPA RESTU   37 – Menjalankan Rencana

    "Ibu, apa kabar?" sapa Amara dengan suara lembut dan senyum ramah saat melihat Dian berdiri di depan pintu rumah."Baik, Amara. Wira ada?" tanya Dian dengan nada bersahabat, meski matanya tajam mengamati wajah menantu yang mulai berhasil merebut hati anaknya itu."Mas Wira lagi kerja, Bu. Ibu masuk dulu, ya. Aku buatkan minum sebentar." Ucapan Amara terdengar sangat tulus, senyum manisnya seolah ingin mengatakan bahwa dirinya pantas menggantikan posisi Sekar.Namun Dian menolak halus. "Tak usah, Amara. Ibu ke sini bukan untuk bertamu. Ibu mau minta tolong. Boleh?"Amara langsung menghentikan langkahnya menuju dapur dan kembali mendekat. "Minta tolong apa, Bu?""Hari ini ibu ada jadwal kontrol rutin. Ibu ada gejala stroke ringan, jadi harus kontrol setiap bulan. Bapak nggak bisa temani karena sedang ada urusan pekerjaan di luar kota. Wira juga nggak bisa karena kerja. Dulu biasanya Sekar yang suka menemani ibu ke rumah sakit, tapi sekarang… y

  • DIMADU TANPA RESTU   36 – Perlawanan Sekar

    Jakarta, Kediaman Orang Tua WiraSuryo dan Dian tampak terpaku di ruang tamu. Mereka saling berpandangan, tidak percaya dengan apa yang baru saja dijelaskan oleh Sekar. Kata-katanya mengguncang hati mereka, menyisakan rasa kecewa yang mendalam terhadap putra mereka, Wira, yang begitu mudah mempercayai Amara tanpa menyelidiki lebih jauh.“Jadi... selama ini kehamilan Amara itu palsu?” tanya Dian dengan suara pelan, nyaris berbisik, seolah berharap jawabannya tidak seperti yang ia duga.Sekar mengangguk perlahan. Matanya menatap lurus, suaranya tenang namun tegas. “Yang pasti, Amara tidak pernah memeriksakan diri di klinik tempat dia mengaku berobat. Kedua surat keterangan yang ia berikan terbukti palsu. Soal dia pernah hamil atau tidak, satu-satunya cara untuk mengetahuinya adalah dengan memeriksakannya langsung ke dokter kandungan.”Dian mengernyitkan dahi. “Tapi bagaimana caranya, Nak? Selama ini dia tidak pernah mau dibawa

  • DIMADU TANPA RESTU   35 – Ternyata...

    Sekar berdiri terpaku di ambang pintu ruang tamu. Pandangannya tajam, namun matanya menyiratkan kelelahan. Dua pria asing di hadapannya ikut membeku, tampak sama terkejutnya melihat kehadiran perempuan itu yang tiba-tiba muncul di tengah sore yang sunyi.Tidak ada yang bicara. Hening menggantung di udara, seolah waktu berhenti sejenak. Mereka saling memandang dalam kebingungan, seakan masing-masing mencoba menebak siapa yang paling berhak berada di tempat itu.Suara langkah tergesa memecah keheningan. Amara muncul dari lorong kamar, mengenakan daster longgar dengan rambut tergerai acak-acakan. Ketika matanya menangkap sosok Sekar, ia langsung menghentikan langkah, tapi wajahnya cepat pulih dalam ekspresi congkak yang biasa.“Kamu kembali?” ucap Amara, suaranya tinggi dengan nada mengejek. Ia menegakkan dagunya. “Kupikir kamu tidak akan berani datang lagi ke rumah ini.”Sekar tidak terintimidasi sedikit pun. Ia berdiri tegak, dingin, dan mantap.“Ini rumahku, Amara. Aku lebih punya hak

  • DIMADU TANPA RESTU   34 – Tamu Misterius

    Depok, kediaman orang tua Sekar.Suara mesin mobil membuat Sekar menghentikan aktivitasnya. Ia menoleh ke arah jendela, dan matanya melebar ketika melihat mobil orang tua Wira berhenti tepat di depan rumah. Detik berikutnya, dadanya langsung bergemuruh. Apa yang mereka lakukan di sini?Meski hatinya sempat gugup, Sekar tetap menyambut kedatangan mereka dengan senyum hangat dan langkah yang ringan.“Assalamu’alaikum…” sapa Dian dan Suryo bersamaan, ramah namun berwibawa.“Wa’alaikumussalam… Ibu, Bapak, kenapa nggak ngabarin dulu kalau mau ke sini?” Sekar menyambut keduanya dengan takzim, mencium tangan mereka penuh hormat. “Lagi pula… darimana Bapak dan Ibu tahu kalau Sekar ada di sini?”Wajah Dian tersenyum, tapi matanya menyimpan sesuatu yang tak diucapkan. “Nanti saja ceritanya, ya. Kita masuk dulu.”Sekar mempersilakan mereka duduk di ruang tamu. Ia pamit sebentar ke dapur, menyiapkan minuman sambil mencoba menenangkan diri. Pertemuannya dengan mertua di momen seperti ini sungguh d

  • DIMADU TANPA RESTU   33 – Meminta Sebagai Bukti

    Jakarta, kediaman Wira.“Benar kalau Sekar pergi?” tanya Dian dengan nada penuh emosi.Wira yang masih kaget dengan kedatangan orang tuanya yang tiba-tiba, berusaha bersikap tenang.“Dia pergi atas kemauannya sendiri, Bu. Lagi pula, Sekar sudah membuat kesalahan yang fatal.”“Kesalahan apa? Memangnya apa yang sudah diperbuat Sekar hingga ia harus pergi dari rumahnya sendiri?” Suara Dian bergetar, matanya mulai berkaca-kaca.Mendengar suara itu, Amara keluar dari kamar. Ia langsung mengubah sikap, berjalan dengan anggun, lalu mengulurkan tangannya ke arah Dian dan Suryo.“Ibu dan Bapak kok nggak ngomong dulu kalau mau ke sini? Maaf, rumah agak berantakan. Soalnya aku lagi sakit, nggak bisa beresin,” ucap Amara dengan canggung, berusaha tersenyum meski wajahnya pucat.Dian yang awalnya tak memperhatikan keadaan rumah, akhirnya mengedarkan pandangannya.Benar saja, matanya membelalak menyaksikan kondisi ruang tamu, meja makan, dan dapur yang kacau. Selama Sekar tinggal di sini, rumah ini

  • DIMADU TANPA RESTU   32 – Kemarahan Rozak

    Suasana nyaman, syahdu, dan udara sejuk kini menyambut kedatangan Sekar. Mobilnya berhenti di halaman sebuah rumah yang sudah cukup lama ia tinggalkan. Terakhir kali ia menginjakkan kaki di sana adalah saat Lebaran tahun lalu, sekitar tujuh bulan silam. Itu pun hanya sebentar, tanpa sempat menginap.Sekar menghela napas panjang sebelum turun dari mobil dan melangkah mendekati pintu.“Lho, Sekar? Kapan datang?” Suara yang tak asing menggema dari belakang.Sekar membalikkan tubuh. Sosok paruh baya menyambutnya—seorang wanita dengan daster batik dan jilbab instan, tangan kanannya menenteng kantong belanjaan berisi sayur-mayur. Sepertinya ia baru saja pulang dari pasar.“Bude, apa kabar?” sapa Sekar ramah, lalu memeluk wanita itu. Dia adalah istri dari kakak kandung almarhum ayahnya.“Alhamdulillah, Bude baik. Kamu sendiri bagaimana, Nak?” tanya wanita bernama Nunung itu, menyentuh pipi Sekar dengan lembut. Ada kekhawatiran di matanya, seakan merasakan sesuatu yang tak beres.“Wira mana?”

  • DIMADU TANPA RESTU   31 – Kepergian Yang Menyakitkan

    “Jadi bagaimana rencana kamu?” tanya Vania setelah yakin Sekar sudah lebih baik dari sebelumnya.“Aku nggak tahu, Van. Aku ingin ke rumah Bude dulu. Aku pikir, suasana kampung mampu membuatku damai,” jawab Sekar, yakin.“Lalu bagaimana tanggung jawab kamu sebagai guru?” Vania benar-benar terlihat khawatir.Sekar menatap wajah Vania, tatapannya sayu penuh kelelahan. “Kebetulan anak-anak baru selesai ujian. Aku akan minta cuti untuk beberapa saat. Kalau sekolah tidak memberi izin, aku akan mengundurkan diri. Perkara nilai, bisa aku kerjakan dari Depok.”Vania menghela napas berat. Ia bisa merasakan betapa beratnya ujian hidup Sekar saat ini. Selain pengkhianatan yang datang tiba-tiba, ia juga kehilangan kepercayaan dan cinta dari suaminya.“Kalau menurutmu itu memang yang terbaik, aku mendukung, Sekar. Hanya saja aku sarankan, jangan buru-buru mengambil keputusan. Maksudku, jangan buru-buru menuntut cerai,” ucap Vania, penuh pertimbangan.Sekar mengangguk pelan. “Aku sudah pikirkan masa

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status