Sekar masih terpana. Air matanya nyaris membanjiri wajah cantik alami itu, namun Sekar susah payah menahannya. Ia memang rapuh, tapi tidak ingin terlihat lemah di depan Wira dan Amara.
“Sekar, aku lelah. Segera bereskan dapur itu dan siapkan makanan. Atau aku akan mencari makanan di luar bersama Amara.”
“Kenapa mas tidak mencari pembantu saja, Mas? Bukankah mas Wira mampu menafkahi dua istri. Jadi pasti mas Wira juga mampu membayar pembantu di rumah ini,” jawab Sekar, masih dengan nada sopan.
Kedua bola mata Wira menatap tajam istrinya itu. Tidak pernah selama ini Sekar melihat pandangan tajam seperti itu dari kedua mata suaminya.
“Apa kamu mulai membantah perintah suamimu, ha? Kamu lupa pesan-pesan mendiang ibu?”
Ibu?
Ya, ibu Sekar sebelum meninggal memang banyak memberikan wejangan hidup kepada wanita itu. Wejangan-wejangan baik khususnya untuk suami.
Ibu Sekar dulunya adalah pribadi yang sangat taat pada agama. Ia juga sangat taat pada suaminya. Tapi untungnya, mendiang ayahnya Sekar tidak seperti Wira saat ini. Pria itu dulunya sangat setia dan sangat mengayomi keluarga kecilnya hingga maut menjemputnya ketika Sekar baru saja menikah dengan Wira.
Kali ini Sekar tidak mampu menahan air matanya. Masih segar dalam ingatannya ketika sang ayah dengan kursi roda dan selang infus di tangan, datang ke masjid tempat acara pernikahan digelar dan jadi wali nikah putri semata wayangnya.
“Cepat siapkan dan jangan membantah!” perintah Wira seraya berlalu dari pintu kamar Sekar menuju kamar Amara.
Amara bersedekap, tersenyum sinis seolah mengejek wanita yang ada di hadapannya.
“Ingat, Sekar! Jangan membantah perkataan mas Wira,” lirih Amara dengan nada penuh kesombongan, sebelum berlalu menyusul Wira.
Sekar menghela napas. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Hatinya enggan untuk mengerjakan semua pekerjaan rumah karena ada Amara yang bersikap seolah nyonya besar di rumah itu. Padahal ia adalah istri pertama.
Tapi lagi-lagi Sekar melemah. Wejangan dari mendiang ibunya, kembali terngiang di benaknya. Akhirnya, Sekar pun keluar kamar, mengerjakan pekerjaan rumah seperti biasa ia kerjakan. Bukan demi Wira apalagi Amara, tapi demi mendiang ibunya.
Satu jam berselang, aroma wangi bumbu masakan mulai tercium di rumah itu. Sembari membersihkan area dapur serta piring-piring, Sekar sekaligus menggoreng ikan tuna kesukaan suaminya yang memang sudah ia persiapkan di lemari pembeku.
Sesekali matanya melirik ke arah pintu kamar Amara. Ada rasa sakit yang terasa, apalagi ketika membayangkan suaminya sedang bermesraan dengan orang lain di rumahnya, sementara dirinya bekerja di dapur bak pembantu.
Ya, sejak Wira pulang kantor dan masuk ke dalam kamar Amara, pria itu tidak kunjung keluar lagi.
Seraya mengusap air matanya, Sekar terus mengerjakan pekerjaannya. Hingga beberapa menit kemudian, dapur sudah bersih dan makanan pun sudah terhidang di atas meja makan.
Sekar melepas celemek, kemudian berjalan menuju kamar Amara. Dengan perasaan berat, ia tetap mengetuk pintu kamar itu dengan lembut sebanyak tiga kali.
Pintu terbuka, Amara dengan piyama seksinya muncul dari balik daun pintu.
“Ssstt... Jangan berisik. Mas Wira sedang tidur. Maklum, nggak dapat makanan dari kamu, akhirnya aku yang ngasih makan sampai ia lemas. Lihat tuh.” Kedua mata Amara melirik ke arah Wira yang terlelap tanpa busana di atas ranjang.
Sekar emosi, tapi berusaha ia kendalikan. Matanya berkaca-kaca, tapi berusaha tidak ia tumpahkan.
“Aku hanya ingin bilang ke mas Wira, kalau makanannya sudah siap. Itu saja,” ucap Sekar seraya berlalu dari hadapan Amara.
Amara berdecak, lalu menutup pintu kamarnya perlahan. Ia mendekat ke arah ranjang, duduk di tepinya lalu mengelus lembut rambut Wira.
Amara mencium telinga Wira, menggigitnya pelan. Ke dua tangannya kembali mengelus kulit tubuh pria itu. Lembut, perlahan, mulai dari leher, dada hingga alat vital milik Wira.
“Amara...” Terdengar erangan lembut dari bibir Wira.
“Bangun, Sayang... Makanan sudah siap,” ucap Amara
“Hhmm... Siapa yang siapkan?”
Amara berdecak sedikit, tidak senang dengan jawaban Wira.
“Memang kamu maunya siapa yang menyiapkan, Mas? Kamu tahu sendiri kondisi aku bagaimana saat ini? Apa lagi tadi kamu main terus sama aku. Jadi apa yang bisa kamu harapkan, Mas?” Ucap Amara.
Wira duduk, lalu meraih celana pendek yang ada di lantai. Ia mengenakan celana itu seketika.
“Aku tahu pasti Sekar yang menyiapkan. Dia memang bisa diandalkan kalau urusan dapur. Tapi kalau urusan ranjang, tetap kamu pemenangnya,” jawab Wira lalu mencium bibir Amara dengan lembut.
Amara tersenyum manja. Senang diperlakukan seperti itu oleh suaminya.
Tapi tanpa mereka sadari, sepasang mata kembali melihat adegan itu dan sepasang telinga mendengar perkataan menyakitkan Wira. Siapa lagi kalau bukan Sekar.
Sekar yang awalnya berniat menunggu Wira, segera meninggalkan tempat itu dan masuk ke dalam kamarnya.
Sekar menutup pintu, menguncinya dari dalam, lalu menyandarkan punggungnya ke daun pintu. Perlahan, tubuhnya merosot ke lantai, tidak tahan memuntahkan semua sesak yang sedari tadi ia tahan.
Kenapa, Mas? Kenapa? Dulu kamu mengatakan kalau aku yang pertama dan utama. Dulu katamu aku adalah surga. Dulu katamu kamu sangat puas bersamaku. Tapi sekarang kenapa seperti ini? Batin Sekar.
Namun tangisnya segera terhenti oleh ketukan pintu. Ketukan pintu itu menggema di tubuhnya karena ia memang masih menyandarkan punggungnya di sana.
Terimakasih sudah membaca. Salam Sayang Penuh Cinta, KISS ^_^
Langit Jakarta mulai memerah saat mobil yang ditumpangi Wira, Raka, dan Suryo memasuki halaman rumah. Jam baru menunjukkan pukul tiga sore, namun suasana rumah sudah tampak hidup. Bau cat menyambut dari balik pagar, bercampur dengan semilir angin sore yang membelai lembut wajah mereka. Beberapa pekerja tukang tampak sibuk merampungkan bagian luar rumah yang masih dalam proses pengecatan, menambahkan nuansa rumah yang sedang dibenahi demi menyambut lembaran baru dalam kehidupan mereka.Sekar membuka pintu lebih dulu, disusul Dian yang melambaikan tangan dari ruang tamu."Assalamualaikum!" seru Raka antusias, berlari kecil sambil membawa miniatur katalog ranjang dari toko perabotan."Waalaikumsalam, Sayang!" Sekar menyambut dengan pelukan hangat, menunduk dan mengecup kening putranya yang kini terlihat sangat semangat. "Seru ya, hari ini?""Seruuuu banget, Ma! Tadi Raka pilih sendiri ranjang buat kamar Raka. Papa sempat enggak setuju, tapi akhirnya Raka menang!" jawabnya penuh semangat.
Usai menikmati sarapan lezat yang disiapkan dengan penuh cinta, Wira pun bersiap pergi ke toko perabotan bersama Raka dan ayahnya—Suryo. Raka terlihat sangat antusian. Ia sudah mengenakan setelan kaos warna maroon bergambar dinosaurus kesukaannya."Papa, hari ini kita jadi beli kasur dan lemari, kan?" tanyanya sambil memasang tali sepatu.Wira tertawa pelan. "Jadi dong. Udah rapikan. Kalau sepatunya sudah terpasang dengan benar, kita langsung berangkat."Setelah semuanya siap, Wira, Raka dan Suryo pun duduk manis di dalam mobil, melaju menuju pusat toko perabotan dan properti ternama di bilangan Jakarta Selatan. Raka duduk di kursi belakang, menempelkan wajahnya ke jendela, menatap gedung-gedung tinggi yang menjulang. Hari itu ia terlihat lebih dewasa dari biasanya, mungkin karena ia merasa akan memiliki ruang pribadinya sendiri untuk pertama kalinya.Sesampainya di toko, Raka langsung menarik tangan papanya. "Papa, lihat! Yang ini keren banget! Ranjangnya ada lampu di bawahnya. Keren
Aroma tumisan bawang putih dan lada hitam menyeruak ke seluruh penjuru rumah. Sekar berdiri di depan kompor, mengenakan apron biru muda yang dulu sempat dibelikan Wira tapi tak pernah sempat ia pakai. Di sampingnya, Wira tengah sibuk mengaduk kuah sup udang sambil sesekali mencuri pandang ke wajah istrinya yang terlihat begitu tenang pagi ini."Kamu yakin ini garam, bukan gula?" tanya Wira sambil mengangkat sendok kecil dan mencicipi kuah sup.Sekar menoleh dengan senyum menggoda. "Itu garam, Pak Koki. Tapi kalau kamu mau sup udang rasa kue ulang tahun, silakan tambahkan gula sekalian. Kalau perlu tambahkan keju dan cokelat."Wira tertawa. Tawanya ringan dan jujur, seperti laki-laki yang sedang menikmati kebahagiaan kecil yang selama ini dirindukannya."Lucu ya," ucap Sekar sambil membalik stik daging di atas wajan. "Dulu, waktu aku bangun pagi buat masak, kamu masih meringkuk di kasur. Kadang aku udah selesai masak pun kamu masih belum bangun."Wira terkekeh, lalu melirik ke arah jam
Langit pagi di Depok tampak cerah. Matahari baru saja muncul dari balik pepohonan, menyebarkan cahaya keemasan yang hangat. Di halaman rumah kecil itu, suara koper yang digeser dan tawa ringan Raka mengiringi keheningan pagi. Hari ini, Wira mengajak Sekar dan Raka untuk kembali ke Jakarta. Menempati kembali rumah yang dulu pernah mereka tinggali, sebelum semuanya runtuh karena pengkhianatan dan luka.Wira berdiri di depan pintu, memandangi aktivitas kecil keluarganya. Sekar tengah melipat pakaian terakhir, memastikan tak ada yang tertinggal. Sementara Raka sibuk memeriksa mainan-mainan yang akan dibawa. Matanya berbinar, meskipun raut wajahnya tampak menyimpan haru."Kita beneran pindah ke Jakarta, Ma?" tanya Raka lirih, memeluk boneka dinosaurusnya erat.Sekar menunduk, mengusap kepala anak itu lembut. "Iya, Sayang. Kita akan tinggal di rumah Raka lagi. Rumah yang dulu pernah mama tinggali berdua sama papa, sebelum Raka lahir ke dunia. Tapi sekarang, kita mulai dari awal. Dengan hati
Fajar belum menyingsing sempurna ketika Raka terbangun dari tidurnya. Kamar itu masih gelap, hanya diterangi cahaya samar dari lampu malam di sudut ruangan. Namun, matanya langsung terbuka lebar, tidak karena mimpi buruk atau suara gaduh, melainkan karena kehangatan yang luar biasa menyelubunginya. Di sisi kanan tidurnya, ada Mama Sekar. Di sisi kiri, ada Papa Wira. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Raka terbangun di antara dua orang yang paling ia cintai dalam satu ranjang yang sama.Ia menatap wajah Wira dengan mata berbinar, lalu menoleh pelan ke arah Sekar. Mulut mungilnya tersenyum kecil. Tangannya yang kecil terulur, menyentuh pipi Wira, lalu pipi Sekar. Gerakan lembut itu membuat keduanya menggeliat pelan dan membuka mata."Mama... Papa... Raka sayang banget sama Mama dan Papa..." bisiknya lirih namun penuh makna.Sekar tersenyum mengantuk, matanya masih setengah terbuka. "Sayang Mama juga, Nak..."Wira yang mulai sadar, menoleh dan menatap ana
Beberapa hari setelah Wira menyampaikan niatnya kepada orang tua dan melamar Sekar untuk kedua kalinya kala itu, segalanya bergerak cepat, namun dalam suasana yang tenang dan penuh pertimbangan. Bukan lagi seperti dua orang muda yang terburu-buru oleh nafsu dan ego, kali ini Wira dan Sekar melangkah dengan kepala dingin dan hati yang terlatih oleh luka.Mereka sepakat: tidak perlu pesta besar. Tak perlu gaun pengantin mewah, panggung pelaminan, apalagi daftar undangan panjang. Mereka hanya ingin saksi, doa, dan keberkahan. Pernikahan kali ini bukan untuk dunia, tapi untuk memperbaiki takdir yang sempat retak. Ijab kabul akan dilangsungkan di ruang tamu rumah Sekar di Depok, sederhana, hangat, dan sakral.Selama beberapa hari, mereka sibuk mengurus dokumen. KTP, KK, surat pengantar RT/RW, hingga surat rekomendasi dari KUA. Sekar sempat merasa gugup saat mendatangi kantor kelurahan. Petugas mengenalnya dan menatapnya penuh tanya. Tapi ia sudah siap. Ia tidak merasa harus menjelaskan apa